TINJAUAN HUKUM
ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER TERHADAP PASIEN
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Guna Memperoleh
Gelar sarjana Hukum
Oleh
FEBRINA LORENCE SITEPU NIM : 040200284
HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
TINJAUAN HUKUM
ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER TERHADAP PASIEN
SKRIPSI O L E H
FEBRINA LORENCE SITEPU Nim : 040200284
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
Diketahui dan Disahkan Oleh : Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr.H. Tan Kamello, SH.,MS Nip.131 764 556
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Edy Ikhsan, SH., M.A Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum Nip.131 796 147 Nip. 132 134 700
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
KATA PENGANTAR
Tiada kegembiraan yang lebih besar selain mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena kasih karunia dan pertolongan-Nya yang senantiasa menyertai saya sehingga saya diberi kemampuan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Tanpa bantuan yang dianugrahkan-Nya kepada saya, saya pasti tidak akan mampu mengatasi setiap rintangan serta permasalahan yang kerap timbul selama proses penyusunan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahannya, untuk itulah dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul : “ TINJAUAN HUKUM ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER TERHADAP PASIEN. ”
Dalam menyusun skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, nasehat dari berbagai pihak. Maka dengan hati yang tulus, penulis mengucapkan terima kasih serta penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Muhammad Husni, SH. MS. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS, selaku Ketua bagian hukum Keperdataan Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang berkenan menyetujui judul skripsi yang penulis ajukan.
6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH. M. Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
7. Bapak Edy Ikhsan. SH. M.A, selaku Dosen Pembimbing I yang telah berkenan memberikan pengarahan dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
8. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH. M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, kritikan serta masukan-masukan demi memperbaiki skripsi ini. Terimakasih buat semua bantuan yang Bapak berikan sehingga proses penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
9. Bapak Prof. Irwanto Ph.D, Dosen Psikologi dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Atmajaya yang telah berkenan untuk diwawancarai dalam kasus malpraktek yang terjadi pada yang bersangkutan sehingga membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku yang sangat kusayangi dan kuhormati, Bapak Drs. Ali Sitepu, SE, dan Ibu Sumarni Tarigan, serta adik-adikku yang tersayang Vita dan Rory Terimakasih buat dukungan dan motifasi yang telah diberikan, juga buat kasih sayang tak pernah kering. Terimakasih buat doa-doa yang telah diberikan sehingga mendatangkan semangat baru kepada saya untuk mengerjakan skripsi ini dengan sungguh-sungguh.
11. Kepada Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah mendidik dan memberikan berbagai disiplin ilmu kepada penulis.
12. Kepada seluruh Pegawai Administrasi dan seluruh staf jajaran Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang selalu membantu penulis demi lancarnya urusan administrasi selama ini.
13. Terimakasih juga kepada Pamanku (mama tua) Thamrin Tarigan, SH. MH. MM, dan Bibikku (mami tua) dr. Seroja, yang telah membantu skripsi ini sampai selesai.
14. Terimakasih juga kepada Bolang, Nenek karo, Bibik Uda Ir. Setriana Tarigan, dan juga Bibik Uda Evi, SE, mami Sarah SH dan adik-adikku Group 19 (jesa, tarisa, olive) dan semua keluarga besarku, yang telah membantu skripsi ini sampai selesai. (Thank’s you for all).
15. Terimakasih juga buat Bang Filipus, AMK dan Bang Jhon, yang selama ini setia membantuku dalam menyelesaikan skipsi ku ini sampai selesai, (143 thi’’…..) 16. Terimakasih juga buat semua teman-teman ku yang selama ini setia
membantuku.
Penulis berharap dan berdoa kepada Tuhan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu Pengetahuan. Tuhan memberkati kita.
Medan, 01 April 2009.
Penulis,
Febrina Lorence Sitepu.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan ... 11
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penulisan ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II. PROFESIONALISME DOKTER DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN TERHADAP PASIEN DAN K EMUNGKINAN TERJADINYA MALPRAKTEK ... 18
A. Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter ... 18
B. Hak dan Kewajiban Pasien serta Dokter Dalam Perjanjian Medis (Terapeutik ... 28
C. Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan ... 48
D. Malpraktek Medis ... 61
1. Pengertian Malpraktek Medis ... 61
2. Unsur-Unsur Malpraktek Medis ... 64
BAB III. ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER
SEBAGAI BENTUK PERALIHAN RESIKO ... 67
A. Pengertian dan Penggolongan Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ke Dalam Asuransi Kerugian ... 67
B. Ruang Lingkup Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ... 77
C. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Perusahaan Asuransi ... 80
1. Polis Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ... 80
2. Hak dan Kewajiban Dokter Dengan Perusahaan Asuransi ... 99
D. Bentuk-Bentuk Resiko Yang Dapat Diperalihkan Oleh Dokter Sebagai Tertanggung Dengan Perusahaan Asuransi Sebagai Penanggung ... 107
BAB IV. PROSES PENYELESAIAN KLAIM ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER ... 115
A. Pengajuan klaim ... 115
1. Proses Pengajuan Klaim ... 115
2. Pemeriksaan Atas Klaim Yang Diajukan ... 121
B. Pelaksanaan Penyelesaian Klaim ... 123
1. Penyelesaian Klaim ... 123
2. Pembayaran Klaim ... 126
C. Penyelesaian Perselisihan Atas Klaim ... 130
1. Perselisihan Atas Klaim ... 130
2. Penyelesaian Perselisihan Atas Klaim ... 132
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 142
A. Kesimpulan ... 142
B. Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 146
TINJAUAN HUKUM
ASURANSI TANGGUNG GUGAT PROFESI DOKTER TERHADAP PASIEN
Febrina Lorence Sitepu1 Edy Ikhsan, SH., M.A2 Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum3
ABSTRAK
Penyebab sengketa yang terjadi antara pasien dan dokter seringkali disebabkan adanya suatu dugaan terjadinya malpraktek medis yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugasnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien, dan mengakibatkan kerugian bagi pasien. Melalui asuransi tanggung gugat profesi dokter, dokter dapat mengalihkan segala resiko atas timbulnya gugatan pasien terhadap dirinya kepada pihak penanggung dengan membayar sejumlah premi tertentu, dan pihak penanggung memberikan ganti rugi kepada pasien yang mengajukan gugatan tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kewajiban profesional dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien serta kemungkinan terjadinya malpraktek sebagai dasar adanya asuransi tanggung gugat profesi dokter, bagaimana pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi dalam polis asuransi serta bentuk- bentuk resiko yang dapat diperalihkan oleh dokter sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung, bagaimana proses penyelesaian klaim asuransi tanggung gugat profesi dokter apabila terjadi malpraktek
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.
