• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH

MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI KABUPATEN SIMALUNGUN

T E S I S

Oleh

JAN ERICSON CHANDRA PURBA

077018010/EP

S

EK O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN TEH

MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI KABUPATEN SIMALUNGUN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JAN ERICSON CHANDRA PURBA

077018010/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN

PERKEBUNAN TEH MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Nama Mahasiswa : Jan Ericson Chandra Purba Nomor Pokok : 077018010

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Rahmanta, M.Si) (Drs. Tuana Simamora, MS) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 25 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Rahmanta, M.Si

Anggota : 1. Drs. Tuana Simamora, MS

2. Dr. Murni Daulay, M.Si

3. Drs.Rujiman, M.A

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.

Penelitian ini menggunakan data primer dengan media kuesioner dan data sekunder kurun waktu (time series) 6 tahun. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) pada =1%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan teh menurun rata-rata 61,55 Ton/ Ha/Tahun, penyerapan tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 725,67 HOK/Tahun dan produktivitas tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 1,09 Ton/Ha/Tahun. Harga teh dan jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Harga Teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.

(6)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the factors plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun North Sumatera Province.

The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and time series data with 6 years. The data obtained were analyzed through Ordinary Least Square (OLS) at = 1%.

The result of this study showed productivity of Tea plantation had decreased by average of 61,55 ton/ha/year, work force it’s accommodate had decreased by average 725.67 day-person/year, and it’s worker productivity had decreased by average 1.09 ton/ha/year. The Tea price and number of worker had a significantly negative effect, where as price of Full Fruit Bunch (FFB) had a significantly positive effect, on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation. The Tea and Full Fruit Bunch (FFB) prices, and number of worker alltogether had significantly effect on plant conversion of Tea Plantation into Palm Oil Plantation at PTPN IV Plantation Region of Simalungun.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat dan

rahmat serta pertolonganNya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai

dari perkuliahan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, sampai dengan penyusunan tesis ini dengan judul:

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun”.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak mungkin tesis

ini dapat terselesaikan.

Untuk itu perkenankan penulis memberikan penghargaan yang

setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta selaku Dosen

Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi

kesempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, MEc, selaku Sekretaris Program Studi

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si , selaku Ketua Komisi Pembimbing dengan penuh

kearifan, kesabaran dan perhatian telah berkenan memberikan bimbingan

(8)

5. Bapak Drs. Tuana Simamora, MS, selaku anggota pembimbing yang telah

memberikan tuntunan dan pengarahan dalam menyesaikan tesis ini

6. Bapak Drs.Rujiman, M.A, Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, selaku

Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi

kesempurnaan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Administrasi Program Studi Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Walikota Pematangsiantar yang telah memberikan izin melanjutkan

pendidikan.

9. Bapak Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar yang telah memberikan izin

melanjutkan pendidikan.

10.Bapak Camat Siantar Marimbun beserta seluruh rekan-rekan Pegawai di

Kecamatan Siantar Marimbun yang selalu tetap memberikan motivasi

dukungan dan doa didalam menjalankan perkuliahan.

11.Bapak Direksi PTPN IV beserta seluruh staf yang telah banyak memberikan

bantuan informasi dan data dalam penyusunan tesis ini.

12.Terima kasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada

Ayahanda St. Darwin Purba, S.Pd beserta Ibunda Helna Rosmia Saragih yang

senantiasa memberikan teladan, nasehat, doa, semangat dan bantuan moril

dan materil kepada penulis. Dan terima kasih yang mendalam penulis

sampaikan kepada Ibu mertua Rehngenana Tarigan atas doa dan perhatian

serta bantuan moril maupun materil mulai dari masa studi hingga penulisan

(9)

13.Teristimewa kepada Istriku tercinta Line Rista Saragih, SE serta buah hatiku

tersayang Leader Immanuel Purba yang dengan setia dan penuh pengertian

memberikan motivasi, dukungan doa mulai dari masa studi sampai penulisan

tesis ini.

14.Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Kakanda Asni M.Purba, Am.Keb, serta Adinda Rita A.Purba, Resti F. Purba

atas doa dan dorongan hingga selesainya tesis ini.

15.Teman-teman mahasiswa, khususnya angkatan XII Program Studi Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis

baik moril maupun materil.

Sebagai manusia yang tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan,

penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan

banyak kekurangan. Dalam rangka penyempurnaan tesis ini penulis mengharapkan

masukan dan kritik yang membangun dan dapat dikembangkan dalam penelitian

lebih lanjut. Kiranya Tuhan memberikan AnugerahNya kedapa semua pihak dan

memberkatinya.

