9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Autisme
a. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “auto” yang berarti diri sendiri, ditujukan pada seseorang ketika menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri atau mempunyai dunia sendiri. Istilah Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner (dalam Veskarisyanti, 2008) mendeskripsikan autisme sebagai gangguan perkembangan yang kompleks pada anak yang sudah tampak sebelum usia 3 tahun dan menyebabkan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Menurut Sunu (dalam Sari, 2015) autisme adalah salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan saraf-saraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosial seseorang.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan bahwa Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan yang dapat menyebabkan tantangan sosial, komunikasi, dan perilaku yang signifikan. Anak autis biasanya berkomunikasi, berinteraksi, berperilaku, dan belajar dengan cara yang berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya.
Pembelajaran, pemikiran, dan kemampuan pemecahan masalah anak autis commit to user
dapat diklasifikasikan dari anak berbakat hingga autis berat. Beberapa anak autis membutuhkan banyak bantuan dalam kehidupan sehari-harinya, sebagian lain tidak membutuhkannya (CDC, 2014).
Definisi lain dinyatakan oleh The Individuals with Disabilities Education Act (Yuwono, 2012) autistik berarti gangguan perkembangan yang signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbal dan interaksi sosial, yang pada umumnya terjadi sebelum usia 3 tahun, dan dengan keadaan ini sangat mempengaruhi performa pendidikannya. Karakteristik lain yang sering diasosiasikan dengan autistik adalah keterikatan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan-gerakan stereotype, menolak perubahan lingkungan/perubahan rutinitas sehari-hari dan tidak biasa merespon pengalaman-pengalaman sensorik.
Berdasarkan paparan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan kompleks pada anak yang sudah tampak sebelum usia 3 tahun, akibat adanya kelainan saraf yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal, sehingga berpengaruh pada komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku, serta sikap kaku terhadap perubahan rutinitas dan lingkungan baru.
b. Faktor Penyebab Autisme
Belum diketahui secara pasti apa penyebab austime. Meskipun secara umum ada kesepakatan yang membuktikan adanya keragaman tingkat penyebab autisme. Menurut Sastry dan Aguirre (2014) beberapa faktor seperti genetik dan lingkungan bisa jadi berkontribusi bagi autisme. Penyebab potensial apa pun dapat berkontribusi sebagai penyebab, namun bukan serta- merta penentu seseorang mengalami autisme atau tidak. Sebaliknya, penyebab-penyebab tersebut diduga mungkin berkontribusi setelah seorang anak didiagnosis mengalami autisme.
commit to user
Nakita (dalam Pamuji, 2007) menyatakan bahwa gangguan autistik disebabkan oleh:
1) Faktor genetik atau keturunan.
Hasdianah (dalam Mawurni, 2014) mengungkapkan, keluarga yang memiliki satu anak autis, memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga mengalami autisme. Penelitian pada anak kembar menunjukkan, jika salah sati anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Secara umum para ahli mengidentifikasikan 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
2) Faktor prenatal atau waktu hamil.
a) Infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes).
b) Cacar air, virus yang masuk pada ibu akan mengganggu sel otak anak.
c) Polusi logam berat seperti tambal gigi waktu hamil dan makanan yang terkontaminasi.
3) Faktor neonatal
a) Kekurangan oksigen waktu proses persalinan.
b) Proses persalinan dibantu dengan alat bantu (tang).
c) Lahir prematur, yaitu bayi lahir sebelum waktunya, umur kehamilan belum mencapai 9-10 bulan.
d) Lahir dengan berat bayi rendah. Bayi berat lahir rendah adalah berat bayi waktu lahir kurang dari 2,5 kilogram.
e) Pendarahan pada otak bayi.
4) Faktor pascanatal
a) Jatuh atau sering terbentur pada kepala atau tulang belakang.
commit to user
b) Kontaminasi logam berat atau polusi lainnya.
c) Trauma di kepala, kecelakaan yang mengakibatkan terlukanya pembuluh darah di otak.
d) Kekurangan oksigen.
