Hasil dan Pembahasan
Tingkat asupan makanan harian yang dikonsumsi oleh balita sangat menentukan kondisi status gizi yang dimiliki. Asupan harian yang baik sangat diperlukan oleh balita agar dapat tercapai status gizi yang baik sehingga dapat mendukung proses tumbuh kembang balita. Anak yang berusia dibawah lima tahun masih tergolong usia emas karena perkembangan kecerdasan dan fisik masih sangat pesat sehingga dengan balita harus didukung dengan asupan makanan yang baik untuk mencapai status gizi maksimal (Putri, 2015). Sebanyak 130 balita telah dilakukan penelitian terkait berat badan, tinggi badan, usia, jenis kelamin dan asupan makanan balita. Penelitian yang dilakukan pada wilayah kerja Puskesmas Ambarawa terhadap balita berusia 12-59 bulan didapatkan hasil seperti pada tabel 6 hingga tabel 8 dibahah ini.
Tabel 6. Distribusi Populasi Balita Berdasarkan Status Gizi
Indikator Kategori Jumlah Presentase BB/U Berat badan kurang 4 3,08%
Resiko BB lebih 17 13,07%
Normal 109 83,85%
Total 130 100%
TB/U Sangat Pendek 1 0,77%
Pendek 1 0,77%
Normal 127 97,69%
Tinggi 1 0,77%
Total 130 100%
BB/TB Obesitas 7 5,38%
Gizi lebih 1 0,77%
Beresiko gizi lebih 8 6,15%
Normal 110 84,62%
Gizi kurang 3 2,31%
Gizi buruk 1 0,77%
Total 130 100%
Tabel 6 menunjukkan distribusi status gizi pada anak balita yang terlibat dalam penelitian berdasarkan indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Menurut tabel 6, diketahui bahwa sebagian besar balita pada indikator BB/U tergolong dalam kategori normal, yaitu sejumlah 109 anak (83,85%). Hasil ini menggambarkan bahwa sebagian besar balita memiliki berat badan yang optimal, dengan pertambahan berat badan yang sudah sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Teori dari Addawiyah (2020) menerangkan bahwa indikator BB/U normal menunjukkan kondisi balita yang berada pada berat badan yang optimal, sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Riset lainnya dari Mustika (2015) yang bertempat di posyandu Villa Tembalang RT 5 RW
V, Bulusan, Tembalang, Semarang, mengatakan bahwa sebagian besar balita yang berstatus gizi normal berdasakan ndikator BB/U memiliki presentase 82,8%.
Indikator BB/U yang normal menunjukkan bahwa anak memiliki pertamabahan berat badan yang normal juga menurut kategori umur (Mustika, 2015). Penelitian lain yang mendapatkan hasil berbeda dilakukan oleh Rahim (2014) di Puskesmas Leuwimunding, Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka terhadap status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Leuwimunding menunjukkan sebesar 69%
balita menderita berat badan kurang, dan 31% lainnya normal. Menurut penelitian yang dilakukan Rahim (2014) didapatkan bahwa kondisi balita pada wilayah kerja Puskesmas Leuwimunding mengalami pertambahan berat badan yang kurang optimal sesuai dengan jenis kelamin dan umur (Rahim, 2014).
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kondisi status gizi anak balita menurut parameter TB/U tergolong baik, dimana mayoritas balita berstatus gizi normal yaitu 127 anak (97,69%). Hasil ini menunjukkan bahwa pertambahan tinggi badan sesuai dengan usianya. Pernyataan ini didukung dengan teori dari Addawiyah (2020) yang menyatakan bahwa indikator TB/U dalam kategori normal menunjukkan bahwa anak balita mengalami pertamabahan tinggi badan normal sesuai kategori rentang usianya.
Anak yang berstatus gizi sangat pendek menurut indikator TB/U ini merupakan anak balita yang memiliki dampak paling berbahaya terhadap perkembangan kognitifnya kedepan. Semakin rendah Standar Deviasi pada anak menurut indikator TB/U semakin rendah kemampuan kognitif anak. Peningkatan Standar Deviasi pada anak penderita stunting mampu meningkatkan kemampuan kognitif anak (Alam, 2020).
