7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kecakapan Matematis
Kecakapan matematis adalah salah satu syarat mencapai kemajuan di jaman modern sehingga membuat bangsa-bangsa memprioritaskan matematika sebagai pelajaran utama di sekolah yang perlu diperhatikan (NRC, 2002). Matematika menjadi salah satu sarana pembentukan pola pikir siswa yang nantinya dapat diukur dari kecakapannya (Mathematical Proficienncy).
Kecakapan matematis mencakup lima komponen, yaitu pemahaman konseptual (conceptual understanding), kompetensi strategis (strategic competence), kelancaran prosedural (procedural fluency), penalaran adaptif (adaptive reasoning), dan disposisi produktif (productive disposition).
Kelima komponen kecakapan matematis ini bukan sesuatu yang terpisah- pisah, melainkan saling jalin-menjalin menjadi satu kecakapan yang mewakili aspek-aspek yang berbeda dalam sesuatu yang kompleks (Kilpatrick, dkk, 2001).
8
Berikut ini adalah gambaran jalinan kelima komponen kecakapan matematis.
a) Pemahaman Konseptual
Salah satu kecakapan dalam matematika yang penting dimiliki oleh siswa adalah pemahaman konseptual. Penguasaan konsep yang baik dapat memberikan peluang kepada siswa untuk lebih fleksibel dan tertarik dalam menyelesaikan suatu permasalah yang diberikan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Kusumawati (2008) bahwa pemahaman konseptual dalam matematika merupakan landasan penting untuk menyelesaikan persoalan.
Pemahaman konseptual berkaitan dengan pemahaman konsep matematika, operasinya, dan hubungan antara konsep. Siswa yang mempunyai pemahaman konseptual akan mengenal lebih dari fakta dan rumus yang ada. Siswa akan mengerti mengapa ide matematika itu penting dan konteks mana yang berguna dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Kilpatrick, dkk, 2001).
Kelancaran Prosedural Pemahaman
Konseptual Kompetensi
Strategis Penalaran
Adaptif Disposisi
Produktif
Kecakapan Matematis
Gambar 2.1
9
Gultom (2013) menyatakan bahwa sesorang dikatakan mampu memahami sebuah konsep apabila diantaranya mampu menyatakan ulang suatu konsep, mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu, memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep, menyajikan konsep dalam berbagai representasi matematis dan mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah.
Beberapa indikator pemahaman konsep (Wardhani, 2005) antara lain: (1) kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep; (2) kemampuan mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat sesuai dengan konsepnya;
(3) kemampuan memberikan contoh dan bukan contoh; (4) kemampuan menyajikan konsep dalam berbagi macam bentuk representasi matematis;
(5) kemampuan kemampuan mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup konsep; (6) kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu; (7) kemampuan mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan masalah.
Indikator lain untuk mengetahui pemahaman konseptual siswa, antara lain: (1) mampu menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari;
(2) mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan membentuk konsep tersebut; (3) mampu memberikan contoh atau non-contoh dari konsep yang dipelajari; (4) mampu menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis; (5) mampu mengaitkan berbagai konsep; dan (6) mampu mengembangkan syarat perlu dan atau syarat cukup suatu konsep (Widjajanti, 2011).
10
Indikator yang digunakan untuk mengetahui pemahaman konseptual pada penelitian ini antara lain: (1) siswa dapat menyatakan ulang konsep yang diketahui; dan (2) siswa dapat mengaitkan berbagai konsep dalam menyelesaikan masalah.
b) Kelancaran Prosedural
Kelancaran prosedural mengacu pada pengetahuan tentang prosedur, pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakannya secara tepat, dan keterampilan dalam menampilkannya secara fleksibel, akurat, dan efisien (Suratman, 2013). Atau dengan kata lain, kelancaran prosedural mengacu pada pengetahuan tentang prosedur dan bagaimana menggunakan berbagai operasi secara tepat sehingga dapat memecahkan masalah.
