• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Lingkungan Fisik Kerja

Menurut (Komarudin, 2002) lingkungan fisik kerja yaitu segala sesuatu yang berada pada lingkungan tempat kerja karyawan dapat mempengaruhi kinerjanya dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan. Menurut (Sedarmayanti, 2001) yang dimaksud lingkungan fisik kerja adalah keadaan berbentuk fisik disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa lingkungan fisik kerja berati segala hal di sekitar karyawan bekerja yang dapat mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan beban tugas atau kerjaanya.

Faktor-faktor lingkungan kerja fisik dalam aktivitas organisasi yaitu : 1. Lingkungan yang berhubungan langsung dengan karyawan seperti:

pusat kerja, meja, dan kursi.

2. Lingkungan perantara (lingkungan umum)

Lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia. Lingkungan kerja non fisik adalah keadaan keadaan yang terjadi berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan sesama rekan kerja, dan hubungan dengan atasan. Untuk dapat mengurangi pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan yaitu langkah awal harus mempelajari tentang manusia, baik fisik ataupun tingkah laku kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai.

Penelitian yang dilakukan oleh (Susilo, 2013) diketahui bahwa lingkungan fisik dan lingkungan kerja non fisik secara signifikan berpengaruh terhadap stress kerja karyawan. Besarnya kontribusi terhadap stress kerja dalam kategori tinggi yaitu 65,7% sedangkan sisanya 34,4% oleh faktor lain seperti masalah pribadi ataupun masalah keluarga.

(2)

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan fisik kerja

Berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja fisik antara lain yaitu:

1. Penerangan cahaya

Pencahayaan ditempat kerja sangat penting sekali sangat besar manfaatnya bagi para pekerja untuk keselamatan dan kelancaran dalam bekerja.

2. Temperatur

Menurut (Sutalaksana et al., 1979) perbedaan tingkat temperatur memberikan hasil pengaruh yang berbeda-beda seperti:

a. 49°c : Temperatur dapat ditahan sekitar 1 jam diatas tingkat kemampuan fisik dan mental. Diatas 30°c aktivitas dan daya tahan tubuh mulai menurun cenderung kurangnya kosentrasi terhadap pekerjaan.

b. ±30°c : Daya tahan tubuh mulai menurun dan timbul kelelahan fisik c. ±24°c : Kondisi optimum

3. Kelembapan

Kelembapan di tempat kerja diakibatkan oleh banyaknya air yang terkandung didalam udara, diketahui dari hasil presentase.

4. Sirkulasi udara

Sirkulasi udara ditempat kerja yaitu oksigen (O2) gas yang sangat penting dan paling dibutuhkan oleh makhluk hidup.

5. Kebisingan

Kebisingan ditempat kerja sangat mempengaruhi kosentrasi pekerja dalam menyelesaikan pekerjan atau tugas mereka.

6. Getaran mekanis

Getaran ditempat kerja ditimbulkan oleh alat mekanis, akibat dari getaran ini berdampak pada tubuh karyawan dan menyebabkan hal yang tidak diinginkan.

(3)

7. Bau-bauan

Bau ditempat kerja bisa menyebabkan polusi pada indra penciuman dan dapat menganggu kondisi kerja.

8. Tata warna dan Dekorasi

Tata warna yaitu pewarnaan ditempat kerja berupa warna yang berada ditembok yang perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dekorasi atau tata letak barang yang dapat membuat karyawan nyaman saat bekerja.

9. Musik

Dengan adanya musik yang sesuai di ruang kerja dapat membuat rileks dalam mengerjakan pekerjaannya.

10. Keamanan

Keamanan merupakan faktor penting digunakan untuk menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja agar selalu tetap aman dan kondusif dari para kriminal.

2.2 Kebisingan

2.2.1 Pengertian Kebisingan

Menurut Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No.48 Tentang Baku Tingkat Kebisingan, Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Negara & Hidup, 1996).

Suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki disebut dengan bising. Bising menunjukan bahwa bising itu sangat subyektif dilihat dari masing- masing individu, waktu, dan tempat terjadi bising. Bising bisa disebut juga sebagai campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi (Lintong, 2013). Kebisingan semua suara yang tidak dikehendaki yang sumber suara berasal dari alat proses produksi atau alat kerja yang pada tingkat tertentu bisa menyebabkan gangguan pendengaran (Inspection & Primatexco, 2017).

(4)

2.2.2 Sumber Kebisingan

Kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari pengoperasian mesin produksi, proses produksi yang dipakai untuk melakukan pekerjaan, seperti:

1. Suara mesin genset 2. Mesin-mesin produksi

3. Alat-alat yang menimbulkan suara atau getaran 4. Generator mesin diesel untuk pembangkit listrik

Menurut Dirjen PPM dan PL,DEPKES dan KESSOS R1, 2000 sumber kebisingan dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Bising Industri

Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan ataupun warga yang bertempat tinggal di

sekitar wilayah industri. Industri yang dimaksud seperti: pabrik, umkm, bengkel. Klasifikasi dibagi menjadi 3 :

• Vibrasi

Kebisingan terjadi karena gesekan, benturan, atau ketidakseimbangan gerakan mesin. Terjadi di piston, fan, roda gigi.

• Mesin

Kebisingan terjadi diakibatkan oleh mesin.

