37 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Produksi
4.1.1 Setting Wawancara
Pada bab sebelumnya, penulis telah merancang teknis wawancara dengan narasumber. Teknik pengambilan gambar sewaktu wawancara tidak menggunakan multiple camera karena keterbatasan kru dan alat.
Sedangkan untuk tata letak pengambilan gambar wawancara, penulis menggunakan dua cara berikut:
a. Steady Camera
Pengambilan gambar dengan cara steady camera adalah cara pertama dan paling utama yang digunakan penulis ketika merekam. Wawancara dilakukan di sekitar lokasi kerja narasumber yang bersangkutan, sehingga memberi kesan kesinambungan dengan topik yang diangkat oleh narasumber.
Secara umum, ada tiga posisi ketika perekaman gambar wawancara; pertama, arah pandang narasumber menghadap ke depan kamera secara langsung; kedua, sudut mata kamera tidak berhadapan langsung dengan narasumber, sehingga menimbulkan kesan bahwa subyek sedang berdialog dengan pewawancara (off screen); ketiga, baik pewawancara dengan maupun narasumber tampak di dalam layar (on screen).
(Ayawaila, 2008:100)
Dalam film dokumenter “Emas itu Ampas”, penulis menggunakan posisi sudut kamera tidak berhadapan langsung dengan narasumber dan miring ke kanan layar kamera. Berbeda dengan sudut pandang konfrontatif antara narasumber dengan mata kamera, sudut pandang menyamping akan menimbulkan
38
kesan santai, informal, bersahabat, dan kadang memiliki unsur anekdot. (Ayawaila, 2008:102)
Contoh pengambilan gambar bisa dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.1. Tangkapan layar wawancara dengan Munadi, pemilik Kafe Logos
Gambar 4.2. Tangkapan layar wawancara dengan Nugraheni, petani urban di Salatiga
Gambar 4.3. Tangkapan layar wawancara dengan Wahyu, petani urban di Salatiga
b. In Action
Selain teknik pengambilan gambar dengan steady camera, penulis juga menggunakan teknik in action. Teknik ini lazim digunakan saat subyek sedang melakukan kegiatan, sambil menjelaskan hal yang dilakukannya.
39
4.1.2 Rencana Produksi, Kejadian Lapangan, dan Cara Mengatasinya
Rencana Produksi Kejadian Lapangan Cara Mengatasi Narasumber dari ReBrew
Lifestyle yang ada di Jakarta akan
diwawancara sekitar bulan Januari 2019
Narasumber tidak membalas selama sekitar dua bulan dan baru mengkonfirmasi kesediaannya untuk diwawancara pada pertengahan Maret 2019.
Penulis rutin menanyakan dan negosiasi jadwal yang cocok dengan
narasumber.
Penulis rutin
mengarsipkan materi rekaman sekaligus memilih sebagai tahapan proses offline editing.
Penulis tidak memiliki komputer untuk melakukan
pengarsipan materi rekaman dan penyuntingan, sehingga harus mengarsipkan
beragam materi dalam jumlah banyak
sekaligus.
Penulis membeli hardisk eksternal untuk mengarsipkan materi mentah
rekaman, supaya bisa melakukan editing video di komputer yang berbeda.
Mewawancarai beberapa narasumber yang ada di kota Salatiga, Jakarta, Surabaya, dan
Yogyakarta.
Beberapa narasumber yang ada di luar kota tidak bisa dihubungi dan unit usaha pengolahan ampas kopinya sudah berhenti.
Penulis mencari narasumber alternatif yang kredibel dan relevan untuk membicarakan topik pengolahan ampas kopi. Narasumber- narasumber alternatif
40
ini ada pada lingkaran narasumber sekunder.
Penulis mengambil lengkap materi rekaman yang ada di Jakarta.
Penulis luput dalam mengambil salah satu materi shot mitra kerja olah ampas kopi ReBrew Lifestyle yaitu Anomali Coffee.
Penulis meminta videografer
kontributor luar untuk syuting materi gambar dari Anomali Coffee.
