• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada abad ke-21 ini, produk seksual seperti: peranti seksual, boneka seks, dan robot seks dipasarkan secara terbuka di Internet (Jannini et al., 2012;

Herbenick et al., 2015; Isaacson et al., 2017; Döring dan Pöschl, 2018).

Distributor online, Amazon sendiri menyediakan ribuan produk kesehatan seksual. Internet telah memperluas dan mendiversifikasi pasar, membuat produk seksual lebih mudah diakses. Döring dan Pöschl (2018) berpendapat bahwa produk seksual memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan seksual di berbagai lapisan masyarakat. Menurut mereka, para profesional kesehatan bekerja di bidang seksualitas perlu diinformasikan dengan baik tentang pasar yang semakin berkembang dan produk seksual yang lebih berteknologi canggih.

Maraknya ulasan peranti seksual di YouTube menjadi perhatian tersendiri bagi peneliti, karena ulasan tersebut sarat nuansa seksual. Sesuatu yang dianggap tabu oleh budaya timur, justru secara gamblang ditampilkan di YouTube.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Allan dan Burridge (2006); Crespo (2015) aktivitas seksual, tabu untuk disuguhkan ke publik dan sangat dibatasi untuk dibahas. Sebagian besar produk peranti seksual yang tampil di YouTube diulas dalam bahasa Inggris. Bagi mereka yang tidak memahami bahasa Inggris, sangat memerlukan terjemahan agar bisa mengakses informasi atau pesan sebuah ulasan peranti seksual dengan baik. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut YouTube telah menambahkan fitur auto translate yang memuat subtitle dalam berbagai versi bahasa yang ada di dunia. Melalui fitur ini pengguna YouTube dapat mengakses informasi dalam sebuah ulasan peranti seksual dengan melihat subtitle yang telah disediakan, seperti yang terdapat pada gambar. 1 berikut ini.

(2)

Gambar 1. 1 Video Ulasan Peranti seksual

Para pengguna YouTube dapat menampilkan subtitle dengan mengaktifkan fitur auto-translate. Tampilan subtitle itu hadir tidak sesederhana yang kita lihat.

Ada beberapa tahapan yang dilalui sebelum munculnya subtitle pada layar YouTube. Sawaf (2012) menjelaskan alur proses subtitle yaitu: 1. Video and Audio Captioning; 2. Segmentation of Audio; 3. Speech Recognition; 4. Speech Recognition Post-editing; 5. Machine Translation; 6. Machine Translation Post- editing; 7. Closed-Caption and Subtitle Formatting; 8.Workflow Management.

Sejauh ini subtitle yang bermunculan di YouTube tersebut, terutama yang berhubungan dengan seks, belum banyak dijadikan objek kajian penelitian. Oleh karena itu peneliti bermaksud menggagas penelitian mengenai bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube. Berdasarkan fakta linguistik yang peneliti temukan, terdapat pengungkapan bahasa seksual dari bahasa Inggris ke dalam subtitle versi bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai budaya kita, karena terkesan terlalu vulgar, sebagaimana yang ditunjukkan pada data berikut ini.

(3)

Contoh 1 374V21

BSu: that's a tiny dick BSa: itu kontol kecil

(Sumber: https://www.YouTube.com/watch?v=jGUfBNUCn98)

Pada data 374V21, frasa a tiny dick merupakan ekspresi dysphemism, karena dalam bahasa Inggris kata dick dianggap vulgar (Collins Dictionary;

Longman Dictionary; dan Cambridge Dictionary). Pada subtitle versi bahasa Indonesia digunakan ekspresi yang sama vulgarnya. Diksi yang dipilih tersebut, bermakna organ seksual pria yang bagi beberapa daerah di Indonesia dianggap kata yang tidak sopan dan sangat dihindari untuk diungkapkan di depan publik.

Kata tersebut akan lebih berterima jika diterjemahkan dalam bentuk netral dengan menggunakaan istilah penis. Istilah ini lebih awam dan nyaman digunakan terutama dalam bidang medis.