Kelancaran prosedural sangatlah dibutuhkan untuk menunjang aspek kecakapan matematis lain yaitu pemahaman konseptul. Pemahaman siswa akan konsep matematika yang disertai dengan penguasaan prosedur yang baik dan benar akan memudahkan siswa untuk mengaitkan konsep dan permasalahan yang diberikan. Artinya, tanpa penguasaan prosedur yang baik, siswa akan kesulitan memperdalam pemahaman matematis mereka ataupun menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kamariah (2013) bahwa siswa harus memahami konsep matematika terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan soal-soal.
Menurut Kilpatrick (2001), kelancaran prosedural memiliki tiga indikator, yaitu: (1) pengetahuan prosedur secara umum; (2) pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur dengan benar;
11
(3) pengetahuan dalam menampilkan prosedur secara fleksibel, tepat dan efisien. Sedangkan, menurut Widjajanti (2011), indikator untuk kelancaran prosedur antara lain: (1) mampu menggunakan prosedur; (2) mampu memanfaatkan prosedur; (3) mampu memilih prosedur; (4) mampu memperkirakan hasil suatu prosedur; (5) mampu memodifikasi atau memperhalus prosedur; dan (6) mampu mengembangkan prosedur.
Indikator kelancaran prosedural yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) siswa dapat menggunakan dan memanfaatkan prosedur yang sesuai; dan (2) siswa dapat mengembangkan prosedur.
c) Kompetensi Strategis
Kompetensi strategis pada kecakapan matematis disebut juga sebagai kecakapan siswa dalam pemecahan masalah. Kompetensi strategis matematis dibangun dari tiga komponen kemampuan, yaitu: merumuskan, merepresentasikan dan memecahkan masalah (Kilpatrick, dkk, 2001). Tiga komponen kemampuan ini merupakan aktifitas penting untuk mencapai kompetensi dalam kehidupan nyata.
Kemampuan merumuskan memiliki peran sangat penting terutama dalam memahami masalah. Hal ini karena kebanyakan persoalan yang ada di dunia nyata merupakan persoalan belum dalam bentuk model matematika sehingga perlu ada kecakapan untuk merumuskan dalam bentuk matematika (Widarti, 2013). Kemampuan selanjutnya adalah kemampuan merepresentasikan. Kemampuan ini dapat mendukung siswa dalam memahami dan mengenal konsep-konsep matematika, sehingga dapat menghadirkan persoalan matematika dalam bentuk berbagai bentuk,
12
seperti tabel, gambar, ataupun diagram (Hudiono, 2005). Dengan representasi ini, masalah lebih tergambarkan dan lebih konkrit sehingga tampak lebih mudah untuk dipahami dan diselesaikan. Kemudian yang terakhir, kecakapan pemecahan masalah adalah kecakapan menyelesaikan masalah yang tidak langsung diketahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya berdasarkan pengalaman.
Kilpatrick (2001) menyatakan bahwa siswa dikatakan mempunyai kompetensi strategis apabila mampu: (1) memahami situasi serta kondisi dari suatu permasalahan; (2) menemukan kata-kata kunci serta mengabaikan hal-hal yang tidak relevan dari suatu permasalahan;
(3) menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk;
(4) memilih penyajian yang cocok untuk membantu memecahkan permasalahan; (5) menemukan hubungan matematik yang ada di dalam suatu masalah; (6) memilih dan mengembangkan metode penyelesaian yang efektif dalam menyelesaikan suatu permasalahan; (7) menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan.
Kemudian, Widjajanti (2011) mengemukakan indikator untuk mengetahui apakah seorang mempunyai kompetensi strategis ialah:
(1) siswa mampu memahami masalah; (2) siswa mampu menyajikan suatu masalah secara matematik dalam berbagai bentuk (numerik, simbolis, verbal, atau grafis); (3) siswa mampu memilih rumus, pendekatan atau metode yang tepat untuk memecahkan masalah; dan (4) siswa mampu memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh.
