• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 Terhadap Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah

Keberadaan DPD yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD, dan DPRD yang dianggap masih diskriminatif dalam pelaksanaan kewenangan, khususnya dalam bidang legislasi dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat membuat beberapa perwakilan DPD mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait beberapa pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD, dan DPRD. Upaya pengujian undang – undang yang dilakukan oleh perwakilan DPD tersebut dimaksudkan untuk menjamin kemandirian lembaga DPD sebagaimana amanah Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perwakilan DPD yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi diantaranya yaitu Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas selaku Ketua dan Wakil Ketua DPD. Adapun pasal yang diuji dalam perkara nomor 79/PUU-XII/2014 yaitu Pasal 71 huruf c, Pasal 165, Pasal 170 Ayat (5), Pasal 171 Ayat (1) dan Pasal 249 huruf b UU MD3. Sebelumnya, perwakilan DPD tersebut juga pernah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan registrasi perkara No. 92/PUU-X/2012. Sebelum menganalisis terkait implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor 79/PUU-XII/2014 terhadap fungsi legislasi DPD, maka dalam bagian ini juga membahas perihal kewenangan DPD berdasarkan Pasal 22 C serta Pasal 22 D UUD NRI 1945 dan kewenangan DPD sebelum putusan mahkamah konstitusi nomor 79/PUU-XII/2014.

1. Kewenangan DPD Menurut Pasal 22 C dan 22 D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Perubahan konstitusi yang berlangsung pada tahun 1999 hingga tahun 2002 telah membawa reformasi besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu hasilnya yaitu munculnya lembaga baru yang bernama DPD sebagai lembaga perwakilan di tingkat pusat selain Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, dua lembaga yang sudah ada sebelumnya. Ketiga lembaga tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.”

Akan tetapi, fungsi serta kewenangan DPD dan DPR secara yuridis konstitusional commit to user

(2)

tidaklah sama, sehingga dalam pelaksanaannya, kedudukan DPR jauh lebih kuat terutama dalam fungsi pembentukan undang – undang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang.”

Berdasarkan ketentuan yang tertulis diatas, maka DPR memiliki hak inisiatif mandiri dalam pembentukan undang-undang, sehingga ketimpangan fungsi dan kewenangan antara DPR dan DPD menjadi semakin nyata. DPD tidak memiliki kekuasaan yang menentukan dalam pembentukan undang-undang sebagaimana layaknya suatu lembaga perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Umumnya di beberapa negara penganut sistem bikameral seperti Amerika Serikat, DPD memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dengan DPR bahkan lebih besar (Guntur Prakoso, 2016: 5).

Tujuan awal pembentukan lembaga DPD yaitu dalam rangka mereformasi struktur parlemen di Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat berjalan dengan sistem check and balances akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang keras pada saat rapat Panitia Perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati sekarang tidak dapat disebut sistem bikameral sama sekali (Jimly Asshiddiqie, 2007: 189-192).

Dewan Perwakilan Daerah memiliki dasar konstitusional dalam Pasal 22 C dan Pasal 22 D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang eksistensi, kedudukan serta fungsi DPD. Pasal 22 C menyebutkan bahwa:

1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.

2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang- undang.

Dalam Pasal 22 D kemudian ditegaskan bahwasannya: commit to user

(3)

1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaa sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undangan yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa fungsi DPD hanya sebagai lembaga pendukung DPR daripada peran sebagai legislator sesungguhnya hal ini disebabkan DPD tidak memiliki kewenangan membentuk undang-undang. Padahal sebagai bagian dari parlemen sudah sepatutnya DPD juga memiliki kewenangan membuat undang-undang seperti DPR.

Bila ditilik lebih jauh dari aspek legitimasi kelembagaan, jika dibandingkan dengan DPR, sebenarnya DPD memiliki legitimasi yang lebih kuat dalam hal dukungan riil politik dari rakyat. Sebagai contoh seorang anggota DPD dari Jawa Tengah misalnya memiliki dukungan jumlah pemilih yang jauh lebih besar ketimbang presentase dukungan seorang anggota DPR dari provinsi yang sama. Di samping itu, anggota DPD dipilih langsung perseorangan tidak melalui partai politik seperti

commit to user

(4)

anggota DPR. Sehingga dengan legitimasi yang dimiliki tersebut dibatasinya kewenangan DPD membuat undang-undang menjadi tidak proporsional. Menurut Stephen Sherlock peneliti dari Australia National University mengatakan bahwasannya DPD di Indonesia merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktek bikameral karena meskipun memiliki legitimasi yang kuat, kewenangannya sangat terbatas (Stephen Sherlock, 2005: 76).

Kewenangan DPD yang diatur dalam Pasal 22D ayat 1,2, dan 3 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa DPD memiliki kewenangan yang terbatas untuk memberikan pertimbangan, mengajukan usul saran kepada DPR dan mengawasi pelaksanaan undang – undang tertentu. Jika dilihat, hubungan DPD dan DPR secara yuridis adalah sebagai berikut (Dermawan, 2014:4):

1. Pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) oleh DPD kepada DPR.

2. DPD bersama dengan DPR membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1).

3. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, serta memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK kepada DPR (Pasal 170, 171 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009).

4. DPD melakukan pengawasan pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR, kecuali tentang pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPD tidak dapat mengawasi pelaksanaannya dan hal tersebut menjadi pertanyaan seputar kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2).