Kewajiban profesional dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Undang- Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Secara garis besarnya kewajiban profesional dokter terhadap pasien yaitu: melindungi hidup makhluk insani, bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Malpraktek medis merupakan suatu sikap
1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Nim : 040200284.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
tindak dokter yang tidak benar, yang melanggar moral dan hukum. Malpraktek ini terjadi akibat kelalaian-kelalaian di dalam menjalankan praktek profesi dokter.
Asuransi tanggung jawab hukum timbul berhubungan dengan aspek hukum dalam masyarakat yang dimungkinkan untuk menuntut pihak lain sebagai individu ataupun badan usaha karena tindakan yang ceroboh atau kealpaan. Pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi secara khusus diatur dalam polis asuransi. Polis tersebut digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (dokter). Selain itu pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, KUHPerdata, dan Undang-Undang No. 23 tahun 1992. Adapun bentuk- bentuk resiko yang dapat diperalihkan oleh dokter sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung yaitu: cidera badan pada pasien yang disebabkan oleh tindakan dari tertanggung yang terjadi di daerah lingkup jaminan selama berlakunya polis, tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berwenang bukan dokter atau dokter gigi yang membantu pihak tertanggung, kejadian yang mengakibatkan kerugian dan tuntutan klaim dari pasien, asuransi tanggung gugat profesi dokter hanya berlaku untuk ganti rugi terhadap kerugian yang ditetapkan bertempat di negara alamat pihak tertanggung. Maka ada beberapa cara untuk melakukan penyelesaian perselisihan atas klaim tersebut, yaitu: melalui cara damai, melalui lembaga arbitrase, melalui proses pengadilan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dan kesimpulan tersebut maka Penulis memberikan saran agar sebaiknya para profesional mengikuti asuransi tanggung jawab hukum profesi, khususnya bagi dokter untuk mengikuti asuransi tanggung gugat profesi dokter. Sebaiknya usaha-usaha memperkenalkan produk asuransi tanggung gugat profesi dokter lebih ditingkatkan untuk melindungi pasien dan dokter dalam hal terjadinya malpraktek medis. Besarnya premi sebaiknya disesuaikan dengan kondisi dokter dan pasien di Indonesia. Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan profesi dokter, maka kiranya Pemerintah segera menetapkan suatu ketentuan tentang standar profesi dokter.
Kata Kunci : - Tinjauan Hukum.
- Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter.
- Pasien.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memiliki berbagai macam kebutuhan di dalam hidupnya, yang terbagi atas kebutuhan primer, sekunder, dan tertier. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang paling penting dalam hidup manusia, karena sehat merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap orang. Untuk menjaga kesehatan maka setiap orang akan mengkonsumsi makanan bergizi, berolah raga secukupnya, dan sebagainya.
Persoalan akan menjadi berbeda ketika seseorang jatuh sakit yang membutuhkan pertolongan pihak lain. Bagaimanapun, kesehatan merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan dan keterampilan setiap pasien berbeda-beda.
Dengan demikian, pasien maupun keluarganya akan mencari pertolongan kepada petugas kesehatan. Karena hal tersebut maka dibutuhkan seorang profesional dalam bidang kesehatan atau medis yang kita kenal dengan sebutan dokter. Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang dalam menjalankan tugasnya wajib terlebih dahulu memiliki pendidikan tinggi kedokteran, keahlian dan ketrampilan dibidangnya, karena itu dokter biasa disebut sebagai profesional.4
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter kepada pasien akan menimbulkan hubungan antara dokter dan pasien. Para pasien yang merasa membutuhkan jasa pelayanan kesehatan dari seorang dokter, akan mendatangi dokter tersebut dengan memiliki kepercayaan bahwa dokter adalah seorang profesional medis yang telah terikat sumpah untuk melakukan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam bidang kesehatan sesuai dengan standart profesi
4 A.S. Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, 5th ed., (New York : Oxford University Press, 1995) hal. 342.
dokter. Pasien pada umumnya melakukan konsultasi terlebih dahulu mengenai keadaan kesehatannya dan selanjutnya dokter akan melakukan diagnosa dan langkah-langkah untuk menyembuhkan penyakit pasien tersebut.
Pasien seharusnya dipandang sebagai subyek yang memiliki “pengaruh besar” atas hasil akhir layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kebutuhan pasien menjadi salah satu barometer mutu pelayanan, sebaliknya ketidakpuasan pasien akan melahirkan suatu tuntutan hukum. Sebagai konsumen dari jasa yang diberikan oleh seorang, pasien tentunya memiliki harapan-harapan terhadap pemberi pelayanan kesehatan tersebut, yang terdiri dari reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan), dan emphaty (empati).5
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Mereka sering kali secara kritis bertanya tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya. Tidak jarang mereka mencari second opinion (pendapat kedua).
Hal tersebut merupakan hak yang layak harus dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan. Memang harus diakui bahwa hak-hak dari pasien sebagai konsumen dari jasa pelayanan kesehatan masih sering kali dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri, dan pengetahuan pasien mengenai kesehatan tersebut sangat terbatas. Dampak dari hal tersebut sangatlah dirasakan oleh pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan, dan tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pasien baik kerugian moral ataupun material.
5 ‘‘Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan Dengan Malpraktek Medik,”<http://www.cybermed. cbn.net. id/
detil.asp/kategori=konsumen dan news no=140.htm>, 17 Februari 2006.
Sebagai akibat dari interaksi antara pasien sebagai konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan, akan timbul suatu hubungan hukum antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan, yang akan melahirkan suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu, seringkali muncul suatu sengketa yang disebabkan salah satu pihak merasa dirugikan, dalam prakteknya seringkali pasien yang merasa dirugikan.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen beraneka ragam, namun gugatan konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Penyebab sengketa yang terjadi antara pasien dan dokter sering kali disebabkan adanya suatu dugaan terjadinya malpraktek medis yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugasnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada pasien dan mengakibatkan kerugian bagi pasien.