13
Indikator untuk mengetahui kecakapan matematika siswa pada kompenen kompetensi strategis pada penelitian ini adalah: (1) siswa dapat memahami situasi dan kondisi dari suatu permasalahan; (2) siswa dapat memilih rumus, pendekatan atau metode yang tepat untuk memecahkan masalah; (3) siswa dapat menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan dengan benar; (4) siswa dapat memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh.
d) Penalaran Adaptif
Penalaran adaptif merujuk pada bagaimana siswa dapat menilai apakah suatu pemecahan masalah benar dan masuk akal. Sebagaimana dikemukakan oleh Kilpatrick (2001) bahwa penalaran adaptif adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan secara logis, memperkirakan jawaban, memberikan penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, serta menilai kebenarannya secara matematis.
Siswa dikatakan mampu bernalar adaptif apabila siswa tersebut dapat berpikir secara logis mengenai permasalah yang ada, memperkirakan permasalahan tersebut hingga akhirnya siswa dapat menyimpulkan. Selain itu, dalam penalaran adaptif, ada suatu proses dimana seorang siswa dituntut untuk bisa memberikan alasan dari apa yang telah siswa itu kerjakan (Haryati & Wibowo, 2016).
Indikator untuk kecakapan ini antara lain adalah: (1) mampu menyusun dugaan; (2) mampu memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan; (3) mampu menarik kesimpulan dari suatu pernyataan; (4) mampu memeriksa kesahihan suatu argumen; dan
14
(5) mampu menemukan pola pada suatu gejala matematis (Widjajanti, 2011; Windiarti, 2014).
Indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan penalaran adaptif pada penelitian ini antara lain: (1) siswa dapat memeriksa kesahihan suatu argumen dengan memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan; dan (2) siswa dapat menarik kesimpulan dari suatu pernyataan.
e) Disposisi Produktif
Disposisi produktif adalah kebiasaan menumbuhkan sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan bermanfaat (Kilpatrick, dkk, 2001). Dengan kata lain, disposisi produktif dapat dikatakan sebagai sikap positif terhadap matematika karena siswa melihat matematika sebagai hal yang masuk akal, berguna, bermakna, dan berharga. Selain itu, siswa juga memiliki kepercayaan diri dan ketekunan dalam belajar maupun bekerja dengan matematika.
Menurut Asmara (2013), indikator disposisi produktif antara lain:
(1) memiliki rasa ingin tahu; (2) memiliki perhatian dan minat dalam belajar; dan (3) memiliki sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah. Sedangkan menurut Widjajanti (2011), indikator untuk disposisi produktif antara lain adalah: (1) bersemangat; (2) tidak mudah menyerah;
(3) percaya diri; (4) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; dan (5) mau berbagi. Indikator yang digunakan untuk mengetahui disposisi produktif siswa dalam penelitian ini adalah memiliki sikap ulet dan percaya diri
15
dalam memecahkan masalah. Hal tersebut dilihat ketika siswa memberikan jawaban dengan caranya sendiri, kemudian proses pengerjaan yang dilakukan oleh siswa, apakah sudah terarah atau belum.
Disposisi matematis ini tidak lepas dari penguasaan pemahaman konseptual, kompetensi strategis, kelancaran prosedur, dan penalaran adaptif matematis yang baik. Seperti yang dikemukakan Widjajanti (2011) bahwa seorang siswa yang mempunyai disposisi produktif yang tinggi cenderung akan mampu mengembangkan kecakapan matematis mereka dalam hal pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, dan pelaran adaptif. Sebaliknya, mereka yang mempunyai kecakapan dalam pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, dan penalaran adaptif cenderung akan berkembang disposisi produktifnya.
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini diungkapkan deskripsi indikator dari komponen-komponen kecakapan matematis siswa.
Tabel 2.1: Deskripsi Indikator Kecakapan Matematis
Kecakapan Matematis Deskripsi
Pemahaman Konseptual
Siswa dapat menyatakan ulang konsep yang diketahui.
Siswa dapat mengaitkan berbagai konsep dalam menyelesaikan masalah
Kelancaran Prosedural
Siswa dapat menggunakan prosedur dan memanfaatkan prosedur yang sesuai.
Siswa dapat mengembangkan prosedur.
Kompetensi Strategis
Siswa dapat memahami situasi dan kondisi dari suatu permasalahan.