Medan, Agustus 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Jan Ericson Chandra Purba

2. Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 25 Januari 1984

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Status : Kawin

5. Agama : Kristen Protestan

6. Pekerjaan : PNS (Pegawai Negeri Sipil)

7. Alamat : Jalan Handayani Gg. Bersama Kiri No. 05

Pematangsiantar

No. HP. 085361184884 8. PENDIDIKAN

a. SD : SD Swasta RK No. 3 Pematangsiantar (1990-1996)

b. SLTP : SLTP Negeri 7 Pematangsiantar (1996-1999)

c. SMU : SLTA Negeri 4 Pematangsiantar (1999-2002)

d. Strata.1 : Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri

(2002-2006)

e. Strata.2 : Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan

(11)

DAFTAR ISI

2.3.1.Keunggulan Kelapa Sawit... 19

2.3.2. Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia ... 20

2.3.3. Perkembangan Industri Kelapa Sawit ... 21

2.3.4. Industri Minyak Kelapa Sawit ... 22

2.3.5. Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit ... 22

2.4. Harga ... 24

2.4.1.Pengertian harga... 24

2.4.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Harga ... 25

2.4.3. Tujuan Penentuan Harga ... 27

2.5. Produktivitas ... 29

2.6. Landasan Teori dan Konsep Ekonomi ... 30

2.6.1.Teori Permintaan... 30

2.6.2. Fungsi Permintaan Pasar. ... 32

2.7. Tenaga kerja ... 35

2.8. Konversi Tanaman ... 37

2.9. Penelitian Sebelumnya ... 39

2.10. Kerangka Pikir ... 47

(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

4.1. Deskripsi Umum PTPN IV ... 54

4.2. Faktor yang Mempengaruhi Konversi Tanaman Teh Menjadi Kelapa Sawit PTPN IV Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun ... 57

4.3. Identifikasi Konversi Lahan Tanaman Teh Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Produktivitas Teh dan Tenaga Kerja Divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi di PTPN IV Kabupaten Simalungun ... 62

4.3.1. Luas Areal Perkebunan Teh Alih Fungsi ... 62

4.3.2. Tenaga Kerja dalam Rangka Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit ... 64

4.3.3. Produktivitas Tenaga Kerja Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit... 66

4.3.4. Produktivitas Tanaman Perkebunan Teh yang dialih fungsikan menjadi Kelapa Sawit... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 70

5.1. Kesimpulan ... 70

5.2. Saran... 70

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 4

1.2. Perkembangan luas areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 5

1.3. Perkembangan hasil penjualan ekspor Teh Indonesia Tahun 2003-2007 (Ton) ... 6

1.4. Perkembangan produksi Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 8

1.5 Perkembangan luas areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 8

1.6. Perkembangan produksi Teh di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007 ... 11

1.7 Perkembangan luas areal Teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun

1999-2005... 12

1.8. Perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun Tahun

2003-2007 ... 12

1.9. Perkembangan luas areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun

2003-2007... 13

4.1. Hasil analisis regresi faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV divisi Bah Birong Ulu dan Marjandi Kabupaten Simalungun, Tahun 2000 – 2005... 58

4.2. Luas areal alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi Kelapa

Sawit di PTPN IV ... 62

4.3 Jumlah tenaga kerja akibat alih fungsi tanaman perkebunan Teh menjadi

Kelapa Sawit ... 64

4.4. Produktivitas tenaga kerja perkebunan Teh yang dialihfungsikan menjadi

Kelapa Sawit ... 66

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Tujuan Penetapan Harga ... 28

2.2. Kerangka Pikir Penelitian ... 47

4.1. Struktur Organisasi PTPN IV ... 57

4.2 Luas Areal Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Kelapa Sawit di PTPN IV Tahun 2000-2005 (Ha/Tahun) ... 63

4.3. Jumlah Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh Menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (HOK/Tahun) ... 66

4.4. Produktivitas Tenaga Kerja Alih Fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit Tahun 2000-2005 (Ton/Ha/Tahun)... 67

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner penelitian ... 77

2. Uji regresi harga Teh,TBS dan tenaga kerja ... 80

3. Uji multikolinieritas ... 81

4. Uji heterokedasitas ... 82

5. Uji normalitas ... 85

6. Uji autokorelasi ... 88

7. Master data ... 91

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Teh (Camellia sinensis) merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia

yang dikenal masyarakat sejak zaman Hindia Belanda (tahun 1860). Melalui sejarah

yang panjang, perkebunan teh dibudidayakan dan dikelola oleh perusahaan negara,

perusahaan swasta, maupun perkebunan rakyat.

Industri teh saat ini sedang menghadapi berbagai masalah, antara lain

terjadinya over production nasional maupun dunia dan di sisi lain tingkat konsumsi

teh masyarakat masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk

mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantages) menjadi

keunggulan kompetitif (competitive advantages), dengan mengembangkan subsistem

agribisnis hulu secara sinergi dengan pengembangan subsistem agribisnis hilir dan

membangun jaringan pemasaran domestik maupun internasional, yang digerakkan

oleh kekuatan inovasi (innovation driven) (Tampubolon, 2002).

Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam

perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk

Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas).

Komoditi ini juga menyumbang devisa sebesar 110 juta dollar AS setiap tahunnya

(17)

Selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan pengembangan agroindustri,

perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang mampu menyerap tenaga

kerja dalam jumlah yang besar. Rasio perbandingan tenaga kerja dengan luas

lahannya 0,75. Karena itu perkebunan teh digolongkan sebagai industri padat karya

(www.pkps.org). Tahun 1999 industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan

menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa (Suprihatini, 2000).