Kewenangan terbatas DPD sendiri meliputi kewenangan terkait pengajuan rancangan undang – undang tertentu, pengawasan pelaksanaan undang-undang, serta fungsi pertimbangan. Namun, dalam implementasinya, fungsi dan kewenangan terbatas DPD itu tidak berjalan efektif. Sebagai contoh, dalam hal pengajuan rancangan undang – undang tertentu misalnya, kerja legislasi DPD sangat bergantung pada itikad DPR apakah pengajuan itu dapat diteruskan atau hanya berhenti menjadi usulan semata. Hal ini terjadi karena ketiadaan legitimasi yuridis DPD untuk menyusun rancangan undang – undang tertentu, andaikan ada peran tersebut hanya

commit to user

(5)

berhenti sampai pada pengajuan rancangan undang – undang saja. Sebagai contoh, Rancangan Undang – Undang Daerah Kepulauan merupakan ruu yang diinisiasi DPD dan telah diusulkan sejak 2017, namun hingga kini masih belum menjadi produk legislatif sebagai undang – undang. Periode tahun 2004-2009 hingga 2009-2014, DPD telah menghasilkan 57 usul RUU. Dari 57 usul RUU tersebut, hanya satu RUU yang ditindaklanjuti oleh DPR yakni RUU tentang kelautan yang saat ini telah disahkan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2014 (Muchtar Pakpahan, 2015:1). Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 pada diktum mengingatnya sudah mencantumkan Pasal 22D ayat 1 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber Daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Akan tetapi, 56 RUU lainnya yang telah disampaikan kepada DPR belum pernah ada kejelasan ataupun jawaban tertulis dari DPR kepada DPD terkait kelanjutan RUU tersebut. Bahkan ada beberapa RUU dari DPD periode 2004-2009 menjadi usul inisiatif DPR pada periode 2009-2014 seperti RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro yang telah disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2013. Undang – undang tersebut pada dictum mengingat tidak mencantumkan Pasal 22D ayat 1 yang artinya RUU tersebut sudah berganti statusnya dari usulan DPD menjadi usulan DPR.

Mengingat hal tersebut, sudah saatnya bagi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi berbagi peran dengan DPD supaya timbul sistem check and balances dan menghasilkan undang – undang yang baik secara kualitas melihat banyaknya juga undang-undang yang telah dihasilkan DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal tersebut menunjukkan turunnya kualitas undang – undang yang dihasilkan oleh DPR.

Selain fungsi legislasi, dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPD tidak jauh berbeda dengan fungsi legislasi kondisinya. Pasal 22D ayat 3 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang mengenai: (a) Otonomi daerah, (b) Hubungan Pusat dan Daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, (e) Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (f) Pajak, (g) Pendidikan, dan (h) Agama. commit to user

(6)

Dalam Pasal 249 ayat 1 huruf E UU MD3 nomor 17 tahun 2014 menyatakan bahwa a DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Selanjutnya, hasil pengawasan itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Hasil kerja pengawasan DPD melalui Panitia Ad Hoc dan badan- badan lain di DPD tidak memiliki implikasi apa-apa sebab hasil pengawasan tersebut selanjutnya di serahkan kepada DPR sesuai mekanisme yang ada. Setelah menerima laporan dari DPD, DPR menjadikan laporan tersebut sebatas sebagai masukan atau pertimbangan saja bagi DPR.

Selanjutnya fungsi yang dimiliki DPD yaitu Fungsi pertimbangan sesuai dengan Pasal 248 angka 1 huruf d UU MD3 Nomor 17 tahun 2014 menyatakan DPD mempunyai fungsi pemberian pertimbangan kepda DPR atas rancangan undang- undang tentang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan pajak, pendiidkan, dan agama. Lebih lanjut, fungsi DPD ini dilaksanakan oleh alat kelengkapan berupa panitia kerja, yang tugasnya melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN. Fungsi pertimbangan yang dilakukan oleh DPD juga mengalami kondisi yang sama seperti fungsi legislasi dan pengawasan. Sebagai contoh, ketika terjadi pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi dan peran DPD tidak lebih dari sekadar pemberi masukan dan pertimbangan terkait penentuan siapa yang akan duduk menjadi anggota BPK (Khamami Zada, 2015:3).

Berbagai upaya dilakukan DPD untuk melakukan penguatan terhadap fungsi – fungsi DPD seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan.

Seperti upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dua kali dan menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 79/PUU-XII/2014.

2. Kewenangan DPD Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

92/PUU-X/2012

Dewan Perwakilan Daerah atau yang biasa disebut senat di negara lain biasanya berperan sebagai pengambil keputusan pembentukan undang – undang tertentu.

Namun, berdasarkan UUD NRI 1945 yang berlaku sekarang, keputusan – keputusan commit to user

(7)

DPD sama sekali tidak menentukan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang – undang. Peranan DPD hanya sebagai pemberi masukan kepada DPR.

Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan empat kali belum mampu memperkuat kewenangan DPD.

Sekalipun MPR ketika merevisi UUD 1945 sepakat untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang stabil dan demokratis sesuai dengan pilihan politik pendiri negara. Dalam kondisi ketidaksempurnaan UUD yang telah direvisi sebanyak empat kali, terbitlah UU MD3. Undang – Undang ini merupakan undang – undang yang mengatur susunan dan kedudukan lembaga parlemen. Undang – Undang yang seharusnya dapat memperkuat ketentuan yang terkait dengan kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi bidang tertentu., tetapi pada kenyataannya muatan undang – undang hanya mengambil alih isi UUD (Enny Nurbaningsih, 2015:2).

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 adalah undang – undang pertama yang mengatur terkait susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Setelah itu muncul Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU MD3 tahun 2009 ini yang kemudian diajukan oleh perwakilan DPD ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan Judicial Review terkait isi – isi pasal dalam undang – undang tersebut.

Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang biasa disebut UU MD3 memiliki beberapa pasal yang dianggap mengurangi kewenangan DPD. Seperti ketentuan yang secara jelas menghentikan area kewenangan bagi DPD untuk dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan pembentukan undang – undang. Ketentuan dalam Pasal 102 Ayat 1 huruf d dan huruf e Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2009 mengatur bahwa RUU yang diajukan oleh DPD, oleh DPR dilakukan kegiatan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi terlebih dahulu oleh Badan Legislasi sehingga secara kelembagaan, kedudukan DPD hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang difungsikan sebagai badan pertimbangan dalam pembentukan undang – undang, padahal dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Lebih lanjut, kewenangan DPD semakin direduksi melalui UU MD3.