Contoh 2 382V21

BSu: it's like a soft and squishy pocket pussy with a bladder around it that you fill up with warm soothing water

BSa: itu seperti saku yang lembut dan licin memek dengan kandung kemih di sekitarnya bahwa Anda isi dengan air hangat yang menenangkan

(Sumber: https://www.YouTube.com/watch?v=jGUfBNUCn98)

(4)

Begitu juga pada data 382V21, frasa a soft and squishy pocket pussy with a bladder around it menggunakan ekspresi dysphemism, karena kata pussy

dianggap vulgar dalam bahasa Inggris (Collins Dictionary; Lexico Oxford;

Longman Dictionary; Cambridge Dictionary). Kata tersebut diterjemahkan menjadi memek dalam subtitle versi bahasa Indonesia. Pemilihan diksi ini pun bermasalah bagi sebagian daerah di Indonesia. Lema ini bermakna organ seksual wanita yang tabu untuk diungkapkan di depan publik. Akan lebih patut jika menggunakan istilah latin yang sudah lazim digunakan di Indonesia yaitu: vagina atau vulva.

Dari kedua contoh yang sudah disajikan tersebut, tampak jelas bahwa subtitle versi bahasa Indonesia tersebut tidak berterima untuk disuguhkan ke publik. Selain isu seksual yang masih dianggap tabu di Indonesia, cara pengungkapan subtitle tidak dikemas dengan apik justru memperparah keadaan.

Allan dan Burridge (2006) mengungkapkan, penyensoran bahasa secara alami mengarah pada pertimbangan kesopanan dan ketidaksopanan, serta interaksinya dengan euphemism (berbicara manis/tidak langsung), dysphemism (berbicara kasar) dan orthopemism (bicara langsung/netral). Subtitle ulasan peranti seksual perlu disajikan dengan bentuk yang elegan agar isu yang sensitif itu tetap dapat tersampaikan ke publik dengan cara yang ramah dan tidak terkesan liar. Pemilihan diksi yang bersifat netral dan familiar bagi pengguna YouTube yang notabene orang Indonesia harus diperhitungkan. Perbedaan sosiokultural dalam memandang seks menjadi pertimbangan utama dalam menghasilkan terjemahan yang memiliki nilai etika sekaligus estetika.

Secara ringkas dapat dikatakan ada beberapa alasan yang mendasari ketertarikan peneliti untuk melakukan riset ini, yaitu: pertama, berdasarkan fakta sosial yang ada bahwa di Indonesia permasalahan seks sampai saat ini masih dianggap tabu untuk dibahas di depan publik; kedua, fakta linguistik menunjukkan bahwa beberapa subtitle ulasan peranti seksual yang ada di YouTube menggunakan diksi yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut; ketiga, Auto-translate merupakan fitur baru yang perlu dievaluasi efektivitasnya bagi pengguna YouTube agar diketahui sejauh mana

(5)

peran subtitle tersebut dalam menjalankan fungsi komunikatif; keempat, kajian terjemahan audiovisual bernuansa seksual masih langka di Indonesia; kelima, ulasan peranti seksual di YouTube belum dijadikan objek penelitian. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan tersebut, tampaknya sangat tepat jika direalisasikan secara empiris dan sistematis.

Pembicaraan tentang seks masih dianggap tabu di Indonesia, karena bertentangan dengan nilai budaya, etika dan agama. Pembahasan tentang seks dianggap tidak pantas disuguhkan ke publik secara vulgar meskipun sebenarnya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari seks. Nilai budaya yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia ini membatasi ruang gerak untuk mengulas masalah seksual secara terbuka, sehingga terkadang menjadi kaku, tidak senonoh, bahkan aneh untuk diungkap. Maka tidak heran jika penelitian bernuansa seksual masih tergolong langka di Indonesia.

Namun di beberapa Negara, studi yang mengangkat isu seksual telah banyak dilakukan terutama riset mengenai produk seksual. Smith (2007) mengeksplorasi desain gaya produk dan aksesori seksual; Jannini et al., (2012) menelaah aspek etika terapi seksual via internet; Herbenick et al., (2015) mengobservasi dimensi produk peranti seksual yang biasa dijual untuk pasien;

Isaacson et al., (2017) meneliti ukuran dan ketebalan peranti seksual; Lieberman (2017) mengkaji keterkaitan peranti seksual dan wacana seksual feminisme;

Wood et al., (2017) menyurvei penggunaan peranti seksual, karakteristik perilaku kebersihan penggunaan peranti seksual dan hasil kesehatan vulvovaginal di Kanada; Döring dan Pöschl (2018) meninjau penjualan peranti seksual, boneka seks dan robot seks via internet; Jing et al., (2018) mengkaji sikap dan penggunaan vibrator di Cina; Mariano (2018) mengeksplorasi penerapan robot seks untuk orang dengan disabilitas; Piha et al., (2018) menelaah batasan tabu dalam pembelian peranti seksual.