Potensi pengembangan komoditi teh Indonesia sangat besar. Produksi teh

yang tinggi menempatkan Indonesia pada urutan kelima sebagai negara produsen teh

curah, setelah India, Cina, Sri Lanka dan Kenya. Indonesia juga menduduki posisi

kelima sebagai negara eksportir teh curah terbesar dari segi volume setelah Sri Lanka,

Kenya, Cina dan India (Suprihatini, 2000).

Meskipun potensi yang dimiliki cukup besar, sama halnya dengan ekspor

produk pertanian Indonesia lainnya ke pasar internasional, komoditi teh juga

menghadapi persoalan klasik yang selalu berulang. Setumpuk permasalahan seperti

penurunan volume, nilai, pangsa pasar ekspor dan rendahnya harga teh Indonesia

memberikan dampak buruk pada perkembangan industri teh. Kondisi ini membuat

usaha perkebunan teh rakyat semakin terpuruk. Para petani harus menjual teh dengan

harga Rp 400 – Rp 500 per kilogram sementara biaya perawatan teh mencapai Rp

700 per kg. Petani merugi dari tahun ke tahun (Kompas, 20 Desember 2004).

Di satu sisi komoditi teh mampu menjadi sumber pendapatan bagi negara dan

masyarakat Indonesia, namun di sisi lain dengan permasalahan-permasalahan yang

(18)

industri ini secara pelan-pelan. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk

membantu para petani/buruh teh menemukan jalan keluar dari keterpurukan ini.

Berikut ini dijelaskan secara lebih mendetail bagaimana profil bisnis komoditi

teh di Indonesia. Pangsa pasar teh Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan

beberapa pasar utama teh yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara

produsen teh lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah

Pakistan, Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika Serikat, Singapura,

Malaysia, Siria, Taiwan, Mesir, Maroko, dan Australia (Suprihatini, 2000).

Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar dari 5,4% di tahun 1997

menjadi 3,9 % pada tahun 2001. Dari data penguasaan pangsa nilai ekspor seluruh

jenis teh, pada tahun 2001 Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar pada

urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9%), Cina (17,1%), Sri Lanka (15,2%),

Kenya (7,9%), Inggris (7,9%) dan Uni Emirat Arab (4%). (Business Outlook,

Komoditi Teh Indonesia, 15 Januari 2008).

Penjualan komoditi teh Indonesia sangat bergantung pada ekspor. Enam puluh

lima persen (65%) produksi teh Indonesia ditujukan pada pasar ekspor. Kondisi ini

tidak lepas dari peran dan kebijakan pemerintah yang ingin menggalakkan

penerimaan devisa dengan mendorong produsen untuk berorientasi pada ekspor

(Bisnis Indonesia, 3 Desember 2004).

Ketergantungan ini menimbulkan implikasi yang buruk pada perkembangan

teh di Indonesia. Harga teh di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan

(19)

maka, harga teh Indonesia akan merosot drastis. Akibatnya, banyak petani yang

mengalami kerugian karena menjual teh dengan harga di bawah biaya perawatan

akhirnya menjual tanah perkebunan tehnya atau mengkonversi menjadi perkebunan

kelapa sawit, sayuran dan lain-lain karena mengalami kerugian besar dalam

pembudidayaannya. Harga teh yang terus merosot setiap tahun menyebabkan para

petani harus menanggung biaya perawatan dan budidaya tanaman tehnya.

Pembangunan agribisnis perkebunan yang telah berganti arah dari penekanan

produksi kepada permintaan pasar atau konsumen yang merupakan konsekuensi logis

dari terjadinya globalisasi perdagangan yang menimbulkan dampak hyper

competition di antara negara-negara produsen teh.

Pembangunan perkebunan dengan pendekatan sistem agribisnis yang

berorientasi pasar pada dasarnya bertitik tolak pada pasar sebagai penggerak utama

pengembangannya yaitu mempertemukan kebutuhan pelanggan atau permintaan

pasar dengan pasokan yang tersedia, baik pasar lokal (domestik) maupun ekspor.

Untuk melihat perkembangan produksi disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)

2003 143.604 -

2004 142.548 -0,74

2005 139.121 -2,40

2006 135.590 -2,54

2007 132.533 -2,25

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.1. menunjukkan, perkembangan produksi mengalami fluktuasi

(20)

tahun 2007. Dari total produksi teh Indonesia tersebut, kontribusi terbesar (66,99

persen) berasal dari Provinsi Jawa Barat dan sisanya dari Sumatera.

Selanjutnya Perkembangan Luas areal Teh di Indonesia, seperti disajikan pada

Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)

2003 169.821 -

2004 165.951 -2,28

2005 166.091 0,80

2006 146.858 -11,58

2007 137.248 6,54

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.2. menunjukkan, perkembangan luas lahan mengalami fluktuasi

penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun

2007 kecuali pada tahun 2005.