Dalam Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 secara sistematis tidak mengikutsertakan DPD dari awal proses pengajuan rancangan undang – undang, Pasal 147 ayat (1), ayat (3), commit to user

(8)

dan ayat (4) mengatur bahwa RUU yang berasal dari DPD yang sudah disetujui dalam Rapat Paripurna bertransformasi menjadi RUU usul DPR.

DPR memiliki fungsi legislasi yang penuh. Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwasannya kekuasaan membentuk undang – undang ada ditangan DPR. Kewenangan DPR dalam bidang legislasi dimulai dari tahap perancangan, pembahasan, persetujuan, dan pengambilan keputusan. Hal ini dianggak bertolak belakang dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR yang sama – sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang artinya sama – sama memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Dengan struktur atau sistem bikameral yang dijalankan di parlemen, diharapkan adanya check and balances yang berakibat pada terpenuihnya representasi kepentingan seluruh rakyat secara efektif dan dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR sebagai cerminan representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).

Landasan konstitusional terkait kekuasan DPD diatur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945. Selanjutnya kewenangan diatur dalam UU MD3 dalam hal ini sebelum munculnya UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014, terlebih dahulu ada UU MD3 Nomor 27 Tahun 2009, selain itu menyangkut dengan fungsi legislasi DPD maka kewenangannya diatur dalam Undang – Undang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. Menurut UU MD3 Nomor 27 Tahun 2009, DPD dapat mengajukan usulan suatu RUU ke DPR. Apabila RUU tersebut disetujui atau disetujui dengan perubahan, RUU tersebut akan menjadi rancangan undang – undang usulan DPR.

Proses pembentukan rancangan undang – undang usulan DPD yang telah bertransformasi menjadi rancangan undang – undang usulan DPR, yakni diawali dengan pimpinan DPR akan meminta pimpinan DPD untuk menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas rancangan undang – undang tersebut di DPR.

Pembahasan menyangkut RUU yang sudah ada di DPR dilakukan dalam dua tingkat pembicaraan. Yang pertama adalah pembicaraan tingkat satu, pembicaraan tingkat satu dilaksanakan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Anggaran, rapat Badan Legislasi, atau rapat panitia khusus. Selanjutnya, yang kedua yaitu pembicaraan tingkat dua yang dilaksanakan dalam rapat paripurna sebagai forum dalam pengambilan putusan. Dalam pembicaraan tingkat satu dan tingkat dua tersebut, DPD hanya mengambil peran dalam pembicaraan tingkat pertama, itu pun

commit to user

(9)

hanya penyampaian pendapat mini yang disampaikan pada pembicaraan tingkat satu.

Sehingga, bisa disimpulkan ada atau tidaknya pendapat mini yang disampaikan DPD terhadap sebuah RUU tidak akan berpengaruh terhadap kelanjutan RUU tersebut karena DPR tetap dapat membahas RUU tersebut hingga tahap pembicaraan tingkat dua dan pengesahan.

Akan tetapi, kewenangan DPD berdasarkan UU MD3 Nomor 27 Tahun 2009 dan UU P3 dianggap telah direduksi dari kewenangan asli DPD yang ada di UUD NRI 1945. Sehingga, DPD mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan judicial review. Dalam Judicial Review ini, DPD selaku pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap:

1. UU MD3 Nomor 27 Tahun 2009, yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), dan 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5); dan 2. UU Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, yaitu Pasal 18 huruf

g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2).

Alasan DPD sebagai pemohon mengajukan penguian terhadap pasal-pasal tersebut antara lain:

1. Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan huruf (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Legislasi DPD Menjadi Setara dengan Kewenangan Legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwasannya DPD memiliki kewenangan untuk “dapat mengajukan RUU” sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945. Akan tetapi ketentuan – ketentuan dalam pasal diatas dianggap telah mereduksi kewenangan legislasi DPD karena RUU yang diajukan DPD akan diperlakukan sama dengan usulan anggota DPR, atau alat kelengkapan DPR sehingga masih harus “diharmonisasi, commit to user

(10)

dibulatkan, dan dimantapkan” oleh Badan Legislasi yang notabene merupakan bagian dari institusi DPR.

2. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara Sistematis Meniadakan Kewenangan DPD sejak Awal Proses Pengajuan Rancangan Undang- Undang

Peniadaan kewenangan DPD dalam proses legislasi telah dimulai secara sistematis, sejak awal proses pengajuan RUU. Hal tersebut terlihat dari rumusan Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 yang tidak mengatur dalam hal RUU yang termasuk lingkup kewenangan DPD untuk disampaikan kepada Pimpinan DPD (Pemohon). Padahal dalam Pasal 142 ayat (1) UU MD3 juncto Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 secara jelas disebutkan bahwa RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD 3. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah Mendistorsi

Rancangan Undang-Undang DPD Menjadi Rancangan Undang-Undang Usul DPR

Ketentuan dalam pasal – pasal tersebut dianggap telah mendistorsi sedemikian rupa kewenangan DPD sehingga bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mana usul RUU dari DPD akan bertransformasi menjadi RUU usulan DPR ketika RUU tersebut disetujui dalam rapat paripurna DPR.

4. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah Merendahkan Kedudukan Pemohon Menjadi Lembaga yang Sub Ordinat di Bawah DPR

Ketentuan-ketentuan dalam pasal Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 46 ayat (1) UU P3 bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 karena telah menyetarakan kewenangan legislasi DPD sejajar dengan fraksi, komisi, bahkan anggota DPR. Dengan memposisikan DPD seperti ini, maka secara konstitusional DPD tak ubahnya sebagai alat kelengkapan yang sub-ordinat di bawah DPR dalam proses pengajuan RUU.

5. Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU P3 Tidak Melibatkan DPD dalam Seluruh Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang

Ketentuan dalam Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena frasa “ikut membahas” hanya commit to user

(11)

diterjemahkan dalam politik legislasi antara DPR dan Pemerintah sebagai keterlibatan DPD pada awal dan akhir pembicaraan tingkat satu saja.

6. Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah Mengecualikan DPD dari Pengajuan dan Pembahasan Daftar Inventaris Masalah yang Justru Merupakan inti dari Pembahasan Rancangan Undang- Undang

Kedua ketentuan dalam pasal tersebut telah mengecualikan DPD dari pengajuan dan pembahasan daftar inventaris masalah yang justru merupakan inti dari pembahasan RUU dan menentukan politik hukum dari suatu RUU.

7. Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan DPD dengan Mengatur Bahwa Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tetap Dilaksanakan Meski Tanpa Keterlibatan DPD

Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena ketentuan dalam pasal-pasal ini memungkinkan pembahasan RUU (yang terkait dengan kewenangan DPD) yang berasal dari DPD, Presiden, atau DPR tanpa keterlibatan DPD dalam pembahasan secara penuh. Padahal, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional sebagai lembaga negara yang setara dengan Presiden dan DPR untuk “ikut membahas” RUU yang terkait dengan kewenangan DPD.

8. Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan DPD untuk Ikut Serta dalam Memberikan Persetujuan Suatu Rancangan Undang-Undang yang Terkait dengan Kewenangannya

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari apa yang diputuskan Hakim Mahkamah Konstitusi terkait gugatan yang diajukan perwakilan dari DPD ini bahwa terdapat perubahan terhadap fungsi legislasi DPD pasca putusan Mahkamah commit to user

(12)

Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang dapat dirangkum sebagai berikut:

1. DPD kembali memiliki posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Kembalinya kewenangan DPD untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan. RUU tertentu yang dimaksud disini adalah RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

3. Kewenangan DPD terhenti ketika persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang – undang.

4. DPD berhak untuk turut serta dalam penyusunan program legislasi nasional.

5. DPD hanya memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan terkait RUU yang berhubungan dengan APBN, Pajak, Pendidikan, dan Agama.

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 membawa implikasi terhadap kewenangan DPD pada saat itu, putusan tersebut berdampak besar untuk mempertegas kewenangan dan kedudukan DPD sebagai lembaga legislasi yang ada di Indonesia selain DPR.

3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 Terhadap Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan perubahan kewenangan legislasi DPD RI secara signifikan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat dilihat bahwasannya dalam mengajukan Rancangan Undang – Undang (RUU) yang berkaitan dengan daerah, DPD setara

commit to user

(13)

dengan DPR dan Presiden, hak/kewenangan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU, DPD ikut membahas RUU tetapi tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU menjadi UU, DPD ikut menyusun program legislasi nasional, dan DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan RUU. Dalam hal ini, DPR dan Presiden wajib untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN.

Lahirnya Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang di bentuk pasca adanya Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang merupakan pengganti dari UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3, memuat ketentuan pasal – pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh DPD RI sebagaimana telah ditegaskan juga oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwasannya pembentuk UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 tidak menghargai dan menghormati adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan pada self-respect dan kesadaran hukum pihak-pihak yang terkait dengan putusan menyebabkan ada putusan MK yang tidak segera ditindaklanjuti oleh lembaga negara seperti dalam kasus ini yaitu DPR.

Arief Hidayat selaku ketua majelis hakim merangkap anggota membacakan perintah atau suruhan (amar) putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 79/PUU- XII/2014 dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat No.6, Jakarta, tanggal 3 September 2015.

Sebelumnya, pada tanggal 15 Agustus 2014, pimpinan DPD, yakni Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD) berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 14 Agustus 2014 memberikan kuasa kepada Dr. Todung Mulya Lubis,S.H.,LL.M, I Wayan Sudirta,S.H, Alirman Sori S.H. M.Hum,MM, Alexander Lay ,S.H.,LL.M, Aan Eko Widiarto S.H. M.Hum, Muspani. S.H, dan B Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.H kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih domisili hukum di Kantor Dewan Perwakilan Daerah Jalan Jenderal Subroto Nomor 6 DKI Jakarta, mengajukan pengujian baik secara formil maupun materiil terhadap Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. commit to user

(14)

Dalam hal ini DPD selaku pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap:

1. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yaitu Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 170 ayat (5), Pasal 174 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), dan Pasal 281.

Selanjutnya dalam permohonannya, DPD selaku pemohon menyatakan mendapatkan kerugian kewenangan konstitusional akibat cacat materi muatan UU MD3 meliputi:

1. Dikuranginya kewenangan DPD selaku Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang;

2. Dikuranginya kewenangan DPD selaku Pemohon untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang; dan

3. Dikuranginya kewenangan DPD selaku Pemohon dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah (Regional Representative).

Dalam legal standing gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, DPD selaku Pemohon menerangkan Bahwa kewenangan konstitusional DPD selaku Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang yang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 telah direduksi atau dirugikan oleh ketentuan – ketentuan dalam UU MD3, yaitu Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 276 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1). Ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan

“pemasungan” konstitusional terhadap DPD selaku Pemohon karena RUU yang diajukan DPD “difilter” oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden mengingat tidak ada norma yang memerintahkan DPD untuk menyampaikan Rancangan Undang-Undang beserta naskah akademik kepada Presiden.