Penelitian dari Addawiyah (2020) di Kelurahan Rejosari, pada wilayah kerja Puskesmas Rejosari, Tenayan Raya, Pekanbaru menhatakan bahwa balita yang berstatus gizi menurut indeks TB/U yang tergolong normal sejumlah 80,20%. Hasil riset menggambarkan, tinggi badan pada balita di wilayah kerja Puskesmas Rejosari juga mengalami pertambahan tinggi badan yang baik sesuai dengan kategori umurnya (Addawiyah, 2020). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ernawati (2019) yang berlokasi pada Posyandu Apel Desa Jambearjo Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang mengatakan bahwa presentase balita penderita stunting adalah 59,00% yang terdiri 35,00% tergolong kategori stunting dan sebanyak 24,00%
tergolong kategori stunting sangat pendek. Hasil ini menunjukkan bahwa balita di Posyandu Apel mengalami pertambahan tinggi badan yang tidak sesuai atau lebih lambat dari kategori usianya (Ernawati, 2019). Berdasarkan penelitian-penelitian
tersebut, diketahui bahwa penelitian yang telah dilakukan sudah sesuai dengan penelitian-penelitian lain yang dilakukan sebelumnya. Balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ambarawa sebagian besar memiliki status gizi menurut TB/U normal dan mengalami pertumbuhan sesuai dengan umur.
BB/U merupakan indeks status gizi yang cepat berubah yang dikarenakan beberapa hal seperti asupan makanan dan keadaan penyakit. Namun, dalam keadaan normal, yaitu apabila asupan makanan cukup dan kondisi kesehatan baik, maka pertambahan berat badan juga akan berjalan seiring dengan pertambahan umur. Pada kondisi abnormal, ada 2 kemungkinan perkembangan status gizi BB/U yaitu lebih lambat atau lebih cepat dari keadaan normal (Perdani, 2017). Berdasarkan teori tersebut, BB balita pada wilayah kerja Puskesmas Ambarawa dapat dikatakan masih memiliki kemungkinan berubah ke arah yang positif atau seiring dengan pertambahan umur jika asupan makanan yang diterima balita cukup dan balita memiliki tingkat kesehatan yang baik. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi menurut indikator BB/U antara lain yaitu pola pemberian makan harian pada anak dan tingkat kecukupan energi dan protein (Rahim, 2014). BB/U menggambarkan status gizi secara umum, yang sangat berhubungan dengan umur.
Jika tinggi badan balita rendah, maka berat badan balita rendah juga. Selain itu, berat badan balita bertambah juga mengikuti pertambahan umur sehingga apabila umur balita semakin bertambah, berat badan balita juga akan bertambah. Rendahnya status gizi BB/U juga dapat disebabkan 2 hal yaitu stunting dan infeksi (Kementrian Kesehatan, 2018).
Stunting adalah salah satu faktor penyebab rendahnya berat badan pada anak
balita. Pengertian stunting menurut Apriliana (2018) adalah gangguan pertumbuhan yang terjadi pada anak yang dimulai dari turunnya kecepatan pertumbuhan sebagai akibat tidakseimbangnya asupan gizi pada anak. Stunting ialah salah satu permasalahan gizi di Indonesia yang didasarkan pada TB/U. Indikator TB/U merupakan indikator status gizi yang menggambarkan hasil pemenuhan asupan gizi dalam satu hari yang berlangsung dalam jangka panjang. Kekurangan asupan gizi pada jangka waktu yang panjang dapat berdampak pada pertambahan tinggi badan terganggu sehingga berat badan balita juga rendah (Apriliana, 2018).