Siswa dapat memilih rumus, pendekatan atau metode yang tepat untuk memecahkan masalah.
Siswa dapat menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan dengan benar.
16
Siswa mampu memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh.
Penalaran Adaptif
Siswa dapat memeriksa kesahihan suatu argumen dengan memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan.
Siswa dapat menarik kesimpulan dari suatu pernyataan.
Disposisi Produktif Siswa dapat memberikan jawaban dengan caranya sendiri.
2.2 Masalah
Sebelum menyelesaikan suatu masalah, terlebih dahulu siswa harus mengetahui definisi suatu masalah. Dalam kamus bahasa Indonesia, masalah atau soal adalah suatu hal yang harus diselesaikan. Kemudian, sebagian besar ahli pendidikan menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaaan yang harus dijawab atau di respon. Namun, tidak semua pertanyaan akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi suatu masalah jika pertanyaan yang diajukan menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan prosedur yang sudah diketahui (Shadiq, 2004).
Hudojo (2001) menyatakan bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah bagi siswa apabila memenuhi syarat: (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan tersebut harus merupakan tantangan bagi yang menjawabnya dan (2) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Jadi, masalah merupakan suatu kondisi yang dihadapi oleh seseorang atau sekelompok orang yang memerlukan penyelesaian, tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
17
Terdapat dua tipe masalah matematika, sebagaimana diungkapkan oleh In’am (2015), yaitu:
1. Masalah Rutin
Masalah rutin adalah tipe masalah matematika yang bentuknya teknis.
Usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah rutin adalah diperolehnya kemampuan dasar yang baik, khususnya kemampuan aritmatika yang melibatkan empat operasi dasar dalam matematika, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Selain itu, penyelesaian masalah rutin langsung menggunakan pengaplikasian rumus, hukum, teorema dan persamaan matematika.
2. Masalah Tidak Rutin
Masalah tidak rutin adalah berbagai masalah yang unik dan memerlukan aplikasi dari keterampilan, konsep atau prinsip-prinsip yang telah dipelajari dalam menyelesaikannya. Pemecahan masalah matematika tidak rutin tidak memerlukan memori dan jawabannya relatif bervariasi. Proses penyelesaian masalah memerlukan aktivittas yang sistematik dengan perencanaan yang logis, termasuk strategi yang sesuai dan pemilihan metode yang tepat dalam implementasinya.
Masalah yang akan digunakan pada penelitian ini adalah masalah tidak rutin yang mengandung konteks. Hal ini karena tantangan dan konteks merupakan hal yang penting pada suatu masalah karena dapat menarik perhatian dan juga dapat memotivasi siswa. Siswa yang diberikan soal semacam ini akan berusaha dengan keras untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Shadiq (2004) bahwa konteks pada
18
suatu masalah adalah penting untuk memotivasi siswa dalam memecahkan masalah karena masalah tersebut menjadi tidak terlalu abstrak, tidak terlalu mudah, dan tidak terlalu sulit sehingga dapat diselesaikan oleh siswa, baik dengan bantuan guru ataupun tidak.
2.3 Masalah Kontekstual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Nelissen (1997) mendefinisikan konteks sebagai situasi yang menarik perhatian anak dan dapat dikenali dengan baik sehingga menyebabkan proses berpikir anak lebih aktif. Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, & mempraktekkan skill tertentu). Selain itu, penggunaan konteks dapat memudahkan siswa untuk mengenali masalah sebelum memecahkannya (Zulkardi & Ilma, 2006).
Masalah kontekstual adalah masalah yang berkaitan dengan konteks dunia nyata (kehidupan sehari-hari), baik yang aktual maupun yang tidak aktual, namun dapat dibayangkan karena sesuai dengan pengalaman yang dialami (Wardhani, 2004). Masalah kontekstual tidak hanya dipandang sebagai masalah yang langsung berkaitan dengan objek-objek konkret semata, tetapi juga meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan objek abstrak seperti fakta, konsep, atau prinsip matematika (Widarti, 2013).