Adapun norma-norma yang diujikan oleh Dewan Perwakilan Daerah antara lain Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 174 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 249 huruf b, Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 281, Pasal 305, dan Pasal 307 ayat (2) huruf d Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

commit to user

(15)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Permohonan yang diajukan oleh DPD selaku Pemohon pada pokoknya mempersoalkan mengenai 3 permasalahan yakni:

1. Kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan DPD.

2. Kewenangan DPD untuk membahas RUU yang berkaitan dengan kewenangannya.

3. Kewenangan DPD sebagai lembaga negara.

Dalam perkara pengujian undang – undang, putusan Mahkamah Konstitusi dapat terdiri atas tiga kemungkinan, yaitu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan uji materiil Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah selaku Pemohon hasilnya permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian.

Permohonan uji materiil dari DPD yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi untuk sebagian yakni:

1. Pasal 71 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”; commit to user

(16)

2. Pasal 71 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,

“membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

3. Pasal 166 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;

4. Pasal 166 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,

“Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;

commit to user

(17)

5. Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;

6. Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,

“Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

7. Pasal 277 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;

commit to user

(18)

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 terdapat pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dari dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Maria Farida, menurut mereka pengujian formil UU MD3 terhadap UUD NRI 1945 dikabulkan. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 kurang lebih sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XII/2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 memiliki beberapa poin penting yaitu:

1. DPD mempunyai wewenang untuk membahas RUU yang berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 menjelaskan terkait kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU yang berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah selain itu DPD ikut membahas rancangan undang – undang sejak tahap awal yakni pembahasan pada tingkat I mulai dari menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan dan membahas Daftar Inventaris Masalah, dan menyampaikan pendapat mini yang merupakan tahapan akhir dalam pembahasan Tingkat I. Selanjutnya DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II yang diadakan oleh DPR dalam rapat paripurna sebelum RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Sebelum disahkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 tidak disejajarkan dengan DPR dan Presiden. Hal ini dikarenakan Pasal 71 huruf c UU MD3 Tahun 2014 dalam ketentuannya hanya tertulis DPR berwenang membahas rancangan undang – undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan

commit to user

(19)

mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 22 D ayat (3) karena tidak ada tugas membahas RUU dari DPD, selain itu Pasal 71 huruf c bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 karena hanya menunjuk rancangan undang- undang dari Presiden atau DPR. Sementara didalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 Rancangan Undang-Undang juga dapat berasal dari DPD.

2. Penyampaian Naskah Akademik secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden

Sebelum disahkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 penyampaian naskah akademik secara tertulis oleh pimpinan DPD hanya disampaikan kepada DPR. Ketentuan tersebut tentunya mengakibatkan pembatasan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh DPD hal ini dikarenakan penyampaian naskah akademik yang harus melalui DPR tersebut membuat pimpinan DPR dapat melakukan pengubahan sebelum disampaikan kepada Presiden. Pasal 166 ayat (2) yang berbunyi

“Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.”

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 pimpinan DPD dapat menyampaikan naskah akademik tertulis secara langsung kepada pimpinan DPR dan Presiden yang mana sebelum ada putusan ini pimpinan DPD hanya dapat menyampaikan naskah akademik secara tertulis kepada pimpinan DPR.

3. DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan sesuai dengan kegiatan peraturan perundang – undangan.

Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya DPD menurut amar putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kemandirian menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014, DPD tidak memiliki kemandirian commit to user

(20)

dalam penyusunan anggaran lembaganya sendiri. Hal ini terlihat diskriminatif karena di lain sisi MPR dan DPR memiliki kemandirian untuk menyusun anggaran, sedangkan untuk DPD tidak diatur kemandirian untuk menyusun anggaran. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 bunyi Pasal 250 ayat (1) menjadi:

“Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.”

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait kententuan dalam Pasal 250 ayat (1) ini semakin menguatkan DPD sehingga DPD dapat bekerja secara maksimal dalam menjalankan kewenangan legislasi karena didukung ketersediaan anggaran yang cukup. Selanjutnya, pada tahun 2018 melalui UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua UU MD3, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 diakomodasi dengan dimasukkan ketentuan terkait kemandirian anggaran pada DPD.

4. Pengajuan RUU dan naskah akademik yang diserahkan kepada DPR dan Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD.

Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 pengaturan terkait mekanisme penyampaian RUU dan naskah akademik yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan DPD disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD hanya kepada pimpinan DPR.

Sedangkan kepada Presiden surat pengantar pimpinan DPD tersebut hanya bersifat tembusan saja. Ketentuan norma dalam pasal 277 UU MD 3 yang berbunyi:

“Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.”

Ketentuan norma demikian tentunya tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi

commit to user

(21)

Nomor 92/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwasannya keterlibatan DPD bersama DPR dan Presiden dalam mengajukan rancangan dan pembahasan rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah harus disamakan/setara.

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014, DPD dapat menyampaikan pengajuan RUU dan Naskah Akademik secara langsung kepada Presiden, tidak seperti sebelumnya yang menyampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD dan ditembuskan kepada Presiden.

Di dalam keterbatasan terkait kewenangan fungsi legislasi DPD, DPD berhasil mengeluarkan sejumlah produk mulai dari usulan RUU, pandangan dan pendapat terhadap RUU, serta perimbangan atas RUU baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun DPR.

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 diharapkan DPD RI dapat bekerja secara maksimal dalam menjalankan fungsi legislasinya. DPD RI harus lebih berperan dalam menjembatani aspirasi daerah dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian, diharapkan kepentingan dan aspirasi daerah dapat terintegrasi dan selaras dengan kebijakan nasional. DPD wajib mengusung aspirasi daerah yang tidak hanya bersifat politis tetapi memiliki nilai sosial budaya sesuai dengan ragam budaya daerah yang diwakilinya.

