• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan alih fungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan alih fungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Konflik kepentingan yang cukup dilematis dihadapi pemerintah dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Namun di lain pihak, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap upaya mempertahankan/menjaga keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian produksi pertanian

(

Widjanarko, Moshedayan, Bambang, dan Putu, 2010).

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sendiri mengawasi ketat lahan-lahan

pertanian untuk menekan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan di daerah itu

yang menunjukkan peningkatan setiap tahun. Sejak 2007-2008, konversi lahan

pertanian di Sumut tumbuh sekitar 4,2 persen. Luas lahan sawah berpengairan

yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008

mencapai 278.560 hektar. Sementara, lahan tadah hujan tak berpengairan yang

sudah beralih fungsi tahun 2006 seluas 211.975 hektar dan sebanyak 193.454

hektar tahun 2007. Adapun alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan atau

mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar

dan Langkat 1.400 hektar. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras

dan kawasan pemukiman (Portal Nasional, 2009).

(2)

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi.

Akan tetapi, laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan ini terjadi pada hutan, lahan gambut, area pertanian, rawa dan daerah pasang surut. Pembukaan lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dilakukan dengan cara membakar hutan. Asap yang dihasilkan dari pembakaran berkontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Selain karena biaya murah, pembakaran hutan dilakukan karena bisa menaikkan Ph tanah sampai 5-6 sehingga cocok untuk ditanami kelapa sawit (Kompas, 2008).

Berbeda dengan Kalimantan Barat, alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir,

Propinsi Riau terjadi pada lahan pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa

sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan. Namun, tanah yang telah

ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi dijadikan persawahan dan ditanami padi

karena komposisi tanahnya telah berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri

Hilir, para penanam karet di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti

tanamannya ke kelapa sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada

karet. Di propinsi Jambi, alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit

terjadi di daerah pasang surut di kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan

Nipah Panjang kabupaten Jabung Timur. Luas perkebunan kelapa sawit di ketiga

daerah tersebut pada tahun 2006 mencapai 10.000 hektar (Kompas, 2008).

(3)

Beberapa penelitian lingkup mikro menunjukkan harga lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman dan daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah.

Sementara itu dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkolerasi positif dengan pertumbuhan PDB dan berkolerasi negatif dengan nilai tukar petani (Ilham, Yusman, dan Supena, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Memberita Ginting (2005) di Desa Munte Kabupaten Karo, alih fungsi lahan di daerah tersebut mulai terjadi Tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke non padi sawah sekitar 38,65% dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani. Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air, disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi padi sawah maupun komoditi non padi sawah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Peruhuman Daulay (2003) di Desa Batu Tunggal Kabupaten Labuhan Batu menyatakan bahwa usahatani kelapa sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani karet, dan faktor-faktor yang memotivasi petani mengkonversi lahan karet ke kelapa sawit adalah 70%

didominasi oleh faktor coba-coba mengikuti orang lain dan selebihnya disebabkan faktor lain.

Alih fungsi lahan juga terjadi di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem yang melaksanakan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

Tanaman tebu sendiri merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak

(4)

diusahakan di Sumatera Utara. Pengelolaan tanaman tebu di Sumatera Utara dilakukan oleh rakyat dan negara. Budidaya tanaman tebu di Indonesia yang dilakukan oleh rakyat sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda yang dinaungi oleh VOC yang merupakan persekutuan dagang Belanda. Sedangkan pengembangan tanaman tebu di Sumatera Utara oleh rakyat sudah dilakukan sejak tahun 80-an. Dan pengembangan budidaya tebu oleh negara di Sumatera utara dilakukan PTPN II dimulai sejak tahun 1983. Pengembangan tebu ini didasarkan atas percobaan penanaman tebu di lahan tembakau oleh Proyek Pengembangan Industri Gula (PPIG) yang dimulai pada tahun 1975, yang kemudian banyak diikuti oleh petani setempat (PTPN II, 2009)

