• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI DAN ANALISA DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI DAN ANALISA DATA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Studi Literatur

Fotografi adalah “proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera” (“Wikipedia” par.1). Fotografi dapat menjadi sarana informasi karena menghasilkan suatu foto yang dinikmati oleh pengamat. Pengamat yang belum mengetahui akan apa yang menjadi objek fotografi akan mendapatkan sebuah informasi baru.

Suku adalah “suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tersebut seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa (bahkan aliran agama)” (“Wikipedia” par.1). Suku Dayak adalah suku asli yang mendiami pulau Kalimantan. Suku ini terbagi lagi dalam beberapa jenis suku yang cukup banyak jumlahnya. Hingga saat ini, belum didapatkan kepastian jenis-jenis suku dari suku Dayak dikarenakan keanekaragaman yang ada.

Pada perancangan ini, suku Dayak yang diteliti adalah suku Dayak yang tinggal di sebuah desa budaya yaitu desa Pampang. Desa ini oleh pemerintah kemudian dijadikan tempat pariwisata agar para wisatawan yang ingin tahu tentang kebudayaan suku Dayak dapat mengunjungi tempat pariwisata ini.

“Tourism is an important toll in building a more peaceful world, tourism encourages international understanding, trough experiencing the beauty of cross culture and tourism built on respect and appreciation of cultural diversity”

(Sudibya 1).

Menurut Profesor Hunziger dan Krapf dari Swiss, pariwisata adalah keseluruhan jaringan dan gejala-gejala yang berkaitan dengan tinggalnya orang asing di suatu tempat, dengan syarat bahwa mereka disitu tidak melakukan suatu pekerjaan penting yang memberi keuntungan yang bersifat permanen maupun sementara(qtd. 12).

(2)

Dengan dibukanya desa Pampang sebagai tempat pariwisata, maka terjadi sebuah interaksi antara suku Dayak dengan para wisatawan yang berkunjung.

Interaksi tersebut terjalin dengan rasa saling menghormati dan menghargai antara kebudayaan suku Dayak yang tentunya berbeda dengan kebudayaan para wisatawan itu sendiri.

2.2. Tinjauan Judul Perancangan 2.2.1. Fotografi

2.2.1.1. Definisi Fotografi

Fotografi adalah “proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera” (Fotografi 1). Hasil dari fotografi tersebut kemudian dapat dinikmati dalam bentuk media cetak.

2.2.1.2. Perkembangan Fotografi

Dunia fotografi mengalami perkembangan yang cukup pesat dari masa ke masa. Perkembangan ini paling terlihat pada perkembangan peralatan fotografi itu sendiri. Dahulu, peralatan fotografi yang dipergunakan adalah kamera manual dengan penggunaan film negatif. Objek yang ditangkap oleh kamera akan tercetak sementara pada film negatif yang tersimpan pada kamera tersebut. Selanjutnya film negatif tersebut melalui proses pencucian dengan bahan kimia dan kemudian dihasilkan dalam sebuah kertas foto.

Rangkaian proses tersebut merupakan proses yang cukup rumit dan membutuhkan ketelitian. Bila salah perhitungan atau salah dalam melakukan proses tersebut, maka hasil fotografi yang telah susah payah dilakukan oleh fotografer dapat rusak dan menjadi sia-sia. Selain itu, bahan film negatif pada zaman dahulu pada umumnya tidak peka terhadap beberapa macam warna, terutama warna merah. Tak heran jerawat dan bercak merah pada wajah objek menjadi terlihat jelas pada hasil cetakan. Untuk menanggulanginya adalah dengan meminta pertolongan pada juru tursir film negatif dan hal ini selain memakan waktu juga memakan biaya lebih lagi.

(3)

Kendala lain adalah kendala pencahayaan. Pada zaman dahulu, fotografer sangat terikat dengan sinar matahari siang. Karena itu, penemuan lampu kilat pada era tahun 80-an sangat membantu dalam mengatasi kendala ini. Perkembangan selanjutnya adalah pada kamera beserta film negatifnya yang semakin peka terhadap warna sehingga warna pada hasil fotografi tampak lebih indah, sesuai dengan warna asli dari objeknya. Selain film negatif, penggunaan film positif juga membantu fotografer bila ingin mengetahui hasil fotografi yang telah dilakukannya. Hanya saja harga dari film positif ini lebih mahal bila dibandingkan film negatif yang biasa dipergunakan.

Modernisasi fotografi terjadi pada abad 21 seiring dengan perkembangan kamera dari kamera manual menjadi kamera digital. Kamera digital mampu mengatasi kendala yang terjadi pada zaman dahulu. Film negatif tidak diperlukan lagi karena dengan kamera digital hanya membutuhkan sebuah alat yang bernama memory card untuk menampung data hasil fotografi, walaupun hasilnya akan lebih baik bila menggunakan film negatif. Hal tersebut selain tidak memakan waktu juga mengurangi terjadinya kesalahan fotografi. Apabila terjadi kesalahan fotografi, fotografer dapat langsung membuang data yang salah untuk kemudian segera melakukan pemotretan yang benar.

Data hasil fotografi yang tersimpan dalam memory card kemudian dialihkan ke komputer untuk kemudian dicetak. Perkembangan fotografi ini tentunya juga didukung oleh perkembangan program komputer. Program komputer yang paling sering dipergunakan dalam fotografi adalah Adobe Photoshop. Program ini memungkinkan fotografer untuk memperbaiki hasil fotografi sebelum dicetak. Apabila pencahayaan kurang tepat, dapat diperbaiki dengan menu-menu pilihan yang tersedia di program tersebut. Hal tersebut sangat membantu meringankan beban fotografer dalam menjalani tugasnya.

Akan tetapi, perkembangan fotografi ke arah yang lebih modern ini menimbulkan dampak negatif. Dampak itu adalah semakin banyaknya orang yang menjadi fotografer tanpa dibekali ilmu fotografi yang baik. Hanya dengan bekal memiliki sebuah kamera digital seseorang dapat menjadi fotografer. Hal tersebut dikarenakan begitu banyaknya kemudahan yang ditawarkan membuat fotografer menjadi cenderung menganggap remeh fotografi itu sendiri. Apabila kesalahan

(4)

terjadi dengan mudahnya hal tersebut dapat diatasi dengan segala peralatan modern yang ada. Yang penting adalah mengabadikan objek tanpa memperhatikan prinsip-prinsip fotografi yang ada. Hendaknya perkembangan fotografi yang semakin maju diiringi pula dengan pengetahuan yang memadai akan ilmu-ilmu fotografi.

2.2.1.3. Jenis Fotografi a. Fotografi Dokumentasi

Fotografi ini menceritakan jalannya suatu peristiwa atau acara melalui media fotografi. Fotografi ini tidak boleh dibuat secara sembarangan dan tidak dibuat-buat karena harus mampu merekam keadaan di sekeliling fotografer, baik keadaan manusia maupun keadaan alamnya.

b. Fotografi Human Interest

Fotografi ini merupakan fotografi dari kehidupan sehari-hari manusia yang menyampaikan sesuatu kepada pengamat foto untuk dapat merasakan sendiri apa yang dialami oleh objek fotografi. Dalam fotografi ini dibutuhkan kesigapan dan kecepatan fotografer dalam bertindak ketika melihat sebuah peristiwa yang dirasa menarik untuk diabadikan.

c. Fotografi Still life

Fotografi ini mengabadikan objek tak bergerak dan menampilkan detail dari objek tersebut. Komposisi yang baik dibutuhkan agar hasil fotografi dapat dinikmati dengan nyaman dan indah.

2.2.1.4. Peralatan Fotografi a. Kamera SLR

Kamera adalah alat paling populer dalam aktivitas fotografi. Nama ini didapat dari camera obscura, bahasa Latin untuk ruang gelap, mekanisme awal untuk memproyeksikan tampilan di mana suatu ruangan berfungsi seperti cara kerja kamera fotografi yang modern, kecuali tidak ada cara pada waktu itu untuk mencatat tampilan gambarnya selain secara manual mengikuti jejaknya. Dalam dunia fotografi, kamera merupakan suatu alat untuk membentuk dan merekam suatu bayangan potret pada lembaran film, terutama film negatif. Seiring dengan

(5)

perkembangan teknologi, kamera manual ini posisinya tergantikan oleh kamera digital, yang memungkinkan fotografi tanpa penggunaan film negatif.