Untuk mengetahui seorang dokter melakukan malpraktek atau tidak maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu :6
‘‘berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa (kelalaian), sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata dibandingkan kategori keahlian medik yang sama, situasi dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding atau proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medis tersebut. Menurut Leenen, dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malpraktek).”
3 Ibid.
Secara yuridis semua dugaan kasus malpraktek dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata untuk dilakukan pembuktian berdasarkan standar kedokteran. Bila dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian. Contoh kasus malpraktek yang dilakukan oleh dokter adalah terhadap istri dari pengacara Hotman Paris Hutapea. Di mana dokter dari Rumah Sakit Mitra Kemayoran mengatakan bahwa rahim dari istri Hotman Paris Hutapea tersebut terkena infeksi dan gejala prakanker ( Cin II- III) di mulut rahimnya.
Menurut dokter yang berada pada Rumah Sakit Mitra Kemayoran, rahim dari istri pengacara tersebut harus diangkat termasuk membuang sepertiga bagian dalam vagina. Sebelum melakukan pengangkatan rahim, dokter dari rumah sakit tersebut memberikan suntikan antibiotik untuk menghilangkan infeksi dengan dosis tiga kali sehari selama tujuh hari, masing-masing berkadar 1.500 miligram per hari. Namun setelah empat hari kemudian istri dari pengacara itu menjadi muntah -muntah hampir sekali dalam lima menit dan terus berlanjut seminggu kemudian.
Akhirnya istri pengacara itu dibawa ke Rumah Sakit MMC, Kuningan, dan dari sanalah ketahuan bahwa fungsi ginjal istri pengacara tersebut menurun sampai tinggal 18 persen dan unsur kreatin darahnya sudah mendekati tujuh padahal kadar kreatin normal sekitar 1,2. Merasa tidak puas dengan pemeriksaan dokter tersebut maka pengacara itu membawa istrinya ke Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Setelah dilakukan pemeriksaan di Rumah Sakit tersebut, maka dokter dari Rumah Sakit itu menyatakan
penurunan fungsi ginjal istrinya diakibatkan oleh pemakaian antibiotik dosis tinggi ciprofloxacin7.
Selain kasus di atas ada juga kasus malpraktek yang menimpa Irwanto salah seorang dosen di Universitas Katolik Atma Jaya. Di mana dokter dari Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB) menjelaskan bahwa bilik jantung kiri atas depan tersumbat dan ia harus diinfus streptokinase sebanyak Rp.1,5 juta international unit (IU) seharga Rp.4,8 juta sekali infus. Tiga jam kemudian, Irwanto di-scan malam itu juga di Rumah Sakit Gleneagles, Karawaci, Tanggerang. Kemudian dokter jantung, dokter saraf dan ahli bedah saraf menyimpulkan ada penekanan di tulang belakang (spinal infarct), pada bagian C3-C4, sekitar tengkuk. Menurut para dokter tersebut itu terjadi karena ada darah atau daging tumor, kemudian Irwanto disarankan untuk segera dioperasi.
Berubah-ubahnya kesimpulan para dokter tersebut membuat keluarga mencari second opinion ke Padmosantjojo, guru besar bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah melihat hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging), profesor itu menyarankan pembatalan operasi. Walaupun demikian, Irwanto terus diberi obat jantung Lovenox.
Dua hari kemudian, dokter meminta keluarga untuk membeli Aggrastat yang juga merupakan obat jantung. Di mana fungsi Aggrastaat hampir sama dengan Sreptokinase yaitu untuk mencegah penggumpalan darah dengan harga sekitar Rp.7 juta. Begitu diberi Aggrastat, Irwanto kembali mengalami pendarahan. Tidak tahan dengan perlakuan dokter Rumah Sakit
7 Majalah, Tempo News Room, 28 Maret 2004, hal.104.
Internasional Bintaro (RSIB) tersebut, Irwanto pindah ke Rumah Sakit di Bilangan Kuningan. Di rumah sakit ini Irwanto didiagnosis ulang dan Irwanto divonis terinfeksi cytomegalovirus (CMV).
Namun kondisi Irwanto semakin memburuk dan akhirnya ia dibawa berobat ke Tan Tock Seng Hospital, bagian National Neurology Institute (NNI), Singapura.
Setelah diperiksa oleh dokter Lee Tze Haur, ternyata jantung Irwanto normal dan dokter tersebut heran mengapa Irwanto sampai lumpuh. Akhirnya, tim dokter Singapura menyimpulkan streptokinaselah yang merupakan masalahnya. Obat tersebut bersifat koagulat atau mengencerkan darah yang tersumbat. Karena nadi dan arteri Irwanto tidak tersumbat, darah pun menekan ke mana-mana. Akibatnya, arteri di tengkuk Irwanto dan pembuluh darahnya pecah.8
Seorang dokter dalam profesinya ada tiga tanggung jawab. Pertama, hukum kedinasan. Kedua, hukum perdata dan ketiga, tanggung jawab hukum pidana.9
‘‘Tanggung jawab dokter terhadap pasien menurut hukum perdata, timbul berdasar dua hal, yaitu :10
1. Sebagai akibat dari adanya hubungan kontrak antara pasien dan dokter, di mana keduanya telah sepakat atas hak dan kewajibannya masing-masing.
Dalam hal ini dokter berkewajiban untuk mengupayakan agar pasien dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya dan berhak atas uang pembayaran sebagai honorarium. Sedangkan pasien berkewajiban untuk membayar jasa dokter dan berhak atas perawatan dan pengobatan yang diberikan dokter agar kembali sehat. Tanggung jawab itu timbul jika dokter wanprestasi terhadap pasien dan atas wanprestasi tersebut, menyebabkan kerugian bagi diri pasien.
2. Tanggung jawab yang timbul dari Undang-Undang karena perbuatan seseorang yang melanggar hukum (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
8 Majalah, Tempo News Room, 28 Maret 2004, hal.102 dan berdasarkan hasil wawancara saya dengan Irwanto melalui media telepon bahwa kasus malpraktek yang terjadi pada Irwanto tersebut tidak sampai pada putusan hakim dan diselesaikan dengan cara berdamai dengan pihak Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB).