Hasil produksi yang dicapai, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga

diekspor ke berbagai negara. Kondisi pasar ekspor yang selama ini menjadi target

pasar utama sangat sulit ditingkatkan, karena posisi Indonesia hanya sebagai pengikut

pasar (market follower) dengan pangsa pasar hanya 6 persen. Hasil ekspor terbesar

diraih oleh Sri Lanka 21 persen, disusul oleh Kenya 19 persen, China 19 persen, India

12 persen, dan sisanya negara lainnya seperti Afrika 5 persen, Argentina 4 persen,

(21)

Untuk melihat perkembangan hasil penjualan ekspor teh Indonesia disajikan

pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3. Perkembangan Hasil Penjualan Ekspor Teh Indonesia Tahun 2003-2007 (Ton)

Tahun Volume Ekspor % (Naik/Turun)

2003 97.847 -

2004 105.581 7,90

2005 99.721 -5,55

2006 100.185 0,47

2007 88.175 -11,99

Sumber ITC (International Tea Committee), Tahun 2008

Tabel 1.3. menunjukkan, perkembangan volume ekspor mengalami fluktuasi

penurunan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun

2007 kecuali pada tahun 2004 dan 2006.

Sesuai dengan informasi dari Asosiasi Teh Indonesia (ATI) bahwa penurunan

volume ekspor teh Indonesia setiap tahun sekitar lima persen penurunan tersebut

disebabkan penurunan mutu teh dalam negeri, salah satu penyebabnya adalah harga

teh yang rendah menyebabkan petani tidak bisa membeli pupuk sehingga mutu teh

terus menurun. Dampak dari penurunan ekspor tersebut posisi Indonesia melorot dari

posisi lima ke enam untuk eksportir the. Produsen teh terbesar dunia saat ini adalah

India, Cina, Srilangka, Kenya dan Indonesia. Indonesia hanya menguasai enam

persen pangsa pasar teh dunia. Posisi pertama ditempati Srilangka dan Kenya dengan

pangsa masing-masing pasar 20 persen, Cina 18 persen, India 13 persen dan Vietnam

enam persen. Pangsa teh terbesar Indonesia adalah Rusia sebesar 17 persen dan Eropa

(22)

mengalami kerugian. Akibatnya PT Perkebunan Nusantara IV di Medan, Sumatera

Utara, membongkar 4.000 hektar kebun teh dan menggantinya dengan kelapa sawit.

Dampaknya produksi teh tidak mengalami peningkatan. (Tempo, 18 Agustus 2008).

Berkaitan dengan data diatas maka dalam penelitian ini perlu diketahui

penyebab pembongkaran tanaman teh PT Perkebunan Nusantara IV dengan notabene

PT Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu pengelola perkebunan teh di

Sumatera Utara dengan lokasi perkebunan di Kabupaten Simalungun. Selanjutnya

dalam hal ini informasi tentang perkembangan tanaman kelapa sawit perlu diuraikan.

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tumbuhan tropis

berasal dari Afrika Barat, tergolong kedalam famili Palmae, sub famili Cocoideae,

dibawa oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles sebagai koleksi

sekaligus tanaman hias pada kebun raya Bogor, tahun 1848 Kelapa sawit untuk

pertama sekali ditanam secara komersial didalam ukuran perkebunan di Propinsi

Sumatera Utara, yaitu pada tahun 1911. Sebelumnya telah dilakukan beberapa

percobaan penanaman di Muara Enim - 1869, Musi Hulu - 1870, dan Bitung - 1880.

Pada tahun 1939 Indonesia telah menjadi produsen sekaligus eksportir minyak sawit

terbesar didunia (Lubis, 1992).

Adapun perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia dapat disajikan pada

(23)

Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)

2003 9.622.344 -

2004 10.440.834 8,51

2005 10.830.389 3,73

2006 11.861.615 9,52

2007 13.390.807 12,89

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.4. menunjukkan, perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun

2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 megalami kenaikan produksi

sebesar 12,89%.

Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal

kelapa sawit Indonesia disajikan pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun

2007 6.074.926 11,39

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.5. menunjukkan, perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia

terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir dari tahun

2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 mengalami kenaikan luas areal

sebesar 11,39%.

Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa

(24)

dekade terakhir. Pada era tahun 1980 an sampai dengan pertengahan tahun 1990an,

industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal

meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal,

produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor

juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat

Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Laju yang demikian pesat menandai era

di mana kelapa sawit merupakan salah satu primadona pada sub-sektor perkebunan.

Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju

pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber

pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat

perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang

menyebutkan bahwa pasar minyak kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat

semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada

bisnis kelapa sawit.

Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup

cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang

mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi

dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO

merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap

minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004;

Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk

pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200,

(25)

penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan

konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya

murah (FAO, 2001). Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga

disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi

berpangkal dari daya saing CPO yang tinggi sehingga penduduk di negara

berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang

lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan ekonomi yang

pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi

minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).

Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah

terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi

kebahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan

bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan

tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat,

dan Jepang. Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO.

Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama

ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya

Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut

menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi

sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang

umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan

perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal

(26)

berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12% (Pasquali, 1995). Seperti

kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk diprediksi

dengan akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang

perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga

yang dilakukan lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen tersebut, harga CPO

sampai dengan 2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US$

350-450/ton (FAO, 2003; Susila 2004).