• Pergerakan udara, gas, dan cairan

Kebisingan terjadi karena proses kerja industri, seperti: pipa gas buang, pipa cairan gas.

2. Bising Rumah Tangga

Kebisingan yang terjadi di rumah tangga tidak setinggi kebisingan yang berasal dari industri.

3. Bising Spesifik

Kebisingan yang diakibatkan oleh kegiatan khusus, seperti: pemasangan tiang pancang bangunan atau tiang pancang tol (Bahri et al., 2019).

(5)

2.2.3 Jenis Kebisingan

Kebisingan ditempat kerja dibagi menjadi 3 yaitu : (Perlin, 2002) 1. Continuous Noise

Jenis kebisingan yang memiliki tingkat frekuensi konstan. Kebisingan ini memajan pekerja dengan periode waktu 8 jam/ hari atau 40 jam/minggu.

2. Intermittent Noise

Jenis kebisingan ini merupakan kebisingan yang memajan pekerja hanya pada waktu tertentu selama jam kerja. Contoh: supervisor yang meninggalkan area kerjanya yang tenang menuju area tempat kerja yang bising.

3. Impact Noise

Jenis kebisingan implusif yaitu kebisingan yang menimbulkan hentakan suara yang keras dan terputus kurang dari 1 detik. Contoh: Suara ledakan atau pukulan palu.

Menurut (Buchari, 2007) bising dibagi menjadi tiga berdasarkan pengaruhnya pada manusia yaitu :

a. Irriating noise ( Bising yang menganggu)

kebisingan dengan intesitas tidak terlalu keras kurang dari nilai ambang batas (NAB).

b. Masking noise (Bising yang menutupi)

Kebisingan yang dapat menutupi pendnegaran yang jelas, hal ini dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja.

c. Damaging/injurious noise ( Bising yang merusak)

Kebisingan dengan intesitas diatas nilai ambang batas (NAB) dapat menurunkan fungsi pendengaran.

2.2.4 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51 (Kementerian Ketenagakerjaan RI, 1999) menetapkan bahwa Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan Kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari waktu tidak melebihi

(6)

8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Pasal 3 menyebutkan bahwa NAB kebisingan ditetapkan sebesar 85 dB.

Tabel 2. 1 Nilai Ambang Batas (NAB)

NILAI AMBANG BATAS KEBSINGAN

Waktu Pemajanan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB

8 4 2 1

Jam

85 88 91 94

30 15 7,5 3,75 1,88 0,94

Menit

97 100 103 106 109 112

(7)

28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11

Detik

115 118 121 124 127 130 133 136 139

Sumber : KEP.51/MEN/1999

Tabel 2. 2 Baku Tingkat Kebisingan

PEMBENTUKAN KAWASAN/LINGKUNGAN

KEGIATAN

TINGKAT KEBISINGAN dB

(A)

a. Pembentukan Kawasan

1. Perumahan dan Pemukiman 2. Perdagangan dan Jasa

3. Perkantoran dan Perdagangan 4. Ruang Terbuka Hijau

55 dB 70 dB 65 dB 50 dB

(8)

5. Industri

6. Pemerintah dan Fasilitas Umum 7. Rekreasi

8. Khusus:

a. Bandar Udara b. Stasiun Kereta Api c. Pelabuhan laut d. Cagar Budaya

70 dB 60 dB 70 dB 60 dB

- - 70 dB 60 dB b. Lingkungan Kegiatan

1. Rumah Sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya

3. Tempat Ibadah atau sejenisnya

55 dB 55 dB 55 dB

Sumber : Kep-48/MENLH/11/1996 2.2.5 Pengukuran Kebisingan

Menurut No.48/MenLH/II/1996 menjelaskan bahwa metoda pengukuran dibagi mejadi dua cara yaitu (Negara & Hidup, 1996) :

2.2.5.1 Metode pengukuran 1. Cara sederhana

Menggunakan alat yaitu sound level meter digunakan untuk mengukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 detik.

(9)

2. Cara Langsung

Menggunakan intergrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, pengukuran dilakukan selama 10 menit.

Keterangan:

Leq = Equivalent continuous noise level atau tingkat kebisingan sinambung yaitu nilai tertentu kebisingan yang berubah-ubah pada selang waktu yang sama.

Satuan dB (A)

LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik LSM = Leq selama siang dan malam hari

LS = Leq selama siang hari LM = Leq selama malam hari 3. Sound Level Meter

Alat pengukuran yang utama yaitu sound level meter. Menurut standar nasional Indonesia penggunaan SLM mengukur kebisingan 30 – 130 dB dan frekuensi 20 – 2000 Hz. Komponen dasar yaitu weighting network, microphone, amplifer, dan recifer. A weighting atau dBA digunakan untuk alat prediksi kehilangan pendengaran karena kebisingan (Departemen Pekerjaan Umum, 2004).

4. Langkah pengukuran kebisingan

• Dilakukan pengukuran menggunakan alat Sound Level Meter tipe Hp844A, Stopwatch, Ringlight tipe Takara Ring 110, dan Form Kebisingan.

• Pengukuran dilakukan dengan jarak 3,5m dari sumber bising untuk menghindari pantulan suara, ketinggian Ringlight 1,5m, jarak operator dengan alat Sound Level Meter 0,5m, dan microphone pada Sound Level Meter perlu diarahkan pada sumber kebisingan.

