1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2015, penduduk di Jawa Barat sebanyak 45.340.800 jiwa. serta memiliki potensi pariwisata dan budaya yang sangat kaya, Jawa Barat memiliki kabupaten dan kota yang berjumlah 27 terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Luas wilayah provinsi Jawa Barat secara keseluruhan mencapai 35.377,76 km2, sebagian besar wilayah Jawa Barat juga memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Jawa Barat juga berbatasan dengan ibukota Negara, Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat.
Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki realisasi pendapatan tahun 2014- 2015 terbesar ke 2 setelah Jawa Timur dan di bawahnya di ikuti oleh Jawa Tengah.
Realisasi anggaran Jawa Barat mencapai Rp 65.585.837.074.000 pada tahun 2014 serta tahun 2015 mencapai Rp. 74.117.679.881.000, Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 13% dari tahun sebelumnya, serta memiliki realisasi pendapatan yang lebih baik di bandingkan provinsi Jawa Timur yang memiliki persentase hanya 10.3%. Berikut ini adalah grafik 1.1 yang menunjukan 5 provinsi yang memiliki realisasi pendapatan dan belanja tertinggi se-indonesia.
2
Grafik 1.1
Realisasi Anggaran Pendapatan Kabupaten Dan Kota Seluruh Indonesia Menurut Provinsi Tertinggi Tahun 2014-2015
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Realisasi pendapatan yang bersumber dari pendapatan asli daerah dan dana perimbangan yang digunakan untuk pemerintah provinsi Jawa Barat melaporkan atau memberikan informasi laporan keuangan daerah tersebut.
Jawa barat juga provinsi yang memiliki realisasi belanja tertinggi ke-2 tahun 2014- 2015 dengan realisasi belanja tahun 2014 sebesar Rp. 62.048.708.121.000 dan realisasi belanja tahun 2015 sebesar Rp. 70.345.741.245.000 yang mengalami peningkatan sebesar 13.37% dari tahun sebelumnya, dan lebih tinggi peningkatannya dibandingkan provinsi Jawa Timur hanya memiliki persentase sebesar 11%. Berikut ini grafik 1.2 yang menunjukan 5 provinsi yang memiliki realisasi pendapatan dan belanja tertinggi se- indonesia.
68.753 65.585
55.662
30.941 28.565
76.937 74.117
63.011
35.823 31.628
0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000
Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatra Utara Papua
Realisasi Pendapatan 2014-2015 (Miliar Rupiah)
2014 2015
3 Grafik 1.2
Realisasi Anggaran Belanja Kabupaten Dan Kota Seluruh Indonesia Menurut Provinsi Tertinggi Tahun 2014-2015
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Realisasi Belanja yang bersumber dari belanja langsung dan tidak langsung yang digunakan untuk pemerintah provinsi Jawa Barat melaporkan atau memberikan informasi laporan keuangan daerah tersebut.
Dipilihnya kabupaten dan kota di provinsi Jawa Barat, Karena Jawa Barat merupakan Provinsi yang mengalami kenaikan realisasi anggaran pendapatan dan belanja lebih tinggi di bandingkan provinsi Jawa Timur.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki Kabupaten/Kota terdiri dari 18 Kabupaten dan 9 kota, berikut ini adalah daftar Kabupaten dan Kota beserta di wilayah Jawa Barat.
65.666 62.048
53.453
29.815 27.456
76.090
70.345
62.285
35.559 32.186
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000
Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatra Utara Papua
Realisasi Belanja 2014-2015 (Miliar Rupiah)
2014 2015
4 Tabel 1.1
Daftar Pemerintahan Kabupaten dan Kota di Jawa Barat
No Kabuten/Kota No Kabuten/Kota No Kabuten/Kota 1 Kab.Sukabumi 10 Kab. Indramayu 19 Kota Bandung
2 Kota Sukabumi 11 Kab.Karawang 20 Kab.Bandung
3 Kab.Bekasi 12 Kota Bogor 21 Kab.Bandung
Barat
4 Kota Tasikmalaya 13 Kab. Bogor 22 Kota Cimahi
5 Kota Banjar 14 Kab.Majalengka 23 Kab.
Pangandaran
6 Kota Depok 15 Kab.Garut 24 Kab.Purwakarta
7 Kab.Cirebon 16 Kab.Cianjur 25 Kab.Ciamis
8 Kota Cirebon 17 Kab.Kuningan 26 Kab.
Tasikmalaya
9 Kab.Sumedang 18 Kab. Subang 27 Kota Bekasi
Sumber : Jabarprov.go.id (data diolah tahun 2017)
1.2 Latar Belakang Penelitian
Pada dasarnya otonomi daerah merupakan kebijakan yang dipilih oleh pemerintah pusat dalam membantu pemerintah daerah untuk menjadikan pemerintah daerah lebih mandiri dalam hal pembangunan, pengelolaan keuangan daerah, dan pembiayaan diri sendiri. Otonomi daerah mulai di berlakukan sejak tahun 2001, beberapa daerah dapat membiayai dirinya sendiri tanpa bergantung terhadap pemerintah pusat.