Pada kamera SLR, cahaya yang masuk ke dalam kamera dibelokkan ke mata fotografer sehingga fotografer mendapatkan bayangan yang identik dengan yang akan terbentuk. Saat fotografer memencet tombol kecepatan rana, cahaya akan dibelokkan kembali ke medium (atau film). Kemudahan dari kamera SLR ini adalah lensa kamera SLR dapat diganti-ganti sesuai keinginan fotografer. Tak heran kamera ini menjadi pilihan banyak fotografer dikarenakan kemudahan yang ditawarkannya.

b. Lensa

Lensa merupakan alat vital dari kamera yang berfungsi memfokuskan cahaya hingga mampu membakar medium penangkap (atau lebih umum dikenal dengan nama film). Lensa terdiri atas beberapa lensa yang berjauhan yang bisa diatur sehingga menghasilkan ukuran tangkapan gambar dan variasi fokus yang berbeda. Sistem lensa dipasang pada lubang depan kotak, berupa sebuah lensa tunggal yang terbuat dari plastik atau kaca, atau sejumlah lensa yang tersusun dalam suatu silinder logam.

Tingkat penghalangan cahaya dinyatakan dengan angka f, atau bukaan relatifnya. Makin rendah angka f ini, makin besar bukaannya atau makin kecil tingkat penghalangannya. Bukaan ini diatur oleh jendela diafragma. Bukaan relatif diatur oleh suatu diafragma. Untuk kamera SLR, lensa dilengkapi dengan pengatur bukaan diafragma yang mengatur banyaknya cahaya yang masuk sesuai keinginan fotografer. Jenis lensa cepat ataupun lensa lambat ditentukan oleh rentang nilai f yang dapat digunakan. Disamping lensa biasa, dikenal juga lensa sudut lebar (wide lens), lensa sudut kecil (tele lens), dan lensa variabel (variable lens / zoom lens).

c. Kaki Tiga (Tripod)

Kaki tiga (tripod) adalah salah satu perlengkapan yang penting dibawa.

Alat ini dipergunakan sebagai penyangga pada kamera ketika melakukan pemotretan dalam kondisi pencahayaan redup yang menggunakan kecepatan rana rendah.

(6)

d. Memory Card

Dalam penggunaan kamera digital, memory card dipergunakan untuk menyimpan data hasil fotografi yang telah dilakukan. Setelah data fotografi terkumpul dilakukan proses pemindahan data dari memory card ke komputer, untuk selanjutnya dilanjutkan pada proses cetak.

2.2.1.5. Konsep Dan Prinsip Fotografi

Cahaya menjadi salah satu unsur yang penting dalam fotografi. Hanya saja disayangkan, banyak fotografer yang menganggap cahaya sebagai unsur yang menerangi objek serta waktu penyinaran saja. Seorang fotografer harus mengetahui ciri-ciri dari cahaya itu sendiri sebelum melakukan pemotretan.

“Dua ciri dasar yang penting dari cahaya adalah kecerahan dan warna”

(Feininger 14). Kecerahan adalah ukuran kuatnya cahaya. Kekuatan ini akan menentukan lamanya penyinaran dan mempengaruhi kesan pada gambar.

Kekuatan pada cahaya ini dibedakan menjadi dua, yaitu cahaya keras dan cahaya suram. Cahaya keras yang kaku dan tajam akan menghasilkan tampilan objek yang tak hanya lebih terang tetapi juga lebih kontras dan jenuh daripada pada penerangan cahaya suram yang cenderung remang-remang. Karena itu, dengan menentukan kekuatan cahaya, fotografer dapat mendapatkan tampilan objek sesuai dengan keinginannya.

Ciri yang kedua adalah warna cahaya. Warna adalah “gejala psiko-fisik yang dipengaruhi oleh cahaya” (Feininger 34).Hal ini mungkin tidak terlalu penting dalam fotografi hitam-putih, tetapi sangat berpengaruh pada fotografi warna terutama pada pengungkapan warna pada transparensinya. Untuk mengetahui warna cahaya yang sesuai dibutuhkan pengukur cahaya untuk menilai warna cahaya.

Komposisi dalam hasil fotografi juga menjadi faktor penting yang akan menentukan nyaman tidaknya sebuah foto dinikmati. Komposisi adalah tempat kedudukan yang ideal untuk objek utama. Untuk mengatur baik tidaknya komposisi dapat menggunakan beberapa aturan komposisi antara lain off center, balance, dan the rule of third.

(7)

a. Off Center

Off center adalah komposisi dengan mempertimbangkan meletakkan objek utama tidak di tengah atau pusat bidang gambar.

b. Balance

Balance atau kesetimbangan adalah komposisi dengan memperhatikan hubungan antara objek utama dengan elemen-elemen lain yang juga terdapat dalam bidang gambar. Elemen-elemen lain tersebut dapat berupa objek pendukung, arah pandang serta arah gerak dari objek utama.

c. The Rule Of Third

The rule of third atau hukum pertigaan adalah komposisi dengan membentuk bidang gambar menjadi sembilan bagian sama besar yang terjadi dari garis-garis maya yang saling berhubungan. Garis-garis penghubung pertigaan merupakan tempat kedudukan yang ideal bagi objek dengan bentukan memanjang. Titik-titik potong pertigaan merupakan tempat kedudukan yang ideal bagi objek yang merupakan kesatuan yang terpusat atau objek utama. Komposisi the rule of third ini merupakan komposisi yang sering dipergunakan oleh para fotografer karena disamping mudah dilakukan juga memberikan tampilan foto yang memuaskan.

Posisi pemotretan seorang fotografer juga menentukan komposisi yang dicapai dari sebuah foto. Posisi pemotretan yang standar adalah fotografer berdiri tegak sejajar dengan objek fotografi. Tampilan yang dihasilkan merupakan tampilan yang aman. Dalam fotografi terdapat dua jenis posisi pemotretan ekstrim yaitu bird’s eye view dan frog’s eye view. Mengapa dikatakan ekstrim? Karena hasil fotografi yang ditampilkan akan merubah tampilan sebenarnya dari objek.

Akan terjadi distorsi perspektif dari objek fotografi. Akan tetapi, bila posisi pemotretan ini berhasil akan menghasilkan sebuah hasil fotografi yang unik dan tidak membosankan.

a. Bird’s Eye View

Bird’s eye view adalah posisi pemotretan dilakukan di atas yang menyajikan keluasan pandang dari objek, seperti layaknya penglihatan dari seekor burung. Posisi ini seringkali digunakan untuk menonjolkan bentukan-bentukan tertentu dari objek.

(8)

b. Frog’s Eye View

Frog’s eye view adalah posisi pemotretan yang dilakukan berdekatan dengan permukaan tanah, seperti layaknya penglihatan dari seekor katak. Posisi ini jarang digunakan, kecuali bila posisi pemotretan biasa tidak memberikan hasil yang ideal.

2.2.1.6. Teknik Fotografi

Teknik fotografi dalam fotografi dokumentasi adalah teknik fotografi candid, yaitu teknik fotografi yang membutuhkan kesigapan dan kecepatan dari fotografer untuk mengabadikan sebuah peristiwa yang dirasa menarik. Selain kesigapan dan kecepatan dari fotografer, faktor lain yang mempengaruhi hasil fotografi dari teknik ini adalah faktor peruntungan. Dimana menjadi sebuah keberuntungan bagi si fotografer apabila peristiwa yang menarik terjadi di lingkungan sekitarnya.

2.2.1.7. Istilah Fotografi a. Diafragma

Diafragma adalah “bagian dari kamera yang terdapat di dalam lensa yang berfungsi mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk menuju bidang film sehingga perekaman berlangsung sempurna” (Soeprapto 18).

b. Rana

Rana adalah “bagian dari kamera yang membuka dan menutup jalan masuknya cahaya, sebelum – pada waktu – dan sesudah pengambilan foto dilakukan” (Soeprapto 19).

c. Film

Film adalah “sarana perekaman gambar pada kamera manual yang merekam hasil fotografi yang telah dilakukan” (Soeprapto 24).

d. Ruang Tajam (Depth of Field)

Ruang tajam adalah “ruang di sekeliling objek yang pada suatu pemasangan bukaan diafragma tertentu serta pemasangan jarak tertentu akan terekam tajam di bidang film dan nantinya akan tampil tajam pula sebagai sebuah foto” (Soeprapto 56).

(9)

e. Freezing

Freezing atau pembekuan gerak adalah menyajikan gambar secara jelas dan tajam dari sebuah objek yang bergerak.

f. Blurring

Blurring adalah bagian dari freezing yang “melambangkan gerakan yang berguna dengan buram tergantung pada waktunya” (Feininger 99).

g. Panning

Panning adalah bagian dari freezing yang “mengungkapkan dengan tajam objek yang bergerak” (Feininger 98).

2.2.2. Suku Dayak

Suku Dayak adalah salah satu suku yang mendiami pulau Kalimantan di Indonesia. Sebagai suku mayoritas dari pulau Kalimantan menjadikan Dayak mudah diingat akan keberadaannya. Istilah dayak secara kolektif menunjukkan orang-orang non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan. Istilah tersebut muncul pada akhir abad ke-19 pada saat pendudukan penguasa kolonial pada zaman penjajahan.