Berdasarkann uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah kontekstual merupakan masalah yang memuat situasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa baik nyata atau fiktif, namun dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah kontektual dapat juga dikatakan sebagai masalah yang
19
menggunakan bahasa cerita, dimana masalah biasa yang kemudian diubah menggunakan bahasa cerita sehingga masalah tersebut memiliki konteks.
Menurut Zulkardi & Ilma (2006), terdapat empat macam masalah yang berkaitan dengan konteks atau situasi, yaitu :
1. Personal Siswa, yaitu situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa baik dengan keluarga, teman sepermainan, teman sekelas, maupun kesenangannya.
Berikut ini adalah contoh soal terkait dengan personal siswa:
A dan B teman sebangku. Jarak rumah A ke Sekolah 3 km dan jarak rumah B ke Sekolah 5 km. Berapakah jarak rumah mereka?
2. Sekolah/Akademik, yaitu situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.
Berikut ini adalah contoh soal terkait dengan sekolah/akademik:
Jika barisan siswa perempuan berjumlah 17 dan simetri dengan barisan siswa laki-laki, berapakah jumlah semua siswa?
3. Masyarakat/Publik, yaitu situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitas siswa tinggal. Sebagai contoh, semangka yang dijual di pasar dapat digunakan untuk memulai pembelajaran kubus.
Beberapa soal kontekstual dapat dibuat mulai dari bentuk, berat, harga dan vitamin yang terkandung di dalamnya.
4. Saintifik/Matematik, yaitu situasi yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
20
Keempat macam masalah kontektual di atas penting untuk diberikan kepada siswa. Hal ini karena masalah kontektual tidak lepas dari perannya dalam kehidupan. Sebagaimana yang disampaiakan oleh Wardhani (2004) bahwa masalah kontekstual sangat bermanfaat untuk menunjukkan beberapa hal kepada siswa, antara lain keterkaitan antara matematika dengan dunia nyata, kegunaan matematika bagi kehidupan manusia, dan matematika merupakan suatu ilmu yang tumbuh dari situasi kehidupan nyata.
Namun, dari keempat macam masalah kontekstual di atas, masalah kontekstual yang akan digunakan pada penelitian ini adalah masalah kontekstual yang berhubungan dengan personal siswa. Konteks atau situasi yang dekat dengan siswa dapat menarik perhatian, terutama berkaitan dengan hal-hal yang sudah sering dialami oleh siswa sehingga masalah tersebut lebih tergambar nyata dalam pikiran siswa sehingga masalah tersebut tidak terlalu sulit untuk dapat siswa selesaikan. Suherman (2003) menyatakan bahwa sistuasi yang bersifat alamiah dengan tema kejadian di kehidupan sehari-hari anak atau yang dapat diperkirakan maupun dibayangkan oleh siswa sehingga dapat menarik perhatian anak.
2.4 Menyelesaikan Masalah Kontekstual
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan tersebut menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur yang rutin yang sudah diketahui, sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan waktu yang relatif lebih lama dari proses penyelesaian soal rutin yang biasa.
21
Kemudian, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa masalah kontekstal dapat dikatakan sebagai masalah yang menggunakan bahasa cerita karena dalam soal cerita mengandung konteks.
Masalah yang mengandung konteks atau situasi seperti soal cerita lebih sulit dipecahkan daripada masalah-masalah yang melibatkan bilangan-bilangan (Aisyah, 2007).
Dalam menyelesaiakan masalah kontekstual matematika, diperlukan serangkaian langkah-langkah penyelesaian. Menyelesaikan suatu soal yang mengandung konteks bukan sekedar memperoleh hasil berupa jawaban dari hal yang ditanyakan, tetapi yang lebih penting siswa mengetahui dan memahami proses berpikir atau langkah langkah untuk mendapatkan jawaban tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nafi’an (2011) bahwa penyelesaian masalah kontekstual tidak hanya memperhatikan jawaban akhir perhitungan, tetapi proses penyelesaiannya juga harus diperhatikan. Ketika menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diharapkan menggunakan suatu proses yang melalui tahap demi tahap sehingga alur berpikir siswa lebih terlihat. Selain itu, pemahaman siswa terhadap konsep yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut juga dapat terlihat.