APBD merupakan instrumen kebijakan yaitu sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang harus mencerminkan
5
kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Proses penganggaran yang telah direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan tertib serta disiplin akan mencapai sasaran yang lebih optimal. Maka dapat di simpulkan jika kinerja keuangan suatu daerah makin baik ketika realisasi APBD lebih tinggi dari targetnya. Sehingga pembangunan di suatu daerah tersebut lebih optimal.
Pada bulan Juli Laporan Hasil Pemeriksaan atas Provinsi Jawa Barat menunjukan pendapatan daerah yang bersumber dari Penghasilan Asli daerah (PAD) Tahun Anggaran (TA) 2015 realisasinya mencapai Rp 16,03 triliun lebih atau sekitar 104,01% dari angaran yang telah ditetapkan sebesar Rp 15,41 triliun lebih. Penerimaan PAD ini bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, serta lain-lain PAD yang Sah. Selain itu Belanja Daerah untuk Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) TA 2015 direalisasikan sebesar Rp 24,41 triliun lebih atau sekitar 87,98% dari alokasi anggaran sebsar Rp 27,75 triliun lebih. Belanja Daerah ini mencakup Belanja Tidak Langsung terealisasi sebesar Rp 19,25 triliun lebih atau 88,79%
dari alokasi anggaran sebesar Rp 21,68 triliun lebih. Sementara Belanja Langsung terealisasi sebesar Rp 5,16 triliun lebih atau 85,08% dari alokasi anggaran sebesar Rp 6,06 triliun lebih (bappeda.jabarprov.go.id).
“Jawa Barat merupakan contoh kinerja keuangan Pemda yang yang baik”, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Provinsi (APPSI) Ahmad Heryawan (Aher) menegaskan pengawasan ketat pemanfaatan APBD adalah keniscayaan. Meski demikian, dibutuhkan terobosan strategi pengawasan baru agar proses pembangunan berjalan maksimal. Ditegaskan pula usulan dan harapan para Gubernur terhadap mekanisme pengawasan tentu tetap tidak menoleransi sedikitpun kebocoran anggaran. Namun, kata Aher, “metode pengawasan jangan sampai menjadi bagian kendala pelaksanaan program pembangunan”.(Sumber : PKS.id ).
Namun pada kenyataannya Kinerja Keuangan yang di ukur dengan rasio efisiensi dengan menggunakan total realisasi belanja di bagi dengan total realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Jawa Barat masih terdapat yang mengalami efisiensi kinerja keuangannya pada tahun 2014-2015 sehingga efisiensi kinerja
6
keuangannya tidak baik atau tidak efisiensi. Pada tabel berikut ini menunjukan persentase efisiensi kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di provinsi jawa barat.
Tabel 1.2
Efisiensi Kinerja Keuangan 2014-2015
No Kota Efisiensi Kinerja Keuangan dalam%
2014 2015
1 Kota Bandung 89.53 102.03
2 Kota Tasikmalaya 100.80 95.36
3 Kota Bogor 157.8 97.37
4 Kab. Ciamis 100.07 101.15
5 Kab. Cirebon 93.90 114.56
6 Kab. Purwakarta 96.78 102.50
7 Kab. Bandung Barat 97.72 139.06
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Berdasarkan tabel diatas menunjukan terdapat kabupaten dan kota yang mengalami penurunan tingkat efisiensi yang sebelumnya efisien lalu naik menjadi tidak efisien.
Untuk mengukur efisien atau tidaknya kinerja keuangan dapat di tunjukan melalui tabel berikut ini.
Tabel 1.3
Kriteria Efisiensi Kinerja Keuangan Kriteria Efisiensi Persentase Efisiensi
100% keatas Tidak Efisien
100% Efisiensi Berimbang
Kurang dari 100% Efisien
Sumber : Mohamad Mahsun (2012 :187)
Semakin tinggi persentase kinerja keuangan maka semakin tidak efisien karena total belanja lebih tinggi di bandingkan total penerimaannya. Sedangkan jika 100% maka keduanya berimbang antara pendapatan dan pengeluaran. Dan jika penerimaan lebih tinggi dari pada pengeluaran maka semakin efisien.