Kekurangan oksigen dalam pertumbuhan dan perkembangan dapat menimbulkan gangguan fungsi otak. Banyak faktor penyebab terjadinya kekurangan oksigen, diantaranya karena tercekik, tenggelam, dan lainnya yang dapat mengganggu bekerjanya sistem saraf pusat.
Menurut Mahmud (2010) ada berbagai faktor yang berperan sebagai penyebab autisme antara lain sebagai berikut:
1) Faktor Genetik
Kurang lebih 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah Tuberous Sclerosis (17-58%) dan Syndrome Fragile X (20-30%).
2) Gangguan pada sistem saraf
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan hampir pada seluruh struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan penginderaan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.
3) Ketidakseimbangan kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi. Alergi terhadap makan tertentu, seperti bahan–bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, bahan pewarna, dan ragi.
commit to user
4) Kemungkinan lain
Infeksi seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak. Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tua sehingga tidak memliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak bicara sejak kecil, itu juga dapat dimungkinkan menjadi penyebabkan anak menyandang autisme.
Berdasarkan beberapa ahli di atas, masing-masing memiliki pendapat mengenai penyebab autisme. Secara umum faktor penyebab autisme diantaranya yaitu faktor keturunan, faktor genetik, faktor prenatal (sebelum kelahiran), faktor neonatal (saat kelahiran), dan terakhir faktor pascanatal (setelah kelahiran). Seperti yang telah dijelaskan di atas, hal-hal tersebut dapat berkontribusi sebagai penyebab, namun bukan serta merta menjadi penentu autisme.
c. Karakteristik Autisme
Autis merupakan spectrum disorder, artinya gejala dan tingkat autis setiap individu berbeda-beda. Autis didiagnosis setelah dokter mengamati perilaku dan perkembangan anak. Anak autis yang satu dengan yang lainnya memiliki karakteristik yang berbeda. Ada sebagian anak autis yang peka terhadap rangsang yang diberikan, akan tetapi ada juga sebagian yang tidak peka terhadap rangsang. Karakteristik anak autis merupakan perilaku khas yang meliputi pengetahuan, sikap atau ucapan yang sering ditunjukkan jika dihadapkan pada suatu obyek atau situasi tertentu yang dapat mendorong terlihatnya perilaku abnormal (Hanapy, 2015).
Menurut Mudjito, Praptono, dan Jiehad (2016) yang mengutip simpulan Power menjelaskan bahwa karakteristik anak autis ditandai dengan adanya enam gejala/gangguan sebagai berikut:
commit to user
1) Interaksi sosial: meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya, serta tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
2) Komunikasi (bicara, bahasa, dan komunikasi): meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu yang singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya.
3) Gangguan dalam bermain: diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, guling, terus dipegang dibawa kemana saja. Bila senang dengan satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak berimajinasi dalam bermain.
Tidak dapat menirukan tindakan temannya dan tidak memulai permainan yang bersifat pura-pura (bermain peran).
4) Gangguan sensoris: meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa (lidah) dari mulai ringan hingga berat. Menggigit, menjilat, datu mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Tidak menyukai sentuhan atau pelukan.
5) Gangguan perasaan dan emosi: dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (tantrum), terutama bila tidak mendapat sesuatu yang diinginkan. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.
commit to user
6) Gangguan perilaku: dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya.
Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali didatangi, anak akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu seperti flapping. Anak juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala pada dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), sering marah tanpa alasan yang nyata.
Menurut Yapko (2004) Autism Syndrome Disorder (ASD) yang dialami oleh seorang individu akan berdampak pada tiga area perkembangan yaitu:
komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Karakteristik autisme tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Komunikasi
a) Keterlambatan atau keterbatasan dalam bicara dan peningkatan bahasa.
b) Terbatasnya ekspresi atau kemampuan bahasa reseptif.
c) Mampu berbicara dan berbahasa namun masih kurang dalam percakapan.
d) Repetitif, stereotype dalam penggunaan bahasa (jargon), individu menggunakan kata/frasa/topik yang sama terus menerus, mengulangi frasa dari iklan/buku/video dan membuat bahasanya sendiri, serta memakainya pada orang lain.