• Pengisian form kebisingan dilakukan selama 10 menit per mesin dicatat per 5 detik. Total 12x untuk per 5 detik sebanyak 10 kolom. Perline pada departemen bare core terdapat 3 mesin digunakan maka total perline 30 menit.

(10)

• Jika data sudah lengkap untuk semua mesin yang digunakan selanjutnya diolah menggunakan rumus Mentri Lingkungan Hidup No 48 Tahun 1996.

2.2.5.2 Metode Perhitungan

Perhitungan tingkat kebisingan dilakukan dengan menggunakan tingkat kebisingan equivalen (Leq) sebagai berikut (Bising & Pt, 2013):

Leq = 10 Log 1

𝑇∑ 10(𝐿𝑛10)

𝑛 𝑖=1

……….. (1) Leq = 10 Log 1

24 {10𝐿𝑠10+ 10𝐿𝑚10} …………...… (2) Keterangan :

Leq = Tingkat bunyi equivalen (dB) Ln = Hasil dari nilai tengah

Ls = Tingkat bunyi pada siang hari (dB) Lm = Tingkat bunyi pada malam hari (dB) T = Periode waktu pengukuran

F = Fraksi waktu pengukuran

2.2.6 Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan

Menurut (Harrianto, 2010) kebisingan dapat mengakibatkan pengaruh terhadap pekerja yaitu:

1. Pengaruh Fisiologis

Kebisingan bernada tinggi sangat menganggu, terlebih kebisingan yang datang secara mendadak dan tidak terduga. Hal ini dapat mengakibatkan reaksi fisiologis seperti gangguan tidur, pucat, gangguan sensori, tekanan darah, dan peningkatan denyut nadi. Kebisingan yang diakibatkan gangguan fisiologis:

a. Internal Body System adalah sistem fisiologis yang berperan untuk kehidupan seperti cardiovaskular, gastro intestinal, muscoskelektal dan endoktrin.

b. Ambang Pendengaran adalah suara terendah yang masih dapat di dengar manusia.

c. Pola tidur (sleep pattern)

(11)

2. Pengaruh Psikologis

Kebisingan yang disebabkan oleh pengaruh psikologis menyebabkan stabilitas mental, rasa jengkel, menimbulkan rasa khawatir. Reaksi yang timbul seperti mudah tersinggung, gugup, jengkel, dan marah. Kebisingan dikatan menganggu apabila seseorang mulai meninggalkan sumber bising tersebut.

3. Gangguan Komunikasi

Gangguan komunikasi dapat menyebabkan terganggunya pekerjaan dan perbedaan pemahaman antar pekerja dalam menerima pesan yang ingin disampaikan. Penyebab gangguan jenis ini yaitu masking effect dari kebisingan dan gangguan kejelasan suara.

4. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran yang disebakan oleh bising yaitu ketulian atau disebut gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau bisa disebut noise induced hearing loss (NIHL) yang merupakan ketulian permanen.

Menurut (Sudarmaji et al., 2006) efek dari kebisingan terhadap kesehatan manusia terbagi menjadi dua macam yaitu :

1. Auditory effect (efek kebisingan pada pendengaran)

a. Permanent therhold shift (pergeseran nilai ambang batas menetap), terjadi ditempat kerja karena trauma akustik dan kebisingan dapat terjadi bukan ditempat kerja.

b. Temporary threshold shift (pergeseran nilai ambang batas sementara) yang bersifat sementara dan non patologis.

c. Trauma akustik, terjadi akibat pemaparan intensitas kebisingan yang sangat tinggi secara tiba-tiba.

2. Non auditory effect (efek kebisingan bukan pada pendengaran)

a. Kelelahan dapat mengakibatkan banyak terjadinya gangguan seperti: gangguan tidur (sleep Interference) diakibatkan bila tingkat intensitas suara di ruang tidur diatas 48 dB dan gangguan pelaksaan tugas (Task Interface) yang membutuhkan konsentrasi tinggi dalam menjalankan tugas.

(12)

b. Penyakit akibat stress, hal dapat mengakibatkan gangguan fungsi pendengaran secara bertahap, tuli/ penurunan daya dengar, dan menurunkan daya konsentrasi.

c. Gangguan komunikasi, dapat mengakibatkan timbul salah pengertian antara pemberi pesan dan penerima pesan.

2.2.7 Kasus Gangguan Pendengaran di Indonesia

Menurut Kemenkes yang diinput dari jurnal (Harpini, 2019). Berdasarkan hasil riset Kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan oleh badan penelitian dan pengembangan kesehatan (Balitbangkes) tahun 2018, proporsi tuna rungu sejak lahir pada anak 24-59 bulan di Indonesia yaitu sebesar 0,11%. Menurut data sistem informasi manajemen penyandang disabilitas (SIMPD) sebanyak 7,03% yang merupakan penyandang tuna rungu. Kehilangan disebabkan oleh genetik, komplikasi yang terjadu pada saat lahir, penyakit menular tertentu, infeksi telinga kronis, penggunaan obat-obatan tertentu, paparan kebisingan yang berlebihan, dan penuaan.