Selain stunting, faktor infeksi juga dapat mempengaruhi berat badan balita (Kementrian Kesehatan, 2018). Penyakit infeksi yang diderita oleh balita akan menyebabkan nafsu makan balita menurun sehingga balita enggan untuk
mengonsmsi makanan. Selain itu, keberadaan penyakit infeksi di tubuh juga menyebabkan peningkatan penggunaan zat gizi lebih oleh tubuh. Apabila intake zat gizi yang dikonsumsi melalui makanan tidak mencukupi maka akan menyebabkan pengambilan cadangan zat gizi dalam tubuh untuk memenuhi peningkatan kebutuhan gizi pada tubuh. Apabila proses tersebut berlangsung secara berkepanjangan, maka akan berdampak pada penurunan berat badan anak secara terus menerus (Rosari, 2013).
Tinggi Badan menurut Umur merupakan indeks status gizi anak yang biasa dipakai untuk menggambarkan kondisi yang muncul karena keadaan gizi yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang (Kementrian Kesehatan, 2018).
Asupan gizi yang kurang akan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan anak, salah satunya pertambahan tinggi badan yang terganggu sehingga menyebabkan stunting.
Faktor resiko stunting diantaranya adalah karena hasil hubungan antara kondisi lingkungan yang kurang sehat, status ekonomi dan praktik pemberian makanan pada anak (Mutua, 2017).
Berdasarkan tabel 6, diketahui bahwa menurut indikator BB/TB balita di wilayah kerja Puskesmas Ambarawa sebagian besar berada di kategori normal yaitu sebanyak 110 anak (84,62%) Indikator status gizi BB/TB dalam kategori normal menggambarkan bahwa balita berada dalam kondisi gizi yang baik dan optimal, sesuai dengan tinggi badan dan jenis kelamin balita. Pernyataan ini didukung dengan hasil riset yang dilakukan Addawiyah (2020) yang bertempat di Kelurahan Rejosari, pada wilayah kerja Puskesmas Rejosari, Tenayan Raya, Pekanbaru dimana mayoritas balita memiliki gizi baik yaitu 77,80%. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa hasil penelitian yang didapatkan pada wilayah kerja Puskesmas Ambarawa sesuai dengan penelitian sebelumnya, dan balita berada pada kondisi kesehatan yang baik dan optimal dengan pertambahan berat badan sesuai dengan tinggi badan dan usia. Boediarsih (2019) pada penelitiannya yang berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Poncol Kota Semarang terhadap sejumlah 89 balita, dimana sebanyak 49,40% balita masuk kategori gizi kurang, 2,20 % gizi buruk, 44,90% normal, dan hanya 3,40% gizi lebih. Menurut penelitian Boediarsih (2019) tersebut, ternyata ada sejumlah hal yang berpengaruh pada keadaan status gizi anak usia balita yaitu rendahnya pendidikan yang ditempuh ibu dan pendapatan bulanan keluarga. Hasil tersebut menggambarkan bahwa di wilayah kerja Puskesmas Poncol, sebagian besar balita belum berada dalam kondisi optimal dimana pertamabahan berat badan belum
sesuai menurut pertamabahan tinggi badan di setiap rentang usia balita (Boediarsih, 2019). Tinggi rendahnya pengetahuan ibu mengenai gizi dan kesehatan, kebiasaan makan balita, adanya penyakit infeksi dan jumlah anggota keluarga juga memberi dampak pada status gizi anak menurut BB/TB (Harahap, 2019)
Gizi buruk adalah kondisi yang terjadi karena kurangnya intake zat gizi protein dan energi yang didapatkan melalui makanan dalam jangka waktu yang lama atau karena penyakit yang diderita dalam tempo waktu yang panjang, sehingga berdampak terhadap penurunan BB anak pada usia balita secara signifikan.
Berdasarkan penelitian, diketahui dari 130 anak ada 1 orang anak yang menderita gizi buruk. Kondisi ini harus segera ditangani karena dapat berdampak lebih buruk pada terhambatnya tumbuh kembang otak anak sehingga pertumbuhan dan perkembangan sel otak menjadi kurang baik. Cara penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi gizi buruk yang terjadi antara lain adalah melalui pemberian pendidikan gizi dan konseling kepada orang tua mengenai pemberian makanan dan pemilihan jenis makanan bagi balita serta dapat dilakukan pemberian makanan tambahan oleh pihak terkait (Wahyuni, 2019).