B. Proses legislasi di Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 dengan Mekanisme Tripartit

Setelah melewati perjalanan sidang yang cukup panjang dalam upaya penguatan terhadap kelembagaan DPD, akhirnya pada tahun 2015 tanggal 3 September Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan angin segar bagi seluruh anggota DPD. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi didalam putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan judicial review DPD terhadap beberapa pasal berkenaan dengan DPD yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

commit to user

(22)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam permohonannya, DPD yang dalam hal ini sebagai Pemohon merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 baik secara formil maupun materil. Kerugian secara formil yang dimaksud disini adalah kerugian yang dialami DPD sebagai pemohon diantaranya, pembentukan Undang- Undang tidak melibatkan DPD dimana seharusnya DPD sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengajukan RUU juga diberi kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut. Selanjutnya, DPD sebagai Pemohon juga dirugikan dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 dengan berkurangnya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang, ikut membahas Rancangan Undang-Unndang, dan kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah.

Ada beberapa alasan DPD selaku pemohon yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Pertama, DPD selaku Pemohon pada awalnya mengajukan RUU tentang DPD tersendiri namun RUU yang disampaikan ini tidak dibahas oleh DPD namun malah membahas mengenai RUU perubahan UU MD3, menindaklanjuti revisi UU MD3 DPD kemudian mengajukan Daftar Inventaris Masalah (DIM), Kedua, setelah DIM tersebut disampaikan kepada DPR, DPD malah tidak pernah diundang untuk membahas RUU perubahan terhadap UU MD3 hingga RUU tersebut disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang.

Dalam putusannya kemudian Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan DPD, merujuk amar putusan Mahkamah Konstitusi, MK mengabulkan permohonan DPD terkait kewenangan pembahasan RUU secara bersama antara Presiden, DPR, dan DPD. Maka konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yakni proses legislasi dengan model tripartit, yakni DPR, DPD, dan Presiden melakukan pembahasan RUU yang setara sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I yang mana agendanya adalah pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini. Artinya, menurut Mahkamah Konstitusi DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu sesuai dengan kewenangannya yakni RUU yang terkait daerah dan membahasnya sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I. Pada pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapat mininya sebelum persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU antara DPR dan Presiden dalam rapat commit to user

(23)

paripurna DPR. Sehingga, DPD tidak terlibat dalam pengesahan RUU menjadi Undang- Undang (Enny Nurbaningsih, 2015: 2).

1. Mekanisme Pembahasan Undang – Undang Secara Tripartit

a. Rancangan Undang – Undang Dari Presiden Republik Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur terkait kewenangan Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan konstitusional terkait pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya, Rancangan Undang-Undang disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan ruang lingkup tugas dan kewenangan masing-masing, kemudian paling lama 7 (tujuh) hari kerja sudah menunjuk pejabat yang berwenang, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan yang telah mengusai secara teknis dan materi terkait materi Rancangan Undang-Undang. Kemudian, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sudah ditetapkan panitia antar kementerian yang bertugas khusus untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Selanjutnya, apabila Rancangan Undang-Undang sudah diharmonisasikan dan dimantapkan serta tidak ada masalah lagi, Presiden akan menyampaikan Rancangan Undang-Undang secara tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah disertai dengan Naskah Akademik.

1) Pembahasan Tingkat Pertama

Setelah masing-masing pimpinan DPR dan pimpinan DPD menyampaikan informasi atas adanya Rancangan Undang-Undang kepada anggotanya dalam rapat paripurna DPR dan DPD, selanjutnya DPR dan DPD membentuk pantia perancangan undang-undang dan alat kelengkapan lain serta Presiden menunjuk Menteri terkait untuk bersama membahas Rancangan Undang-Undang dengan DPR dan DPD secara Tripartit.

Pada pembahasan tingkat pertama Menteri yang sudah ditunjuk oleh Presiden menyampaikan penjelasan maupun keterangan dalam pengantar musyawarah, selanjutnya DPR dan DPD melalui Badan Legislasi masing-masing menyampaikan pendapat sebagai tanggapan atas penjelasan Menteri yang dalam hal ini mewakili Presiden. Dalam hal ini, DPD tentunya ikut serta ketika RUU

commit to user

(24)

merupakan RUU kewenangan DPD. Selanjutnya, apabila DPR dan DPD merasa bahwa RUU perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut, DPR dan DPD akan mengajukan Daftar Inventaris Masalah, yang mana melalui Daftar Inventaris Masalah tersebut akan dibahas bersama oleh DPR, DPD, dan Presiden yang selanjutnya hasilnya akan dijelaskan dalam pendapat mini masing-masing yaitu pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan pendapat mini Presiden.

2) Pembahasan Tingkat Kedua

Pembahsan tingkat kedua adalah pembahasan yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR dengan melaporkan proses pembahasan pada tingkat pertama serta pendapat mini dari DPR, DPD, dan Presiden. Sebelum pada tahap persetujuan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, DPD terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya atas rancangan undang- undang. DPD tidak berwenang untuk memberi persetujuan terhadap rancangan undang – undang karena hanya DPR dan Presiden yang berwenang untuk memberi persetujuan atas rancangan undang-undang yang diajukan.

b. Rancangan Undang-Undang Dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya, dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwasannya tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia setiap Rancangan Undang-Undang sekurang-kurangnya diusulkan oleh 13 (tiga belas) orang anggota, komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan Naskah Akademik. Selanjutnya, naskah akademik dan rancangan undang-undang yang sudah dilakukan pengharmonisasian dan sinkronisasi akan diajukan dalam rapat paripurna DPR untuk disahkan sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR.

Rancangan Undang-Undang yang sudah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya Pimpinan DPR akan menyampaikan secara tertulis disertai dengan naskah akademik kepada Pimpinan DPD. dan Presiden. Selanjutnya DPD membahas rancangan undang-undang tersebut, sedangkan Presiden akan menyampaikan rancangan undang-undang tersebut kepada Menteri terkait yang commit to user

(25)

selanjutnya akan ada pembahasan rancangan undang-undang inisiatif DPR bersama dengan DPD dan Presiden secara tripartit.