Dalam pada itu, Morales et al., (2018) merancang peranti seksual untuk orang dewasa bagi penyandang cacat motorik; Tanenbaum (2018) merancang peranti seksual melalui eksplorasi interaksi manusia dan komputer; Dahlberg et al., (2019) mengamati peningkatan dan penanganan medis peranti seksual;

(6)

Miranda et al., (2019) menyelisik penerapan alat bantu seks pada pria dengan disfungsi seksual; Ronen (2020) menelaah moralitas gender dalam jual beli peranti seksual heteroseksual; Döring dan Poeschl (2020) menyurvei pengalaman dengan beragam peranti seksual di antara orang dewasa heteroseksual di Jerman;

dan Kwakye (2020) mengamati penggunaan peranti seksual dan asimilasi alat ke dalam tubuh manusia. Tampaknya semua riset yang mereka lakukan bertujuan untuk mengetahui perkembangan produksi alat bantu seksual, daya beli konsumen, tipe, ukuran, merk, jenis peranti seksual dan bagaimana efektivitas peranti seksual sebagai alat bantu bagi mereka yang mengalami disfungsi seksual.

Berbagai hasil penelitian tersebut menjadi acuan pengembangan produk seksual yang lebih berkualitas agar dapat digunakan secara sehat dan aman.

Menilik dari perspektif linguistik, studi bertema seksual dilakukan pada ranah media online, karya sastra, lagu dan film. Setyorini (2011) menelaah performativitas gender dan seksualitas dalam weblog lesbian di Indonesia; Hess dan Coffelt (2012) mengamati pola komunikasi verbal tentang seks dalam pernikahan; Utami (2015) mengkaji makna asosiasi pornografi pada iklan media cetak; Yen dan Chiang (2016) menilik konseptualisasi orgasme dalam 27 bahasa;

Wright dan Rubin (2017) meneropong konten seksual dalam lirik musik, video, dan media sosial serta kognisi dan risiko seksual di AS dan Australia; Salmon dan Fisher (2018) meninjau pornografi online menggunakan kerangka evolusi;

Weiman (2019) menelaah mengenai seks dan sejarah bahasa Yiddi; Seida dan Shor (2021) mengamati agresi dan kesenangan homo seksual dan heteroseksual pada pornografi online.

Di lain sisi, kajian representasi seksual pada karya sastra dilakukan oleh:

Sunarti, 2011 meneropong seksualitas dari perspektif perempuan; Virdis (2015) menelaah erotisisasi tubuh perempuan dan laki-laki pada novel porno dari majalah Victoria The Pearl; Nurnaningsih (2016) menelaah metafora alat-alat seksual, aktivitas seksual dalam novel Serat Centhini; Agung dan Prasastyo (2017) menafahus perilaku seksual para tokoh yang terdapat dalam novel karya Eka Kurniawan. Sementara itu, kusno (2015) menyidik asosiasi pornografi pada lirik lagu campursari. Dalam ranah hiburan yang lain, Budiman (2016) menelaah

(7)

seksualitas dan mistisisme yang menjadi ciri khusus film eksploitasi dari Indonesia; Lubis et al., (2020) mengkaji kata-kata tabu mengenai pendidikan seks pada TV seri .

Pada ranah medis, dikaji bagaimana penggunaan istilah gender dan seksualitas dalam penelitian terkait dengan ilmu kesehatan (Eliason, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Eliason menawarkan konsep terkait gender dan seksual agar bisa digunakan secara konsisten dalam rangka menilai seksualitas dan gender; Simeone dan Jeglic (2019) menganalisis pembicaraan dan perilaku seksual normatif. Sementara pada ranah pendidikan dan religi, Attwood et al., (2015) menilik media, nasihat seks, pendidikan dan pembelajaran; Rohman (2019) mengulas persoalan seksual dalam al-Qur’an dengan pendekatan tafsir tematik.

Semua penelitian yang disebut sebelumnya, mengkaji isu seksual masih berfokus dalam perspektif linguistik. Berikut ini akan diulas beberapa penelitian pada bidang penerjemahan terkait bahasa seksual. Penelitian terjemahan bahasa seksual telah diteliti oleh beberapa peneliti di antaranya: Yuan, 2016; Putranti et al, 2017; Mossop, 2017; Putranti, 2018; Anita et al., 2019; Al-Sharafi dan Khader, 2019; Santaemilia, 2019; Yuan, 2020; dan Gupta, 2020. Penelitian yang telah dilakukan tersebut secara garis besar terbagi menjadi dua ranah, yaitu penerjemahan tulis dan penerjemahan audiovisual.