Penulis bisa
mengumpulkan materi riset awal pada bulan Desember 2018 dan mensarikannya menjadi bahan pertanyaan wawancara untuk bulan Januari 2019.
Penulis mengalami overload agenda kerja, karena memang tidak ada kru.
Penulis menggandeng tim riset kontributor luar yang
beranggotakan dua orang.
Tabel 4.1. Rencana Produksi, Kejadian Lapangan, dan Cara Mengatasinya
4.2 Pasca Produksi
Pembahasan pada tahap berikut adalah tentang tahap terakhir produksi sebelum karya film dokumenter ini dipublikasikan.
4.2.1 Biaya Produksi Real
Pra Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)
Administrasi (ATK, Kertas, dll) 1 100.000,- 100.000,-
Pembuatan Proposal 1 50.000,- 50.000,-
Subtotal 150.000,-
Pembelian Peralatan Unit Rate (Rp) Amount (Rp)
Boya MY-M1 Lavalier Mic 1 150.000,- 150.000,-
Tas Kamera KEE 1 150.000,- 150.000,-
Hardisk WD 2TB 1 1.100.000,- 1.100.000,-
41
Subtotal 1.400.000,-
Operasional Unit/Day Rate (Rp) Amount (Rp) Tiket kereta PP Semarang-Jakarta 1 435.000,- 435.000,-
Transport dalam Kota 1/5 50.000,- 250.000,-
Sewa Komputer 1/7 10.000,- 70.000,-
Konsumsi 5 100.000,- 500.000,-
Subtotal 1.205.000,-
Pasca Produksi Unit Rate (Rp) Amount (Rp)
Copy Master 3 20.000,- 60.000,-
Jasa Terjemahan 1 500.000,- 500.000,-
Pembuatan Laporan TA 3 25.000,- 75.000,-
Publikasi Acara 100.000,- 100.000,-
Screening Film dan Uji Publik 200.000,- 200.000,-
Subtotal 935.000,-
TOTAL 3.690.000
4.2.2 Editing
a. Penataan Materi Mentah
Tahap ini adalah tahap paling awal ketika memulai penyuntigan film. Penulis mula-mula mengelompokkan setiap file berdasarkan jenis dan kegunaannya ke dalam folder yang berbeda.
Pengelompokkan ini dibutuhkan penulis untuk mengintegrasikan kerapihan file dengan sistem kerja yang digunakan Adobe Premiere Pro. Folder-folder ini meliputi folder Audio, Footage, Graphic, Photo, Premier, dan Export. (Lihat Gambar 4.4)
Gambar 4.4. Proses mengelompokkan file berdasarkan jenisnya
42
Folder Audio berguna untuk mengelompokkan file-file audio baik dari hasil rekaman wawancara narasumber, field recording, sound effect, maupun latar musik yang digunakan. (Lihat Gambar 4.5)
Gambar 4.5. Isi folder Audio
Folder Footage berguna untuk mengelompokkan file-file video baik dari hasil rekaman wawancara narasumber maupun stock shot pendukung lainnya. Pengelompokan file video ini berdasarkan scene, sehingga memudahkan penulis untuk melacak jenis shot secara spesifik. (Lihat Gambar 4.6)
Gambar 4.6. Isi folder Footage
Folder Graphic berguna untuk mengelompokkan file-file grafis pendukung film, seperti logo rumah produksi, logo instansi terkait, maupun ilustrasi. (Lihat Gambar 4.7)
43
Gambar 4.7. Isi folder Graphic
Folder Export berguna untuk mengelompokkan file draf video untuk kemudian ditinjau ulang maupun file video hasil akhir setelah rendering. (Lihat Gambar 4.8)
Gambar 4.8. Isi folder Export
Folder Photos berguna untuk mengelompokkan file foto-foto pendukung film. Foto-foto digunakan penulis untuk memberi variasi sisipan (insert) ketika shot dari wawancara dirasa terlalu panjang. (Lihat Gambar 4.9)
Gambar 4.9. Isi folder Photo
Folder Premiere berguna untuk mengelompokkan file project dari software Adobe Premiere Pro. (Lihat Gambar 4.10)
44
Gambar 4.10. Isi folder Premiere
b. Pemilihan Video
Proses pemilihan video merupakan proses awal di mana penulis menyeleksi beberapa stock shot atau hasil rekaman pada saat produksi. Materi pemilihan dilakukan berdasarkan kelayakan audio dan visual menurut shooting script yang sudah dibuat.