e) Ekolalia, pengulangan dari apa yang orang lain ucapkan secara langsung atau setelah beberapa periode waktu.
f) Keterbatasan atau kekurangan komunikasi non verbal.
commit to user
2) Interaksi sosial
a) Keterbatasan sampai tidak adanya peningkatan dari permainan peran atau permainan imajinatif.
b) Keterbatasan peningkatan dalam perluasan jenis tema bermain.
c) Keterbatasan hingga tidak adanya penggunaan mainan simbolik.
d) Kekurangan atau keterbatasan pemahaman dan penggunaan perilaku non verbal sampai regulasi interaksi sosial.
e) Kekurangan atau keterbatasan dalam interaksi timbal balik.
f) Kelemahan sensori yang bercampur dengan kemampuan untuk merespon dan berpartisipasi dalam perubahan sosial dan permainan.
3) Perilaku
a) Perilaku stimulasi diri bisa secara verbal (pengulangan suara/frasa) atau motoric (bergoyang, berputar-putar, berjalan bolak-balik, flapping).
b) Kekakuan pada rutinitas dan ritual.
c) Kesulitan dengan kemampuan bermain termasuk keterbatasan dalam imajinasi atau permainan simbolik, kekakuan dan rutinitas pola bermain.
d) Gerakan motorik yang repetitif (hand flapping, berputar-putar, gerakan tubuh yang kompleks).
e) Kekakuan dan pola perilaku, ketertarikan, dan aktivitas yang repetitif.
Berdasarkan penjabaran di atas, autisme merupakan spektrum disoreder, sehingga gejala atau karakteristik masing-masing anak autis berbeda. Dari pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak autis memiliki karakteristik utama pada tiga aspek yaitu komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Salah satu ciri yang paling menonjol yang dapat dilihat pada anak
commit to user
autis yaitu tidak adanya kontak mata. Hal tersebut merupakan ciri khas yang membedakan anak autis dari gangguan perkembangan kualitatif lainnya.
2. Kontak Mata
a. Pengertian Kontak Mata
Menurut Wikipedia (2019) kontak mata (eye contact) adalah kejadian ketika dua individu melihat mata satu sama lain pada saat yang sama. Kontak mata merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang disebut okulesik dan memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku sosial. Frekuensi dan arti kontak mata sering bervariasi dalam berbagai budaya manusia.
Verderber (dalam Purnomo, 2008) menyatakan kontak mata merupakan salah satu ekspresi wajah yang memiliki peran penting dalam meyampaikan pesan sosial dan perasaan. Melalui kontak mata seseorang juga dapat memeriksa apakah lawan bicara setuju dengan pembicaraannya.
Menurut Marimbun dan Siahaan (2017) yang mengutip pernyataan Diamond bahwa ada beberapa penjelasan tentang kontak mata. Kontak mata adalah hubungan antara pihak satu dengan pihak lain yang merupakan permulaan terjadinya interaksi sosial melalui tatap muka atau tatap mata secara langsung. Kontak mata juga dapat dijelaskan sebagai salah satu penghubung non verbal yang paling penting yang harus dimiliki untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain dimana terjadi pertemuan mata antara dua orang yang mengekspresikan komunikasi non verbal.
Menurut Brown (2008) kontak mata tidak hanya berhubungan dengan tatapan mata, tetapi juga berhubungan dengan gerak mata. Ketika seseorang berbincang dengan orang lain, memperhatikan gerakan mata merupakan hal yang alami dan bagian penting dalam proses komunikasi. Beberapa kebiasaan umum berkaitan dengan gerakan individu ketika berkomunikasi seperti:
menatap langsung, memalingkan pandangan, seberapa banyak berkedip atau seberapa lebar pupil mata seseorang berubah.
commit to user
Kesimpulan kontak mata menurut Endawan (2015) merupakan alat komunikasi non verbal yang penting dan terjadi saat dua individu melihat mata satu sama lain pada saat yang sama dan menjadi permulaan terjadinya interaksi sosial. Melalui kontak mata, individu dapat menyampaikan informasi sosial pada lawan bicara dan menghasilkan komunikasi yang efektif.
b. Aspek Kontak Mata
Endawan (2015) memaparkan, beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan kontak mata sebagai proyeksi pesan non verbal dalam proses komunikasi, diantaranya sebagai berikut:
1) Durasi
Kemampuan menjalin kontak mata umumnya dapat dilihat melalui frekuensi dan durasi yakni berapa kali dan berapa lama anak dapat bertahan menatap mata lawan bicara (Herliyanti & Sudarto, 2017).