9Kuasa Hukum Karya Medika : ‘‘Kasus Fellina Belum Bisa Disimpulkan Malpraktek,”http://www.
tempointeraktif.com/hg/Jakarta/2004/20/brk.htm, 20 Februari 2006.
10R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (a), (Jakarta: PT. Intermasa, 1993), hal.123 dan 133.
Hukum Perdata), di mana tiap perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan membayar kerugian, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian kepada orang lain.”
Tanggung jawab dokter timbul bila ada gugatan yang diajukan pasie n terhadap dokter untuk menuntut ganti rugi atas suatu kelalaian oleh dokter dalam menjalankan kewajibannya yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran sehingga menimbulkan kerugian dan melanggar hak -hak pasien.
Untuk meringankan tanggung jawab yang dimiliki oleh dokter berkaitan dengan resiko yang diembannya dan menjalankan tugas profesinya dapat dilakukan dengan melakukan suatu pengalihan resiko dengan pihak lain.
Perjanjian semacam itu disebut sebagai perjanjian asuransi atas pertanggungan.11 Perusahaan asuransi atau penanggung menyediakan asuransi tanggung gugat profesi dokter, di mana dokter dapat mengalihkan segala resiko atas timbulnya gugatan pasien terhadap dirinya kepada pihak penanggung dengan membayar sejumlah premi tertentu, dan pihak penanggung memberikan ganti rugi kepada pasien yang mengajukan gugatan tersebut (bila dinyatakan bersalah oleh hakim) .12
Objek asuransi dalam asuransi tanggung gugat profesi dokter termasuk ke dalam objek asuransi tanpa benda. Objek asuransi tanggung gugat profesi dokter adalah adanya kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pasien yang timbul karena kelalaian atau kesalahan dokter dalam menjalankan tugasnya.
Dengan adanya suatu pengalihan resiko dari dokter sebagai tertanggung kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung, memungkinkan timbulnya
11 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet.4, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 15.
12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, cet. 9, (Jakarta : Intermasa, 1991), hal. 43-44.
suatu permasalahan di dalam hal yang berkaitan dengan pengambilalihan resiko yang dihadapi tertanggung oleh penanggung.
Sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam polis asuransi tanggung gugat profesi dokter dan yang telah disahkan, penanggung akan mengganti kerugian kepada pihak tertanggung sejumlah ganti rugi, sebagai akibat dari tindakan medis selama menjalankan profesinya yang diasuransikan, secara hukum bertanggung jawab membayar ganti rugi dari kerugian yang timbul akibat cidera badan pada pasien yang disebabkan oleh tindakan dari tertanggung yang terjadi di daerah lingkup jaminan selama masa berlakunya polis.
Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ini juga berlaku bagi tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berwenang bukan dokter atau dokter gigi yang membantu pihak tertanggung, tetapi hanya dalam lingkup pekerjaan medis yang diberikan oleh tertanggung yang dilakukan di bawah petunjuk, kontrol, dan pengawasan pihak tertanggung tersebut dalam ikhtisar pertanggungan.
Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ini hanya berlaku jika kejadian atas kerugian tersebut timbul dan tuntutan klaim dari pasien dibuat secara tertulis kepada pihak tertanggung atau kepada pihak penanggung, selama masa berlakunya polis.
Penanggung memiliki hak untuk tidak memberikan ganti rugi atas tuntutan klaim dalam hal terjadinya penyimpangan ketentuan mengenai persyaratan mengenai kewajiban tertanggung dalam hal menghadapi kejadian atau klaim yang tercantum dalam polis, di mana jumlah ganti rugi dan biaya
klaim yang harus dibayar penanggung memiliki batasan sesuai dengan yang tercantum dalam polis.
Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter ini hanya berlaku untuk ganti rugi terhadap kerugian yang ditetapkan bertempat di negara alamat pihak tertanggung sebagaimana yang tercantum di dalam ikhtisar pertanggungan, atau melalui suatu penyelesaian yang disetujui oleh penanggung, dengan syarat bahwa asuransi ini tidak berlaku untuk gugatan yang terjadi di negara-negara lain.
Penanggung tidak memiliki kewajiban atau tanggung jawab lainya untuk melakukan pembayaran atau melakukan suatu tindakan atau pelayanan yang termasuk dalam jaminan kecuali secara tegas tercantum dalam polis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permsalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini sebagai kerangka acuan dalam pembahasan selanjutnya sehingga diharapkan uraian dan kesimpulan yang diperoleh pada akhir penulisan dapat mudah dicerna dan dipahami.
Adapun permasalahan yang diajukan oleh Penulis dalam pembahasan Skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter Terhadap Pasien” ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kewajiban profesional dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien serta kemungkinan terjadinya malpraktek sebagai dasar adanya asuransi tanggung gugat profesi dokter?
2. Bagaimana pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi dalam polis asuransi serta bentuk-bentuk resiko yang dapat diperalihkan oleh dokter sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung?
3. Bagaimana proses penyelesaian klaim asuransi tanggung gugat profesi dokter apabila terjadi malpraktek?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Suatu skripsi lazimnya membahas permasalahan yang diajukan sehingga terdapat keterikatan dalam mencapai maksud akhir dari penulisan skripsi ini.
Oleh karena itu skripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang diajukan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kewajiban profesional dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien serta kemungkinan terjadinya malpraktek sebagai dasar adanya asuransi tanggung gugat profesi dokter.
2. Untuk mengetahui pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi dalam polis asuransi serta bentuk-bentuk resiko yang dapat diperalihkan oleh dokter sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung.