Pada tahun 2013 menurut hasil Riskesdas terdapat 2,6% penduduk Indonesia dengan gangguan pendengaran, dengan provinsi NTT dan lampung sebagai prevelensi tertinggi, dan DKI Jakarta dengan Banten dengan prevelensi terendah. Penduduk yang mengalami gangguan pendengaran di Indonesia dibagi dalam beberapa kategori seperti

• Umur diatas > 75 tahun prevelensi 36,65%,

• Umur 65-74 tahun prevelensi 17,1%, dan untuk terendah pada umur 5-14 tahun

• Umur 15-24 tahun dengan prevelensi sebesar 0,8%.

2.3 Noise Induced Hearing Loss

2.3.1 Definisi Noise Induced Hearing Loss

Menurut (Salawati, 2003) Noise induced hiring loss (NIHL) yaitu gangguan pendengaran akibat terpapar kebisingan di lingkungan kerja dengan durasi waktu terpapar cukup lama. Memiliki gejala bilateral dan simetris pada telinga, mempengaruhi frekuensi yang lebih tinggi (3000 Hz, 4000Hz, 6000Hz) kemudian

(13)

menyebar ke frekuensi lebih rendah (0,5000 Hz, 1000Hz, 2000Hz. Menurut (Harrianto, 2010) NIHL merupakan tuli sensori yang disebabkan oleh pajanan kebisingan secara terus menerus selama bertahun-tahun. NIHL dapat terjadi secara permanent ataupun sementara dapat mempengaruhi salah satu dari telinga bahkan bisa mempengaruhi kedua telinga.

Menurut (Foundation, 2012) Penyebab utama terjadinya NIHL yaitu intensitas suara. Intensitas suara dikatakan aman jika kurang dari 85 dB. Dan suara yang lebih dari 85 dB mengakibatkan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dimulai dari frekuensi tinggi sehingga yang mengalami gangguan pendengaran kesulitan jika harus mendengarkan suara dengan frekuensi yang tinggi. Hal ini menyebabkan distorsi sehingga jika orang lain mengatakan sesuatu sulit untuk dimengerti meskipun dapat terdengar. Faktor lain seperti durasi juga dapat mempengaruhi NIHL. Semakin lama durasi terpapar suara frekuensi tinggi maka semakin besar kerusakan yang terjadi.

2.3.2 Klasifikasi Noise Induced Hearing Loss

Menurut (Salawati, 2003) klasifikasi noise induced hearing loss (NIHL) dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. Noise induced tempory threshold shift

Noise induced tempory threshold shift (NITTS) atau dikenal dengan trauma akustik yaitu istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketulian akibat bising akibat ledakan hebat, suara tembakan pistol, dentuman mengakibatkan trauma langsung ke telinga.

Hal ini menyebabkan kerusakan pada saraf telinga bagian dalam. Gangguan yang terjadi bisa di salah satua atau kedua telinga. Pada tingkat awal dapat terjadi pergeseran pada ambang pendengeran yang bersifat sementara. Penderita harus beristirahat di luar lingkungan bising maka pendengaran akan normal kembali.

NITTS dipengaruhi oleh lamanya pemajaan, tingginya tingkat suara, spektrum suara, kepekaan individu, dan pengaruh obat serta keadaan kesehatan.

2. Noise induced permanent threshold shift

(14)

Noise induced permanent thershols shift (NIPTS) atau dikenal dengan ketulian akibat paparan kebisingan yang lebih lama dan intensitas lebih besar. Ada beberapa faktor yang dapat merubah NIPTS menjadi NITTS yaitu masa kerja yang lama di lingkungan bising, kepekaan seseorang terhadap kebisingan, dan tingkat kebisingan.

NIPTS dapat terjadi di frekuensi bunyi 4000 Hz. Pada awalnya penderita akan mengalami kesulitan untuk mendengarkan percakapan di tempat yang ramai, jika keluhan sudah menyebar ke frekuensi yang lebih rendah maka penderita kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Jika mendengar suara dengan frekuensi 4000 Hz secara terus menurus dalam kurun waktu 10 tahun maka dampak yang diakibatkan yaitu kehilangan pendengaran.

2.3.3 Pemeriksaan Pendengaran

Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan menggunakan alat audiometer. Menurut (Ballenger, 1994) Audiometer adalah alat elektronik yang digunakan untuk mengukur ambang pendengaran atau digunakan untuk mendiagnosis pendengaran seseorang. Cara yang digunakan yaitu dengan kedua telinga akan dipasang headphone sedangkan untuk memeriksa gangguan pendengaran sensorineural kedua telinga dipasang alat bone vibrator. Audiometer dapat menghasilkan nada murni ada frekuensi terntentu, intensitas tertentu, baik tunggal ataupun gabungan. Audiometer dibagi menjadi dua yaitu

a. Audiometer nada murni

Alat uji pendengeran dengan menghasilkan nada murni 250 Hz, 500 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan tarif intensitas dalam satuan dB. Derajat ketulian pada frekuensi nada murni yaitu :

• Jika peningkatan ambang dengar 0-25 dB = normal

• Jika peningkatan ambang dengar 26-40 dB = tuli ringan

• Jika peningkatan ambang dengar 41-60 dB = tuli sedang

• Jika peningkatan ambang dengar 61-90 dB = tuli berat

• Jika peningkatan ambang dengar >90 dB = tuli sangat berat

(15)

b. Audio tutur

Alat uji pendengaran dengan menggunakan kata-kata terpilih yang sudah dibakukan dan dikaliberasi untuk mengukur aspek kemampuan pendengaran.