Arti dari kata ‘dayak’ masih diperdebatkan hingga saat ini. Sebagian pengarang mengartikan ‘dayak’ sebagai manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa arti kata tersebut adalah pedalaman. Menurut Coomans,

‘dayak’ adalah orang yang tinggal di hulu sungai (6). Istilah ‘dayak’ menurut orang-orang Iban adalah manusia, sedangkan orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Pendapat lain istilah ‘dayak’ menunjukkan karakteristik dari suku Dayak yang gagah, berani, dan ulet. Ada empat istilah yang diberikan kepada penduduk asli Kalimantan dalam literatur yaitu daya’, dyak, daya, dan dayak. Dimana istilah tersebut sebenarnya tidak diketahui oleh para penduduk asli. Pada akhirnya masyarakat luas mengenal mereka sebagai

‘dayak’.

Orang Dayak berasal dari daerah yang sama, yaitu Apo Kayan. Orang Dayak yang berasal dari Propinsi Yunnan di dataran utama Cina ini bermigrasi ke tengah-tengah pulau Kalimantan ini. Dari sanalah pada akhirnya kelompok- kelompok Dayak berpencar ke berbagai penjuru dan kemudian terbagi dalam

(10)

beberapa subsuku yang namanya banyak mengambil dari aspek-aspek alam dan sekitarnya. Misalnya seperti Umaq Kulit. Subsuku ini mengambil namanya dari kata ‘kulit’ karena dalam perjalanan panjang yang dilakukan, mereka membuat dinding-dinding tempat berteduh yang terbuat dari kulit pohon.

Gambar 2.1. Peta Pulau Kalimantan

(Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894, hal 186-187)

Suku Dayak terbagi menjadi sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh Kalimantan. Hingga saat ini belum dapat diidentifikasikan secara tepat mengenai suku apa saja yang menjadi bagian dari suku Dayak. Pada mulanya, semua subsuku tersebut adalah bagian dari kelompok yang sama. Akan tetapi, karena proses geografis dan demografis yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun mengakibatkan kelompok ini menjadi terpecah-pecah

Perpecahan tersebut menimbulkan beberapa perbedaan. Hanya saja persamaan asal usul, yaitu dari Propinsi Yunnan, menjadikan perbedaan yang mereka miliki tidak terlalu besar. Meskipun terdapat sejumlah perbedaan di antara suku-suku tersebut, suku Dayak mempunyai banyak kesamaan sehingga ada kemungkinan untuk mengkaji kebudayaan Dayak sebagai satu kesatuan (Ukur 27). Persamaan tersebut antara lain fakta bahwa mereka tinggal di rumah-rumah

(11)

panjang, menggunakan mandau dan sumpit, memproduksi keranjang rotan dan manik-manik, melakukan pertanian dengan sistem ladang berpindah, serta melakukan pertunjukan tari dalam ritual mereka.

Gambar 2.2. Mandau

(Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894, hal 186-187)

Pandangan masyarakat umum terhadap suku Dayak sangat bervariasi.

Kebanyakan pandangan mereka terhadap suku Dayak adalah sebuah suku yang primitif dan liar. Pandangan ini bermula dari tulisan para pelancong Eropa sejak abad ke-19. Kehidupan yang primitif tersebut oleh para pelancong Eropa diberitakan secara meluas kepada masyarakat sehingga terciptalah sebuah pandangan umum tersebut. Citra yang selama ini paling populer adalah tentang praktik perburuan kepala. Karya Bock, The Head-hunters of Borneo, yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai komunitas orang pemburu kepala.

Seiring perkembangan zaman, pandangan tersebut tidak berubah. Suku Dayak tetap dianggap sebagai suku yang primitif, walaupun pandangan mengenai pemburu kepala mulai memudar seiring jarangnya praktik ini dilakukan oleh suku Dayak itu sendiri. Walaupun suku Dayak mulai mengalami modernisasi, pandangan primitif pada masyarakat umum tersebut tidak dapat dihilangkan.

Pada awal tahun 1997, suku Dayak mengalami konflik antar etnis.

Bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Konflik ini menyebabkan jatuhnya korban di kedua belah pihak. Muncul

(12)

berbagai perkiraan resmi mengenai jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4000 orang.

Konflik antar etnis kembali terjadi pada tahun 1999. Konflik ini kembali melibatkan suku Dayak dengan suku Madura di Kalimantan Tengah. Suku Dayak bersama-sama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura. Berdasarkan laporan pada harian Manuntung tanggal 22 Maret 1999, seorang tokoh masyarakat Dayak mengatakan bahwa sebenarnya konflik tersebut pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak, sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi (Maunati 3).

Peristiwa yang telah terjadi tersebut telah menimbulkan pandangan yang negatif terhadap suku Dayak. Oleh masyarakat umum, suku Dayak dianggap sebagai suku yang brutal dan sadis. Gambar-gambar akan peristiwa yang berhasil diabadikan tersebut semakin memperkuat pandangan masyarakat tersebut. Sejak saat itu masyarakat umum mulai takut akan keberadaan suku Dayak. Apabila mendengar kata ‘dayak’, yang teringat bukanlah kebudayaan dari suku tersebut di Kalimantan melainkan peristiwa konflik antar etnis yang terjadi pada tahun 1999.

Selain itu, pandangan lain yang terus berkembang adalah pandangan suku Dayak sebagai suku yang terbelakang dan tidak berkembang sehingga jatuh dalam kondisi kemiskinan. Pandangan tersebut tidak salah karena fakta di lapangan menyatakan demikian. Yang tidak diketahui oleh masyarakat adalah mengenai latar belakang terjadinya kondisi tersebut.

Modernisasi membawa pengaruh besar terhadap suku Dayak. Di kalangan suku Dayak, mulai bermunculan orang-orang yang berpendidikan serta pemimpin-pemimpin yang tahu akan kinerja hukum dan pemerintahan.

Menghadapi pandangan negatif yang bermunculan dari masyarakat luas, kelompok orang-orang modern yang diistilahkan sebagai ‘orang Dayak baru’ ini tidak tinggal diam. Mereka berusaha untuk merekonstruksi citra Dayak sebagai kelompok yang modern. ‘orang Dayak baru’ ini mulai menempati jabatan-jabatan

(13)

dalam pemerintahan agar aspirasi mereka yang berusaha memperjuangkan kemajuan suku Dayak didengarkan oleh pemerintah.

Salah satu cara yang dipergunakan untuk mengurangi keterbelakangan masyarakat Dayak adalah dengan didirikannya organisasi Dayak. Tujuan utama didirikan organisasi ini adalah membantu komunitas Dayak untuk menjadi lebih modern agar masyarakat Dayak dapat berpartisipasi dalam proses-proses modernisasi. Organisasi ini terdiri dari dua belas subsuku yaitu Tunjung, Kenyah, Punan, Bahau Sa, Bahau Busang, Benuaq, Bentian, Kayan, Lundayeh, Modang, Krayan, dan Penihing. Organisasi ini didirikan pada Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Dayak pada tahun 1993 dan berpusat di Samarinda. Tiap subsuku memiliki wakil tersendiri yang akan berkumpul bersama-sama dalam sebuah rapat.

Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi ini telah membuahkan hasil, salah satunya dalam hal menangani masalah marjinalisasi ekonomi. Selama ini, sumber daya alam yang ditemukan oleh suku Dayak dikuasai oleh perusahaan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah setempat. Misalnya seperti industri sarang burung walet dan tambang emas tradisional. Sebagai suku yang menemukan sumber daya alam tersebut, suku Dayak tidak diberi kesempatan untuk mencari nafkah dari sektor tersebut semenjak perekonomian tersebut dikuasai oleh pemerintah. Hal inilah yang mendorong suku Dayak jatuh dalam kondisi kemiskinan. Berkat kinerja dari organisasi ini ditemukan sebuah solusi yang dapat memecahkan masalah tersebut. Masalah lain yang ditangani organisasi ini adalah masalah pendidikan dan politik.

Hingga saat ini, upaya modernisasi terus dilakukan oleh ‘orang Dayak baru’. Mereka mempresentasikan diri sebagai kelompok yang modern tetapi secara kultural tetap Dayak. Upaya modernisasi mereka lebih banyak mempresentasikan orang-orang Dayak pedesaan sebagai yang terbelakang dan membutuhkan modernisasi. Mereka kecewa dengan pandangan masyarakat luas yang menyatakan suku Dayak sebagai suku yang terbelakang, padahal suku Dayak kaya akan budaya. Dari itulah muncul keinginan untuk memajukan Dayak ke arah modernisasi.