(Lihat Gambar 4.11)
Gambar 4.11. Pemilihan Video
c. Sound Editing
Dalam proses penyelarasan audio dan video di film dokumenter ini, penulis menggunakan 2 channel audio, yang mana channel pertama adalah audio asli yang dihasilkan langsung dari kamera, sedangkan yang kedua adalah latar musik. (Lihat Gambar 4.12)
45
Gambar 4.12. Sound Editing
Khusus untuk musik, penulis tidak memakai musik berlabel dan juga tidak menggunakan musik gratis dari kanal video Youtube Audio Library. Penulis menggunakan musik-musik dari artlist.io.
Artlist adalah situs jejaring yang menyediakan musik-musik komersil dan berlisensi, di mana para anggotanya bisa membeli untuk kepentingan personal maupun komersil, sehingga ketika dipublikasikan tidak akan berpotensi adanya tuntutan penyalahgunaan hak cipta. (Lihat Gambar 4.13)
Pada proses mixing materi gambar dengan audio, penulis menggunakan beberapa musik yang sudah diunduh dari laman artlist.io. Berikut daftar musik yang digunakan penulis dengan urutan nama judul musik lalu penciptanya:
1. “Goodnight” oleh Kipp Wilde 2. “Early Morning” oleh Borrtex 3. “Spruce and Pine” oleh SLPSTRM 4. “Balance” oleh Muted
5. “Beasts of the Earth” oleh Kipp Wilde 6. “A Safe Place” oleh Michael Shynes
46
Gambar 4.13. Halaman web artlist.io
d. Rendering
Rendering merupakan proses paling akhir dari semua proses penyuntingan stok visual dan audio yang semula terpisah-pisah, lalu digabungkan menjadi satu format media yang matang. Dalam proses rendering (Lihat Gambar 4.14), memiliki pengaturan khusus sesuai hasil dan format yang diinginkan. Adapun penulis harus melakukan setting render terlebih dahulu, seperti memilih format video .MP4, resolusi 1920x1080 H.264, format audio AAC stereo, dan memastikan durasinya sesuai dengan shooting script atau treatment (Lihat Gambar 4.15).
Gambar 4.14. Setting Render
47
Gambar 4.15. Rendering
4.2.3 Mapping Editing
Pada bagian ini, penulis menjabarkan mengenai kesesuaian hasil editing dengan shooting script yang telah dibuat. Secara umum, mapping editing adalah sebuah proses memetakan perubahan emosi penonton yang diinginkan oleh sineas, dari satu bagian ke bagian lainnya, dari menit pertama ke menit selanjutnya. Perubahan emosi yang sudah ditentukan sineas ini membantu sineas untuk menentukan gambar dan audio seperti apa yang dibutuhkan, lalu akan dicocokkan kembali pada tahap ini.
Time code (dalam menit)
Scene Perubahan Kognisi dan Emosi
00:00-04:31 Pengenalan dua orang tokoh. Yang pertama berbicara mengenai kebun hidroponiknya yang gagal, lalu mencoba
memanfaatkan kebun halaman rumahnya untuk memenuhi kebutuhan dapurnya, sedangkan tokoh kedua, berbicara mengenai limbah dapur yang sebenarnya masih
Sineas menginginkan penonton agar bertanya-tanya. Seolah- olah topik yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu berkaitan, tapi belum jelas apa.
48 bisa diolah lagi.
04:31-06:45 Mulai muncul opsi-opsi untuk mengolah limbah rumah tangga secara mandiri yaitu kotak kompos sederhana.
Namun, kebutuhan pupuk belum bisa tercukupi dengan hanya
mengandalkan limbah rumah tangga. Tokoh utama membutuhkan lebih banyak limbah lagi. Dari sekian banyak pilihan limbah, pilihan jatuh pada ampas kopi.