3. Untuk memahami proses penyelesaian klaim asuransi tanggung gugat profesi dokter apabila terjadi malpraktek.
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang peransuransian, khususnya berkaitan dengan asuransi tanggung gugat profesi dokter. Selain itu, hasil penelitian ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang peransuransian pada umumnya, dan asuransi tanggung gugat profesi dokter pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Perusahaan asuransi, Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI), Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), Badan Legislatif dan Pemerintah dalam menata peraturan peransuransian serta peraturan yang berkaitan dengan asuransi tanggung gugat profesi dokter di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka judul skripsi yang berjudul ‘‘Tinjauan Hukum Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter Terhadap Pasien’’ belum pernah diajukan. Dengan demikian, maka penulisan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam melaksanakan pengabdiannya, tidak selamanya dokter dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun dokter tidak perlu merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar yang berlaku) maka adverse events (kejadian tak diduga) yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari resiko medik atau sebagai sesuatu yang tidak mungkin dihindari, sehingga dokter tidak seharusnya bertanggung gugat atas kerugian yang dialami pasien, materiel maupun immateriel.13
Lain halnya apabila adverse events (kejadian tak diduga) terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktek; baik yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence). Ganti rugi oleh Undang-Undang Kesehatan, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut kerugian materiel.
Sedangkan kerugian non fisik adalah kerugian yang berkai tan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.
13 ‘‘Malpraktik dan Tanggung Jawab Korporasi”, http://www.asuransi tanggunggugat profesi dokter.com/2008/03/15.htm.
Situasi dunia kedokteran kita sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktek (malpractice crisis) yang pernah melanda Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lampau, yaitu sejak rumah sakit tidak lagi dianggap kebal terhadap segala bentuk gugatan. Sebelumnya, rumah sakit dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab pertimbangannya, menghukum rumah sakit membayar ganti rugi sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965), yakni kasus mula pertama yang mempersamakan institusi rumah sakit sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak rumah sakit mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen resiko dan dengan manajemen resiko tersebut maka sudah seharusnya apabila rumah sakit mulai menempatkan gugatan ganti rugi sebagai salah satu bentuk resiko bisnisnya serta memperhitungkannya untuk dipikul sendiri resiko itu (risk financing retention) ataukah akan dialihkan kepada perusahaan asuransi (risk financing transfers) melalui program asuransi malpraktek.14
Pada saat sekarang ini, daya kritis masyarakat kian terasa kental. Salah satu indikasinya, masyarakat semakin sadar akan hak-haknya. Begitu juga dalam
14 Ibid.
dunia kesehatan, pasien juga semakin sadar akan hak-haknya sebagai pasien.
Kini pasien datang ke rumah sakit, menuntut mutu pelayanan dan kepuasan, bukan sekedar mencari kesembuhan.
Karena itu, profesi dokter di dunia kesehatan khususnya kedokteran menjadi sangat rentan terhadap klaim. Apalagi saat ini ada empat puluh ribu ahli kesehatan yang terdaftar sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).15 Mereka ini tersebar di seluruh Indonesia, dari kota besar hingga desa terpencil. Atas dasar inilah, maka Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan pihak asuransi menandatangani perjanjian kerja sama, mengenai asuransi tanggung jawab hukum untuk profesi dokter.
Tujuan kerjasama ini adalah melindungi anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari tuntutan-tuntutan finansial akibat pekerjaannya. Jadi apabila seorang dokter diduga telah lalai, melakukan kesalahan atau keteledoran dalam melakukan pelayanan profesionalnya, dan tuntutan pasien kemudian dikabulkan oleh pihak pengadilan, maka pihak asuransilah yang mengganti seluruh biaya kerugian. Pemberian biaya kerugian tidak semata-mata dilakukan setelah adanya putusan hakim yang bersifat tetap. Bahkan pemberian kerugian ini dapat dilakukan jika ada penyelesaian di luar hukum, dengan kata lain jika kedua pihak saling berdamai.
Inti dari kerja sama ini adalah perlindungan terhadap kedua belah pihak, pasien dan juga dokter. Maka diharapkan asuransi ini membuat para dokter bekerja dengan lebih tenang karena pihak asuransi akan memberikan perlindungan hukum. Keuntungan lainnya, perlindungan asuransi ini juga akan
15 “ Asuransi Melindungi Anggota IDI”, http://www.asuransi tanggung gugat profesi dokter.com/2000/10/11.htm.
berlaku sampai tiga tahun setelah suatu kejadian atau peristiwa yang dianggap malpraktek itu terjadi.
Tanpa asuransi, apabila seorang dokter di klaim maka akan menggunakan harta pribadinya untuk mengganti seluruh biaya kerugian, dan posisinya menjadi sulit di pengadilan. Untuk itu pihak asuransi dapat mewakili sang klien yang dituduh melakukan malpraktek tersebut, serta dapat memberikan bantuan hukum.
F. Metode Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif.
Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.16
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library reseach) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Kesehatan.
16 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal.139.
Bahan hukum sekunder dapat berupa karya-karya ilmiah berupa pendapat para ahli, baik dalam bentuk buku, makalah, artikel, karya -karya ilmiah lain atau tulisan dalam internet.
Bahan hukum tertier, terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus dan ensiklopedia hukum.17
Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun.
G. Sistematika Penulisan
Seluruh uraian yang ada dalam penyusunan skripsi ini, dikemukakan secara sistematis yang terdiri atas beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub dengan tujuan untuk memudahkan pembaca memahami isi skripsi ini.
Bab I, pendahuluan, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan, dan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II, profesionalisme dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien dan kemungkinan terjadinya malpraktek, yang meliputi, hubungan hukum pasien dengan dokter, hak dan kewajiban pasien serta dokter dalam peerjanjian
17 Ibid.
medis (terapeutik) serta pengertian malpraktek medis dan unsur-unsur malpraktek medis.
Bab III, asuransi tanggung gugat profesi dokter sebagai bentuk peralihan resiko, yang meliputi, pengertian dan penggolongan asuransi tanggung gugat profesi dokter ke dalam asuransi kerugian, ruang lingku p asuransi tanggung gugat profesi dokter, pengaturan hubungan hukum antara dokter dengan perusahaan asuransi yang terdiri dari : polis asuransi tanggung gugat profesi dokter serta hak dan kewajiban dokter dengan perusahaan asuransi, serta bentuk-bentuk resiko yang dapat diperalihkan oleh dokter sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung.
Bab IV, proses penyelesaian klaim asuransi tanggung gugat profesi dokter. Di sini akan diuraikan mengenai: proses pengajuan klaim dan pemeriksaan klaim yang diajukan, pelaksanaan penyelesaian klaim dan pembayaran klaim, serta perselisihan atas klaim dan penyelesaian perselisihan atas klaim.