Individu yang tidak melakukan kontak mata sama sekali atau hanya satu/dua detik, dapat membuat seseorang tidak nyaman bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan. Kontak mata mampu mengekspresikan keintiman. Pandangan langsung yang lebih lama akan menjadikan perhatian yang lebih intens. Tatapan mata yang tulus, jujur dan bersahabat akan memperlancar jalannya komunikasi. Oleh karena itu, individu perlu melatih matanya untuk berkomunikasi secara sopan dengan siapa saja.
2) Keterampilan berbicara
Saat berbicara dengan seseorang, ada baiknya individu juga memberikan jeda atau istirahat pada kontak mata baik setiap lima detik atau lebih. Hal ini dilakukan untuk menghindari ketidaknyamanan dalam pembicaraan karena tatapan yang terlalu lama dan intensif. Saat memutus kontak mata
commit to user
biasanya seseorang mengalihkan perhatiannya dengan melihat ke atas, ke samping, melihat ke bawah atau menunduk.
3) Keterampilan mendengarkan
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kontak mata saat mendengarkan pembicaraan seseorang adalah dengan melakukan kontak mata terhadap sebelah mata lawan bicara selama sekitar 5 detik, melihat mata lainnya selama 5 detik, kemudian melihat mulut selama 5 detik, dan terus berputar dengan cara tersebut. Keterampilan mendengarkan lain dapat ditambahkan seperti mengangguk, kata-kata persetujuan seperti “YA”, adalah cara terbaik untuk menjaga pembicara dan menunjukkan ketertarikan pada hal yang dibicarakan seseorang.
4) Perhatian dan ketertarikan
Kontak mata dapat terjadi ketika anak merasa tertarik dan menjadikan wajah lawan bicara sebagai titik fokusnya. Respon positif perlu diberikan pada anak seperti, mendengarkan apa yang anak katakan, tersenyum pada saat yang tepat, dan menaikkan alis di tempat yang tepat. Tersenyum saat mendengarkan seseorang adalah cara yang bagus untuk menunjukkan ketertarikan kepada lawan bicara.
Aspek tersebut di atas perlu diperhatikan saat seseorang ingin melakukan kontak mata dengan baik ketika berbicara dengan orang lain. Dengan kontak mata yang baik, lawan bicara akan merasa nyaman dan komunikasi dapat berjalan lancar dan efektif.
c. Faktor yang Mempengaruhi Kontak Mata pada Anak Autis
Rudy (2019) menjelaskan, anak dengan autisme umumnya menghindari kontak mata karena berbagai alasan. Sementara studi tidak sepenuhnya konklusif, temuan menunjukkan beberapa hal yang mengindikasikan faktor yang mempengaruhi kontak mata pada anak khususnya autisme, diantaranya:
commit to user
1) Sering tidak memiliki motivasi sosial yang biasanya mengarahkan anak- anak lain untuk melakukan kontak mata.
2) Merasa sulit untuk fokus pada bahasa lisan dan mata orang lain secara bersamaan.
3) Anak mungkin kurang memahami bahwa mengamati mata lawan bicara lebih penting dibandingkan, misal, memperhatikan mulut atau tangan orang yang berbicara padanya.
4) Menganggap kontak mata sebagai pengalaman sensorik yang sangat intens.
d. Fungsi Kontak Mata
Kontak mata atau tatapan mata (gaze) dalam proses komunikasi bertujuan untuk memberi informasi kepada pihak lain dan menerima informasi. Fungsi gaze diantaranya mencari umpan balik antara pembicara dan pendengar, menginformasikan pihak lain untuk berbicara, mengisyarakatkan sifat hubungan. Hubungan positif bila pandangan terfokus dan penuh perhatian dan hubungan negatif dapat terjadi jika ada penghindaran kontak mata (Kurniati, 2016). Selain itu, kontak mata juga bisa mengisyaratkan minat, kebosanan, empati, permusuhan, ketertarikan, pemahaman, kesalahpahaman, dan pesan-pesan lainnya (Brown, 2008).