(14)

Permasalahan tidak berakhir sampai disitu. Dampak modernisasi adalah memudarnya nilai-nilai tradisi atau kebudayaan yang ada. Sedangkan pembelaan mereka terhadap pandangan masyarakat luas adalah suku Dayak kaya akan kebudayaan. Bukankah dengan modernisasi justru akan mematikan kebudayaan Dayak itu sendiri? Penegasan dilakukan oleh ‘orang Dayak baru’ akan hal ini bahwa modernitas dapat berjalan beriringan dengan kebudayaan Dayak dan bahwa modernitas tidak perlu menghilangkan kebudayaan itu. Kebenaran akan penegasan tersebut akan terbukti dari fakta yang berkembang di lapangan selanjutnya.

2.2.2.1. Simbol Identitas a. Rumah Adat

Rumah adat suku Dayak adalah rumah panjang atau di daerah Kalimantan Timur sering disebut sebagai rumah lamin. Rumah panjang memiliki bentukan memanjang dengan jarak atap yang cukup tinggi dari lantai. Bagian atapnya terbuat dari pohon sagu sementara sisanya dibuat dari papan-papan kayu keras.

Lantai rumah tidak menempel langsung dengan tanah melainkan disangga oleh kayu penyangga setinggi kurang lebih lima belas kaki di atas permukaan tanah sehingga tercipta sebuah ruang lapang antara tanah dengan lantai rumah.

Gambar 2.3. Rumah Panjang

(Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894, hal 186-187)

(15)

Bangunan yang tinggi tersebut dimaksudkan untuk menghindari serangan dari binatang buas dan para pemburu kepala. Pada zaman dahulu, semua suku Dayak tinggal di pedalaman yang memiliki tingkat keamanan yang rendah terhadap segala jenis serangan. Selain itu, bangunan yang memanjang hingga ke belakang bertujuan untuk memudahkan hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lain karena dahulu mereka banyak hidup di pinggir sungai. Sulitnya transportasi sungai yang menggunakan perahu atau sampan membuat mereka berpikir praktis untuk mengumpulkan semua warga dalam sebuah rumah.

Rumah dengan panjang sekitar dua ratus yard tersebut dapat dihuni oleh sekitar dua ratus lima puluh orang (Geddes 28). Apabila terjadi perselisihan, tinggal di rumah panjang memungkinkan orang untuk mendapatkan penengah karena beberapa tetua dan pihak yang bersengketa akan menyelesaikan konflik- konflik tersebut bersama-sama secara kekeluargaan. Selain itu, rumah panjang juga memudahkan pelaksanaan aktivitas keagamaan seperti upacara dan ritual- ritual lainnya.

Alasan lain pembangunan rumah panjang adalah dari segi ekonomi.

Pembangunan rumah panjang lebih ekonomis kerena hanya membutuhkan lebih sedikit kayu yang digergaji di hutan. Bentukan-bentukan memanjang tidak membutuhkan pemotongan kayu dalam jumlah banyak.

Dewasa ini, sistem rumah panjang mulai ditinggalkan. Kebanyakan dari mereka telah memiliki rumah pribadi. Dalam sebuah desa biasanya mereka memiliki sebuah rumah panjang untuk tempat pelaksanaan rapat atau menggelar pertunjukan kesenian. Pelestarian penggunaan rumah panjang tersebut dimaksudkan agar mempertahankan keaslian dari suku Dayak dalam kaitannya dengan kepentingan pariwisata.

b. Kekerabatan

Sistem kekerabatan dari suku Dayak adalah bilateral, dengan penekanan yang relatif seimbang pada garis ibu (matrilineal) dan garis ayah (patrilineal).

Terdapat relevansi antara sistem rumah panjang dengan sistem kekerabatan yang didasarkan pada bilek atau bilik. Keberlangsungan bilek sebagai bagian dari rumah panjang dari waktu ke waktu menjadi bukti bahwa sebuah keluarga tumbuh

(16)

dan berkembang mengungguli keluarga lainnya bila mereka tinggal dalam satu gugus yang utuh (Freeman 66). Beragam kegiatan keluarga dilakukan secara berkelompok. Meskipun banyak keluarga bilek di rumah panjang yang saling berhubungan, jarang ditemukan hubungan yang sempurna di antara semua anggota keluarga (Freeman 76).

Dalam sistem perkawinan, di antara sesama bangsawan, perkawinan saudara sepupu diperbolehkan, meskipun tidak dianjurkan dan dapat dikenai denda. Hal ini dikarenakan suku Dayak menyukai perkawinan dalam satu golongan (class endogamy) dalam rangka mempertahankan strata sosial kesukuannya di seluruh wilayah yang bersangkutan serta mengungguli afiliasi- afiliasi kesukuan lainnya. Perkawinan saudara sepupu tidak diperbolehkan bagi rakyat biasa (Whittier 113), sedangkan perkawinan dengan sepupu-sepupu selain saudara sepupu utama diizinkan bagi semua kelas. Bila anak-anak pernah tinggal dalam rumah panjang yang sama, dengan mengabaikan ada atau tidaknya pertalian darah, mereka akan dianggap sebagai ‘saudara kandung’ dan mereka tidak boleh kawin (Whittier 114).

Perkawinan dalam satu keturunan ini disukai oleh suku Dayak. Demikian pula dengan perkawinan di antara individu-individu yang tidak bertalian kerabat.

Dengan syarat yang bersangkutan bukan keturunan orang jahat dan bukan keturunan budak.

Menentukan tempat tinggal setelah perkawinan menggunakan sistem ambilokal yang berarti bisa di keluarga istri, bisa juga di keluarga suami. Sebelum melangsungkan perkawinan, orang tua akan menentukan rumah tinggal bagi pasangan baru yang bersangkutan dan mereka boleh memilih apakah akan tinggal di rumah istri (matrilokal) atau tinggal di rumah suami (patrilokal).

c. Organisasi Sosial dan Politik

Dalam hal organisasi sosial dan politik, suku Dayak memiliki sistem desa- desa, kepala-kepala suku, dewa, pejabat rendahan, dan tetua-tetua rumah panjang sebagai segi organisasi politik. Desa adalah unit dasar organisasi sosial dan politik dimana di dalamnya terdapat kepala suku. Penduduk setempat memberikan hadiah-hadiah kepada kepala suku dan bergabung untuk membentuk persekutuan menghadapi musuh.

(17)

Kepala suku bertanggungjawab akan keharmonisan sukunya serta bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kepala suku memiliki kekuasaan di atas tetua-tetua rumah panjang. Kepala suku menjadi wakil dalam rakyatnya ketika berurusan dengan pemerintahan atau dalam urusan-urusan antar desa (Conley 166). Kepala suku juga bertindak sebagai hakim dengan kekuasaan menetapkan denda bagi para pelaku kejahatan. Denda yang dijatuhkan berupa benda-benda seperti gong, pedang, dan tombak.

Dalam menjalankan tugasnya, kepala suku memiliki seorang pembantu, yaitu seorang pemimpin senior yang merupakan anggota dewan desa. Tugas dari pemimpin senior ini adalah menggantikan tugas kepala suku apabila berhalangan atau tidak berada di tempat dan kerap bertanggungjawab menangani persoalan keagamaan.

Kepala suku dipilih secara turun-temurun (primogenitur). Seorang kepala suku memegang jabatannya sampai dia meninggal dan dapat mengundurkan diri dengan berbagai alasan seperti alasan kesehatan. Pengunduran diri tersebut akan digantikan oleh putera tertuanya, dengan persetujuan penduduk desa. Bila Persetujuan tidak didapat, maka adik laki-lakinya akan mengambil alih jabatan.

Bila tidak ada putera yang memenuhi syarat, maka para tetua harus memilih dan menyetujui satu orang kandidat lain dari sebuah keluarga bangsawan. Dalam pemilihan kepala suku, jarang terjadi friksi karena tidak ada persaingan dalam memilih kepala suku (Conley 166).

Pejabat rendahan terdiri dari orang-orang biasa yang disebut sebagai pegawa. Mereka menghadiri pertemuan-pertemuan dan mengumumkan keputusan-keputusan kepala suku dan para tetua kepada seluruh penduduk desa.

Kelompok ini diangkat setahun sekali dan tiap anggotanya dianugerahi sebuah pedang, sebuah kapak, dan seutas rantai. Dewan tetua desa terdiri dari para kepala rumah panjang ditambah bangsawan-bangsawan yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan penasihat. Tugas dari dewan ini adalah mengontrol kepala suku.

Kepala rumah panjang merupakan tokoh penting dalam organisasi politik.

Dipilih berdasarkan kesepakatan penduduk dengan kepala desa, kepala rumah panjang bertanggungjawab akan kesejahteraan penghuni rumah panjang, dalam hal ini harus mampu memberi nasihat dan menyelesaikan pertengkaran yang

(18)

terjadi. Ia berhak meminta bantuan tenaga para penghuni rumah panjang dan menerima pemberian upeti berupa beras. Kepala rumah panjang dapat diganti bila para penghuni rumah panjang mengeluhkan hal tersebut kepada kepala suku.

d. Agama

Di masa lalu, hampir semua orang Dayak adalah orang-orang yang mempraktikkan animisme. Animisme di Kalimantan pada umumnya bercirikan kepercayaan supernatural, ritual-ritual, dan praktisi supernatural yaitu dukun yang disebut dayong. Dayong bisa laki-laki atau perempuan yang mendapatkan status mereka setelah melalui masa magang. Para dukun ini harus mengalami kerasukan dahulu agar dapat menyampaikan ‘bahasa roh’. Kepercayaan animisme ini percaya akan adanya tiga roh (bali), yaitu roh baik, roh jahat, dan roh yang tidak dapat diduga.