7
Dari tabel indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa tabel 1.2 menunjukan terdapat 5 kabupaten dan kota yang kinerja keuangannya tidak efisien pada tahun 2015 kota Bandung, kabupaten Ciamis, kabupaten Cirebon, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Bandung Barat. Tahun sebelumnya kabupaten dan kota tersebut kinerja keuangannya efisien. Hal itu disebabkan realisasi belanja lebih besar di bandingkan realisasi pendapatan. Tahun 2014 terdapat 3 kabupaten dan kota yang kota Tasikmalaya, kota Bogor, dan kabupaten Ciamis. Dari ke 3 kabupaten dan kota tersebut hanya kabupaten Ciamis yang tidak mengalami perubahan kinerja keuangan. Tabel 1.4 berikut akan menunjukan realisasi belanja modal dari total realisasi belanja kabupaten dan kota di Jawa Barat yang memiliki efisiensi kinerja keuangan yang diatas 100%.
Tabel 1.4
Realisasi Belanja Modal Tahun 2014-2015
No Kota Belanja Modal (dalam ribuan)
2014 2015
1 Kota Bandung Rp.971.440.599 Rp.1.287.802.828 2 Kota Tasikmalaya Rp.276.775.401 Rp.307.519.297
3 Kota Bogor Rp.499.335.882 Rp.440.919.551
4 Kab. Ciamis Rp.349.432.436 Rp.492.668.742 5 Kab. Cirebon Rp.323.301.979 Rp.439.768.588 6 Kab. Purwakarta Rp.330.239.453 Rp.357.890.383 7 Kab. Bandung Barat Rp.331.152.302 Rp.374.320.054
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Tabel diatas menunjukan bahwa persentase belanja modal yang naik akan menaikan total realisasi belanja modal kabupaten dan kota. Dapat dilihat pada tabel diatas kota Bandung, kabupaten Ciamis dan kabupaten Bandung barat. Tetapi kota Bogor yang efisiensinya kurang efisien menjadi efisien pada tahun 2015 belanja modalnya lebih tinggi di banding tahun 2014. Hal tersebut terjadi karena realisasi pendapatan yang lebih tinggi dibanding realisasi belanja sehingga dapat menutupi kebutuhan belanja kota Bogor.
Total realisasi pendapatan terdiri atas dana perimbangan, pendapatan asli daerah serta pendapatan lain lain yang sah. Pada tabel 1.5 dan 1.6 berikut akan dijelaskan pendapatan asli daerah dan dana perimbangan.
8 Tabel 1.5
Realisasi Dana Perimbangan Tahun 2014-2015
No Kota Dana Perimbangan (dalam ribuan)
2014 2015
1 Kota Bandung Rp.1.886.016.264 Rp.1.765.831.826 2 Kota Tasikmalaya Rp. 845.802.099 Rp.849.187.547
3 Kota Bogor Rp.855.645.928 Rp.814.953.435
4 Kab. Ciamis Rp.1.270.347.101 Rp.1.342.252.394 5 Kab. Cirebon Rp.1.585.728.329 Rp.1.691.675.402 6 Kab. Purwakarta Rp.936.214.866 Rp.923.601.621 7 Kab. Bandung Barat Rp. 1.118.210.548 Rp.1.159.888.702
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Tabel di atas menunjukan bahwa kota Bandung, kota Bogor dan kabupaten Purwakarta, mengalami penurunan dalam dana perimbangannya sehingga kemampuan pemerintah kabupaten dan kota tersebut dapat di penuhi tanpa ketergantungan kepada pemerintah pusat karena dana perimbangan merupakan bantuan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan pemerintah daerah, akan tetapi 4 kabupaten dan kota lainnya masih membutuhkan bantuan tersebut . nampak jelas pada tabel tersebut dana perimbangan kota Tasikmalaya, kabupaten Ciamis, kabupaten Cirebon dan kabupaten Bandung Barat, masih membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat. Bentuk dari dana perimbangan berupa Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak serta DAU dan DAK.