Bab V, kesimpulan dan saran, sebagai bab penutup yang merupakan rangkaian inti dari seluruh isi dan sekaligus akan ditambah dengan beberapa saran yang mungkin berguna bagi pembacanya.
BAB II
PROFESIONALISME DOKTER DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN TERHADAP PASIEN DAN KEMUNGKINAN TERJADINYA
MALPRAKTEK
A. Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter
Hubungan hukum adalah hubungan antara orang dengan orang, antara orang dengan masyarakat, dan antara masyarakat dengan masyarakat, yang diikat oleh ketentuan hukum yang tercermin dari hak dan kewajiban para pihak.18
Barang siapa yang tidak mengindahkan hubungan hukum itu, ia dapat dipaksa untuk menghormatinya. Contoh: hubungan antara si A dan B dalam hal melakukan perjanjian jual-beli. Perjanjian itu menimbulkan hubungan yang diatur oleh hukum (Pasal 1457 KUHPerdata). Hukum menentukan hak dan kewajiban yang harus ditaati masing -masing pihak.
Hukum memberikan kualifikasi terhadap hubungan -hubungan yang terjadi dalam masyarakat, misalnya: hubungan perburuhan atau hubungan kerja, dan lain sebagainya.
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien adalah juga bersifat melakukan pekerjaan dengan membayar sebagai balas jasa, tetapi tidak termasuk kepada hubungan perburuhan atau hubungan kerja tersebut.
Bentuk hubungan hukum antara dokter dengan pasien yaitu bersifat melakukan sesuatu pekerjaan tertentu. Hubungan semacam ini terjadi
18 Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, (Bandung : Remaja Karya, 1987), hal. 60.
setelah adanya perjanjian untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu.
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dilandaskan atas suatu perjanjian, baik secara lisan ataupun secara tertulis. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium, sedangkan dokter melakukan prestasi untuk merawat atau mengobati pasien. Untuk sahnya perjanjian antara dokter dengan pasien tersebut berlaku ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Kesepakatan antara dokter dengan pasien harus dilandaskan atas informasi yang cukup yang disampaikan dokter kepada pasien, hal ini disebabkan karena: 19
1. Pasienlah yang mempunyai hak untuk menentukan apa yang sepantasnya dilakukan terhadap dirinya;
2. Hubungan antara dokter dengan pasien didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan sehingga pasien mempunyai hak untuk mendapat informasi dari dokter yang merawatnya.
Pasien dikatakan tidak cakap, apabila ia belum dewasa atau ia berada di bawah pengampunan, juga bila ia menderita gangguan jiwa.
Tetapi dalam keadaan darurat, dokter dapat melakukan tindakan medis terhadap tanpa memperhatikan kecakapan pasien untuk membuat persetujuan. Landasan hukumnya adalah zaakwaarneming (Pasal 1354
19 Ibid.
KUHPerdata), yang dilakukan dokter secara sukarela dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain. Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan dokter yang diikat dengan transaksi terapeutik, maupun yang didasarkan pada zaakwaarneming, dalam hal ini jalur penyelesaian dapat dilakukan melalui Majelis kode Etik Kedokteran. Jika melalui jalur ini tidak terdapat penyelesaian, permasalahan tersebut diselesaikan melalui jalur hukum dengan melanjutkan perkaranya ke pengadilan.20
Dokter tidak dapat menjanjikan kepada pasien bahwa pasien dijamin pasti sembuh. Hal ini disebut secara lazimnya
“inspanningsverbintenis,” yaitu perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha yang maksimal.21
Perjanjian antara dokter dengan pasien harus m emperhatikan dan tidak melanggar ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan demikian perjanjian tersebut memenuhi unsur “sebab yang halal”, sehingga perjanjian itu sah.
Contoh perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan yaitu, Arrest Hoge Raad tanggal 14 April 1950: perjanjian untuk meniadakan pertanggungjawaban dalam bidang kedokteran mengenai perawatan dengan menggunakan rontgen untuk menghilangkan tumbuhnya rambut yang berkelebihan pada muka.
Menurut hukum, hubungan dokter dan pasien merupakan suatu perikatan yang obyeknya adalah berupa pelayanan medis atau upaya
20 Ibid.
21 Ibid.
penyembuhan, yang dikenal dengan transaksi atau kontrak terapeutik.22 Menurut Husein Kerbala, pada zaman sekarang sebutan transaksi atau kontrak terapeutik untuk setiap hubungan dokter dan pasien tidaklah tepat, karena banyak tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak merupakan tindakan pengobatan atau terapi, misalnya tindakan diagnostik. Maka terhadap hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan dokter lebih tepat digunakan istilah perjanjian medis atau kontrak medis, yaitu suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya mengenai hal-hal yang menyangkut medis.23
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab: antara lain karena pada umumnya seorang dokter yang berpraktek mengadakan suatu “penawaran umum”(openbare aan bood) mengenai pekerjaan yang dapat dilakukannya untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit atau pasien. Dalam hal ini sangat penting adanya kesediaan pasien, atau izinnya untuk dirawat dokter yang bersangkutan. Persetujuan atau izin pasien tersebut mempunyai kekuatan hukum dan dokter seharusnya memberitahukan k epada pasien mengenai penyakit yang dideritanya.24
Di samping itu, yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter juga terjadi karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya.
22 Husein Karbala, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Cet. 1. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 38.
23 Ibid.
24 Ibid.
Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya media yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.25
Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/1989. Walaupun dalam kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, namun setidak - tidaknya persoalannya telah diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.
Pokok persoalan yang menyebabkan sulitnya menerapkan informed consent di Indonesia, adalah karena terlalu banyak kendala yang timbul dalam praktik sehari-hari, antara lain; bahasa yang digunakan dalam penyampaian informasi sulit dipahami oleh masyarakat khususnya pasien atau keluarganya, batas mengenai banyaknya informasi yang dapat diberikan tidak jelas, posisi dokter yang tidak seimbang jika dihubungkan
25 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005), hal. 28.
dengan pasien, masalah campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal pemberian persetujuan medis sangat dominan, dan sebagainya.