Interpretasi hasil audiometer tutur yaitu:

• Ringan taraf 20-40 dB masih bisa mendengar

• Sedang taraf 40-60 dB masih bisa mendengar

• Berat taraf 60-80 dB sudah tidak dapat mendengar

• Berat sekali >80 dB tidak dapat mendengar

Noise induced hiring loss (NIHL) merupakan tuli sensorineural menghasilkan pola “U/V” di frekuesni 4000 Hz. Audiogram menunjukan pola yang berbeda pada gangguan pendengaran karena penyakit merupakan ketulian kondusif.

2.3.4 Pengendalian Kebisingan

Menurut (Luxson et al., 2012) mengurangi resiko kebisingan merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah resiko ke pekerja, dan yang menjadi pertimbangan yaitu alat-alat perlengkapan pekerjaan dan tempat kerja. Perlindungan pendengaran memiliki dua strategi di sesuaikan dengan prioritasnya yang dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Pendekatan arahan prinsip

Pendekatan arahan prinsip adalah pendekatan dengan penghilangan kebisingan dengan cara mencari metode alternatif seperti: memindahkan pekerja ke area yang memiliki tingkat kebisingan lebih rendah, penyekatan atau mengurangi kebisingan di dalam ruang kedap bunyi. Melapisi dinding di permukaan dengan bahan penyerapan bunyi, menggantung panel-panel penyerap bunyi, dan mengarahkan lubang keluar ventilasi menjauh dari area kerja dan lingkungan sekitar.

b. Pendekatan pragmatis

(16)

Cara yang bisa dilakukan yaitu

▪ Mengurangi sumber bising

Di dalam ruangan, tutup mesin yang bising dengan rapat agar suara tidak keluar dan membutuhkan ventilasi supaya mesin tidak panas yang bisa menyebabkan rusak.

▪ Mengurangi kebisingan pada sumber

Menggunakan kompenen non logam dengan cara menghilangkan efek bedering pada kompenen mesin menghilangkan frekuensi listrik yang berdengung, melakukan pemeliharaan terencana untuk menjaga kompenen sumber bising, menggunakan pembungkam saluran buang, dan memakai kipas standar yang tidak mengeluarkan suara bising.

▪ Merekayasa dengan mengganti peralatan

Dengan cara mendesain ulang dan memodifikasi peralatan, bisa dengan mengubah tata letak peralatan di area kerja, sehingga pekerja berada pada kondisi tingkat kebisingan yang dapat diterima.

▪ Memisahkan para pekerja

Pekerja berada di dalam ruangan kedap bunyi, melarang penggunaan walkam atau radio lainnya, membutuhkan jendela atau ventilasi mengendalikan proses.

▪ Menyerap bising

Dengan menggunakan material seperti: panel yang berdiri di area kerja, pelapis dinding, dan panel atau tirai gantung

▪ Dengan menggunakan alat pelindung pendengaran yang diberikan kepada setiap pekerja untuk menjamin pendengaran terlindung dengan baik alat ini terbagi menjadi dua yaitu (Buchari, 2007):

- Earplug (sumbat telinga) digunakan untuk proteksi hingga 100 dB dan dapat mengurangi kebisingan 8 – 30 dB

- Earmuff (tutup telinga) digunakan untuk proteksi hingga 110 dB dan dapat mengurangi kebisingan 25 - 40 dB

- Helm (helmet) dapat mengurangi kebisingan sampai dengan 20 -50 dB

(17)

2.3.5 Penilaian Kebisingan (Noise Measurement)

Penilaian kebisingan (Noise Measurement) menggunakan skala linkert yaitu alat ukur perilaku individu perlu dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan dalam analisis data. Skala linkert menggunakan skor total dari semua butir pertanyaan. Skala linkert menggunakan beberapa butir pertanyaan untuk mengukur perilaku individu dengan 5 titik pilihan yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat setuju (Budiaji, 2013). Menurut (Sugiyono, 2013) skala linkert dipakai untuk mengukur pendapat, persepsi seseorang, dan sikap tentang fenomena sosial. Dalam penelitian dimaksud fenomena sosial telah ditetapkan oleh peneliti, selanjutnya disebut variabel penelitian.

Dengan memakai skala linkert maka variabel akan diukur sebagai indikator variabel, lalu indikator ini akan dijadikan sebagai item-item instrument berupa peryataan dan pertanyaan.

2.3.6 Kuesioner Penelitian

Dalam penelitian memerlukan kuesioner untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner di dapatkan dari penelitian terdahulu oleh (Hon et al., 2020) dan (Davies & Shoveller, 2009) serta di seseuaikan dengan variabel yang digunakan dalam penelitian.

2.4 Faktor Risiko Keluhan Noise Induced Hearing Loss

Menurut konsep dari Lawrence Green tentang teori Precede - Procede dalam teori ini menjelaskan bahwa dapat membantu dalam merancang program kesehatan, pembuatan kebijakan untuk program kesehatan yang efektif dan efesien. Konsep ini digunakan karena kompenen di dalamnya susuai dengan variabel dalam penelitian ini. Dalam teori ini permasalahan kesehatan terjadi karena pengaruh perilaku manusia dan lingkungan eksternal secara bersamaan (Rahmiyati, 2019). Terdapat juga pendapat yang dikemukakan menurut (Basuki, 2009) bahwa diagnosis epidemiologis atau permasalahan kesehatan dapat terjadi disebabkan oleh perilaku manusia dan pengaruh lingkungan eksternal terjadi bersamaan. Faktor risiko di sesuaikan dengan keadaan lingkungan perusahaan yang dapat menyebabkan resiko terhadap pekerja. Faktor – faktor tersebut

(18)

seperti : faktor individu yaitu usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh, aktivitas rutin, dan masa kerja, faktor pekerjaan yaitu intensitas kebisingan, dan faktor lingkungan yaitu kebisingan.