Pada proses tatalaksana gizi buruk, ada 3 fase yang harus dilalui, yaitu fase stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Fase pertama yaitu fase stabilisasi, yang dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan kondisi metabolism dan klinis balita (Aldera, 2020). Diet yang diberikan kepada anak balita di fase stabilisasi adalah makanan cair F-75 atau dapat diberikan F-100 yang diencerkan (Kemenkes, 2019).
Fase kedua adalah fase transisi. Tujuan fase transisi yaitu melatih tubuh agar mampu beradaptasi dengan peningkatan pemberian energi dan protein untuk mempersiapkan anak memasuki masa rehabilitasi (Aldera, 2020). Pada fase ini, anak akan diberikan makanan F-100 yang diencerkan, dengan konsistensi yang dinaikkan sepertiga dari yang diberikan pada masa stabilisasi (Kemenkes,2019). Fase yang ketiga yaitu fase rehabilitasi. Tujuan fase rehabilitasi yaitu memberikan makanan yang cukup zat gizi untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan anak, memberikan motivasi agar anak balita mau menghabiskan makanannya (Aldera, 2020). Pada fase rehabilitasi, makanan yang diberikan adalah F-100 yang diencerkan dengan jumlah 2 kali dari yang diberikan pada fase stabilisasi (Kemenkes, 2019).
Masa balita menjadi masa yang sangat rawan terhadap kekurangan gizi. Oleh sebab itu, pengetahuan ibu berpengaruh pada kecukupan gizi balita karena pada usia lima tahun pertama kehidupan, ibu adalah sebagai penyedia utama makanan yang
dikonsumsi balita (Lamia, 2019). Fauziah (2020) meneliti terkait dengan hubungan tingkat pengetahua ibu dengan status gizi pada anak yang masih berusia balita di Desa Mee Tanjong Usi, pada Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie. Riset dari Fauziah (2020) tersebut mengatakan bahwa ada keterkaitan seara signifikan dari pengetahuan ibu dengan keadaan status gizi balita. Fauziah (2020) juga menerangkan bahwa ternyata apabila pengetahuan gizi dan makanan ibu baik, maka status gizi pada balita yang didapatkan mayoritas berada pada kategori gizi baik (Fauziah, 2020). Pengetahuan ibu yang rendah terhadap gizi dan makanan menyebabkan rendahnya anggaran yang digunakan untuk belanja makanan yang bermutu tinggi dan menambah keanekaragaman makanan keluarga sehingga anak dapat memiliki status gizi yang rendah juga (Khayati, 2017).
Kebiasaan makan adalah suatu pola dalam mengonsumsi makanan yang ada pada suatu masyarakat atau individu tertentu. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan seseorang antara lain pengetahuan, budaya setempat dan pendapatan seseorang. Kebiasaan makan inilah yang juga akan mempengaruhi jumlah zat gizi dan energi yang masuk sehingga akan berpengaruh pada status gizi.
Begitu pula dengan balita, kebiasaan makan ini akan mempengaruhi baik buruknya status gizi pada balita. Menurut riset yang telah dilakukan oleh Putri (2012) di Desa Sukaluyu, Sukaresi, Sukajadi, dan Sukajaya, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa adanya hubungan bermakna diantara kebiasaan konsumsi makanan harian anak balita dengan status gizi, dimana anak balita dengan kebiasaan makan yang baik memiliki status gizi indeks BB/TB normal (Putri, 2012).
Kejadian infeksi juga akan berpengaruh terhadap keadaan status gizi individu.