Menurut data Statistik Indonesia tahun 2008, terdapat 143 perusahaan

perkebunan di Indonesia pada tahun 2007 baik yang dikelola oleh swasta maupun

BUMN, salah satu diantaranya adalah PTPN IV di Kabupaten Simalungun meliputi

perkebunan teh Divisi Bah Birong Ulu dan Divisi Marjandi. Berdasarkan survey

pendahuluan data luas lahan dan produksi teh dan Kelapa Sawit di Kabupaten

Simalungun dapat dilihat pada Tabel 1.6. berikut:

Tabel 1.6. Perkembangan Produksi Teh di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007

Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)

2003 17.132 -

2004 18.158 5,99

2005 17.799 -1,98

2006 16.952 -4,76

2007 16.467 -2,86

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.6. menunjukkan, perkembangan produksi teh di Kabupaten

Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu 5 tahun

terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2006 mengalami

(27)

Perkembangan luas areal juga mengalami penurunan, adapun data luas areal

Teh di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.7.

Tabel 1.7. Perkembangan Luas Areal Teh di PTPN IV Kabupaten Simalungun 1999-2005

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2008

Tabel 1.7. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan teh di PTPN

IV Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi penurunan selama kurun waktu

6 tahun terakhir dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, dimana tahun 2005

mengalami penurunan luas areal yang terbesar -8,93%.

Tabel 1.8. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun Tahun 2003-2007

Tahun Produksi (Ton) % (Naik/Turun)

2003 1.458.949 -

2004 1.511.053 3,57

2005 1.554.347 2,87

2006 1.618.866 4,15

2007 1.693.385 4,60

Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008

Tabel 1.8. menunjukkan, perkembangan produksi Kelapa Sawit di Kabupaten

(28)

dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2007 mengalami kenaikan

produksi terbesar 4,60%.

Perkembangan luas areal juga mengalami kenaikan, adapun data luas areal

Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel 1.9.

Tabel 1.9. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun 2003-2007

Tahun Luas (ha) % (Naik/Turun)

2003 91.161 -

2004 94.866 4,06

2005 98.576 3,91

2006 99.291 0,73

2007 101.006 1,73

Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 2008

Tabel 1.9. menunjukkan, perkembangan luas areal perkebunan Kelapa Sawit

di Kabupaten Simalungun terus mengalami fluktuasi kenaikan selama kurun waktu 5

tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dimana tahun 2004

mengalami kenaikan luas areal yang terbesar 4,06%.

Dilatar belakangi oleh permasalahan yang tergambar pada penjelasan diatas

dan perlunya mengetahui penyebab utama dalam alih fungsi (konbersi) tanaman

Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit penulis merasa tertarik untuk

menganalisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi Lahan Tanaman

(29)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka sebagai perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh harga Teh terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh

menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

2. Bagaimana pengaruh harga TBS terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Teh

menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

3. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap alih fungsi (konversi) tanaman

Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

4. Bagaimana dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi Kelapa Sawit

meliputi penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh.

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka sebagai tujuan penelitian

adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh harga teh terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman

Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui pengaruh harga TBS terhadap Alih fungsi (konversi) Tanaman

Perkebunan Teh menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap Alih fungsi (konversi)

(30)

4. Untuk mengetahui dampak alih fungsi (konversi) tanaman Teh menjadi tanaman

Kelapa Sawit terhadap penyerapan tenaga kerja dan produktivitas teh di

Kabupaten Simalungun.

1.4.Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan bermanfaat :

1. Sebagai informasi dasar bagi para peneliti dan pengambil kebijakan untuk

melakukan penelaahan lebih jauh atau sebagai dasar penetapan kebijakan lanjutan

dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada.

2. Sebagai masukan bagi pihak PTPN IV Kabupaten Simalungun dalam mengambil

keputusan mengenai alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan.

3. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang

berminat meneliti tentang Alih fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh menjadi

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Teh

Tanaman teh termasuk genus Camellia yang memiliki sekitar 82 species,

terutama tersebar di kawasan Asia Tenggara pada garis lintang 30° sebelah utara

maupun selatan khatulistiwa. Selain tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze)

yang dikonsumsi sebagai minuman penyegar, genus Cammelia ini juga mencakup

banyak jenis tanaman hias. Kebiasaan minum teh diduga berasal dari China yang

kemudian berkembang ke Jepang dan juga Eropa.

Tanaman teh berasal dari wilayah perbatasan negara-negara China selatan

(Yunan), Laos Barat Laut, Muangthai Utara, Burma Timur dan India Timur Laut,

yang merupakan vegetasi hutan daerah peralihan tropis dan subtropis. Tanaman teh

pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh dari jepang yang dibawa

oleh seorang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di

Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn melaporkan melihat

perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral

Champhuys di Jakarta. Pada tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam melengkapi

Kebun Raya Bogor, dan pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut,

Jawa Barat.

Berhasilnya penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan

di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian

(32)

dari Jawa tercatat pertama kali diterima di Amsterdam tahun 1835. Teh jenis Assam

mulai masuk ke Indonesia (Jawa) dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877, dan

ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung, Jawa Barat.

Dengan masuknya teh Assam tersebut ke Indonesia, secara berangsur tanaman

teh China diganti dengan teh Assam, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia

berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh di daerah

Simalungun, Sumatera Utara (http://www.pn8.co.id).

2.2 Manfaat Teh bagi Kesehatan

Minum teh ternyata tak hanya menyegarkan. Para ahli terus melakukan

penelitian tentang manfaat teh, khususnya terhadap kesehatan.