Di samping itu juga tentang informasi dan consent sering terdapat perbedaan kepentingan ini jika tidak memenuhi titik temu yang memuaskan kedua belah pihak, akan menyebabkan timbulnya konflik kepentingan. Misalnya pasien berkepentingan untuk penyembuhan penyakit yang dideritanya, akan tetapi mengingat resiko yang akan timbul berdasarkan informasi yang diperolehnya dari dokter, pasien atau keluarganya menolak memberi persetujuan, sedangkan pada si si lain dokter yang akan melakukan perawatan membutuhkan persetujuaan tersebut.
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya “Persetujuan Tindakan Medik” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat. Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu ciri
transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kekuatan yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter, hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan penyakit pasien.
Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi peraturan -peraturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa.26
Pasal 1601 KUHPerdata mengatur secara sepintas saja mengenai perjanjian untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu.
Pasal 1601 KUHPerdata menyatakan :27
“selain dari persetujuan-persetujuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diatur oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, juga oleh kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya dengan menerima upah, yaitu persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan”.
Jadi dapat dikatakan ketentuan Pasal 1601 tersebut merupakan dasar hukum antara dokter dengan pasien yang dirawatnya.
Tegasnya dalam hubungan antara pasien dengan dokter diperlukan adanya persetujuan, karena adanya persetujuan ini berakhir telah tercapainya ikatan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat dalam arti mempunyai kekuatan sebagai hukum yang dipatuhi oleh kedua belah pihak.
26 Ibid.
27 Soerjono Soekanto dan Herkutanto, op.cit., hal. 62.
Pada sisi lain, walaupun secara yuridis diperlukan adanya persetujuan tindakan medis untuk melakukan perawatan, namun dalam hal kenyataannya sering terjadi bahwa suatu perawatan walaupun tanpa persetujuan tindakan medik, apabila tidak menimbulkan kerugian bagi pasien hal tersebut akan didiamkan saja oleh pasien. Namun jika kesalahan atau kelalaian dilakukan oleh dokter dan akibat dari kesalahan tersebut menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien, maka persoalan tersebut akan diselesaikan oleh pasien atau keluarganya melalui jalur hukum. Dalam praktik seperti ini terlihat betapa sulitnya posisi dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan, baik pada tahap diagnosa maupun pada tahap perawatan, sehingga dari mereka diperlukan adanya sikap ketelitian dan kehati-hatian yang sungguh-sungguh.28
Dilihat dan jenis perikatan, maka perikatan yang timbul dari hubungan dokter dengan pasiennya pada umumnya merupakan inspanningsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha yang maksimal. Misalnya kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, di sini dokter tidak menjanjikan kesembuhan tetapi berjanji untuk memberikan daya upaya maksimal atas kesembuhan pasien. Namun ada juga perjanjian medis yang termasuk resultaatsvetbintenis yaitu perikatan berdasarkan hasil kerja, misalnya seorang pasien yang datang ke dokter gigi untuk menambal giginya yang berlubang. 29
Pasal 13 ayat (1) menyatakan : “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara
28 Bahder Johan Nasution, op.cit., hal. 31.
29 Ibid.
dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.”30
Pasal 13 ayat (2) menyatakan : “Kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan upaya maksimal dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan”.31
Sesuai dengan kaedah yang memperlakukan kontrak terapeutik maupun perikatan medis sebagai suatu perjanjian, persetujuan dan ataupun perikatan pada umumnya, ada beberapa pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat diterapkan.
Dalam melakukan tugasnya, dokter terkadang dibantu oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1419/Menkes/Per/x/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter Dan Dokter Gigi, bahwa dokter dapat memberikan kewenangan kepada perawat dan tenaga kesehatan tertentu secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.32 Tindakan dokter harus sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan.33
30 Pasal 13 ayat (1) No. 1419 tahun 2005 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi.
31 Pasal 13 ayat (2) No. 1419 tahun 2005 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi.
32 Pasal 14 ayat (1) No. 1419 tahun 2005 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi.
33 Pasal 14 ayat (2) No. 1419 tahun 2005 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi.
‘‘Dalam meminta bantuan perawat, dokter dapat memberikan delegasi atau melimpahkan wewenangnya dengan syarat-syarat menurut H.J.Leenen, yaitu:34
1. Penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penentuan indikasi, harus diputuskan dokter itu sendiri. Pengambilan keputusan tersebut tidak dapat didelegasikan.
2. Delegasi tindakan medis itu hanya dibolehkan jika dokter sudah sangat yakin bahwa perawat yang menerima delegasi itu sudah mampu untuk melaksanakannya dengan baik.
3. Pendelegasian itu harus dilakukan secara tertulis termasuk instruksi yang jelas tentang pelaksanaannya, bagaimana harus bertindak jika timbul komplikasi, dan sebagainya.
4. Harus ada bimbingan atau pengawasan medis pada pelaksanaannya.
Pengawasan tersebut tergantung kepada tindakan yang dilakukan. Apakah dokter itu harus berada di tempat itu ataukah ia dapat dipanggil dan dalam waktu singkat berada di tempat.
5. Orang yang diberi delegasi tersebut berhak untuk menolak apabila ia merasa tidak mampu untuk melakukan tindakan medis tersebut.”
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat tanggung jawab do kter dalam segi hukum perdata. Tanggung jawab dokter juga meliputi tindakan yang dilakukan oleh orang yang diberi delegasi, yaitu: mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan co-schap (sedang mengikuti pendidikan di sarana pelayanan kesehatan), perawat yang diperbantukan kepadanya, dan dokter lain yang membantunya dalam hal dokter lain tersebut sedang belajar kepadanya sebagai dokter spesialis.35
Dari segi hukum perdata maka informed consent merupakan syarat terjadinya suatu transaksi medis, artinya tanpa ada nya informasi yang sah atau yang cukup mengenai penyakit dengan tindakan medis yang akan diambil oleh dokter, serta tanpa adanya persetujuan pasien terhadap tindakan tersebut, maka transaksi medis tersebut tidak akan terjadi. Apabila
34 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet.1 (Jakarta : Grafikatama Jaya, 1991), hal. 78.