Pada ranah penelitian penerjemahan audiovisual, Yuan (2016) mengkaji subtitle bahasa seksual dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Mandarin. Ia merujuk pada kategori bahasa seksual yang digagas oleh Allan dan Burridge (2006). Lebih lanjut, penelitian tersebut menambah dua kategori bahasa seksual yaitu: prostitusi dan organ seksual. Namun demikian, penelitian tersebut belum mengkaji ekspresi bahasa seksual terkait dengan orthophemism, dysphemism dan euphemism. Hal senada juga dilakukan oleh Santaemilia (2019), ia menelaah refleksi terjemahan bahasa berkenaan dengan seks pada teks audiovisual dalam bahasa Spanyol.

Penelitian tersebut belum mengkaji pergeseran dan kualitas terjemahan bahasa seksual sebagai dampak dari penggunaan teknik penerjemahan.

(8)

Sementara itu pada ranah penerjemahan tulis, Putranti et al., (2017) mengkaji ekspresi bahasa seksual yang meliputi: euphemism, orthophemism dan dysphemism pada terjemahan novel. Namun penelitian ini belum melihat bagaimana pergeseran ketiga ekspresi tersebut sebagai dampak dari teknik penerjemahan. Demikian juga Anita, et al., (2019) yang meninjau terjemahan ekspresi eufemisme bahasa seksual dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada novel karya Eloisa James. Senada dengan Mossop (2017) yang menyoroti masalah gaya yang hilang dan terjemahan erotika dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Kedua penelitian ini belum secara holistik membandingkan wujud ekspresi yang lain seperti: orthophemism dan dysphemism.

Di lain sisi, Al-Sharafi dan Khader (2019) menafahus kualitas terjemahan eufemisme terkait seks dalam al-Qur'an dengan pendekatan pragmatis. Namun penelitian yang mereka lakukan belum menggali teknik penerjemahan yang merupakan penentu kualitas terjemahan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Albir dan Molina (2002) bahwa teknik penerjemahan berdampak pada kualitas terjemahan. Dengan demikian, informasi yang diberikan dalam penelitian tersebut dirasa belum utuh.

Menindak lanjuti penelitiannya terdahulu, Putranti (2018) mengkaji penerjemahan bahasa seksual pada novel karya Sandra Brown dengan melihat tipe-tipe bahasa seksual yang dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: persetubuhan, aktivitas seksual, orgasme, organ seksual pria dan organ seksual wanita. Lebih lanjut, ia membandingkan hasil terjemahan berbasis gender. Sementara itu, Yuan (2020) mengkaji terjemahan bahasa seksual dalam novel Peter Pan dalam bahasa Cina yang dihasilkan oleh tiga orang penerjemah dalam periodesasi dan rezim kekuasaan yang berbeda. Kedua penelitian tersebut melihat bagaimana realitas hasil terjemahan yang dilakukan oleh manusia. Di lain sisi, Gupta (2020) menyelisik pengkastaan dan penerjemahan seks ke dalam bahasa daerah karya santram BA dalam bahasa Hindi dengan pendekatan sejarah.

Semua penelitian yang telah dilakukan sebelumya baik pada bidang penerjemahan tulis atau penerjemahan audiovisual menilik produk terjemahan bahasa seksual yang dihasilkan oleh manusia. Hasil terjemahan yang merupakan

(9)

produk mesin, dalam hal ini fitur Auto-Translate yang ada di YouTube belum pernah diteliti.

Beberapa penelitian yang terkait dengan mesin penerjemahan memang sudah pernah dilakukan sebelumya, namun penelitian tersebut belum berfokus pada bahasa seksual. Penelitian terkait mesin penerjemahan di antaranya pernah dilakukan oleh: Carrove, 1999; Humanika, 2003; Lopes, 2008; Khalilov 2009 dan Yuwono, 2018. Dalam kajiannya, Carrove (1999) mengungkap pemanfaatan komputer sebagai alat bantu penerjemahan dalam pengajaran penerjemahan.

Sementara itu, Humanika (2003) secara spesifik menelaah kualitas terjemahan frasa nomina dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh Transtool versi V22KB. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan Lopez (2008) membahas pemadanan pola-pola pada komputer penerjemah. Lebih lanjut, Khalilov (2009) berupaya menghasilkan model sintaksis dan statistik pada komputer penerjemah.