Hal ini terjadi karena balita yang mengalami infeksi cenderung mengalami penurunan nafsu makan. Jika kondisi penurunan nafsu makan ini terjadi dalam waktu lama, maka akan memberi dampak pada penurunan status gizi sehingga dapat merambah pada kondisi status gizi kurang. Apabila kondisi ini masih tidak bisa terkontrol, maka anak dapat menderita gizi buruk (Yustiningrum, 2017). Pernyataan ini sudah sejalan dengan penelitian Abeng (2017) di Kecamatan Trenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara yang menyebutkan bahwa adanya hubungan signifikan antara balita yang menderita infeksi diare dan ISPA dengan keadaan status gizi.
Dampak kesehatan yang ditimbulkan secara fisik oleh balita penderita diare antara lain yaitu malnutrisi, pertimbuhan terhambat dan ketidakseimbangan perkembangan kognitif. Selain itu, balita yang menderita ISPA juga memiliki resiko 5 kali lebih
besar memiliki status gizi kurus (Abeng, 2017).
Jumlah anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pengeluaran keluarga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk kebutuhan untuk makan. Apabila jumlah anak semakin banyak, maka jumlah pendapatan seharusnya juga mengalami peningkatan. Lebih lagi, jika jarak kelahiran anak dekat, maka akan semakin sulit mengatur keuangan jika tidak ada penambahan pendapatan bulanan. Penelitian Harahap (2019) di Puskesmas Belawan Kota Medan mengungkapkan bahwa adanya keterkaitan diantara jumlah anak dengan status gizi kurus pada balita. Hal ini timbul akibat dari pendapatan bulanan yang kurang sehingga anak juga tidak mendapatkan makanan yang mencukupi kebutuhan gizi hariannya dalam jangka waktu yang lama, (Harahap, 2019).
Indikator BB/TB merupakan gambaran dari keadaan gizi yang terjadi dalam waktu yang singkat (Kementrian Kesehatan, 2018). Asupan makanan adalah salah satu hal yang mempengaruhi keadaan gizi balita menurut indikator BB/TB.Energi yang didapatkan balita melalui makanan akan dimanfaatkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan organ organ supaya dapat berfungsi dengan baik serta digunakan untuk kebutuhan aktivitas sehari hari. Konsumsi makanan yang berlebih akan membuat energi yang dikonsumsi berlebih juga, sehingga sisa energi akan disimpan sebagai lemak. Sebaliknya, konsumsi energi yang kurang memenuhi kebutuhan akan membuat tubuh mengambil cadangan makanan. Tingkat konsumsi makanan inilah yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita karena jika konsumsi makanan berlebih, balita akan menderita kelebihan berat badan hingga obesitas, sedangkan jika kekurangan akan menyebabkan gizi kurang hingga gizi buruk pada balita (Febrindari, 2016).
Faktor-faktor lainnya yang cukup memberi pengaruh terhadap status gizi pada balita, diantaranya adalah pengetahuan ibu, pemberian ASI, pendapatan ibu, riwayat penyakit ineksi, pemberian makan ibu kepada balita, serta sanitasi lingkungan dan tempat tinggal balita. Penelitian dari Aldriana (2020) di wilayah kerja Puskesmas Kepehuhan Hulu terhadap balita didapatkan nilai p=0,001 (<0,05) antara pengetahuan ibu, pemberian ASI dan pendapatan ibu dengan status gizi anak balita.
Hasil tersebut mengatakan bahwa ada hubungan antara pengehuan, rutinitas pemberian ASI dan pendapatan ibu dengan status gizi anak (Aldriana, 2020).
Penelitian lainnya dari Carolin (2018) di Puskesmas Sukadiri di Kabupaten Tangerang mengungkapkan bahwa faktor yang juga dapat mempengaruhi keadaan
status gizi dari balita adalah adanya riwayat penyakit infeksi pada balita, pemberian makanan ibu kepada balita dan sanitasi lingkungan tempat tinggal balita (Carolin, 2018).