Pengembangan tanaman tebu ini kemudian didukung dengan adanya pembangunan pabrik gula pada tahun 80-an , yaitu pabrik gula Kwala Madu dan Pabrik gula Sei Semayang. Dari tahun tersebut sampai saat ini hanya dua pabrik gula tersebut yang ada di Sumatera Utara, yang kedua-duanya dimiliki oleh PTPN II. Hal ini mengharuskan rakyat menjual produksi tebu mereka kepada PTPN II (PTPN II, 2009)

Bukan itu saja, ternyata banyak petani tebu di Sumatera Utara tidak memiliki lahan sendiri. Para petani tebu ini menyewa lahan PTPN II untuk ditanami tebu dengan persentase sebesar 95,6% dari total luas tebu rakyat, dengan sistem sewa senilai Rp. 1.500.000 / tahun tanam (Dinas Perkebunan, 2010)

Ketergantungan rakyat terhadap PTPN II menjadi alasan mengapa masih

dipertahakannya tanaman tebu di PTPN II. PTPN II banyak membantu petani

dalam hal pemberian bantuan bibit unggul, penyediaan lahan tebu (sewa) serta

(5)

dalam hal pengolahan tebu. Bayangkan saja jika PTPN II melakukan alih fungsi seluruh lahan tebu mereka, ini akan menyebabkan petani tebu akan kehilangan mata pencaharian mereka karena 95,6 % lahan yang digunakan oleh petani adalah lahan PTPN II dan pabrik gula di PTPN II otomatis juga ditutup dan digantikan dengan pabrik kelapa sawit. Selain itu, produksi gula di Sumatera Utara akan mengalami penurunan yang mengacu pada peningkatan harga gula. Ini membuat para pembuat keputusan di PTPN II mengalami dilema. Disatu pihak mereka ingin meningkatkan keuntungan perusahaan, tetapi dilain pihak mereka juga harus membantu petani yang bergantung pada mereka. Jadi, meskipun mengalami kerugian dalam hal budidaya tebu, PTPN II tetap akan mempertahankan pengusahaan tanaman tebu mereka mengingat banyaknya masyarakat yang bergantung pada PTPN II dan salah satu cara agar kerugian tersebut tertutupi adalah dengan pengusahaan tanaman kelapa sawit.

Adapun perjanjian kemitraan usaha antara petani tebu dan pabrik gula menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) adalah sebagai berikut:

Spesifikasi

Perjanjian kredit yang dimaksud terdiri atas beberapa pasal yang dalam addendumnya disertai dengan beberapa dokumen sebagai pengaman penyaluran kredit dan pengembaliannya, baik dalam bentuk pokok pinjaman, bunga, serta bahan baku tebu yang harus dipasok ke pabrik gula.

Manfaat

1. Memastikan pasok bahan baku ke pabrik gula.

2. Mengamankan penyaluran kredit baik berupa kredit program maupun

kredit komersial.

(6)

3. Meningkatkan produktivitas usahatani tebu dan minat petani menanam tebu serta melestarikan hubungan usaha antara petani tebu dan pabrik gula.

Target Pengguna

Pabrik gula yang sebagian besar pasok bahan bakunya tergantung pada tebu rakyat.

Adapun sistem pembelian tebu menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) oleh pabrik gula dari petani adalah berdasarkan nilai nira perahan pertama(npp).

Spesifikasi

Secara teknis sistem pembelian tebu dilaksanakan dengan cara : - mengukur nilai nira perahan pertama

- menentukan harga tebu berdasarkan nilai nira perahan pertama - pembayaran tebu berdasarkan harga tebu.

Manfaat

Untuk memberi nilai tebu petani berdasarkan mutu tebu secara cepat, akurat dan individual.

Target Pengguna

Pabrik gula yang mengalami masalah dalam menentukan mutu tebu rakyat.