Dewi (2014) menyatakan bahwa ketika menyelesaikan masalah yang mengandung konteks, siswa dituntut untuk mengetahui informasi apa saja yang terdapat dalam soal tersebut, seperti yang diketahui maupun yang ditanyakan. Selanjutnya siswa membuat model matematika untuk menyelesaikan soal tersebut. Berdasarkan model matematika yang telah
22
dibuat, siswa mencari penyelesaian. Pada akhirnya perlu dikembalikan penyelesaian tersebut terhadap masalah semula.
Kemudian, menurut Soedjadi (2000), langkah langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang mengandung konteks adalah membaca tersebut dengan cermat untuk menangkap makna pada tiap kalimat, kemudian memisahkan dan mengungkapkan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan pengerjaan hitung apa yang diperlukan dalam soal. Setelah itu, siswa membuat model matematika dari soal. Dari model tersebut, siswa menyelesaikan model menurut aturan matematika sehingga mendapat jawaban dari soal tersebut. Terakhir, siswa mengembalikan jawaban model ke jawaban soal asal.
Dua tahapan penyelesaian masalah kontekstual yang dijelaskan di atas sesuai dengan tahapan pada proses pemecahan masalah yang diberikan oleh Polya. Sebagaimana yang disampaikan oleh In’am (2015) bahwa penggunaan Model Polya memberikan arahan kepada peserta didik untuk membuat tahapan dan langkah-langkah dalam menyelesaikan permasalahan, dan juga untuk menyempurnakan hasil penyelesaian yang dilakukan dengan melihat kembali hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, model pemecahan masalah yang digunakan untuk mengukur kecakapan matematis siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual pada penelitian ini adalah Model Polya.
Model Polya telah banyak diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah matematika, baik dalam pembelajaran matematika di pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun atas, bahkan di perguruan tinggi pun juga digunakan sebagai dasar dalam menyelesaikan masalah matematika
23
(In’am, 2015). Menurut Polya (1973), untuk menyelesaikan masalah matematika diperlukan empat tahap, yaitu: memahami masalah, membuat rencana penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah dan memeriksa kembali hasil yang diperolehnya. Secara detil keempat tahapan yang dikemukakan Polya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Memahami masalah
Memahami masalah yang akan diselesaikan merupakan tahapan pertama yang dilakukan oleh siswa sebelum melakukan aktivitas pemecahan masalah. Pada tahap ini, siswa mencari informasi yang berkenaan dengan masalah yang akan diselesaikan yakni dengan cara mengidentifikasi unsur- unsur atau aspek-aspek yang terdapat pada masalah tersebut.
2. Merencanakan penyelesaian masalah
Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh siswa setelah mengidentifikasi permasalahan adalah membuat rencana penyelesaian.
Pada tahap ini siswa harus menunjukkan hubungan antara yang diketahui dan yang ditanyakan, dan menentukan strategi atau cara yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal yang diberikan.
3. Melaksanakan penyelesaian masalah
Setelah tahap memahami masalah yang dilanjutkan dengan penyusunan perencanaan, tahap selanjutnya yang harus dilakukan oleh siswa adalah mengimplementasikan kedua tahap tersebut pada proses penyelesaian masalah. Artinya, tahap ini sangat bergantung pada pengalaman ketika siswa menentukan aspek dalam masalah dan ketika siswa membuat rencana penyelesaian masalah tersebut.
24
4. Memeriksa kembali penyelesaian masalah
Tahap terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut Polya adalah memeriksa kembali jawaban yang telah diperolehnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan mulai dari tahap pertama hingga tahap ketiga sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
2.5 Kecakapan Matematis dalam Menyelesaikan Masalah Kontekstual Kecakapan matematis mempunyai peran yang menonjol dalam menyelesaiakan masalah kontekstual. Pada tahap memahami masalah, siswa dituntut untuk mampu memahani masalah yang diberikan dengan capat, sehingga pada tahap ini siswa harus mempunyai komponen kecakapan yaitu kompetensi strategi yang dibangun dari tiga komponen yaitu merumuskan, merepresentasikan, dan memecahkan masalah. Kemampuan merumuskan memiliki peranan sangat penting untuk memahami masalah karena kebanyakan persoalan dunia nyata belum dalam bentuk model matematika.