Gambar 2.4. Usun, Dayong Utama Di Tanjung Karang; Mendalam (Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894,

hal 186-187)

Kepercayaan animisme melaksanakan upacara keagamaan guna menjamin keberlangsungan hidup mereka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Upacara tersebut seperti upacara mamat (pesta perburuan kepala), menyambut kelahiran, pemberian nama, mendirikan rumah panjang, kematian dan penguburan, dan upacara sebelum melakukan perjalanan jauh. Upacara kunci dalam kepercayaan animisme konon adalah ritual perburuan kepala, sehingga citra tentang Dayak sering dikaitkan dengan ritual ini.

(19)

Pada tahun 1960-an terjadi Kristenisasi massal dan suku Dayak termasuk suku yang terkena imbas dari penyebaran agama ini. Sejak Perang Dunia II, agama Kristen sudah menyebar dengan cepat di kalangan suku Dayak, terutama suku Dayak Kenyah dan Kayan di Serawak. Di Indonesia, penyebaran agama Kristen pada suku Dayak ini mula-mula terjadi pada masa penjajahan Belanda sejak sekitar tahun 1935. Agama Kristen dipakai sebagai ciri yang menentukan orang Dayak pada saat ini. Orang Dayak yang masuk Kristen tetap diakui sebagai orang Dayak, sedangkan mereka yang menjadi muslim tidak lagi dianggap sebagai orang Dayak. Afiliasi agama adalah bagian yang sangat penting dalam identitas Dayak, tetapi afiliasi tersebut tidak dapat membedakan Dayak dari non- Dayak.

Agama Kristen telah melemahkan agama asli di tahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Sejak penyebaran agama Kristen ini terjadi penghapusan praktik perburuan kepala di hampir seluruh wilayah Dayak (Lebar 171). Akan tetapi, kebiasaan yang telah turun-temurun tersebut tidak hilang begitu saja. Sekali waktu orang-orang Dayak melakukan upacara kematian atas nama orang tua dan kakek mereka dengan mengubah unsur-unsur tertentu seperti mengganti darah dengan air dalam upacara penyucian.

e. Ekonomi

Dahulu suku Dayak seringkali dikaitkan dengan kegiatan perekonomian berburu. Seiring perkembangan zaman, perekonomian suku Dayak yang utama berubah menjadi perladangan berpindah-pindah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Penanaman tersebut idealnya dilakukan di lereng-lereng bukit berhutan lebat. Setiap keluarga memiliki tanah sendiri-sendiri dan berhak menggunakan tanah tersebut. Ladang yang mereka buat berdekatan satu sama lain dengan keluarga lainnya. Batasan ladang ditandai dengan pohon-pohon besar yang sengaja ditebang untuk menandai batas-batasnya.

Kegiatan mempersiapkan sebuah ladang adalah suatu pekerjaan yang keras dan berbahaya. Tetapi pada saat menanam benih padi mereka anggap sebagai

‘sebuah acara gala’, dimana laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian- pakaian terbaik mereka dan topi tradisional berwarna-warni (Conley 219).

Selanjutnya, laki-laki membuat lubang-lubang sedalam sekitar satu setengah inci

(20)

yang diikuti oleh para perempuannya yang mengikuti para lelaki sembari membawa keranjang-keranjang kecil berisi benih padi dan kemudian menjatuhkan tiga hingga empat benih ke dalam setiap lubangnya (Conley 220).

Semenjak pemerintah bermaksud menghapuskan metode perladangan berpindah pada awal tahun 1970-an, ketergantungan masyarakay Dayak terhadap perladangan berpindah menjadi berkurang. Perdagangan kemudian dijadikan kegiatan alternatif. Pemuda-pemuda Dayak secara teratur pergi ke hutan untuk mencari kayu gaharu dan kemudian menjualnya kepada pedagang-pedagang Cina.

Tak hanya sebatas perdagangan kayu saja, barang-barang kerajinan Dayak juga turut diperdagangkan hingga ke Malaysia. Selain itu, tidak sedikit pula orang- orang Dayak dalam kelompok usia muda dan paruh baya bekerja di perusahaan- perusahaan penebangan dan penggergajian kayu di Kalimantan atau di luar negeri.

f. Kebudayaan

Suku Dayak memiliki kekayaan kebudayaan yang unik dan menarik. Dari segi berpakaian, suku Dayak memiliki prinsip untuk menggunakan pakaian sesedikit mungkin. Pakaian hanya berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sengatan terik matahari. Maka dari itu mereka melakukan penambahan pakaian bila sedang berladang atau bepergian.

Perkembangan pakaian berjalan seiring dengan kesadaran akan rasa malu.

Anak-anak kecil suku Dayak sudah mulai diperkenalkan pakaian untuk menutupi tubuh mereka. Pakaian dibuat dari katun buatan Eropa yang dibawa oleh saudagar Melayu atau Cina. Bahan lainnya adalah kulit pohon yang dipukul tipis dan hancur. Dahulu, kain untuk membuat pakaian ditenun oleh kaum wanita. Tetapi sejak adanya produk-produk impor dari Eropa yang murah, mereka tidak mengerjakan sendiri kain tenunan yang sulit dibuat.

Pakaian kaum lelaki yang paling sederhana. Pakaian keseharian mereka adalah cawat yang dipakai di sekeliling pinggang. Cawat tersebut terbuat dari kain yang panjangnya bisa mencapai 12 meter. Kain yang begitu panjang itu penggunaannya hanya sekali tarik di antara kaki dan sisanya diputar melingkari pinggang. Kain katun berwarna putih, biru, dan merah digemari untuk dijadikan cawat, tetapi untuk bekerja di ladang mereka menggunakan bahan kulit pohon yang lebih kuat.

(21)

Pada saat pesta mereka menggunakan jas dari katun. Pakaian perang seorang lelaki adalah jas tebal tanpa lengan yang terdiri atas dua lapis katun, yang diisi oleh kapuk dan dan ditekan dalam bentuk-bentuk bujursangkar. Baju perang ada juga yang terbuat dari kulit binatang. Kulit binatang yang digemari adalah kulit harimau, tetapi karena mahal dan langka sering digunakan kulit kambing berbulu panjang sebagai bahan pengganti. Baju perang tersebut dilengkapi dengan topi perang dari rotan yang diberi hiasan manik-manik dan pada ujung atasnya diberi bulu burung yang panjang. Bulu burung yang digemari adalah bulu ekor dari dua jenis bulu burung Enggang (Buceros rhinoceros), burung Ruwai (Argus pheasant), dan ayam jantan. Bulu ekor burung Enggang dengan garis hitam lebar hanya boleh dipakai oleh pejuang yang telah memperlihatkan keberaniannya.

Ikat kepala atau lawong dipakai pada saat santai, tetapi kepala suku memakainya setiap saat untuk menjaga kewibawaan mereka. Topi dipakai untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari atau hujan lebat. Topi ini memiliki bentuk yang sama seperti topi wanita, tetapi terkadang mempunyai garis lintang lebih dari 50 centimeter.

Kaum pria juga memakai perhiasan. Perhiasan tersebut antara lain gelang di bawah lutut dan di atas siku, kalung leher (tewesing), dan anting-anting (hisang). Cincin tangan dan kaki dianyam sendiri dari rotan yang sangat tipis dan kebalan (seutas serat inti berwarna cokelat tua atau hitam dari batang tumbuh- tumbuhan yang menjalar di pegunungan, yang menyerupai paku). Serat tanaman berwarna kuning emas kadang-kadang dipakai untuk memperindah cincin-cincin tersebut. Satu orang bisa memakai sekitar dua ratus buah cincin sekaligus (Nieuwenhuis 46).

Kaum wanita menggunakan sepotong kain berukuran bujursangkar bernama taa yang diikatkan pada sudut atas dengan pita di sekeliling pinggang.

Pada saat berladang, mereka menggunakan kutang dengan atau tanpa lengan (basong) untuk melindungi diri dari terik matahari. Untuk wanita yang berprofesi sebagai dayung, kain panjang yang indah selebar sekitar satu setengah meter dipergunakan sebagai penutup bagian atas tubuh.