Tabel 7 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro Balita
Tingkat Kecukupan Gizi Zat Gizi* Defisit Defisit Defisit
Normal Kelebihan
Sumber : Depkes 1996 dalam Nurhidayati, 2017 (Defisit berat <70%, defisit sedang 70-79%, defisit ringan 80-89%, normal 90-119%, kelebihan >120%)*
Tabel 7 merupakan tabel tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat pada balita selama weekday 1, weekday 2 dan weekend. Pada weekday 1, TKE paling tinggi ada di kategori normal (23,85%), TKP paling tinggi ada di kategori kelebihan (99,23%), TKL paling tinggi ada di kategori kelebihan (5,38%), dan TKKH paling tinggi ada di kategori normal (3,08%). Pada weekday 2, TKE paling tinggi ada di kategori normal (20,00%), TKP paling tinggi ada di kategori kelebihan (98,46%), TKL paling tinggi ada di kategori kelebihan (3,85%), TKKH paling tinggi ada di kategori normal (1,54%). Pada weekend, TKE paling tinggi ada di kategori normal (19,25%), TKP paling tinggi ada di kategori kelebihan (99,23%), TKL paling tinggi ada di kartegori kelebihan (3,85%) dan TKKH paling tinggi ada di kategori normal (3,85%).
Asupan zat gizi yang memenuhi kebutuhan harian sangat dibutuhkan guna menunjang pertumbuhan dan perkembangan balita. Tingkat kecukupan gizi yang adekuat pada balita akan mendukung balita agar mendapatkan status gizi yang baik.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi zat gizi pada balita (Rahim, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2017) mengungkapkan beberapa hal yang berkaitan dengan tingkat kecukupan zat gizi pada balita seperti
Berat* Sedang* Ringan*
Weekday 1
Energi 9,23% 34,62% 32,31% 23,85% 0,00%
Protein 0,00% 0,00% 0,00% 0,77% 99,23%
Lemak 18,46% 14,62% 20,00% 41,54% 5,38%
Karbohidrat 57,69% 33,85% 5,38% 3,08% 0,00%
Weekday 2
Energi 6,92% 38,46% 38,46% 20,00% 0,00%
Protein 0,00% 0,00% 0,77% 0,77% 98,46%
Lemak 21,54% 20,00% 10,77% 43,85% 3,85%
Karbohidrat 44,62% 44,67% 13,85% 1,54% 0,00%
Weekend
Energi 6,92% 30,77% 43,08% 19,23% 0,00%
Protein 0,00% 0,00% 0,00% 0,77% 99,23%
Lemak 21,54% 24,62% 12,31% 37,69% 3,85%
Karbohidrat 40,00% 45,38% 10,77% 3,85% 0,00%
tingkat pendidikan ibu, banyaknya anak dalam satu keluarga, tinggi rendahnya pengetahuan ibu dan status ekonomi pada keluarga (Suryani, 2017).
Asupan makanan pada balita sepenuhnya dipengaruhi oleh keluarga karena balita masih menggantungkan pemenuhan kecukupan gizinya pada keluarga. Tingkat kecukupan zat gizi dipengaruhi oleh hindangan yang disajikan di dalam keluarga.
Hidangan yang berkualitas artinya adalah hindangan yang secara kuantitas memenuhi kebutuhan dan secara kualitas zat gizi didalamnya mampu memenuhi kebutuhan tubuh sehari. Sebaliknya, hidangan yang tidak berkualitas adalah hidangan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh dari segi jumlah (kuantitas) dan kualitas (Rahim, 2014).
Energi yang didapatkan tubuh berasal dari pemecahan zat gizi seperti protein, lemak dan karbohidrat yang didapatkan dari makanan. Ketidakseimbangan energi masuk dan energi yang dikeluarkan tubuh menimbulkan masalah gizi. (Rokhmah, 2016). Kelebihan intake energi dapat menyebabkan obesitas, yaitu masalah gizi yang diakibatkan karena menimbunnya lemak di tubuh secara berlebihan sehingga berat badan melampaui batas normal. Selain karena konsumsi makanan, obesitas juga dapat dipengaruhi karena genetik, metabolisme tubuh, budaya dan lingkungan (Mualiza, 2018). Tingkat kosnumsi energi yang rendah juga dapat berbahaya karena menyebabkan kurang energi kronis dan memicu penurunan berat badan pada balita.