Teh hijau, misalnya diketahui memiliki antioksidan alami yang disebut polyphenol,

yang dapat membantu menghalangi pertumbuhan sel kanker kulit. Selain itu,

pengaruh antioksidan tersebut membantu liver berfungsi lebih efektif, sehingga teh

hijau juga dapat membantu mempercepat tingkat metabalisme.

Manfaat lain yang terus diteliti adalah kaitannya dengan mencegah penyakit

jantung. Seperti diketahui, pengaruh ontioksidan juga dapat membantu mencegah

oksidasi kolesterol LDL dalam arteri sehingga membantu menurunkan kadar

kolesterol LDL.

Bagi penderita diabetes, kandungan polyphenol juga bermanfat untuk

membantu menurunkan tingkat gula darah. Seperti diketahui, tingginya glukosa dan

(33)

Bahkan teh hijau juga diduga memiliki manfaat terhadap kanker. Sebuah

percobaan sekitar 20 tahun yang lalu membuka wacana tentang hal ini dan meski

masih banyak perdebatan namun konsumsi teh hijau kerap diasosiasikan dengan

pengurangan risiko berbagai penyakit kanker (http://www.depkes.go.id).

2.3 Sejarah Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah

Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari

Mauritius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara

komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet

(orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai

lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa

sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal

perkebunan mencapai 5.123 Ha.

Pada tahun 1919 mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun

1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan

Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi

ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan

kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan

(34)

Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948 / 1949, pada hal pada tahun

1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia,

pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk

mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap

jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh

Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan

manejemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri

yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi

Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan

dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan

baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha

dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan

perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat.

Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program

Perusahaan. (http://id.wikipedia.org).

2.3.1 Keunggulan Kelapa Sawit

Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman

penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedele, kacang tanah dan lain-lain),

(35)

Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang (25 tahun) juga akan turut

mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa

sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit

dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi

per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/tahun setiap

orangnya, kebutuhan ini akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk

dan meningkatnya konsumsi per kapita.

Supply sawit di dunia saat ini sangat terbatas, karena kelapa sawit hanya dapat

dibudidayakan di daerah katuilistiwa dan diperkirakan hanya 2% dari belahan lahan

di dunia. Daerah ideal bagi perkebunan kelapa sawit adalah Malaysia dan Indonesia,

akibatnya, proses produksi kelapa sawit belum mencukupi konsumsi dunia.

(http://www.depperin.go.id).

2.3.2 Peranan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian Indonesia

Dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit (dalam hal ini minyaknya)

mempunyai peran yang cukup strategis, karena :

1. Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan

yang kontiniu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng tersebut. Ini

penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok

kebutuhan masyarakat sehinga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan

(36)

2. Sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini

mempunyai prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun

pajak.

3. Dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan

kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sampai pertengahan tahun 1970 an minyak kelapa merupakan pemasok utama

dalam kebutuhan minyak nabati dalam negeri. Baik minyak goreng maupun industri

pangan lainnya lebih banyak menggunakan minyak kelapa dari pada minyak sawit.

Produksi kelapa yang cenderung menurun selam 20 tahun terakhir ini menyebabkan

pasokannya tidak terjamin, sehingga timbul krisis minyak kelapa pada awal tahun

1970. Di sisi lain, produksi minyak kelapa sawit cenderung meningkat sehingga

kedudukan minyak kelapa digantikan oleh kelapa sawit, terutama dalam industri

minyak goreng. Dari segi perolehan devisa, selama beberapa tahun terkhir ini

kondisinya kurang baik. Volume ekspor selama dekade terakhir ini memang selalu

meningkat, akan tetapi peningkatannya tidak selalu diikuti oleh peningkatan dalam

nilainya. Hal ini terjdi karena adanya fluktuasi harga di pasaran Internasional.

(http://www.depperin.go.id).

2.3.3 Perkembangan Industri Kelapa Sawit

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit

merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber

(37)

kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong

pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.

Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas

dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama

kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk

pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIRBun dan dalam pembukaan

wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. (http://www.depperin.go.id).

2.3.4 Industri Minyak Kelapa Sawit

Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua

aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak,

kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma

dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special

Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada

saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5

% FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen

minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 %

(terendah). (http://www.depperin.go.id).

2.3.5 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti: pertama,

benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu

(38)

yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium.

Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu

diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB,

air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan.

Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku

industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu

keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih

Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak

faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya,

penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemprosesan dan pengangkutan. Dari

beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit tersebut,

didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :

a) Crude Palm Oil

b) Crude Palm Stearin

c) RBD Palm Oil

d) RBD Olein

e) RBD Stearin

f) Palm Kernel Oil

g) Palm Kernel Fatty Acid

h) Palm Kernel

i) Palm Kernel Expeller (PKE)

(39)

k) Refined Palm Oil (RPO)

l) Refined Bleached Deodorised Olein (ROL)

m) Refined Bleached Deodorised Stearin (RPS)

n) Palm Kernel Pellet

o) Palm Kernel Shell Charcoal (http://www.depperin.go.id).