Tabel 1.6
Realisasi Pendapatan Asli Daerah Tahun 2014-2015
No Kota
Pendapatan Asli Daerah (dalam ribuan)
2014 2015
1 Kota Bandung Rp.1.716.057.298 Rp.1.859.694.644
9
2 Kota Tasikmalaya Rp.253.429.871 Rp.117.968.215
3 Kota Bogor Rp.544.835.708 Rp.627.597.050
4 Kab. Ciamis Rp.182.320.228 Rp.180.304.951 5 Kab. Cirebon Rp.452.799.617 Rp.478.690.101 6 Kab. Purwakarta Rp.286.797.723 Rp.331.073.426 7 Kab. Bandung Barat Rp.248.697.186 Rp.314.621.269
Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah tahun 2017)
Pada tabel 1.6 menunjukan realisasi pendapatan asli daerah pada kabupaten dan kota yang mengalami efisiensi yang kurang baik. Walaupun kota Bandung, kabupaten Purwakarta, kabupaten Cirebon, kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung Barat mengalami peningkatan dalam pendapatan asli daerah tetapi realisasi belanja nya lebih tinggi dari realisasi penerimaannya. Dan kota Tasikmalaya mengalami penurunan pendapatan asli daerah, tetapi transfer dari pusat yang berupa dana perimbangan dapat menutupi kekurangan belanja sehingga efisiensi pada tahun 2015 menjadi sangat efisien tahun sebelumnya efisiensinya kurang baik. Kota Bogor mengalami kenaikan dalam pendapatan asli daerah dan dana perimbangan sehingga realisasi belanja lebih besar dari pada realisasi belanja karena belanja modal mengalami penurunan. Selanjutnya akan dijelaskan tentang teori serta penelitian terdahulu.
Menurut Kawedar et al (2011:193), belanja modal adalah Belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal adalah sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan modal.
Menurut Nugroho (2012) menyatakan bahwa Belanja Modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kinerja keuangan daerah secara langsung,. Menurut Darwanis (2012) Belanja modal secara signifikan berpengaruh negatif secara langsung terhadap
10
kinerja keuangan. Artinya komponen Belanja Modal ternyata tidak mempengaruhi Pertumbuhan kinerja keuangan Pemerintah.
Dana perimbangan menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Otonomi daerah hingga saat ini masih memberikan berbagai permasalahan. Kondisi geografis dan kekayaan alam yang beragam, deffersial potensi daerah, yang menciptakan perbadaan kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya, atau yang biasa disebut fiscal gap (celah fiscal).
Menurut Penmendagri No. 32 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, kepada daerah diberikan Dana Perimbangan melalui APBN yang bersifat transfer. Salah satu tujuan pemberian Dana Perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah agar tidak ada satu daerah yang tertinggal, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah.
Dana perimbangan dalam UU No.25 Tahun 1999 dan UU No. 33/2004 adalah terdiri dari Dana Bagi hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Menurut Pradana (2016) menyatakan bahwa Dana Perimbangan meningkatkan kinerja keuangan terlihat pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Kalimantan Timur masih bergantung terhadap pemerintah pusat dalam memenuhi kebutuhan daerah. Akan tetapi menurut Prasasti (2015) Dana Perimbangan yang meliputi Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak serta DAU dan DAK merupakan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk membiayai kelebihan belanja daerah. Apabila realisasi belanja daerah lebih tinggi dari pada pendapatan daerah maka akan terjadi defisit. Oleh karena itu untuk menutup kekurangan belanja daerah maka pemerintah pusat akan mentransfer dana dalam bentuk Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah. Semakin besar transfer Dana Perimbangan yang diterima dari pemerintah pusat maka akan semakin kuat pemerintah daerah bergantung kepada pemerintah pusat guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Sehingga akan membuat kinerja keuangan pemerintah semakin menurun.
11
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf (a) Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang di revisi pada tahun 2004 menjadi UU nomer 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, mempunyai konsekuensi yang serius dalam pelayanan publik dan kinerja ekonomi guna meningkatkan kesejahteraaan masyarakat di daerah.Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2001 merupakan peluang bagi pemerintah daerah di indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri dan bersumber dari potensi daerah tersebut.
Dari hasil PAD, Maka suatu daerah memperoleh penerimaan yang dapat dialokasikan bagi pengeluaran pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat dengan cari memberikan pembangunan insfrastruktur yaitu salah satunya dengan belanja modal. Jika pendapatan daerah tinggi maka daerah tersebut mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhannya dalam 1 periode berjalan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.
Menurut Suprianto (2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio kemandirian daerah,PAD berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi, PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketergantungan daerah sedangkan rasio varians PAD di pengaruhi oleh jumlah PAD positif dan tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan secara umum PAD memiliki pengaruh kinerja keuangan ,dengan PAD yang baik maka laporan keuangan akan tetapi Andirfa et al (2016) Menyatakan bahwa PAD tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan suatu daerah. Akan tetapi menurut Wenny (2012) PAD secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan, namun secara parsial hanya hal lain-lain PAD yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan, sedangkan pajak daerah,retribusi daerah, dan hasil perusahaan dan kekayaan daerah tidak dominan mempengaruhi kinerja keuangan.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan diatas, maka penulis memilih judul “Pengaruh Belanja Modal, Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli
12
Daerah Terhadap Kinerja Keuangan (Studi Empiris Pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014-2015)”.