(Anonimous, 2010)

(7)

Menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara (2010) mahalnya biaya produksi dalam hal usahatani tebu dan kurang bersahabatnya iklim di Sumatera Utara menjadi penyebab menurunnya tingkat produksi gula. Jika ditinjau dari sisi petani, menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara, permasalahan yang dihadapi oleh petani tebu di Sumatera Utara mencakup:

1. Keterbatasan pendanaan / modal petani untuk pengembangan dan pengelolaan budidaya tanaman tebu baru (plant cane) dan pemeliharaan tanaman tebu keprasan (ratoon) mengakibatkan pengelolaan budidaya tanaman tebu menjadi tidak optimal / tidak mengikuti sistem budidaya tebu yang baku.

2. Keterbatasan areal / lahan pertanaman. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa persentase lahan tebu rakyat seluas 762,5 Ha (95,6%) menggunakan lahan HGU PTPN II dengan sistem sewa senilai Rp. 1.500.000,- / tahun tanam.

3. Tingginya proporsi tanaman keprasan (ratoon) sebesar 58% dibandingkan dengan plant cane yang hanya 42%.

4. Bibit tanaman tebu yang digunakan oleh petani tebu pada umumnya belum

sepenuhnya berasal dari kebun bibit berjenjang / KBD (kebun bibit datar)

varietas unggul yang disesuaikan dengan hasil penataan varietas sesuai

dengan tipologi wilayah pertanaman tetapi sebagian besar berasal dari

hasil tanaman keprasan kebun produksi sehingga produksinya menjadi

rendah.

(8)

5. Pada tahun panen 2010, operasional penggilingan tebu hanya pada pabrik gula Kwala Madu. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya tebang muat dan angkut petani.

6. Kelembagaan petani tebu yang masih memerlukan pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan budidaya dan manajemen tebang muat angkut.

7. Koperasi tebu rakyat masih belum profesional dalam mengelola dana untuk perawatan dan pengembangan tebu rakyat.

Menyadari permasalahan diatas, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mempertahakan eksistensi pertanaman tebu rakyat di provinsi Sumatera Utara.

Menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara, adapun langkah-langkah strategisnya adalah:

1. Konsolidasi areal

Konsolidasi areal ini diarahkan pada pengembangan areal potensial dengan melibatkan masyarakat petani disekitar pabrik gula melalui sistem kemitraan, perluasan lahan HGU dan penerapan sistem sewa lahan.

2. Rehabilitasi tanaman keprasan

Rehabilitasi tanaman keprasan (ratoon) dengan menggunakan varietas

unggul baru sesuai tipologi wilayah. Guna menjamin berjalannya program

rehabilitasi tanaman maka kebijakan pengeprasan dibatasi maksimum

RC 3 (ratoon cane 3). Artinya, tanaman keprasan yang diperbolehkan

hanya sampai ratoon 3.

(9)

3. Penyediaan bibit bermutu

Optimalisasi potensi varietas yang disesuaikan dengan kesesuaian tipologi dan sifat / perilaku kemasakan. Untuk Sumatera Utara, kategori kemasakan varietas yang optimum adalah masak awal (A) dan awal tengah (AT).

4. Peningkatan mutu budidaya - Teknik budidaya

Perbaikan teknik budidaya sesuai dengan sistem budidaya baku / rasional.

- Penyediaan saprodi dan pendanaan

Penyediaan saprodi memenuhi kaidah 5 tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, waktu, tempat dan dosis / cara pemberiannya.

5. TMA (tebang muat dan angkut) - Tebang berdasarkan kemasakan - Analisis rendemen individu 6. Peningkatan kinerja pabrik

- Ketebukaan

Dalam rangka pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), PG (pabrik gula) diharapkan dapat lebih

transparan dan fair dalam melaksanakan penggilingan dan penetapan rendemen tebu milik petani / mitra kerjanya. Selain itu, peningkatan kinerja pabrik dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian dan minat petani untuk menanam tebu.

- Meningkatkan efisiensi pabrik

(10)

Untuk meningkatkan efisiensi pabrik maka diperlukan upaya-upaya:

- pemenuhan kapasitas giling secara berkesinambungan.