Penelitian yang dilakukan Carrove (1999), Lopez (2008) dan Khalilov (2009) belum mengulas persoalan kualitas terjemahan yang dihasilkan oleh komputer penerjemah. Sementara itu, Humanika (2003) telah mengkaji kualitas terjemahan namun masih berfokus pada unit frasa nomina. Ia belum menilik pada tataran kata, klausa dan kalimat. Dalam pada itu, Yuwono (2018) mengkaji kualitas terjemahan yang dihasilkan oleh dua komputer penerjemah (Kataku V.I.I dan Transtool 10 rar) secara holistik pada unit kalimat. Akan tetapi Yuwono (2018) menilik pada teks umum yang mengandung ekspresi bersifat netral. Ia belum melihat realitas terjemahan pada teks yang terkait dengan bahasa seksual bermuatan ekspresi dysphemism (kasar) dan euphemism (halus). Selain itu penelitian yang dilakukan Yowono (2018) tersebut belum melihat teknik penerjemahan dan pergeseran yang disebabkan oleh penerapan teknik tersebut.

Berdasarkan review penelitian sebelumnya, peneliti melihat adanya celah penelitian yang perlu digali lebih dalam. Hal ini karena dari pendekatan sejarah dan sosiolinguistik yang digunakan oleh para peneliti terdahulu belum mengkaji semua aspek dan kategori bahasa seksual dalam kaitannya dengan teknik penerjemahan, pergeseran dan kualitas terjemahan secara holistik. Selain itu,

(10)

penelitian ini bisa dijadikan pembanding untuk melihat bagaimana produk terjemahan bahasa seksual yang dihasilkan oleh manusia dan yang dihasilkan oleh mesin penerjemah otomatis.

Secara rinci celah penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini menggunakan subtitle bahasa seksual pada fitur auto-translate di YouTube sebagai objek penelitian yang merupakan representasi produk penerjemahan audiovisual yang dihasilkan oleh mesin penerjemah otomatis dengan pendekatan multimodal. Pendekatan ini melihat koherensi dan kohesi perpaduan unsur visual dan audio berupa; gambar, tuturan berwujud transkripsi dalam bahasa Inggris dan Subtitle (terjemahan versi bahasa Indonesia dalam bentuk teks tulis pada layar YouTube).

2. Teknik penerjemahan belum secara rinci dikaji peneliti sebelumnya terkait dengan penerapannya pada unit linguistik, kategori dan ekspresi bahasa seksual.

3. Belum adanya penelitian yang menilik pergeseran bahasa seksual secara utuh (ekspresi, kategori dan unit linguistik).

Kajian ini merupakan penelitian produk di bidang penerjemahan audiovisual dengan menggunakan ancangan kualitatif. Sumber data berasal dari video ulasan peranti seksual di YouTube. Teknik pengumpulan data meliputi:

analisis dokumen dan Focus Group Discussion (FGD). Teknik analisis data terdiri dari empat tahapan, yaitu: analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial dan analisis tema budaya (Santosa, 2021). Agar lebih jelas berikut akan dipaparkan rangkaian prosedur penelitian yang sudah dilalui oleh peneliti.

Riset ini diawali dengan mengunduh video ulasan peranti seksual di YouTube yang memiliki fitur subtitles berbentuk file srt. Setelah itu peneliti mengunduh bahasa sumber dalam bahasa Inggris (auto-generated). Data bahasa sumber dan subtitle yang masih berbentuk file srt dikonversikan ke Word agar bisa ditelaah lebih jauh. Pada tahap berikutnya, dilakukan analisis dokumen dengan mengidentifikasi bahasa seksual yang ada pada ulasan peranti seksual dan subtitle-nya berdasarkan teori Allan dan Burridge (2006). Mereka membagi ekspresi ke dalam tiga jenis yaitu; orthophemism, euphemism dan dysphemism.

(11)

Setelah ekspresi bahasa seksual yang terdapat dalam ulasan peranti seksual tersebut diklasifikasi, kemudian dikategorikan ke dalam empat aspek, yaitu: Alat Bantu Seksual (ABS), Aktivitas Seksual (AS), Organ Seksual (OS) dan orgasme (Org) dalam unit linguistik berwujud kata, frasa, klausa/kalimat.

Selanjutnya dilakukan analisis mengenai teknik penerjemahan bahasa seksual yang merujuk pada konsep yang digagas oleh Molina dan Albir (2002).