Kontak mata punya dua fungsi dalam komunikasi antar individu.
Pertama, fungsi pengatur untuk memberi tahu orang lain apakah seseorang akan melakukan hubungan dengan orang tersebut atau menghindarinya.
Kedua, fungsi ekpresif yaitu memberitahu orang lain bagaimana perasaan seseorang terhadapnya. Kode-kode bahasa tubuh bisa mengindikasikan bangkitnya emosi secara umum atau kondisi emosional yang spesifik (Fiske, 2012).
Menurut Bimo (2017) ada beberapa fungsi kontak mata dalam komunikasi non verbal, diantaranya sebagai berikut:
commit to user
1) Menunjukkan rasa percaya diri
Biasanya kontak mata sering dijadikan nilai yang menunjukkan rasa percaya diri seseorang. Pendengar akan menilai seberapa percaya diri seorang komunikator dalam menjelaskan suatu hal dihadapannya. Mata yang memandang pendengar dan mata yang menatap pasti, tegas, tajam, memiliki arti bahwa komunikator memiliki rasa percaya diri saat menjelaskan dihadapan orang lain.
2) Menunjukkan rasa ketertarikan
Apabila seseorang sedang mendengarkan pembicaraan orang lain maka berikan sentuhan komunikasi non verbal berupa kontak mata. Hal ini menunjukkan fungsi kontak mata dalam komunikasi non verbal sebagai rasa ketertarikan atau minat pendengar untuk melanjutkan komunikasi ke tahap berikutnya. Fungsi kontak mata ini biasanya terjadi saat mendengarkan perintah, cerita, dan topik-topik komunikasi yang berkaitan dengan pendengarnya. Ketika seseorang tidak melakukan kontak mata dengan semestinya terhadap pembicara maka pendengar bisa jadi tidak tertarik terhadap pembicaraan tersebut.
3) Menunjukkan ekspresi
Wajah menjadi komunikasi non verbal utama untuk menunjukan ekspresi. Kontak mata menjadi salah satu alat ekspresi seseorang. Jika individu ingin mengatahui bagaimana perasaan seseorang maka dapat melihat pandangan matanya. Misalnya, jika seseorang menatap ke bawah saat dinasehati berarti individu tersebut mengakui kesalahannya.
Individu yang tatapan matanya terlihat kosong biasanya orang tersebut memiliki masalah yang membuat hatinya sedih.
4) Tanda dari sifat suatu hubungan
Kontak mata yang dilakukan dalam komunikasi menjadi salah satu tanda dari sifat suatu hubungan. Ketika berbicara dengan orang lain dan
commit to user
melakukan kontak mata lebih banyak, artinya ada kedekatan atau keakraban dalam hubungan yang mempunyai dampak positif antara pembicara dan pendengarnya.
5) Menunjukkan rasa menghargai
Seseorang cenderung lebih merasa dihargai ketika ada kontak mata saat pembicaraan. Hal ini menunjukkan fungsi kontak mata dalam komunikasi non verbal sebagai rasa menghargai. Sering kali seseorang merasa diabaikan ketika sedang berbicara, tetapi pendengarnya sibuk melakukan aktivitas sendiri seperti bermain HP, membaca buku, dan aktivitas di luar komunikasi tersebut.
6) Menjaga umpan balik
Komunikasi yang efektif akan menghasilkan umpan balik yang baik pula.
Kontak mata berperan penting dalam komunikasi tatap muka. Kontak mata memiliki berbagai macam fungsi, salah satunya menjaga umpan balik. Ketika seseorang berbicara dengan orang lain kontak mata menjadi bermakna bahwa orang yang berbicara memilik rasa keseriusan untuk mendapatkan umpan balik dari pendengarnya, sehingga komunikasi tetap berjalan dan umpan balik tetap terjaga keutuhannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kontak mata memiliki beberapa fungsi penting kaitannya dengan interaksi sosial seperti menunjukkan ketertarikan pada lawan bicara, bentuk ekspresi, empati, kebosanan, tanda kedekatan atau keakraban individu, dan sebagainya.