1.3 Rumusan Masalah
Kinerja keuangan daerah mengukur kualitas baik atau tidaknya suatu daerah, Terdapat Kabupaten dan Kota di provinsi Jawa Barat yang memiliki efisiensi kinerja keuangan yang belum baik , hal tersebut dipengaruhi oleh realisasi anggaran belanja lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pendapatan. Belanja yang tinggi dapat dipengaruhi oleh belanja modal suatu pemerintah daerah dan faktor faktor lain, rendahnya realisasi pendapatan juga dapat dipengaruhi oleh pendapatan asli daerah yang rendah sehingga memerlukan bantuan dari pusat yaitu dengan dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil yang dapat membantu pemerintah daerah untuk menjalankan kegiatan, untuk membangun insfrastruktur untuk memajukan daerahnya tersebut.
1.4 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana Belanja Modal, Dana Perimbangan, Dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2014-2015?
2. Bagaimana pengaruh Belanja Modal, Dana Perimbangan, Dan Pendapatan Asli Daerah secara simultan terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2014-2015?
3. Bagaimana pengaruh secara parsial :
a) Belanja Modal terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015?
b) Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015?
c) Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015?
13 1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang di uraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Belanja Modal, Dana Perimbangan, Dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2014-2015.
2. Untuk mengetahui pengaruh secara simultan Belanja Modal,Dana Perimbangan, Dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2014-2015.
3. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial:
a) Belanja Modal terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten Dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015.
b) Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten Dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015.
c) Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota Jawa Barat tahun 2014-2015.
1.6 Manfaat Penelitian
Setiap hasil dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak membacanya maupun yang secara langsung terkait di dalamnya untuk itu manfaat dari penelitian ini mencakup beberapa hal :
1. Aspek Teoritis
Bagi bidang akademis, dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya. Bagi penulis semoga penelitian digunakan sebagai tembahan wawasan mengenai Belanja Modal, Dana Perimbangan , Pendapatan Asli Daerah dan Kinerja Keuangan.
2. Aspek Praktisi
Bagi para pengguna informasi hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi mengenai Belanja Modal, Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah dan Kinerja Keuangan di Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.
14
Bagi Kabupaten dan Kota di Jawa Barat dapat mengatasi masalah yang ada pada laporan keuangan masih masing daerah untuk memperbaiki Kinerja Keuangan .
1.7 Ruang Lingkup Penelitian 1.7.1 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan satu variabel dependen, variabel dependen dalam penelitian ini adalah Kinerja Keuangan. Tiga variabel independen, yaitu Belanja Modal, Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah. Penelitian ini akan mengkaji pengaruh Kinerja Keuangan baik secara simultan maupun parsial.
1.7.2 Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah di website resmi dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Objek untuk penelitian ini adalah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Jawa Barat. Data penelitian yang diperoleh peneliti adalah dari website resmi Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (www.djpk.depkeu.go.id) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat diperoleh dari website resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat (www1.jabarprov.go.id) tahun 2014 sampai dengan 2015. Serta Badan Pusat Statistik.
1.8 Sistematika Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian ini, maka sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memberikan penjelasan mengenai gambaran umum objek penelitian, latar belakang penelitian yang mengangat fenomena menjadi isu penting sehingga layak untuk diteliti disertai dengan argumentasi teoritis yang ada, perumusan masalah yang didasarkan pada latar belakang penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian secara
15
teoritis dan praktis. Bab ini di akhiri dengan sistematika tugas akhir yang menjelaskan secara ringkas isi masing-masing bab.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN
Bab ini merupakan bagian yang berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian dan mendukung solusi permasalahan, serta kerangka pemikiran
dan hipotesis penelitian sebagai dugaan sementara atas masalah penelitian dan pedoman untuk pengujian data.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian mengenai karakteristik penelitian, alat pengumpulan data, tahapan pelaksanaan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data dan
sumber data, teknis analisis data serta pengujian hipotesis.
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dari hasil penelitian, mencakup analisis responden terhadap variabel penelitian, analisis statistik serta analisis pengaruh variabel.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian serta saran peneliti baik dari segi aspek teoritis maupun praktis.
16