2.4.1 Faktor Individu 2.4.1.1 Usia

Menurunnya kemampuan mendengar akibat pertambahan usia disebut presbycusis.

Presbycusis juga bisa disebabkan oleh degrenerasi organ pendengaran dan bersifat progresif simetris bilateral. Gejala awal ditandai dengan sulitnya mendengar suara bervolume tinggi contohnya seperti dering telpon dan bunyi alrm. Penderita yang mengalami presbycusis yaitu rentang usia 65 tahun keatas. Hal ini dapat memperparah resiko noise induced hiring loss (Muyassaroh, 2012). Orang yang lebih tua usianya ambang reflek akustik akan menurun. Ambang reflek akustik (ART) adalah tingkat tekanan suara dimana rangsangan suara dan frekuensi akan memicu reflek akustik, orang normal memiliki ART 70 – 100 dB jika rusak maka mungkin memiliki ART yang lebih besar atau tidak ada (Jumali et al., 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh (Jumali et al., 2013) terdapat pengaruh usia terhadap kejadian NIHL pada operator mesin kapal feri. Usia responden diatas 40 tahun memungkinkan mengalami penurunan ambang pendengaran karena faktor usia atau presbycusis. Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh (A. et al., 2013) 53% pekerja menghubungkan NIHL dengan lingkungan kerja yang bising. Sebanyak 36,7% pekerja mengalami NIHL, usia dana area kerja dikaitkan dengan NIHL. Studi ini menyimpulkan bahwa usia cenderung mendistori hubungan antara paparan kebisingan dengan NIHL.

2.4.1.2 Jenis Kelamin

Menurut (Nelson et al., 2005) laki-laki tiga kali beresiko mengalami gangguan pendengaran lebih tinggi dibandingkan perempuan. Gangguan pendengaran terjadi pada laki-laki nilai ambangnya lebih tinggi dari pada perempuan.

(19)

2.4.1.3 Indeks Masa Tubuh

Indeks masa tubuh (IMT) adalah alat yang digunakan untuk memantau status gizi seseorang yang berakitan dengan berat badan, hasil perbandingan berat badan dan tinggi badan melalui rumus (Nurul Yuda Putra et al., 2016):

IMT = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚2) …… (1) Berikut merupakan ambang batas IMT

Tabel 2. 3 Ambang Batas IMT

Kategori IMT

Kurus

Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0

Kekurangan berat badan tingkat berat 17,0 – 18,8

Normal >18,5 – 25,0

Gemuk

Kelebihan berat badan tingkat berat >25,0 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Sumber : Depkes, 2013

Penelitian yang dilakukan (Nurul Yuda Putra et al., 2016) nilai uji statistik disimpulkan adanya hubungan yang bermakna dengan IMT (p<0,05) sedangkan koefesien korelasi (r=-0,429) menunjukan arah orelasi yang berlawanan arah dengan interpretasi korelasi sedang.

(20)

2.4.1.4 Aktivitas Rutin

Aktivitas sehari-hari seperti mendengar berbagai macam suara di lingkungan sekitar, dirumah seperti suara bersumber dari radio, tv, handphone, peralatan rumah tangga, bising klakson di jalan raya. Atau di lingkungan kerja seperti suara yang bersumber dari mesin-mesin yang digunakan di proses produksi, suara mesin genset. Suara tersebut berada pada tingkat yang tidak aman jika suara bising tersebut di dengar secara terus menerus.

Penelitian yang dilakukan oleh (Primadewi et al., 2019) di dapatkan hasil 34 orang instruktur drum mempunyai hobi berhubungan langsung dengan pekerjaan seperti menonton atau bekerja didalam konser musik yang mana 33 orang dari 34 orang ini mengalami gangguan pendengaran. Hobi lain diketahui sebanyak 2 orang memiliki hobi balap motor. Untuk pemakaian APT (alat pelindung telinga) hampir semua instruktur sebanyak 70 orang tidak menggunakan APT (alat pelindung telinga) selama memainkan alat musik drum.

2.4.1.5 Masa Kerja

Masa kerja yaitu jangka waktu seseorang yang sudah bekerja dari awal hingga periode tertentu. Semakin lama seseorang bekerja dapat berpengaruh terhadap kelelahan kerja khususnya kelelahan kerja kronis. Jika lingkungan kerja seseorang kurang nyaman bahkan tidak meyenangkan mengakibatkan kelelahan terhadap orang tersebut. Pekerja memiliki resiko NIHL yang dapat terjadi dalam waktu lama tanpa disadari. Pekerja yang mengalami paparan kebisingan kontinu ditempat kerja lebih dari >15 tahun dapat mengalami gangguan pedengeran sensorineural (Evensom et al., 2012).

Penelitian yang dilakukan (Nabila Shaza, Hadi Sudrajad, 2017) didapatkan hasil bahwa angka kejadian NIHL pada pekerja yang bekerja lebih dari 5 tahun didapatkan hasil (53,8%) lebih besar dibandingkan pekerja dibawah 5 tahun (2,8%). Hasil pengujian statistik membuktikan masa kerja dengan kejadian NIHL signifikan.