Jika balita tingkat asupan energi harian rendah akan mempengaruhi fungsi otak dan menghambat pertumbuhan kognitif, serta menghambat pertumbuhan secara fisik (Dhiniyyah, 2017).
Protein adalah komponen penting yang harus dipenuhi bagi tubuh karena berfungsi dalam pembentukan struktur tubuh. Kebutuhan energi protein tubuh adalah 10-15% total energi. Asupan protein yang tidak adekuat akan berhubungan dengan obesitas dan penyakit infeksi. Kelebihan asupan protein akan disimpan oleh tubuh dalam bentuk trigliserida sehingga terjadi kenaikan jaringan lemak. Apabila penyimpanan ini terjadi secara berkesinambungan, maka akan menyebabkan seseorang mengalami status gizi lebih hingga obesitas (Suryandari, 2015). Selain itu, protein juga dikenal sebagai zat gizi yang erat kaitannya dengan sistem imun. Oleh karena itu, asupan protein yang rendah maka memacu berlangsungnya penurunan sistem imun tubuh, sehingga individu tersebut lebih mudah terserang penyakit infeksi misalnya adalah Diare dan ISPA. Selain penyakit infeksi, kekurangan protein pada balita menyebabkan terjadinya Kekurangan Energi Protein yang juga berdampak
pada perkembangan kognitif pada anak. Perkembangan otak anak terhambat saat kekurangan protein karena protein yang dikonsumsi akan diubah menjadi asam amino untuk perkembangan otak anak (Dhiniyyah, 2017).
Lemak adalah zat gizi yang sangat penting karena memiliki peranan yaitu sebagai cadangan makanan dan melarutkan vitamin larut lemak. Energi yang dihasilkan lemak lebih besar daripada sumber zat gizi lain, yaitu 9 kkal setiap 1 gram lemak. Konsumsi lemak yang baik adalah berkisar 15 sampai 30% kebutuhan energi total dalam sehari (Ernawati, 2019). Lemak merupakan zat gizi penyumbang energi terbanyak pada setiap gramnya sehingga kelebihan intake lemak dapat membahayakan tubuh. Kelebihan intake lemak menyebabkan penumpukan trigliserida di dalam tubuh yang berpotensi menimbulkan obesitas. Kekurangan intake lemak akan berakibat pada berkurangnya asupan energi pada tubuh yang
mengakibatkan perubahan masa dan jaringan tubuh manusia, serta munculnya gangguan pada penyerapan vitamin yang larut dalam lemak (Dhiniyyah, 2017).
Karbohidrat adalah salah satu zat gizi terpenting karena fungsi utamanya adalah sebagai penyedia energi, berperan dalam metabolisme lemak dan dapat digunakan untuk menghemat protein. Oleh karena itu, asupan karbohidtat yang terlalu dibatasi atau kurang dari kebutuhan normal maka tubuh akan membakar asam amino dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Akibat peristiwa pembakaran ini tubuh kehilangan asam amino pembangun tubuh dan penurunan massa lemak, sehingga terjadi penurunan berat badan. Apabila hal ini berlangsung secara persisten, maka akan mencetuskan underweight pada individu yang bersangkutan. Kelebihan asupan karbohidrat juga berbahaya karena asupan karbohidrat yang berlebih dapat diubah menajdi lemak, sehingga terjadi penambahan massa lemak tubuh yang dapat menyebabkan obesitas (Beculu, 2017).
Tabel 8. Tingkat Kecukupan Zat Gizi Mikro Balita
Zat Gizi* Tingkat Kecukupan Gizi
Sumber : Gibson 2005 (Kurang <77%, cukup ≥77%)*
Tabel 8 menunjukkan tingkat kecukupan gizi kalsium, zat besi dan vitamin D pada weekday 1, weekday 2 dan weekend. Pada weekday 1, TKG Kalsium kategori kurang sebanyak 60,00% dan kategori cukup sebanyak 40,00%, TKG Zat Besi kategori kurang sebanyak 4,62% dan kategori cukup sebanyak 95,38%, TKG Vitamin D kategori kurang sebanyak 96,92% dan kategori cukup sebanyak 3,08%.