Kemudian, dengan representasi, masalah akan lebih tergambar dan lebih konkrit sehingga lebih mudah untuk dipahami dan diselesaikan. Selain itu, siswa juga harus mempunyai sikap positif dalam memandang suatu masalah matematika
Tahap selanjutnya adalah tahap merencanakan pemecahan masalah.
Pada tahap merencanakan pemecahan masalah ini, komponen kecakapan matematis diperlukan untuk adalah pemahaman konseptual, kompetensi strategis, dan disposisi produktif, sehingga siswa dapat menentukan rencana apa yang akan dilaksanakan, dimana siswa harus mampu memaknai informasi
25
yang ada pada masalah dan menghubungkan setiap unsur yang ada pada masalah.
Selanjutnya, pada tahap melaksanakan rencana penyelesaian masalah kontekstual, siswa akan menggali semua konsep dan prosedur yang telah dipelajari sehingga dapat menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dengan benar (Haryani, 2011). Pada proses ini, komponen kecakapan matematis semuanya diperlukan adalah pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, dan disposisi produktif.
Tahap akhir dalam penyelesaian masalah kontekstual adalah memeriksa kembali penyelesaian masalah. Komponen kecakapan yang diperlukan pada tahap ini adalah kompetensi strategis, penalaran adaptif dan disposisi produktif, karena penalaran adaptif merujuk pada bagaimana siswa dapat menilai apakah suatu pemecahan masalah benar dan masuk akal.
Berikut ini diungkapakan indikator kecakapan matematis siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual berdasarkan tahapan pemecahan masalah Polya (1973).
Tabel 2.2: Indikator Kecakapan Matematis Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Kontekstual Berdasarkan Tahapan Polya
Tahapan Polya
Kecakapan
Matematis Indikator
Memahami
Masalah Kompetensi Strategis
Disposisi Produktif Siswa dapat memahami situasi dan kondisi dari suatu permasalahan dengan menentukan informasi- informasi yang diberikan soal dengan tepat menggunakan bahasanya sendiri.
Merencanakan Penyelesaian Masalah
Pemahaman Konseptual Kompetensi Strategis Disposisi Produktif
Siswa memiliki rencana yang relevan untuk menyelesaikan masalah.
Siswa dapat menyatakan ulang konsep yang diketahui.
Siswa dapat memililih rumus, pendekatan, atau metode yang tepat.
26 Melaksanakan
Penyelesaian Masalah
Pemahaman Konseptual Kelancaran Prosedural Kompetensi Strategis Disposisi Produktif
Siswa dapat menyelesaikan masalah sesuai rencana yang telah dibuat.
Siswa dapat mengaitkan berbagai konsep.
Siswa dapat menggunakan dan memanfaatkan prosedur yang sesuai, serta mengembangkan prosedur.
Siswa dapat menentukan solusi dari permasalahan yang diberikan dengan benar.
Memeriksa Kembali Penyelesaian Masalah
Kompetensi Strategis Penalaran Adaptif Disposisi Produktif
Siswa melakukan refleksi terhadap jawaban.
Siswa dapat memeriksa kebenaran penyelesaian masalah yang telah diperoleh dengan memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan.
Siswa dapat menarik kesimpulan dari suatu pernyataan.
2.6 Penelitian yang Relevan
Asmara (2013) melakukan penelitian tentang kecakapan matematis siswa melalui model pembelajaran problem posing. Berdasarkan hasil penelitian yang dialakukan, diperoleh kesimpulan bahwa aktivitas siswa dan guru telah berjalan dengan baik. Hasil skor postest memperlihatkan bahwa setiap komponen (strands) kecakapan matematis juga terkategorikan baik.