(21)

2.4.2 Faktor Pekerjaan 2.4.2.1 Intensitas Kebisingan

Menurut perhitungan NIOSH (Murphy & Franks, 2002) waktu maksimum (T) yang digunakan untuk pekerja berada di lokasi

T= 480

2(𝑙−85)/3 ……… (1) Keterangan:

T = Waktu maksimum pekerja boleh berhadapan langsung dengan tingkat kebisingan (dalam menit).

480 = Menunjukan 8 jam kerja/hari, dimana 1 jam = 60 menit.

L = Istilah intensitas (intensity) dan kekerasan (laudness) pada kebisingan atau tingkat (intensitas) kebisingan (dB).

85 = Doubling rate/ trading ratio time intensity trade off.

3 = Exchange rate 3, berati utuk setiap penambahan sumber kebisingan akan terjadi penambahan kebisingan sebebsar 3 dB.

Penelitian yang dilakukan (Sasmita et al., 2016) waktu terlama pemaparan berada di titik 2 dengan waktu 5333,33 menit, sedangkan untuk pemaparan paling singkat berada di titik 13 yaitu 5,68 menit. Semakin tinggi tingkat intensitas kebisingan maka lama pemaparan akan semakin singkat, jika semakin rendah tingkat intensitas kebisingan maka lama pemaparan akan semakin lama.

Menurut (Murphy & Franks, 2002) rekomendasi National Institutes Occupational of safety and Health (NIOSH) untuk pencegahan paparan kebisingan suara intensitas dimulai dengan 85 dB durasi selama 8 jam, dapat menurunkan paparan waktu setengahnya untuk setiap kenaikan intensitas 3 dB. Penelitian yang dilakukan (Primadewi et al., 2019) menunjukan adanya hubungan antara lamanya paparan kebisingan dengan kejadian NIHL, masa kerja > 2 tahun mengalami paparan bunyi bising saat memainkan drum > 5 jam/hari atau > 30 jam/minggu dengan rata-rata ambang kebisingan yang tinggi saat memainkan drum 110,89 dB. Hal ini sangat

(22)

beresiko menyebabkan gangguan pendengaran.. semakin lama paparan akan meningkatan resiko dari gangguan pendengaran.

2.4.3 Faktor Lingkungan 2.4.3.1 Kebisingan

Tingkat kebisingan yang melebihi NAB dapat mendorong timbulnya gangguan pendengaran dan resiko kerusakan pada telinga setelah terpapar tanpa memakai alat proteksi yang memadai. NIOSH merekomendasikan OSHA (occupational safety and health administration) dan MSHA (mine safety and health administration) untuk melindungi pekerja dari gangguan pendengaran akibat pekerjaan paparan kebisingan.

Batas eksposur yang di rekomendasikan REL (recommended exposure limit) untuk eksposur kebisingan kerja 85 dB. Rekomendasi NIOSH kriteria yang baik untuk pergeseran ambang batas signifikan 15 dB di tingkat ambang pendengeran 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, dan 6000 Hz di kedua telinga. Pekerja saat melakukan pekerjaannya harus menggunakan pelindung telinga untuk melindungi pendengarannya diatas 85 dB durasi 8 jam. Perusahaan wajib memfasilitasi pekerjanya pelindung telinga secara gratis. Pengawasan kesehatan harus menyediakan audiometri untuk semua pekerjanya dengan eksposur 85 dB durasi 8 jam (Murphy & Franks, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh (Rimantho & Cahyadi, 2015) diperoleh informasi bahwa industry bengkel permesinan memiliki tingkat kebisingan lebih tinggi dibandingkan dengan industry lainnya. Tingkat kebisingan mencapai 97 dB hal ini merupakan diatas nilai ambang batas yang telah di rekomendasikan. Setiap tahunnya prevelensi NIHL mengalami peningkatan hal ini terlihat dari pekerja yang mengalami NIHL karena terpapar bising. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan kebisingan dengan NIHL (Prasetyowati et al., 2019).

2.5. Uji Model Struktural 2.5.1 Uji Asumsi Klasik

Menurut (Robert Kurniawan dan Budi Yuniarto, 2016) dan (Arum & Anie, 2012) uji asumsi yaitu:

(23)

a) Normalitas

Normalitas yaitu menguji apakah model regresi, variabel pengganggu atau residual mengikuti distribusi normal. Tujuan dari menguji normalitas yaitu data yang kita miliki harus benar mewakili populasi sehingga hasil penelitian bisa terapkan pada populasi, dan sifat populasi adalah distribusi normal. Jika terjadi pelanggaran asumsi ini, maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil, ada 2 cara atau metode yang digunakan apakah memiliki distribusi normal yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik.

b) Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi, terdapat 2 cara atau metode yang digunakan yaitu dengan metode grafik dan metode statistik untuk melakukan estimasi parameter.