3. Applied Behavior Analysis (ABA) a. Pengertian ABA
Menurut Handojo (2009) metode ABA adalah metode tata laksana perilaku yang berkembang sejak puluhan tahun, ditemukan oleh psikolog Amerika, Ivar O. Lovaas. Lovaas memulai eksperimen dengan cara mengaplikasikan teori Skinner, Operant Conditioning. Di dalam teori ini
commit to user
disebutkan suatu pola perilaku akan menjadi mantap jika perilaku itu diperoleh si pelaku (penguat positif) karena mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tidak diinginkan (penguat negatif). Sementara suatu perilaku tertentu akan hilang bila perilaku itu diulang terus menerus dan mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan (hukuman) atau hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).
Lebih lanjut, Handojo mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan metode ABA adalah suatu cara pendekatan dan penyampaian materi kepada anak autis yang dilakukan dengan kehangatan, tegas, tanpa kekerasan, adanya prompt dan apresiasi anak dengan imbalan yang efektif.
ABA dianggap paling bermanfaat pada penggunaan spesifik bagi intervensi awal yang intensif bagi anak-anak, mengatasi tantangan perilaku dan aspek tertentu komunikasi dan interaksi sosial. Dalam praktik ABA, meningkatnya minat kepada ‘dukungan positif’ lebih menekankan pujian (daripada penghargaan aktual seperti penanganan yang bisa dimakan).
Interaksi-interaksi dengan orang lain yang gembira melebihi penghargaan dari orang dewasa yang netral (Sastry & Aguirre, 2014).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode ABA merupakan metode yang mengajarkan kedisiplinan dimana pada kurikulumnya telah dimodifikasi dari aktivitas sehari-hari dan dilaksanakan secara konsisten untuk meningkatkan perilaku yang signifikan. Pendekatan juga dilakukan dengan tegas namun tanpa kekerasan, adanya prompt dan apresiasi untuk anak.
b. Teknik Dasar Pelaksanaan Metode ABA
Menurut Nuranisah (2015) teknik ABA yang berdasarkan pada behavior modification atau Discrete Trial Training menggunakan urutan: A-B-C. A atau Antecedent (pra-kejadian) adalah pemberian intruksi, misalnya:
pertanyaan, perintah atau visual. Berikan waktu 3-5 detik untuk anak commit to user
memberi respon. Dalam memberikan intruksi, perhatikan bahwa anak ada dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan di bawah). Suara dan intruksi harus jelas, dan intruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakan satu kata perintah.
B atau behavior (perilaku) adalah respon anak. Respon yang diharapkan haruslah jelas dan anak memberi respon dalam 3 detik. Mengapa demikian, karena ini normal dan dapat meningkatkan perhatian. C atau consequence (konsekuensi atau akibat). Konsekuensi harus seketika, berupa reinforcer (pendorong atau penguat) atau “TIDAK”.
4. Discrete Trial Training (DTT) a. Pengertian DTT
Texas Statewide Leadership for Autism (2009) memaparkan, Discrete trial training (DTT) merupakan strategi analisis perilaku terapan yang berfokus pada perolehan keterampilan dengan memanipulasi urutan antecedents dan consequences. Komponen utama pelatihan DTT meliputi instruksi, prompt, respon, konsekuensi, dan interval antarpercobaan.
Pelatihan DTT adalah teknik pengajaran keterampilan baru yang terdiri dari serangkaian pelajaran berulang yang berbeda atau uji coba yang diajarkan satu per satu. Lovaas mendefinisikan DTT sebagai ‘unit pengajaran tunggal’. DTT biasanya terdiri dari empat bagian: stimulus diskriminatif yaitu berupa instruksi, respon, konsekuensi atau stimulus penguat, dan interval antar-trial yaitu waktu tunggu. Selain itu, prompt dapat digunakan untuk membantu anak merespon dengan benar.