Pemilihan teori ini bukan tanpa alasan, berdasarkan penelaahan beberapa referensi sebelumnya, kategori teknik penerjemahan yang dipaparkan oleh Molina dan Albir lebih komprehensif dan variatif sehingga diharapkan mampu mewadahi jenis teknik yang akan muncul. Proses pengklasifikasian teknik penerjemahan dilakukan dengan membandingkan bahasa seksual dalam bahasa sumber (bahasa Inggris) dengan subtitle-nya versi bahasa Indonesia yang terdapat pada ulasan peranti seksual di YouTube.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Molina dan Albir (2002), penerapan teknik penerjemahan berdampak pada kualitas terjemahan. Oleh karena itu, penelitian ini dirasa belumlah tuntas kalau tidak berujung pada penilaian kualitas produk terjemahan. Sejatinya informasi terkait kualitas terjemahan, dalam hal ini subtitle bahasa seksual ulasan peranti seksual di YouTube sangat dibutuhkan tidak hanya bagi penyedia layanan YouTube, tapi juga bagi pengguna. Dengan mengetahui kualitas terjemahan tersebut, para pengembang IT bisa meningkatkan performa subtitle yang lebih baik dalam fitur auto-translate demi keunggulan dan kesempurnaan produk mereka. Selain itu dengan mengetahui kualitas subtitle di YouTube, para pengguna tidak sepenuhnya bergantung pada subtitle yang muncul pada layar, mereka akan melakukan refleksi dalam memahami makna yang muncul pada saat menonton video di YouTube.

Menimbang pentingnya informasi mengenai masalah kualitas terjemahan, maka peneliti mengevaluasi kualitas subtitle bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube. Menilai kualitas produk terjemahan tidaklah mudah, semua itu memerlukan konsentrasi dan ketelitian tingkat tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, peneliti melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan dua orang rater dan

(12)

satu orang informan ahli yang telah memahami seluk beluk di bidang penerjemahan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Satuan Bahasa apa sajakah yang merepresentasikan bahasa seksual dalam ulasan peranti seksual di YouTube ?

2. Bagaimanakah teknik penerjemahan subtitle bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia ? 3. Bagaimana pergeseran yang terjadi pada subtitle bahasa seksual ulasan

peranti seksual di YouTube dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia?

4. Bagaimana kualitas subtitle bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube?

C. Tujuan Penelitian

Selaras dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi satuan bahasa yang merepresentasikan bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube.

2. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi teknik penerjemahan bahasa seksual pada subtitle ulasan peranti seksual di YouTube.

3. Mengidentifikasi dan memetakan pergeseran pada subtitle ulasan peranti seksual di YouTube dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

4. Mengevaluasi kualitas subtitle bahasa seksual pada ulasan peranti seksual di YouTube.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi untuk:

1. Pengembangan teori penerjemahan, sehingga bisa digunakan oleh pengajar, peneliti dan praktisi di bidang penerjemahan audiovisual terutama yang terkait dengan penerjemahan bahasa seksual.

2. Evaluasi terhadap inovasi teknologi penerjemahan terutama pada pihak penyedia layanan YouTube untuk memperbaiki performa subtitle yang ada pada fitur auto-translate agar bisa digunakan secara luas.

(13)

3. Memberikan informasi kepada para pengguna YouTube mengenai kualitas subtitle pada fitur auto-translate yang ada di YouTube terkait dengan bahasa seksual pada ulasan peranti seksual.

4. Sebagai rekomendasi kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam penyempurnaan Kamus Besar Bahasa Indonesia terkait dengan bahasa seksual.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.13 : Hasil (Uji t) Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa

Untuk melaksanakan tugas tersebut Kota Administrasi menyelenggarakan fungsi: penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran kota

Apabila ditemukan hal-hal dan/atau data yang kurang jelas maka Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi dapat meminta peserta untuk menyampaikan klarifikasi secara tertulis

Skripsi ini berjudul ”Hubungan Dependensi dengan Tingkat Ansietas dan Depresi Pasien Pascastroke” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan

Landasan formal konstitusional dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan landasan materiil

Minat adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam. berinteraksi

Oleh karena itu bagi pimpinan perusahaan agar dapat lebih membangkitkan dan mendorong semangat kerja karyawannya dengan cara memberikan penghargaan terhadap prestasi atau kinerja

Ekstraksi udang rebon dibuat sebanyak 3 batch menggunakan metode maserasi dengan pelarut aseton selama 3 hari berturut-turut, kemudian dilakukan pengukuran kadar astaxanthin