Metode grafik dilakukan menggunakan grafik plot antara nilai prediksi dengan residualnya, sedangkan metode statistik dilakukan dengan metode grafik dan uji glejser. Uji Glesjer dilakukan dengan meregresikan nilai absolute residual (AbsUi) terhadap variabel independent lainnya. Jika β signifikan maka terdapat heteroskesdastisitas dalam model regresi ini.

c) Multikolinearitas

Multikolinearitas yaitu hubungan lienar antarvariabel bebas yang bertujuan untuk menguji model regresi tersebut terdapat adanya korelasi yang sempurna antar variabel independen. Hubungan tercipta karena adanya variabel independent dimana setiap terjadi perubahan pada suatu variabel indepneden, makan akan mempengaruhi variabel independen lainnya sedangkan dalam regresi linear berganda untuk variabel independent yang baik yaitu variabel independent yang mempunyai hubungan dengan variabel dependen namun tidak ada hubungan dengan variabel independent lainnya. Dapat diketahui bahwa jika koefesien regresi antar variabel independent tinggi maka koefesien regresi variabel dapat ditentukan,

(24)

tetapi memiliki standard eror tinggi koefesien regresi tidak dapat diestimasi dengan tepat.

2.5.2. Regresi Linear Berganda

Menurut (Arum & Anie, 2012) Regresi linear berganda digunakan untuk menguji pengaruh dua atau lebih variabel independent terhadap satu variabel dependen.

Hubungan yang tepat antara variabel-variabel tersebut haya dapat ditentukan dengan regresi, berfungsi untuk memahami perilaku dari satu variabel ke variabel lainnya.

Menurut (Robert Kurniawan dan Budi Yuniarto, 2016) merupakan lanjutan dari regresi linear sederhana, regresi linear berganda digunakan untuk menutupi kelemahan regresi linear sederhana, ketika terdapat lebih dari satu variabel independent (x) dan satu variabel dependen (y). Regresi linear berganda artinya variabel independen dan dependennya memiliki hubungan yang linear.Model ini menjelaskan hubungan satu garis lurus atau linear antara variabel masing-masing. Hubungan ini biasanya ditulis dengan rumus:

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7….. (1) Keterangan :

Y = Penilaian Kebisingan (Noise Measurement) sebagai variabel dependen X1 = Usia sebagai variabel independen

X2 = Jenis kelamin sebagai variabel independen X3 = Indeks masa tubuh sebagai variabel independen X4 = Aktivitas rutin sebagai variabel independen X5 = Masa kerja sebagai variabel independen

X6 = Intensitas kebisingan sebagai variabel independen X7 = Kebisingan sebagai variabel independen

β = koefesien regresi variabel independen α = konstanta

2.5.3 Uji Hipotesis a. Uji t (Parsial)

(25)

Menurut (Robert Kurniawan dan Budi Yuniarto, 2016) uji parsial digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen secara sendiri-sendiri terhadap variabel dependennya. Uji t adalah uji secara sendiri-sendiri atau individu/parsial. Digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independen (X) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y). Hasil t hitung pada tabel anova software spss dan hasil perhitungan dibandingkan dengan t tabel dengan tingkat kesalahan 0,05. Dalam regresi linear berganda hal ini diperlukan karena tiap- tiap variabel independen memberi pengaruh yang berbeda dala model. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut :

H0 ditolak jika nilai t hitung > t tabel dan jika nilai 𝛼 < 𝑠𝑖𝑔 H0 diterima jika nilai t hitung < t tabel dan jika nilai 𝛼 > 𝑠𝑖𝑔

b. Uji F (Simultan)

Menurut(Robert Kurniawan dan Budi Yuniarto, 2016) uji simultan adalah uji semua variabel bebas secara bersamaan di dalam suatu model. Uji F adalah uji secara bersama-sama atau simultan/serempak digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X) berpengaruh secara bersama-sama signifikan terhadap variabel dependen (Y). Bila hasil uji adalah signifikan, dapat dikatakan bahwa hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi. Hasil t hitung berada pada tabel anova software spss dan hasil perhitungan dibandingkan dengan t tabel dengan tingkat kesalahan 0,05. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut:

H0 ditolak jika nilai F hitung > F tabel dan jika nilai sig < 0,05 H0 diterima jika nilai F hitung < F tabel dan jika nilai sig > 0,05

Gambar

Tabel 2. 1 Nilai Ambang Batas (NAB)
Tabel 2. 2 Baku Tingkat Kebisingan
Tabel 2. 3 Ambang Batas IMT

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: (1) kesiapan pelaksanaan program sekolah lima hari di SMKN 2 Karanganyar tergolong baik tetapi belum optimal; (2) penyiapan

Melalui slide power point pada live streaming Youtube (Integrasi ICT), siswa mampu menemukan (C6) pokok pikiran tentang pokok pikiran dan informasi penting yang terdapat

Menurut (Ghozali, 2011) Uji normalitas bertujuan untuk menguji dalam model regresi, variabel penganggu atau residual memiliki distribusi normal. Model regresi yang tepat

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2006). Untuk menghindari bias

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui energi listrik yang dihasilkan oleh generator termoelektrik dengan menggunakan berbagai jenis limbah organik (tatal kayu akasia, tatal

Upaya untuk meningkatkan kemampuan parenting orang tua agar memiliki keterampilan tentang parenting yang baik dalam membangun karakter atau akhlak anak, dilakukan

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Model regresi yang baik adalah jika

Berdasarkan teori APOS dalam pemahaman tahap objek diperoleh kesimpulan bahwa subjek berkemampuan tinggi dan subjek berkemampuan sedang pada soal 3a, 3b, 3c, 3d, dan