Rury (2019) menyatakan, DTT adalah membagi sebuah kemampuan menjadi langkah-langkah kecil dan mengajarkan satu langkah dalam satu waktu sampai menjadi mahir. Sistem pengajarannya dalam bentuk pengulangan (repetisi) dengan memberikan reinforcement, jika perlu dibantu dengan prosedur prompt. DTT adalah salah satu teknik pengajaran dibawah
commit to user
naungan ilmu Applied Behavior Analysis. Jadi, DTT tidak sama dengan ABA, tetapi merupakan sebagian kecil dari ABA.
b. Teknik Dasar DTT
Rury (2019) menjelaskan terdapat beberapa dasar yang harus ada dalam siklus DTT, diantaranya:
1) Instruksi/stimulus discrimination
Stimulus discrimination adalah stimulus/instruksi dari lingkungan yang memberikan sinyal kepada perilaku yang berhubungan dengan reinforcement. Instruksi ini harus sederhana, padat dan jelas. Setelah anak paham dan memiliki level bahasa yang cukup instruksi di atas pelan-pelan akan dibuat lebih alami. Bersamaan dengan instruksi, tidak ada perintah lain seperti “duduk tenang”, “tangan yang manis”, “lihat saya” atau sebut nama anak sebelum instruksi. Dalam memberikan instruksi pernyataannya harus spesifik, satu langkah pada waktu itu.
Meskipun anak tidak respon, instruksi jangan diulang-ulang.
2) Respon
Respon dalam bentuk behavior sebagai respon dari instruksi. Bentuk dari responnya adalah bisa benar atau tidak benar. Ketika anak memberikan respon kita harus menilai kualitas dari responsnya seperti apa. Kontak mata, atensi ke terapis dan usaha anak. Berikan waktu 3 detik pada responnya. Pemberian respon harus konsisten.
3) Feedback/reinforcement
Feedback adalah konsekuensi yang mengikuti respon dari anak.
Feedback memberikan tanda pada anak bahwa responnya benar atau tidak benar. Respon harus konsisten untuk setiap terapis. Reinforcement diberikan untuk meningkatkan kemungkinan behavior akan terjadi lagi.
commit to user
4) Prompt
Prompt adalah petunjuk dari terapis untuk memberikan jawaban yang benar.
Prompt ini sangat berguna untuk pada awal belajar untuk mengurangi frustasi, meningkatkan motivasi dan kecepatan belajar. Perlu diperhatikan, prompt harus dikurangi secara perlahan sebelum anak tergantung dengan prompt. Terkadang terapis tidak sadar memberikan prompt kepada anak misalnya dengan lirikan mata perubahan intonasi dan kecepatan berbicara yang merujuk pada jawaban yang benar.
c. Manfaat DTT
Texas Statewide Leadership for Autism (2009) menyatakan, pelatihan DTT dapat membantu dalam penanganan masalah dan bermanfaat bagi anak autis karena:
1) Dalam pelatihan DTT, tugas dipecah menjadi uji coba singkat dan sederhana yang mengakomodasi kebutuhan individu dengan rentang perhatian pendek.
2) Pelatihan DTT berupaya membangun motivasi dengan menghargai kinerja perilaku yang diinginkan dan menyelesaikan tugas dengan penguatan nyata atau eksternal.
3) Stimulus yang disajikan dalam pelatihan uji coba terpisah jelas dan relatif konsisten. Anak diberi hadiah hanya untuk perilaku sebagai respon terhadap rangsangan tersebut.
4) Pelatihan DTT mengajarkan keterampilan dan perilaku secara eksplisit (pembelajaran sebab-akibat).
5) Instruksi yang diberikan dalam pelatihan DTT sederhana, konkret, dan jelas hanya memberikan informasi yang paling menonjol.