Pakaian pesta kaum wanita tidak terlalu menonjol dikarenakan mahalnya bahan. Mereka hanya menggunakan kain katun sederhana. Seringkali mereka

(22)

memasang guntingan-guntingan gambar-gambar indah pada taa dan basong serta menyulamnya dengan katun warna-warni agar memperoleh efek yang khusus dan menarik. Perhiasan yang dipergunakan oleh kaum wanita sama dengan yang dipergunakan oleh kaum lelaki.

Kaum wanita memperhatikan perawatan tubuh, khususnya bulu-bulu di wajah mereka. Hal ini dikarenakan gambaran akan roh-roh jahat adalah sosok yang berbulu lebat di sekujur tubuhnya. Hal inilah yang mendorong mereka untuk menghilangkan bulu-bulu atau rambut mereka yang dianggap tidak penting. Baik alis maupun bulu mata dicabut dengan hati-hati dengan menggunakan jepitan kecil (tsup). Bulu-bulu lain atau rambut dicukur dengan menggunakan pisau biasa, tanpa menggunakan air atau sabun. Rambut panjang sangat dihargai oleh kaum wanita. Mereka menyisir rambut mereka dengan sisir bambu dan bila mereka mendapat minyak kelapa, mereka akan menggosokkannya pada rambut.

Seni cacah adalah seni menghias tubuh (Nieuwenhuis 106). Kebudayaan ini yang membuat suku Dayak terkenal. Gambar-gambar yang dibuat pada tubuh mereka merupakan suatu laporan tentang perjalanan-perjalanan yang telah mereka alami. Usia pubertas merupakan masa untuk dihiasi dengan gambar-gambar cacah.

Gambar 2.5. Cacah Di Tubuh Seorang Lelaki Suku Dayak

(Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894, hal 186-187)

(23)

Terdapat dua cara pancacahan. Yang pertama adalah gambar mula-mula dibuat pada model kayu yang kemudian ditekan pada kulit, lalu arang damar ditusukkan ke dalam badan pada garis-garis yang ditinggalkan model. Yang kedua adalah pengerjaan dengan menggambar langsung pada tubuh tanpa menggunakan model.

Pekerjaan cacah dilakukan oleh kaum wanita sebagai suatu usaha, yang biasanya dilakukan secara turun temurun dalam keluarga. Sebagai syarat, para pekerja cacah harus memberi persembahan kepada roh-roh yang dianggap melindungi mereka, melalui para dayung. Selain itu, para pekerja cacah pantang makan berbagai macam ikan dan daun-daun yang dapat dimakan. Bila mereka melanggar hal ini, garis-garis yang dibuat tidak akan menjadi hitam. Pencacahan memiliki waktu pengerjaan yang harus dipatuhi. Pada saat waktu panen atau kalau ada orang mati di rumah di atas tanah, pencacahan harus ditangguhkan.

Suatu ciri umum dari suku Dayak adalah keinginan untuk menghiasi benda-benda di sekitar mereka. Motif-motif itu diambil dari lingkungan mereka seperti bentuk-bentuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan yang dipergunakan adalah yang mengesankan mereka. Masa berpacaran merupakan masa dimana kaum lelaki dan kaum wanita memperlihatkan kemahiran mereka dalam menghias benda-benda untuk dijadikan hadiah yang akan saling ditukarkan.

Benda-benda yang diukir seperti tabung bambu (telu kalong), penggantung pakaian (lawe kalong), papan perangkai bagi kulit pohon, pisau raut berukir (nyu), kayuh (bese), dan gambar-gambar indah yang dipotong dari katun untuk pakaian wanita merupakan benda-benda yang menjadi bahan latihan bagi kaum lelaki.

Sedangkan kaum wanita membuat sulaman dan karangan manik bagi pacar-pacar mereka (Nieuwenhuis 263).

2.2.3. Desa Pampang

2.2.3.1. Sejarah Dan Latar Belakang

Keberadaan desa Pampang merupakan salah satu bagian dari migrasi lokal yang dilakukan oleh suku Dayak Kenyah. Kedatangan Suku Dayak Kenyah pertama kali diperkirakan pada tahun 1973. Kelompok pertama yang berjumlah 5

(24)

KK ini berasal dari Long Liis, Apo Kayan. Mereka bermigrasi dengan berjalan kaki menelusuri sungai Mahakam.

Kedatangan selanjutnya disusul oleh kelompok lainnya dari daerah yang sama. Kedatangan dalam jumlah agak besar terjadi pada tahun 1982. Sebagian ada yang langsung dari Apo Kayan dan ada juga yang melalui daerah Datah Bilang, Kutai (Arbain 47). Setelah itu, barulah suku Dayak lain mulai berdatangan dan mereka berbaur dengan suku Dayak Kenyah yang merupakan pendiri awal desa Pampang.

Salah satu alasan spesifik pindah ke desa Pampang adalah agar lebih dekat dengan berbagai fasilitas seperti kesehatan dan perdagangan. Dengan lebih dekat dengan kota, mereka dapat lebih mudah memasarkan hasil pertanian mereka serta mudah dalam mendapatkan garam dan gula.

Keberadaan desa Pampang tersebut kemudian memberikan inspirasi kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur untuk mengembangkannya menjadi kawasan wisata. Pada tanggal 14 Juni 1991, desa Pampang diresmikan menjadi kawasan wisata budaya oleh Gubernur Tingkat I Kalimantan Timur, Alm. HM.

Ardans, SH. Sejak saat itu desa Pampang menjadi ramai dikunjungi oleh wisatawan yang ingin mengetahui kebudayaan suku Dayak.

2.2.3.2. Karakteristik Geografis

Desa Pampang terletak kurang lebih 27 Km dari pusat kota Samarinda.

Jalan menuju desa tersebut berada dalam lintasan ateri primer yang menghubungkan antara kota Samarinda dengan kota Bontang. Pintu masuk menuju desa Pampang sendiri berupa gerbang berukiran dayak, yang memudahkan para wisatawan mengetahui keberadaan desa tersebut.

Jalan masuk menuju desa Pampang cukup sempit dan dalam kondisi yang kurang terawat. Jalan tersebut di kelilingi oleh hutan-hutan dan bukit-bukit dengan pemandangan yang indah. Sebelum memasuki desa Pampang, terdapat sebuah desa milik orang non-Dayak yaitu suku Bugis.

Desa pampang memiliki luas lebih kurang 500 Hektar. Lahan yang cukup besar tersebut termasuk dalam daerah preservasi air yang dijaga kelestariannya untuk mengurangi bahaya banjir yang dapat mengancam kota Samarinda. Hal

(25)

tersebut dilakukan karena kota Samarinda pernah dilanda banjir besar pada tahun 1998 dan desa Pampang juga terkena dampaknya. Lahan di desa Pampang masih berupa kawasan hutan lindung, semak-semak, lahan pertanian, perkebunan, serta pemukiman.

Gambar 2.6. Peta Kota Samarinda

(Ekoturisme Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan: Studi Atas Kawasan Pampang, Samarinda, Kalimatan Timur, hal lampiran)

Salah satu penanda identitas dari suku Dayak adalah keberadaan rumah panjang. Akan tetapi, di desa Pampang hal tersebut jarang ditemui. Kebanyakan rumah-rumah disana tidak berbeda dengan rumah orang lain, bahkan mirip dengan rumah di desa orang non-Dayak yang terletak di depan desa Pampang.

Rumah-rumah tersebut berbentuk rumah panggung dengan tinggi lebih kurang dua Meter. Yang membedakannya hanya hiasan-hiasan yang berupa ornamen dayak.

Di tengah-tengah desa tersebut terdapat sebuah rumah lamin yang dipergunakan sebagai tempat pertunjukan seni dan kebudayaan dari suku Dayak.

Di bagian samping lamin, para penduduk desa menggelar dagangan mereka seperti kerajinan tangan atau tanaman hasil kebun dan ladang. Atraksi tarian dilaksanakan pada hari Minggu pukul 14.00 Wita. Apabila ada tamu yang ingin melihat atraksi tarian di hari lain dapat menyewa paket atraksi tarian, tentunya dengan harga yang berbeda dari biasanya. Adapun paket atraksi tarian yang ditampilkan antara lain adalah:

(26)

a. Tari Nyelama Sakai

Sebuah tarian penyambutan tamu. Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari muda wanita dalam jumlah yang cukup banyak.

b. Tari Ajai

Sebuah tarian perang. Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari pria dari segala umur. Tarian ini diwarnai pula dengan aksi teriakan dari para penari yang menggambarkan semangat dalam sebuah perjuangan.

c. Tari Kanjet Pemung Tawai

Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari wanita dewasa. Gerakan yang lembut dan halus serta keseragaman gerakan menunjukkan arti dari kata pemung tawai itu sendiri yaitu satu hati, satu tujuan.

d. Tari Kanjet Temengang Madang

Sebuah tarian yang menggambarkan seekor burung Enggang yang terbang ke angkasa. Burung Enggang merupakan lambang perdamaian dan kemerdekaan dari suku Dayak dimana sebelum negara Indonesia merdeka, suku Dayak sudah terlebih dahulu merdeka yang dilambangkan dengan burung Enggang tersebut.

Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari wanita remaja yang gerakannya membentuk sebuah lingkaran dan penari yang berperan sebagai burung Enggang menari di tengah-tengah lingkaran tersebut.

e. Tari Kanjet Manyam Tali

Tarian persatuan ini dibawakan oleh sekelompok penari wanita remaja.

Tarian ini menggunakan alat bantu berupa delapan buah selendang kain yang berbeda warna. Selendang kain tersebut terikat pada sebuah patung burung Enggang dan terletak di tengah-tengah tempat pertunjukan tari. Masing-masing penari memegang satu selendang kain dan kemudian mereka melakukan gerakan berjalan beriringan sehingga selendang kain akan membentuk sebuah anyaman.

Selendang kain tersebut melambangkan suku Dayak yang beraneka ragam tetapi tetap bersatu dalam hubungan kekeluargaan. Tarian ini merupakan tarian yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Tarian ini merupakan tarian yang paling digemari oleh pengunjung.

(27)

f. Tari Kanjet Udoq Aban

Tarian topeng yang menggambarkan orang-orangan sawah di ladang.

Tarian dibawakan oleh sekelompok penari wanita dewasa, terutama yang memiliki daun telinga panjang. Akan tetapi, dikarenakan jumlah wanita yang berdaun telinga panjang sudah berkurang, maka daun telinga panjang tersebut digantikan oleh aksesori yang menyerupai bentukan daun telinga panjang seperti karet atau tali.

g. Tari Perpisahan

Tarian perpisahan dengan para tamu yang hadir. Semua penari kembali muncul dan mengajak tamu utuk menari bersama mereka.

Tempat penjualan cinderamata yang cukup besar dan lengkap bernama Rina Gallery berada tepat di samping rumah lamin. Kerajinan yang dijual di Rina Gallery merupakan buatan penduduk desa Pampang. Cinderamata dapat juga ditemui di setiap rumah di desa Pampang karena hampir setiap rumah membuat kerajinan untuk diperjualbelikan.

Anjing adalah hewan yang paling banyak ditemui di desa Pampang.

Menurut suku Dayak, anjing adalah hewan pengawal. Dahulu hewan ini sering diajak untuk menemani orang Dayak ketika berburu ke hutan. Karena hutan di desa Pampang semakin sedikit, maka fungsi anjing menjadi berkurang karena orang Dayak jarang pergi berburu. Anjing-anjing tersebut kini beralih fungsi sebagai penjaga rumah dari pemilik. Tak jarang anjing tersebut turut dibawa ketika pergi ke ladang.

2.2.3.3. Karakteristik Demografis

Desa Pampang terdiri dari tiga Rukun Tetangga yaitu RT 03, RT 15, an RT 16. Jumlah penduduk yang bertempat tinggal di desa Pampang hingga tahun 2001 tercatat sebanyak 569 jiwa atau 122 KK yang terdiri dari 259 laki-laki dan 210 wanita. Sampai dengan tahun 2007 tidak terjadi perubahan yang signifikan.

Jumlah penduduk tersebut hanya meningkat sekitar 5 persen dari data pada tahun 2001 tersebut. Mayoritas suku Dayak yang menghuni desa Pampang adalah suku Dayak Kenyah. Selain itu terdapat pula suku Dayak Tunjung, Bahau, dan Benuaq.

Hanya saja dalam jumlah yang tidak banyak. Ketiga suku tersebut akhirnya

(28)

berbaur dengan suku Kenyah sehingga sulit untuk dibedakan lagi. Yang membedakan mereka hanyalah bahasa yang dipergunakan. Untuk saling berkomunikasi antara suku Dayak yang satu dengan yang lain, mereka mempergunakan bahasa Indonesia.

Gambar 2.7. Peta Desa Pampang

(Ekoturisme Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan: Studi Atas Kawasan Pampang, Samarinda, Kalimatan Timur, hal lampiran)

Mayoritas mata pencaharian dari penduduk desa Pampang adalah petani ladang. Hal tersebut terlihat dari lahan ladang yang mengelilingi desa tersebut.

Ladang yang mereka miliki pada umumnya terletak sangat jauh dari rumah mereka. Perjalanan menuju ladang dilalui dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda. Jauhnya jarak membuat mereka memutuskan untuk menginap di gubuk yang dibangun di dekat lahan mereka. Selain untuk beristirahat, tujuan mereka menginap adalah untuk menjaga keamanan ladang mereka.

Selain itu, mata pencaharian pengrajin juga banyak ditemui. Profesi ini banyak dilakukan oleh wanita. Para wanita yang kebanyakan ibu rumah tangga ini menjaga rumah sambil membuat kerajinan. Keterampilan ini telah mereka kuasai sejak kecil. Sejak kecil mereka telah diajari oleh orang tua mereka bagaimana cara membuat barang kerajinan. Pekerjaan ini membutuhkan keahlian khusus serta ketelitian yang tinggi. Tak heran barang-barang hasil kerajinan tangan suku Dayak memiliki nilai jual yang tinggi dikarenakan proses pembuatan yang rumit dan lama.

Di desa Pampang terdapat lembaga adat yang dipimpin oleh kepala adat suku. Kepala adat suku membawahi ketua-ketua organisasi lainnya. Apabila

(29)

terdapat hal yang perlu dimusyawarahkan, mereka berkumpul di rumah lamin pada malam hari, ketika semua anggota telah menyelesaikan pekerjaannya.

Lembaga adat ini sangat dihormati oleh masyarakat Dayak karena segala keputusan yang dihasilkan bertujuan untuk mengatasi permasalahan suku Dayak di desa Pampang.

Tingkat pendidikan masyarakat di desa pampang cukup rendah. Orang dewasa di desa ini umumnya berpendidikan hanya tamat Sekolah Rakyat (SR) dan bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan. Dalam perkembangannya saat ini, desa pampang telah memiliki bangunan sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sekolah Dasar (SD) terletak di perkampungan Bugis sehingga anak-anak Dayak berbaur dengan anak-anak suku Bugis. Di desa ini terdapat sebuah puskesmas pembantu untuk mengatasi masalah kesehatan penduduk desa ini. Akan tetapi, masalah akan kebutuhan akan air bersih masih belum dapat teratasi dengan baik. Penduduk desa ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan air bersih. Air yang mereka dapatkan berasal dari sumur atau sungai yang mengalir di belakang rumah mereka. Apabila musim kemarau tiba, penduduk desa akan mencari air di kota Samarinda.

Keberadaan dukun atau dayong sudah tidak ditemui lagi di desa ini akibat era Kristenisasi yang membuat suku Dayak mengenal agama. Di desa ini terdapat dua buah Gereja yaitu Gereja Kemah Injil Indonesia untuk penganut Kristen Protestan dan Gereja Khatolik Santo Gabril Pampang untuk penganut Kristen Katholik. Terdapat kebiasaan unik sebelum kebaktian pukul 09.00 Wita di Gereja Kemah Injil Indonesia dimulai. Satu jam sebelum kebaktian dimulai, kentongan besar yang berada di depan Gereja dibunyikan dengan maksud agar warga bersiap. Setengah jam kemudian kentongan dibunyikan kembali dengan maksud agar warga segera berangkat menuju Gereja. Dan yang terakhir pada pukul 09.00 Wita kentongan kembali dibunyikan yang berarti kebaktian akan dimulai. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan penduduk tidak mempergunakan jam di rumah mereka. Akan tetapi, kebiasaan unik tersebut tidak terlihat pada Gereja Katholik.

Agama Kristen menjadi agama mayoritas penduduk desa Pampang. Hal tersebut dikarenakan agama Kristen dijadikan ciri penanda orang Dayak di Kalimantan. Seseorang yang bukan kristen dianggap bukan dayak. Di dalam desa

(30)

Pampang terdapat sebuah gereja. Gereja tersebut memiliki tanda salib dengan hiasan ukiran dayak. Meskipun telah memeluk agama Kristen, warisan budaya yang berupa pelaksanaan upacara tradisional tetap dilakukan. Upacara adat yang sering dilakukan di desa Pampang antara lain adalah upacara membangun rumah, upacara adat kematian (kwangkai), upacara pengusiran roh jahat (belontang), serta pesta adat untuk memulai musim tanam dan untuk panen (pelas taon). Upacara tersebut melibatkan seluruh anggota masyarakat dengan tujuan untuk memberikan keakraban dan rasa kebersamaan dalam masyarakat.

‘Pemung Tawai’ merupakan salah satu pedoman hidup yang mereka pegang dalam keseharian mereka. Arti dari kata itu adalah ‘satu hati, satu tujuan’.