- perbaikan kualitas bahan baku melalui rehabilitasi tanaman keprasan, penerapan kaidah MBS (manis, bersih dan segar) secara ketat pada saat panen.

- pelaksanaan Preventif Maintenance Programme (PMP) peralatan pabrik secara konsisten untuk menekan jam berhenti giling dan kehilangan gula dalam proses.

7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia

- melakukan pelatihan, inhouse training, peningkatan peran KPTR ( koperasi petani tebu rakyat) dan APTR ( asosiasi petani tebu rakyat) untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan individu, dan profesionalisme untuk membangun rasa kebersamaan dan team work yang tangguh.

- meningkatkan pola kemitraan terintegrasi antara perusahaan gula, petani, dan instansi pendukung.

Di Sumatera Utara sendiri, untuk mencapai swasembada gula, menurut Dinas

Perkebunan Provinsi Sumatera Utara (2010) diperlukan areal pengembangan

lahan seluas 35.000 Ha dengan penambahan pabrik gula sejumlah 1 unit yang

berkapasitas 6000-8000 TCD (Ton Cane Day). Untuk itu, diharapkan peranan

PTPN II untuk dapat melaksanakan pengembangan areal tebu dan melaksanakan

revitalisasi manajemen dan operasional pabrik gula Kwala Madu dan pabrik gula

Sei Semayang. Ini dikarenakan pada manajemen, industri gula mengalami

permasalahan mulai di tingkat perkebunan dan pabrik gula. Permasalahan yang

(11)

terjadi pada tingkat perkebunan akan menimbulkan permasalahan pada tingkat pabrik dan sebaliknya sehingga untuk dapat meningkatkan produksi gula tebu, perbaikan yang dilakukan tidak hanya di perkebunan atau pabrik saja, tetapi harus dilakukan mulai dari perkebunan sampai ke pabrik. Pelaksanaan pengembangan tanaman tebu dimaksud diharapkan dapat melibatkan petani dan stake holder terkait dalam pengelolaannya.

2.2. Landasan Teori

Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat, misalnya faktor sosial yang berkembang dimasyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan, yaitu:

1. faktor ekonomi 2. faktor sosial, dan

3. peraturan pertanahan yang ada.

Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif

komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya

peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar,

(12)

lingkungan dan dayasaing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan (Ilham et al, 2009).

Biaya pada usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap yang didefenisikan sebagai biaya yang relative tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, dan biaya tidak tetap yang didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Sedangkan pendapatan adalah total penerimaan dikurangi total biaya produksi. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika total penerimaan lebih besar dari total biaya produksi (Soekartawi, 1995).

Sedangkan biaya investasi untuk pembangunan kebun kelapa sawit biasanya di kelompokkan menjadi:

1. Biaya investasi tanaman (pembukaan lahan, pembuatan infrastruktur jalan, parit, teras dan biaya sampai dengan tanaman menghasilkan), 2. Biaya investasi non tanaman (rumah, mesin, instalasi pembibitan),

serta

3. Biaya investasi pabrik kelapa sawit dan jembatan permanent untuk menggantikan jembatan sementara yang dibangun dengan kayu bulat pada saat pembukaan kebun (Pahan, 2008).

Dalam bidang sosial, ada 5 faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan yaitu:

perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.

Dua faktor terakhir berhubungan dengan system pemerintahan. Dengan asumsi

(13)

pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Ilham et al, 2009).

Sedangkan peraturan pertanahan yang ada berfungsi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya. Dari 12 peraturan yang ada tersebut sebagian besar (sembilan peraturan) membahas tentang larangan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian. Tiga peraturan lainnya membahas tentang lahan subur,

pemanfaatan lahan kosong dan batasan luas lahan untuk izin usaha (Ilham et al, 2009).