1) Pembahasan Tingkat Pertama

Pada pembahasan tingkat pertama, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menjelaskan kepada Menteri yang ditunjuk Presiden dan Panitia Perancang Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah terkait isi Rancangan Undang-Undang. Selanjutnya Menteri dan perwakilan dari DPD menyampaikann pandangannya terkait materi Rancangan Undang-Undang, khusus untuk DPD, DPD menyampaikan pandangan apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD.

Daftar Inventaris Masalah selanjutnya disampaikan oleh perwakilan yang ditunjuk Presiden dalam hal ini Menteri sebagai perwakilan dari Pemerintah, selanjutnya DPD juga menyampaikan daftar inventaris masalah sesuai dengan kewenangannya, selanjutnya DIM dibahas sampai dengan penyampaian pendapat mini masing-masing lembaga.

Penyampaian pendapat mini merupakan tahap akhir dalam pemabahasan tingkat pertama setelah pembahasan DIM selesai. Pendapat ini disampaikan oleh perwakilan DPR yang mewakili fraksi-fraksi, Pemerintah dan DPD yang mana pendapat mini merupakan pendapat atas hasil pembahsan RUU.

2) Pembahasan Tingkat Kedua

Pada pembahasan tingkat kedua yang merupakan pengambilan keputusan yang dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri oleh seluruh anggota dan perwakilan dari pihak pemerintah. Dalam pembahasan tingkat kedua, diawali dengan penyampaian laporan oleh Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan pendapat mini masing-masing lembaga yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan DPD dan penyampaian pembahasan pada tingkat pertama.

DPD dalam pembahasan tingkat kedua menyampaikan pendapatnya atas rancangan undang-undang tersebut sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

Apabila DPD tidak menyampaikan pendapat atas Rancangan Undang-Undang tersebut maka dianggap sudah setuju. Selanjutnya, masing-masing alat kelengkapan DPR menyampaikan pendapat secara tertulis dan masing-masing anggota menyampaikan pendapatnya terhadap persetujuan RUU secara lisan.

Sementara itu, Presiden dalam hal ini dapat diwakili oleh Menteri menyampaikan sikap akhir Presiden atas Rancangan Undang-Undang tersebut.

commit to user

(26)

c. Rancangan Undang-Undang Dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah sebagai salah satu lembaga legislatif di Indonesia diharapkan mampu menjamin dan menampung kepentingan daerah – daerah secara memadai, serta dapat memperjuangkan aspirasi dalam tingkat pusat. DPD diatur dalam ketentuan UUD NRI 1945 pada perubahan ketiga dan keempat. Secara khusus lagi, DPD diatur dalam Bab VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D. Pasal-pasal lain yang mengatur DPD adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 23F ayat (1). DPD sebagai lembaga legislatif tentunya mempunyai kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang sesuai apa yang diamanatkan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa DPD berwenang mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait RUU yang berhubungan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Rancangan Undang-Undang disiapkan oleh DPD kemudian Pimpinan DPD menyampaikan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan disertai naskah akademik kepada Pimpinan DPR dan Presiden.

1) Pembahasan Tingkat Pertama

Pembahsan tingkat pertama diawali dengan Dewan Perwakilan Daerah menyampaikan penjelasan atas Rancangan Undang – Undang inisiatifnya dalam pengantar musyawarah. Selanjutnya, atas penjelasan dan pengantar terkait Rancangan Undang – Undang inisiatif DPD tersebut, DPR dan Presiden menyampaikan pandangannya masing – masing terkait RUU kemudian mengajukan daftar inventaris masalah. Berdasarkan daftar inventaris masalah yang sudah diajukan, akan dibahas bersama secara tripartit antara DPR, DPD, Presiden.

Baik DPD, DPR, dan Presiden masing-masing akan menyampaikan pendapat mini sebagai hasil atas pembahasan daftar inventaris masalah.

2) Pembahasan Tingkat Kedua

Pembahsan tingkat kedua diawali dengan penyampaian laporan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berisi pendapat mini Presiden, pendapat mini DPR, dan pendapat mini DPD, serta melaporkan seluruh hasil

commit to user

(27)

pembahasan tingkat pertama. Selanjutnya, DPD hanya dapat menunggu apakah rancangan undang-undang yang diajukan tersebut akan diambil keputusan persetujuan oleh Presiden dan DPR atau tidak.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2014 meneguhkan peranan DPD dalam proses legislasi dengan munculnya paradigma baru dalam proses legislasi yang mengefektifkan peranan DPR, DPD, dan Presiden. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi dinilai telah mengembalikan kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam proses legislasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2014 memiliki beberapa poin penting yang salah satunya kembalinya kewenangan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sebelum RUU disetujui bersama.

Saat ini, DPD RI tengah berproses dalam periode keanggotaan keempat yaitu periode keanggotaan 2019-2024. Sekilas melihat kebelakang pada tahun- tahun sebelumnya, DPD RI telah melewati 3 masa periode keanggotaan yang dimulai pada tahun 2004. Jika kita melihat kiprah DPD RI dalam periode keanggotaan sebelum-sebelumnya telah banyak menghasilkan produk-produk konstitusionalnya, sebagaimana tabel berikut ini:

commit to user

(28)

Tabel 1. Sumber: Laporan Lembaga Dewan Perwakilan Daerah 2019 Melihat data yang ada di tabel tersebut dapat dilihat bahwasannya secara kinerja, DPD telah melaksanakan tugas tugas legislasinya dengan baik sesuai dengan amanat konstitusi. Jika dilihat dari tabel tersebut secara kualitatif DPD telah menghasilkan banyak keputusan, akan tetapi secara kualitas sudah seharusnya produk – produk legislasi DPD tetap sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Pentingnya DPD untuk memperhatikan kualitas keputusan yang dihasilkan tidak hanya jumlah keputusan yang dihasilkan agar DPD tetap konsisten dalam memperjuangkan aspirasi daerah.