Pedoman tersebut menggambarkan semangat kerukunan, kebersamaan, serta gotong royong dalam kehidupan suku Dayak. Apapun yang mereka lakukan dilakukan secara bersama-sama dan untuk tujuan bersama pula. Kata tersebut banyak digunakan di desa Pampang seperti nama koperasi, nama tarian, tulisan di rumah lamin, dan sebagainya.

2.2.3.4. Masalah Identitas Kultural

Modernisasi membuat nilai-nilai tradisi yang dimiliki suku Dayak perlahan tapi pasti mulai mengalami perubahan. Pembangunan jalan arteri primer yang menghubungkan kota Samarinda dan kota Bontang memperlancar transportasi menuju desa Pampang. Hal tersebut juga semakin memudahkan masuknya nilai-nilai modernisasi di desa Pampang.

Penanda identitas suku Dayak yang paling dikenal bagi orang-orang luar adalah praktik menindik dan memanjangkan daun telinga. Kaum laki-laki memanjangkan daun telinga mereka sebatas bahu sedangkan kaum wanita boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Para orang tua memulai proses ini sejak dini kepada anak-anaknya semenjak berusia satu tahun. Setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting sehingga semakin lama semakin berat dan akhirnya memanjang akibat pengaruh gravitasi.

Kebudayaan tersebut kini mulai menghilang. Orang Dayak yang memiliki daun telinga panjang kini jarang ditemui di desa Pampang. Sebagian besar mereka hanya berasal dari kaum manula. Mereka yang semula memiliki daun telinga

(31)

panjang kebanyakan dipotong karena malu akan hal tersebut. Mereka merasa malu diperhatikan dan diolok-olok oleh orang lain apabila mereka keluar dari desa tersebut. Anak-anak kecil tidak mau lagi bila daun telinga mereka dipanjangkan karena selain rasa sakit dan berat, mereka juga takut akan diejek oleh teman- temannya bila bersekolah. Semakin sedikitnya orang dayak yang memiliki daun telinga panjang membuat para wisatawan harus mengeluarkan biaya apabila ingin merekam gambar mereka. Uang sebesar Rp. 15.000,- harus dibayar untuk satu kali pemotretan.

Selain daun telinga panjang, tato merupakan penanda lain suku Dayak yang terkenal. Tato bagi kaum perempuan melambangkan bahwa mereka berasal dari keluarga bangsawan dan pada suku Dayak Kenyah melambangkan kedewasaan. Tato tersebut dapat ditemui di lengan, kaki, atau punggung. Generasi penerus suku Dayak saat ini tidak mewarisi kebudayaan tersebut sehingga orang Dayak bertato hanya ditemui pada kaum manula saja. Mereka beranggapan bahwa tato bukanlah suatu keharusan. Apabila mereka ingin membuat tato dapat digambar sesuai dengan keinginan mereka, tanpa memperdulikan motif-motif Dayak yang ada.

Orang Dayak kuping panjang yang tersohor jumlahnya juga semakin berkurang. Apabila ingin merekam gambarnya dikenakan biaya sekitar Rp.7500,- setiap kali jepret. Hal inilah yang kemudian ditiru oleh anak-anak kecil. Mereka juga meminta uang kepada pengunjung yang datang, sebesar tarif yang dikenakan oleh orang Dayak kuping panjang. Tak jarang pula mereka meminta uang kepada pengunjung walaupun mereka tidak difoto. Pak Amai Pencau, sebagai pengurus lamin sebenarnya merasa malu akan hal tersebut. Akan tetapi, hal yang telah terlanjur menjadi kebiasaan itu sulit untuk diubah. Kegiatan meminta uang tersebut bukan tanpa sebab, masalah ekonomilah yang membuat mereka bertindak demikian. Kehidupan perekonomian di desa tersebut cenderung lemah.

Rumah Panjang yang merupakan rumah adat suku Dayak mulai ditinggalkan. Rumah Panjang sebagai simbol kerukunan karena mampu menampung ratusan anggota keluarga tersebut mulai tergantikan kedudukannya dengan rumah pribadi. Rumah pribadi yang dibangun tetap memiliki unsur dayak seperti lebih tinggi dari permukaan tanah serta memiliki ukiran Dayak akan tetapi

(32)

memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan rumah Panjang. Tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang sudah dianggap tidak penting lagi karena keseharian mereka juga berada di luar rumah, yaitu menjaga ladang. Sehingga lebih baik tinggal di dalam sebuah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga saja daripada tinggal beramai-ramai dengan keluarga yang lain.

Akibat dari kesibukan masing-masing itulah yang membuat kebersamaan dari suku Dayak di desa Pampang menjadi berkurang. Mereka sibuk pergi ke ladang masing-masing untuk bekerja. Akan tetapi, kerukunan di antaranya tidak pudar. Hal ini terlihat ketika terjadi peristiwa kematian. Apabila seorang keluarga di desa tersebut mengalami hal tersebut, berita kematian akan disebarkan ke seluruh penduduk desa dan seluruh penduduk desa kembali ke desa untuk membantu keluarga yang bersangkutan. Mereka meninggalkan pekerjaannya untuk membantu keluarga yang sedang kesusahan tersebut. Setelah acara pemakaman berakhir, mereka kembali mengerjakan kegiatan masing-masing.

Agama Kristen dipakai sebagai ciri yang menentukan orang Dayak pada saat ini. Orang Dayak yang masuk kristen tetap diakui sebagai orang Dayak, sedangkan mereka yang menjadi muslim tidak lagi dianggap sebagai orang Dayak. Pernyataan ini sedikit berbeda dengan kondisi di desa Pampang. Terdapat wanita Dayak yang menikah dengan suku lain yang menganut agama Islam. Pada akhirnya wanita tersebut berpindah agama dan hal tersebut dilanjutkan pada anak- anaknya. Dia tetap diterima oleh suku Dayak lainnya dan tetap tinggal di desa tersebut dengan aman. Toleransi terhadap agama lain yang timbul di dalam suku Dayak menjadikan kegiatan berpindah agama saat ini diperbolehkan.

Mudahnya jalan masuk menuju desa Pampang membuat banyak orang luar dapat masuk ke desa ini. Banyak remaja-remaja Dayak yang memiliki pacar orang di luar suku Dayak. Hal ini tidak akan menimbulkan dampak negatif jika mereka menjalaninya dengan benar. Akan tetapi, gaya berpacaran yang tidak benar akan menimbulkan dampak negatif. Di desa Pampang terdapat seorang gadis yang memiliki pacar orang luar suku Dayak. Pengaruh negatif membuatnya menjalani kehidupan yang negatif pula seperti pulang malam, pergi ke diskotek, hingga mabuk-mabukan. Penduduk setempat mengetahui hal ini dan berusaha memperingatkannya. Tetapi peringatan tersebut diabaikan dan akibatnya Ia

(33)

menjadi bahan pembicaraan oleh penduduk setempat. Penduduk setempat memberinya julukan yang identik sebagai pekerja seks komersial. Tidak sedikit generasi muda yang terjerumus dalam pergaulan bebas. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka akan dapat menimbulkan citra negatif bagi suku Dayak.

Gambar

Gambar 2.1. Peta Pulau Kalimantan
Gambar 2.2. Mandau
Gambar 2.3. Rumah Panjang
Gambar 2.4. Usun, Dayong Utama Di Tanjung Karang; Mendalam  (Di Pedalaman Borneo: Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894,
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Non Performing Financing (NPF), Capital adequacy ratio (CAR), dan Economic value added (EVA) terhadap laporan keuangan tahunan perusahaan perbankan

- Rapat rutin dilakukan setiap akhir bulan untuk Yayasan Wisnu sejak Maret 2005, dalam tahun ini dilakukan sepuluh kali rapat bulanan - Berdasarkan kesepakan 19 Oktober

Pemberian dosis 125 g/tanaman trichokompos jerami padi menghasilkan tinggi tanaman tertinggi pada pertumbuhan minggu pertama dan menghasilkan jumlah daun tertinggi

Salah satu bentuk melalui pemberian motivasi dan fasilitator serta mendengarkan semua keluh kesah anggota keluarga atau ibu mengenai masalahnya (Caplan dalam

Variabel harga, proses, dan bentuk fisik menurut hasil uji statistik menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang berarti secara parsial ke tiga variabel tersebut berpengaruh

Selain itu, pengaruh media alternatif di kawasan Pantai Timur iatu pengaruh ceramah agama yang disampaikan oleh tokoh agama seperti Ustaz Azhar Idrus (UAI) yang menyelit unsur

Pada tahun 2014 Loka Litbang P2B2 Baturaja telah melaksanakan beberapa kegiatan penelitian yang berasal dari dua sumber dana, yaitu yang berasal dari DIPA Loka Litbang

Metode scoring digunakan untuk mempermudah para peneliti dan pemangku kepentingan untuk menilai capaian pembentukan ULP dan UKK Imigrasi dalam pelaksanaan fungsi