Penonton digiring masuk ke persoalan masyarakat urban penikmat kopi, yang mana mereka sendiri adalah pelakunya. Namun, dengan begitu banyaknya macam persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat kota, film menggiring penonton untuk fokus pada persoalan sampah ampas kopinya sendiri, tanpa memunculkan segi pesimis, melainkan mencoba
menawarakan jalan alternatif yang belum jelas seperti apa.
49 06:45-09:32 Pengenalan tokoh-tokoh
pebisnis kopi di Salatiga mulai dari yang mengolah ampas kopi, yang kadang- kadang mengolah, sampai yang tidak mengolah ampas kopinya sendiri, beserta dengan alasannya masing-masing. Pada bagian ini, tokoh utama hadir untuk menengahi persoalan sampah para pebisnis kopi di Salatiga.
Penonton digiring untuk berpikir bahwa persoalan
‘sepele’ seperti ampas kopi bisa jadi masalah jika terjadi dalam skala luas, banyak, dan frekuensi yang tinggi. Lalu penonton diajak untuk
mengintip beberapa pengolah ampas kopi, yang melihat ampas kopi sebagai salah satu benda berharga daripada melihatnya sebagai sampah saja. Tapi di sisi lain, penonton juga dibuat bertanya mengenai di mana peluang usaha dari olah ampas kopi ini?
09:32-13:38 Pengenalan terhadap model bisnis olah ampas kopi di Jakarta.
Penonton digiring pada proses berpikir bahwa ampas kopi, yang notabene adalah limbah konsumsi, masih bisa
dimanfaatkan menjadi varian produk yang punya nilai jual.
50 13:38-20.00 Semua statement positif
dari tokoh-tokoh yang ada di dalam film dijadikan kompilasi di bagian ini.
Bagian ini terutama menyimpulkan bahwa ampas kopi yang diolah kembali dapat mengurangi risiko pencemaran
lingkungan, menambah pemasukan, mendorong orang untuk berinovasi dengan barang yang ada di sekitarnya.
Penonton digiring untuk melihat sisi ‘emas’ dari ampas kopi dan lebih sadar lagi dalam melakukan kegiatan konsumsi, yang seolah selama ini abai terhadap limbahnya.
Tabel 4.2. Mapping Editing
51 4.3 Publikasi dan Screening
Pada saat film sudah memasuki tahap publikasi, maka akan dibuat media promosi dan mempublikasikan karya Tugas Akhir ini kepada masyarakat, untuk selanjutnya masuk ke dalam uji publik. Materi publikasi seperti poster akan berbentuk seperti di bawah ini (Lihat Gambar 4.16):
Gambar 4.16. Poster film "Emas itu Ampas"
4.4 Hasil Uji Publik
Penulis melakukan tahapan uji publik karya film dokumenter ini untuk mengetahui ketercapaian pesan dalam film kepada khalayak yang disasar. Adapun penulis melakukan uji publik film dokumenter ini pada 27 April 2019 bertempat di Rumah Kaos Bugil, Tingkir, Salatiga, sebagai salah satu rangkaian acara “Lihat Kebunku”.
Gambar 4.17. Screening Film Gambar 4.18. Diskusi Film
Usai melakukan screening, penulis melakukan diskusi terbuka mengenai film dokumenter tersebut bersama narasumber dan para hadirin. Penulis juga
52
memberikan kuesioner kepada hadirin dengan tujuh jenis aspek yang hendak dinilai.
Dari 30 hadirin yang bersedia mengisi kuesioner, dapat dirangkum bahwa:
7. Judul film ini cukup baik untuk khalayak sasarannya 8. Pesan dalam film ini baik untuk khalayak sasarannya
9. Khalayak sasaran dapat memahami dengan jelas pesan yang disampaikan melalui film ini secara baik
10. Durasi film ini sangat baik dan sesuai untuk khalayak sasarannya 11. Gaya bercerita film ini sangat baik dan menarik bagi khalayak
penonton
12. Isu yang diangkat dalam film ini mudah dipahami dengan baik 13. Bahasa yang digunakan sudah sesuai dan baik