35 Karbala, op.cit., hal. 94.
dokter tetap melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien untuk itu, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.36
B. Hak dan Kewajiban Pasien serta Dokter Dalam Perjanjian Medis (Terapeutik)
Pada bagian ini akan dibahas tentang hak dan kewajiban para pihak secara hukum, pembahasan tentang hal ini dirasakan sangat penting karena kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien semakin pudar. Selain itu dalam praktik sehari-hari banyak fakta menunjukkan, bahwa secara umum ada anggapan di mana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang dilakukannya. Sebenarnya jika dilihat dari sudut perjanjian terapeutik pendapat seperti ini, merupakan pendapat yang keliru karena dengan adanya perjanjian terapeutik tersebut kedudukan antara dokter dengan pasien adalah sama dan sederajat.37
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu yang keliru apabila dianggap pasien selalu tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam pergaulan hidup
36 Pasal 1365 KUHPerdata.
37 Bahder Johan Nasution, op.cit., hal. 31.
norma sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap s ama seperti orang sehat. Jadi, secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan.38
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai kesehatan ini di negara kita diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, di mana dalam Bab III Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 menyebutkan Pasal 1 ayat (1):39 menyatakan, “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.” Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”40
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh setiap orang, negara memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mul ai dari Pasal 6 sampai Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan tanggung jawab pemerintah.
Hak atas pelayanan kesehatan memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh, hal ini diakui secara internasional sebagaimana diatu r dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Beberapa
38 Ibid.
39 Pasal 1 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
40 Pasal 4 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
pasal yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan hak atas diri sendiri antara lain dimuat dalam Artcile 3 yang berbunyi:41
“Everyone has the right to life, liberty and the security of person.”
Selanjutnya dalam Article 5 disebutkan:42 “No one shall be subjected to torture or to cruel, in human or degrading treatment …..”
Ketentuan lainnya dimuat dalam International Covermant on Civil and Political Rights tahun 1966 yang antara lain dalam Article 7 dan 10. Ketentuan Article 7 menyebutkan:43 “No one shall be subjected to torture or to cruel, in human degrading treatment…in particuler, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation.” Dan ketentuan Article 10 mengatur tentang: 44 “All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.”
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, apa yang terjadi dan berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, menunjukkan suatu hal yang sangat mengembirakan. Di negara tersebut hak -hak pasien berkembang dengan baik. Perkembangan ini terutama karena adanya tekanan pada rumah sakit yang dilakukan oleh Patien’s Bill of Right, sehingga hak-hak pasien diakui oleh pengadilan. Hak tersebut antara lain, hak untuk menolak secara perawatan tertentu sebagaimana dikatakan oleh Wertmann (1984:184):45
“it is a principle of the common law that every being adult years and sound mind has to determine what shall be done with his own body. In the confext of medicalcare, this means it is patient, not the physiciasn, who has the final legal right to makertreatment decisions. Thus, the physician may act only within the fair limits of the patien’s consent. A vilation of the patien’s right of self-determination may give rise to a common law action against the physician for battery or lack of informed consent.”
41 Bahder Johan Nasution, op.cit., hal. 33.
42 Ibid.
43 Ibid.
44 Ibid.
45 Sesuai dengan pendapat Wertmann (1984 :184) dalam buku Bahder Johan Nasution, op.cit., hal 33.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien melahirkan suatu hak -hak dan kewajiban-kewajiban bagi dokter maupun pasien. Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien, antara lain:46
1. Hak atas informasi, yaitu pasien berhak diberikan informasi yang berkenaan atas kesehatannya dan tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya. Hak informasi ini bersifat mutlak, baik diminta ataupun tidak diminta oleh pasien harus diberikan oleh dokter, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan pasien. Terdapat empat kelompok pasien yang membuat dokter tidak perlu memberikan informasi kepadanya yang terdiri atas: 47
a. Jika terapi menghendaki demikian (terapi placebo), di mana terapi tersebut digunakan dengan maksud hanya untuk memberikan sugesti agar pasien tidak terlalu berat merasakan sakitnya.
b. Jika merugikan pasien, misalnya pasien yang menderita sakit jantung.
c. Jika pasien sakit jiwa, karena pasien tersebut dianggap tidak dapat mampu berkomunikasi, dan tidak memerlukan informasi.
d. Jika pasien belum dewasa, informasi terhadap pasien tersebut dapat disampaikan kepada orang tua atau walinya.
2. Hak memberikan persetujuan, yaitu pasien berhak dimintakan persetujuan atas segala tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya.
3. Hak memilih dokter, yaitu pasien berhak memilih dokter yang ia percaya akan mampu untuk membantu menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
46 Karbala, op.cit., hal. 42-45.
47 Ameln, op. cit., hal. 46.
4. Hak memilih rumah sakit, yaitu pasien berhak untuk memilih rumah sakit yang ia anggap baik dapat melayani serta memberikan perawatan terhadap penyakit yang ia derita.
5. Hak atas rahasia kedokteran, yaitu pasien berhak atas segala rahasia oleh pasien secara disadari atau tidak disadari disampaikan kepada dokter dan berhak atas segala sesuatu yang oleh dokter telah diketahuinya sewaktu mengobati dan merawat pasien.
6. Hak menolak pengobatan, yaitu pasien berhak menentukan apakah ia akan menerima atau menolak pengobatan yang akan menyembuhkan penyakitnya.
7. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu, yaitu dalam hal ini pasien telah bersedia menerima pengobatan dan dokter, namun ia menolak untuk suatu tindakan medis tertentu.
8. Hak menghentikan pengobatan, yaitu pasien berhak untuk menghentikan pengobatan yang dilakukan oleh dokter ataupun rumah sakit, dengan alasan pasien tersebut tidak kunjung sembuh (psikologis) dan biaya yang dikeluarkan pasien sudah terlalu besar (ekonomis). Bila pasien pulang sebelum sembuh harus ada form “izin ke luar paksa.” Yang memaksa ke luar adalah pasien, sehingga pasien yang menanggung segala konsekuensinya agar rumah sakit dan dokter tidak dituntut keluarga pasien.
9. Hak atas Second opinion, yaitu pasien berhak untuk menghubungi dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang mengobatinya untuk mendapatkan second opinion, dengan tujuan untuk mendapatkan perbandingan terhadap keterangan dokter yang mengobatinya atau sekedar mendapatkan penjelasan dan dokter lain.