PTPN II selaku perusahaan yang melakukan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit, tentunya sudah memperhitungkan dan mengevaluasi analisis kelayakan usaha kelapa sawit secara finansial. Untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha (dalam hal ini usaha perkebunan kelapa sawit), digunakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang sering digunakan adalah:

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah kriteria investasi yang banyak digunakan

dalam mengukur apakah suatu proyek layak atau tidak. Perhitungan

NPV merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan

Social Opportunity Cost of Capital sebagai discount factor. Suatu

usaha dikatakan layak jika NPV > 0

(14)

2. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat discount rate yang

menghasilkan NPV sama dengan nol. Jika IRR > Social Opportunity Cost of Capital dikatakan bahwa usaha tersebut layak.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan antara net benefit

yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Jika Net B/C > 1 maka dapat dikatakan usaha tersebut layak untuk dikerjakan

(Ibrahim, 2009).

2.3. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka memperoleh pendapatan yang lebih baik, para pengusaha perkebunan melakukan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan melakukan alih fungsi lahan perkebunan dari lahan tanaman semusim menjadi lahan tanaman tahunan, seperti yang dilakukan oleh PTPN II yang melakukan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan

kelapa sawit, diantaranya biaya yang tinggi (meliputi biaya investasi awal, biaya

pemeliharaan dan biaya pengangkutan dan panen), produktivitas yang semakin

menurun, rendemen yang hanya sekitar 6% yang dilihat dari sisi tanaman tebu itu

sendiri. Sedangkan jika dilihat dari sisi tanaman kelapa sawit, produktivitas,

rendemen (sekitar 20%-23%), harga kelapa sawit serta permintaan kelapa sawit

(15)

yang cukup tinggi menjadi alasan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

Kemudian dihitung total biaya produksi dan penerimaan dari tanaman tebu dan

tanaman kelapa sawit yang diusahakan. Dari hasil perhitungan, akan didapat

apakah usahatani tebu yang diusahakan PTPN II kurang menguntungkan dan

apakah pengusahaan tanaman kelapa sawit layak dilaksanakan.

(16)

Keterangan : : Menyatakan Proses : Menyatakan Hubungan

Tebu Kelapa Sawit

Proses Output

K.Sawit Input

Proses Output Tebu

Penerimaan Biaya

Penerimaan

Alih Fungsi Lahan Tebu menjadi Lahan Kelapa Sawit

• Biaya

• Produktivitas tebu

• Harga tebu

• Rendemen gula

• Permintaan gula

• Biaya

• Produktivitas Kelapa Sawit

• Harga Kelapa Sawit

• Rendemen Kelapa Sawit

• Permintaan Kelapa sawit

Input

Biaya

Pendapatan Pendapatan

Kelayakan

(17)

2.4. Hipotesis Penelitian

1. Tingkat pendapatan komoditi tebu di daerah penelitian tidak baik, dimana total costnya lebih besar dari total revenue atau TC > TR

2. Tingkat pendapatan komoditi kelapa sawit di daerah penelitian baik, dimana total revenuenya lebih besar dari total cost atau TR > TC

3. Usahatani kelapa sawit yang diusahakan di daerah penelitian adalah usaha

yang layak secara finansial, dimana IRR > tingkat suku bunga yang

berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : alih fungsi yang terjadi di daerah deli serdang alih fungsi padi sawah banyak beralih fungsi menjadi tanaman hortikultura, Laju alih

korelasi product moment , terdapat 4 faktor yang terbukti memiliki hubungan signifikan dengan tingkat keinginan petani melakukan alih fungsi lahan pertanian yaitu

Kendala dalam penelitian tentang implementasi kebijakan alih fungsi lahan pertanian yaitu adanya rencana pemerintah Kota Tangerang yang ingin melakukan revisi

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksipenjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non

Meskipun tidak menyebutkan data pasti seberapa berapa besar alih fungsi lahan pertanian produktif yang terjadi di Jawa Barat, Ono berasumsi ini terjadi karena angka pembangunan di Jawa

Kecenderungan terus meningkatnya kebutuhan akan lahan ini menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit untuk dihindari (Iqbal, 2007). Meningkatnya kebutuhan lahan

Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi Kondisi alih fungsi