Pada weekday 2, TKG Kalsium kategori kurang sebanyak 38,46% dan kategori cukup sebanyak 61,54%, TKG Zat Besi pada kategori kurang sebanyak 4,62% dan kategori cukup 95,38%, serta TKH Vitamin D pada kategori kurang sebanyak 94,62% dan pada kategori cukup sebanyak 5,38%. Pada weekend, TKG Kalsium pada kategori kurang sebanyak 37,69% dan pada kategori cukup sebanyak 62,31%, TKG Zat Besi pada kategori kurang sebanyak 6,15% dan kategori cukup 93,85%, TKG Vitamin D pada kategori kurang sebanyak 93,85% dan pada kategori cukup sebanyak 6,15%.
Golongan zat gizi mikro yang cukup banyak diperlukan salah satunya yakni kalsium, lebih lagi pada usia pertumbuhan. Pada usia pertumbuhan, kalsium sering dikaitkan dengan pembentukan tulang, dimana penyerapan kalsium yang maksimal oleh tubuh sangat diperlukan untuk pembentukan kepadatan tulang. Pada usia pertumbuhan, maka kalsium yang diserap adalah 50 – 70% dari asupan (Noprisanti, 2018). Kadar kalsium di tubuh harus tetap dikontrol dengan baik. Kadar kalsium yang rendah di dalam darah akan menyebabkan tubuh mengeluarkan cadangan kalsiumnya yang berada pada tulang. Akibatnya, kepadatan tulang akan jadi berkurang. Jika kadar kalsium dalam darah berlebih maka tubuh dapat mengeluarkannya melalui feses dan air seni (Amran, 2018).
Kurang Cukup
Weekday 1
Kalsium 60,00% 40,00%
Zat Besi 4,62% 95,38%
Vitamin D 96,92% 3,08%
Weekday 2
Kalsium 38,46% 61,54%
Zat Besi 4,62% 95,38%
Vitamin D 94,62% 5,38%
Weekend
Kalsium 37,69% 62,31%
Zat Besi 6,15% 93,85%
Vitamin D 93,85% 6,15%
Zat besi juga salah satu kategori mineral, dimana keberadaannya dalam tubuh manusia perlu untuk dijaga. Rendahnya zat besi didalam tubuh individu dapat mendatangkan penyakit Anemia Defisiensi Besi. Ketika intake harian manusia berkurang, maka sintesis heme juga berkurang (Dewi, 2017). Selain menyebabkan anemia, defisiensi zat besi menyebabkan penurunan imunitas dan kejadian penyakit infeksi. Zat besi akan berkedudukan sebagai bahan untuk proses pembentukan sel sel limfosit yang juga termasuk jenis sel darah putih yang fungsinya sebagai kekebalan tubuh (Ridwan, 2012). Intake zat besi yang berlebihan juga akan membahayakan bagi tubuh individu yang bersangkutan. Konsumsi zat besi yang berlebih akan menyebabkan peningkatan kadar radikal bebas di tubuh sehingga merusak organ organ dalam manusia (Aldi, 2019).
Vitamin D adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam lemak. Kurangnya vitamin D merupakan salah satu defisiensi zat gizi berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Salah satu fungsi vitamin D yaitu untuk membantu penyerapan kalsium. Apabila kekurangan vitamin D maka akan menyebabkan penyerapan kalsium terganggu, dimana fungsi kalsium adalah berkaitan dengan pertumbuhan tulang. Oleh karena itu, defisiensi vitamin D akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang anak (Jufri, 2020). Kelebihan vitamin D dapat berbahaya juga karena sebagai pembantu penyerapan kalsium, vitamin D akan meningkatkan penyerapan kalsium. Kelebihan vitamin D akan menyebabkan kalsium yang diserap semakin banyak dan dapat menyebabkan hiperkalsemia (Imanuel, 2017).