Peran DPD dari tahun 2004 hingga periode keanggotaan akhir tahun 2019 sejauh ini telah menghasilkan usulan RUU sebanyak 19 usulan RUU pada periode pertama keanggotaan yaitu 2004-2009. Pada periode kedua keanggotaan DPD tahun 2009-2014 telah menghasilkan sebanyak 38 usulan RUU. Lanjut pada periode ketiga yaitu tahun 2014-2019 DPD telah menghasilkan sebanyak 33 usulan RUU. Jadi, total selama tiga periode keanggotaan DPD telah menghasilkan 90 usulan RUU.

Dari banyaknya usulan RUU yang diajukan oleh DPD tersebut, hingga saat ini baru 1 RUU usulan DPD yang ditetapkan menjadi undang-undang yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan yang diusulkan DPD sejak tahun

commit to user

(29)

2011 yang selanjutnya RUU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Peran DPD terus berjalan hingga periode keanggotaan saat ini yaitu periode keanggotaan 2019-2024. Pada tahun 2020 DPD mengusulkan 10 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 yang disampaikan dalam rapat kerja antara DPD, DPR dan Presiden. Sebanyak 10 RUU Prioritas usulan DPD RI yaitu:

1. RUU tentang Hubungan Pusat dan Daerah

2. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

3. RUU tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 4. RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

5. RUU tentang Kegeologian 6. RUU tentang Energi Terbarukan

7. RUU tentang Pengembangan Daya Saing Daerah

8. RUU tentang Bahasa Daerah (masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2019)

9. RUU tentang Daerah Kepulauan 10. RUU tentang Partisipasi Masyarakat

Sementara pada tahun 2021, DPD mengusulkan 2 RUU dalam Prolegnas Prioritas yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa. RUU tentang Daerah Kepulauan sudah berkali-kali diusulkan DPD dalam Prolegnas Prioritas, akan tetapi hingga saat ini belum ditetapkan menjadi Undang-Undang. Menurut Ketua DPD La Nyalla, usulan RUU tentang Daerah Kepulauan cukup strategis karena daerah kepulauan merupakan aset nasional yang di dalamnya terdapat kedaulatan Indonesia atas ekosistem serta sumber daya alam. Selain itu, ada RUU BUMDes yang dapat bermanfaat bagi desa dengan memberikan kejelasan bentuk BUMDes sebagai badan usaha berbentuk hukum.

Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014, DPD semakin aktif dalam pembahasan terhadap RUU bersama DPR dan Pemerintah. RUU yang menjadi usulan Pemerintah atau DPR dan membahas terkait lingkup ruang kerja DPD sudah mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya, seperti RUU tentang Desa yang menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan RUU tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada periode keanggotaan 2015-2019

commit to user

(30)

terdapat 2 usulan RUU dari DPD yaitu RUU tentang Wawasan Nusantara dan RUU Ekonomi Kreatif yang sudah sampai tahap pembahasan, yang mana hingga saat ini hanya RUU Ekonomi Kreatif saja yang sudah disahkan menjadi Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif dan 1 RUU yang merupakan usulan DPD serta DPR berhasil disahkan menjadi UU yaitu RUU Kebidanan yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan. Selain itu pada tahun 2021 ini, terdapat RUU Perlindungan Data Pribadi yang merupakan usulan bersama antara DPR, Pemerintah dan DPD yang sudah sampai pada tahap pemabahasan akan tetapi belum juga disahkan oleh Pemerintah dan DPR.

DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di tingkat pusat serta penyalur aspirasi daerah untuk mengintegrasikan kebijakan nasional dan daerah harus lebih mendorong DPR untuk memiliki komitmen dalam melaksanakan dua putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- XII/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2014. Selain itu DPR juga wajib menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dengan menjalankan putusan tersebut, salah satu caranya dengan mengikutsertakan DPD RI secara penuh dalam proses pembentukan undang-undang yang tentunya undang-undang terkait kewenangan DPD karena hingga saat ini masih terdapat pembahasan undang-undang yang berhubungan dengan daerah tetapi DPD tidak dilibatkan, sebagai contoh pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD dalam pembahasan daftar inventaris masalah walaupun pada akhirnya DPR mengundang pimpinan DPD pada akhir pembicaraan tingkat I.

commit to user

Gambar

Tabel 1. Sumber: Laporan Lembaga Dewan Perwakilan Daerah 2019 Melihat data yang ada di  tabel tersebut dapat dilihat bahwasannya secara  kinerja,  DPD  telah  melaksanakan  tugas  tugas  legislasinya  dengan  baik  sesuai  dengan  amanat  konstitusi

Referensi

Dokumen terkait

terpilih Konsep Rencana Penanganan rinci untuk BWK / Kawasan terpilih sesuai skala prioritas yang ada c,4 Identifikasi kebutuhan perangkat pendukung dan kelembagaan list

Objek dari penelitian ini adalah Strategi Komunikasi Krisis yang dilakukan oleh Humas PT Angkasa Pura I (Persero) dalam menanggulangi krisis pemberitaan selama proses

Aliran panas tersubstitusi oleh aliran fluida dari gangguan sehingga pada bagian kiri model terisi oleh fluida yang bersuhu rendah dikarenakan kecepatan dan tekanan

Oleh karena itu tidak hanya orang dewasa saja yang dapat menggunakan internet tapi anak-anak pun dapat secara langsung menggunakannya.Namun seharusnya untuk anak-anak

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

Antioxidant activity including 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) radical, 2,2'-azino- bis(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonic acid) (ABTS) radical cation and reducing power

Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subjek masih belum memadai untuk dilakukan generalisasi pada kasus yang lebih luas, perlu menentukan kriteria inklusi subjek

Pada pembelajaran seni budaya berbasis pendidikan multikultural terdapat tiga aspek yang nantinya akan dapat mensukseskan pendidikan multikultural, ketiga aspek