6) Pelatihan DTT juga dapat dirancang untuk mengajarkan pengambilan perspektif dan keterampilan kognisi sosial secara eksplisit.
commit to user
d. Prosedur DTT
Menurut Rury (2019) untuk prosedur DTT sendiri bervariasi. Masing- masing terapis memiliki kebijaksanaan sendiri asalkan dilakukan sesuai prinsip siklus DTT dan didasari dengan prosedur yang evidence based atau memiliki prosedur yang bisa dipertanggung jawabkan referensinya. Ada terapis yang memilih untuk menggunakan prompt langsung (MLT=Most to Least prompting) seperti errorless learning, maksudnya prosedur dengan memberikan prompt di awal setelah instruksi untuk memastikan anak menjawab dengan benar. Errorless learning dilakukan dengan tujuan mengurangi frustasi anak dan meningkatkan motivasi. Selain itu, ada center yang memilih untuk menggunakan NNP (no-no-prompt) maksudnya adalah dua kali jawaban berturut-turut salah, baru kemudian anak diberikan prompt.
Untuk prosedur jika anak melakukan kesalahan, prosedur koreksi juga bervariasi. Apakah perlu berkata “tidak/salah/stop” atau langsung saja tanpa komentar presentasi tugas berikut dengan prompt. Untuk prosedur yang terakhir, anak akan paham salah karena tidak menghasilkan reinforcer dan dilakukan pengulangan tugas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa frustasi karena untuk beberapa anak, kata-kata “tidak/salah/stop” akan berkonotasi negatif dan mengurangi motivasi. Prosedur apapun, yang pasti jika anak melakukan kesalahan, beri kesempatan anak untuk melakukan tugas lagi secara benar. Jangan hanya memberikan koreksi secara verbal atau contoh yang benar, tetapi anak harus mencobanya berulang-ulang keterampilan baru tersebut sampai benar dan mandiri.
B. Kerangka Berpikir
Anak autis merupakan anak yang memiliki hambatan dalam beberapa aspek perkembangan, salah satunya yaitu aspek komunikasi yang mencakup kemampuan menggunakan komunikasi verbal dan non verbal dalam berinteraksi dengan orang lain
commit to user
(Mudjito, 2016). Hambatan komunikasi tersebut juga ditunjukan dengan tidak adanya kontak mata saat anak berinteraksi dengan lawan bicaranya.
Menurut Thompson (2010) saat melakukan interaksi umumnya orang-orang melakukan kontak mata, namun anak autis terkadang memandang dengan tatapan hampa dan sebagian tidak bisa menangkap tanda yang ditunjukkan oleh orang untuk mengungkapkan perasaan secara emosional. Permasalah kontak mata pada anak autis perlu ditangani dengan metode yang tepat, agar tidak mengganggu perkembangan lain pada anak seperti gangguan perilaku dan interaksi sosial.
Metode yang terbukti mampu meningkatkan kemampuan kontak mata yaitu metode ABA. Handojo (2009) mengungkapkan bahwa metode ABA adalah cara pendekatan dan penyampaian materi kepada anak autis yang dilakukan dengan kehangatan, tegas, tanpa kekerasan, adanya prompt dan apresiasi anak dengan imbalan yang efektif.
Rury (2019) menambahkan, salah satu Teknik dalam metode ABA yaitu DTT. Pelatihan DTT berupaya membangun motivasi dengan menghargai perilaku yang diinginkan. Stimulus dan instruksi yang disajikan jelas dan relatif konsisten.
Anak diberikan reinforcement saat berhasil menunjukkan perilaku/repon yang diinginkan, hal ini untuk meningkatkan kemungkinan behavior selanjutnya. Melalui teknik tersebut, anak autis dapat berinteraksi dengan lebih intensif dan hangat. Pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan anak dalam mempertahankan kontak mata.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian subjek tunggal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
commit to user
Gambar 2.1: Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Menurut Sugiyono (2014) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikiran yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang rumuskan. Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian ini adalah “Metode Applied Behavior Analysis (ABA) melalui Teknik Discrete Trial Training (DTT) dapat meningkatkan kontak mata anak autis.”
Anak Autis mempunyai hambatan pada kemampuan
komunikasi
Permasalahan komunikasi non verbal terutama kontak mata
Metode ABA dikembangkan dengan prinsip kehangatan, tegas, tanpa kekerasan, adanya prompt dan
apresiasi
Metode ABA melalui Teknik DTT untuk meningkatkan kemampuan mempertahankan kontak mata pada
anak autis
Kemampuan mempertahankan kontak mata anak autis meningkat
commit to user