Penelitian di atas meneliti tentang kecakapan matematis pada pembelajaran matematika menggunakan model problem posing. Guru menerapkan model pembelajaran problem posing, kemudian siswa diberikan soal uraian untuk mengetahui kecakapan matematis siswa. Selain itu juga dilakukan observasi untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran matematika melalui pembelajaran dengan model problem posing yang dilakukan oleh guru serta aktivitas siswa saat berlangsung proses pembelajaran. Sementara dalam penelitian ini hanya difokuskan pada proses penyelesaian masalah
27
kontekstual oleh siswa tanpa adanya pembelajaran di kelas. Artinya, Kecakapan matematis siswa pada penelitian dilihat dari jawaban siswa yang dianalisis menggunakan model pemecahan masalah polya.
Suratman (2013) melakukan penelitian tentang pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural siswa kelas VII SMP pada materi Pertidaksamaan Linier Satu Variabel. Berdasarkan hasil penelitian yang dialakukan, diperoleh kesimpulan bahwa pemahaman konseptual siswa masih rendah, sedangkan pengetahuan prosedural siswa masih kurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Suratman ini memfokuskan bahasan pada dua komponen kecakapan matematis pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural siswa dalam manyelesaikan masalah pada materi pertidaksamaan linier satu variabel. Sedangkan dalam penelitian ini memfokuskan pada bagaiamana kecakapan matematis siswa yang terdiri atas pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif, dan disposisi produktif dalam menyelasaikan masalah kontekstual.
Kamariah (2013) meneliti tentang pemahaman konseptual matematis siswa kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok bawah pada materi kubus di kelas IX SMP. Hasil penelitian menujukkan bahwa pemahaman konseptual matematis siswa untuk kelompok atas termasuk dalam kategori sedang, kemampuan siswa kelompok menengah termasuk dalam kategori rendah, dan kemampuan siswa kelompok bawah termasuk dalam kategori sangat rendah.
28
Penelitian di atas meneliti tentang tentang pemahaman konseptual matematis siswa kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok bawah dalam menyelesaikan masalah pada materi kubus. Sementara dalam penelitian ini meneliti tentang pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif, dan disposisi produktif siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual.
Widjajanti (2011) melakukan penelitian tentang cara mengembangkan kecakapan matematis yang terdiri dari pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif, dan disposisi produktif pada diri mahasiswa calon guru matematika melalui strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah. Hasil dari penelitian ini adalah pengembangan kelima komponen kecakapan matematis baik pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif, maupun disposisi produktif dapat dilakukan secara terpadu pada perkuliahan yang menggunakan strategi kolaboratif berbasis masalah, karena dalam setiap langkah pada strategi tersebut memberi peluang untuk berkembangnya kelima kecakapan matematis tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Widjajanti ini memfokuskan bahasan pada apa yang dimaksud dengan pemahaman konseptual, kelancaran prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif dan disposisi produktif, serta bagaimana cara mengembangkannya pada diri mahasiswa calon guru matematika melalui strategi perkuliahan kolaboratif berbasis masalah.
Sedangkan pada penelitian ini memfokuskan pada bagaimana kecakapan matematis siswa yang terdiri dari pemahaman konseptual, kelancaran
29
prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif dan disposisi produktif siswa SMP dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan.
Widarti (2013) melakukan penelitian tentang koneksi matematika siswa MTs dalam menyelesaikan masalah kontekstual pada siswa kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan matematis tinggi mempunyai koneksi sangat baik dengan memenuhi empat indikator koneksi matematis, siswa yang berkemampuan matematis sedang memenuhi tiga indikator koneksi matematis dengan baik, dan siswa yang berkemampuan matematis rendah memenuhi dua indikator koneksi matematis dengan baik.
Penelitian di atas meneliti kemampuan koneksi matematika siswa yang berkemampuan tinggi, rendah, dan sedang dalam menyelesaikan masalah kontekstual, sedangkan dalam penelitian ini meneliti tentang lima komponen kecakapan matematis siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual tanpa membedakan siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Koneksi matematika dan komponen kecakapan mempunyai kesamaan dan hungungan. Hal ini karena koneksi matematika berhubungan dengan kemampuan siswa dalam mencari hubungan suatu representasi, konsep dan prosedur, juga kemampuan siswa mengaplikasikan matematika.