2.4 Harga

2.4.1 Pengertian harga

Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran

suatu produk Dalam menjalankan suatu perusahaan, pimpinan perusahaan harus jeli

untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan jalannya

kegiatan operasional perusahaan. Kesalahan dalam peengambilan keputusan dalam

suatu perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap perusahaan itu sendiri.

Mengenai istilah harga banyak sekali pendapat para ahli yang saling berbeda,

diantaranya pengertian harga menurut :

1. Swastha. B dan Irawan (2000) : “Harga adalah jumlah uang ditambah (beberapa

produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi

dari produk dan pelayanannya”.

2. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) : “Harga merupakan sesuatu yang diserahkan

(40)

3. Kotler dan Amstrong (1997) : harga adalah jumlah uang yang ditagihkan untuk

suatu produk atau jasa, jumlah nilai yang ditukarkan konsumen untuk mamfaat

memiliki atau menggunakan produk atau jasa”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga adalah suatu jumlah uang

yang oleh konsumen dijadikan alat untuk memperoleh produk yang dijual perusahaan

dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harga juga menyatakan ukuran uang

dalam jumlah tertentu yang dibayar oleh konsumen atau pelanggan dalam rangka

mendapatkan produk tertentu yang mereka inginkan. Harga ditetapkan oleh suatu

perusahaan setelah produk dihasilkan dan memiliki nilai untuk dijual kepada

konsumen. Dengan adanya harga maka konsumen dapat memberikan sejumlah nilai

dari uang agar mereka dapat memperoleh produk yang dihasilkan perusahaan untuk

kemudian dikonsumsi oleh mereka.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Harga

Kebijakasanan harga tidak dapat didasarkan hanya oleh adanya faktor didalam

perusahaan atau kebijaksanaan pimpinan semata, tetapi banyak dipengaruhi berbagai

factor untuk menetapkan tingkat harga jual kepada pasar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga antara lain seperti Kotler dan Amstrong

(2000), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga didasarkan pada faktor

intern perusahaan dan faktor eksternal perusahaan. Adapun faktor-faktor diatas yaitu :

(41)

a) Sasaran pemasaran

b) Strategi bauran pemasaran

c) Biaya

d) Pertimbangan organisasi

2. Faktor eksternal

a) Elastisitas permintaan

b) Kondisi perekonomian

c) Persaingan

d) Permintaan dan Penawaran

e) Pengawasan pemerintah

Dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan harga jual maka

dapat disimpulkan secara singkat mengenai situasi yang mempengaruhi harga jual.

Situasi tersebut terdiri dari tiga (3) faktor yang merupakan ringkasan dari

faktor-faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan harga (Mas ud , 1998), yaitu :

1. Laba dan tujuan-tujuan lain

Faktor-faktor lain selain pasar dan biaya bisa dimasukkan dalam faktor ketiga ini.

2. Situasi pasar

Disini meliputi konsumen. sifat produk, sifat pasar dan sebagainya.

3. Biaya produksi dan operasi

Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membuat barang atau produk dan

(42)

2.4.3 Tujuan Penentuan Harga

Untuk memudahkan suatu perusahaan dalam memasarkan produk yang

dihasilkan maka terlebih dahulu harus ditetapkan harga jual dari produk tersebut. Ada

beberapa tujuan dilakukannya penetapan harga jual terhadap suatu produk.

Hal ini seperti dikemukan oleh lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) menyatakan

tujuan-tujuan dari penetapan harga jual terhadap suatu produk :

1. Penetapan harga mark-up

Menurut Basu Swasta dan Irawan (2000) mendefenisikan penetapan harga

mark-up sebagai berikut :

“ Mark-Up merupakan jumlah rupiah yang ditambahkan pada biaya dari suatu

produk untuk menghasilkan harga jual”.

Keuntungan terbesar dari harga mark-up ini adalah kesederhanaannya.

Kelemahan utamanya adalah mengakibatkan permintaan dan mungkin menghasilkan

harga barang dagangan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.

2. Profit Maximization

Metode profit maximization ini dilakukan ketika pendapatan marjinal sama

dengan biaya marjinal. Lamb, Hair, Mc. Daniel (2001) mendefenisikan pendapatan

marjinal yaitu:

“Pendapatan ekstra yang berhubungan dengan penjualan suatu unit ekstra dari out

(43)

3. Penetapan harga titik impas

Perusahaan akan berusaha menetapkan harga yang mencapai titik impas

menghasilkan laba sasaran yang dicarinya. Metode penetapan ini biasanya digunakan

oleh penggelola sarana umum, yang tidak boleh melakukan pengembalian yang wajar

atas investasi mereka.

Mc Carthy dan Perreault (1995) menjelaskan tujuan penetapan harga dalam

gambar berikut :

Berorientasi laba Target laba

Memaksimumkan laba

Pertumbuhan penjualan

Pertumbuhan pangsa pasar

Menghadapi persaingan Berorientasi

penjualan

Status Quo

Persaingan bukan harga

Tujuan Penjualan

Target laba

Gambar 2.1. Tujuan Penetapan Harga

(44)

Berdasarkan kutipan diatas maka dapat dikemukan bahwa ada tiga tujuan

penetapan haga jual yaitu :

1. Tujuan berorientasi laba

2. Tujuan berorientasi penjualan

3. Tujuan penetapan harga status quo

2.5 Produktivitas

Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit

sumberdaya (input) yang digunakan. Tingkat produktivitas berarti sejumlah output

dari sumberdaya yang digunakan, dengan pilihan sejumah tenaga kerja, material dan

beberapa kombinasi sumberdaya yang mungkin. Produktivitas mengukur

kemungkinan variasi yang menyangkut kedua aspek baik output maupun input yang

digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja, produktivitas

kapital dan lain-lain (Sudarsono, 1995).

Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran

efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap

input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya

tingkat produktivitas, misalnya produktivitas lahan. Produktivitas mengacu pada

kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode

(45)

2.6 Landasan Teori dan Konsep Ekonomi 2.6.1 Teori Permintaan

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) “Permintaan adalah sejumlah barang

atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode tertentu berdasarkan situasi dan

kondisi tertentu” sedangkan permintaan terhadap suatu produk merupakan faktor

penting pertama didalam menentukan profitabilitas usaha. Seefisien apapun

manajemen dalam sebuah perusahaan serta seterampil apapun pengelola perusahaan

tersebut, tidak akan memperoleh keuntungan kecuali produk yang dihasilkannya

memiliki permintaan yang baik (pangsa pasar).

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) terdapat dua model dasar untuk

permintaan yaitu permintaan langsung dikenal sebagai teori perilaku konsumen

terkait dengan permintaan langsung untuk produk barang dan jasa sebagai konsumsi

pribadi. Kemudian permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai

input didalam pembuatan barang dan jasa diminta atau distribusi dari produk lainnya.

Sedangkan fungsi permintaan adalah hubungan diantara jumlah barang diminta (Q)

dan variabel yang mempengaruhinya dimana kurva permintaan adalah hubungan

yang menunjukkan diantara jumlah barang dan harga barang diminta hal ini dapat

dijelaskan dalam model matematis dibawah ini :

Qx = f (Px) ………. (1) atau...

Qx = a – Px …….. (2)

Jikalau diberikan asumsi variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka

(46)

Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan suatu barang,

adalah :

1. Harga barang yang diminta (the price of goods. X = Px). Permintaan merupakan

fungsi dari harga suatu barang ditawarkan. Dimana jika harga dari barang tersebut

naik, maka permintaan terhadap barang tersebut menjadi turun.

2. Harga barang lain ( the price of related goods or services = Pr ).

Dengan kondisi di syaratkan :

a. Hubungan barang substitusi, yaitu pengaruh harga substitusi terhadap

barang tersebut. Dimana jika terjadi kenaikan harga barang pokok maka

permintaan terhadap barang substitusi akan naik, hal ini disebabkan

harga barang substitusi lebih mahal dari barang pokok.

b Hubungan barang komplementer. Apabila harga barang komplementer

turun maka jumlah permintaan terhadap barang komplementer akan naik

sehingga berakibat permintaan terhadap barang pokok juga naik.

3. Faktor lain, yang terkait dengan permintaan terhadap suatu barang antara lain,

kebijakan Pemerintah, iklim / cuaca, tingkat pendapatan, selera dan lainnya.

Dari faktor diatas maka permintaan atas suatu barang dan jasa oleh Pappas dan

Hirschey (1995) dirumuskan dengan model permintaan linier sebagai berikut :

Qdx = F ( Px - Pr + O) ………. ( 3 ) dimana notasinya adalah,

Qdx = kuantitas permintaan atas suatu barang.

(47)

Px = harga barang tersebut.

O = faktor spesifik lainnya.

Selanjutnya dapat diberikan penjelasan bahwa permintaan terhadap suatu

barang sangat dipengaruhi oleh banyak variabel. Masing-masing variabel akan

memberi pengaruh yang berbeda-beda terhadap permintaan suatu barang atau jasa.

Variabel harga produk turunan memiliki pengaruh negatip terhadap permintaan

konsumen sedang harga barang lainnya (substitusi) memberi pengaruh yang positip.

2.6.2 Fungsi Permintaan Pasar

Arsyad (2000) menyampaikan tentang, fungsi permintaan pasar atas suatu

produk, yaitu hubungan yang menjelaskan diantara jumlah produk yang diminta

dengan semua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi permintaan tersebut, atau

hubungan dari berbagai variabel penentu atas permintaan itu. Arsyad (2000),

kemudian memisah variabel tertentu menjadi berbagai jenis atas sifat variabel yaitu :

Variabel strategis : Harga dari barang bersangkutan.

Variabel pesaing : Harga barang substitusi, harga barang komplementer

dan saluran distribusi serta iklan.

Variabel konsumen : Selera konsumen, tingkat pendapatan, harapan

konsumen, kualitas serta rancang bangun barang.

Variabel pelengkap : Kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan cuaca.

(48)

jumlah permintaan atas suatu barang dipasar sehingga atas komponen tersebut dapat

dibentuk menjadi fungsi permintaan linear yaitu sebagai berikut :

Qx = a + Px + Py + dm + ...… dimana,

Qx = jumlah atas barang x yang diminta.

Px = harga barang x sendiri.

Py = harga barang lain.

dm = tingkat pendapatan.

a = konstanta

= error term.

Sedangkan kurva permintaan akan suatu produk biasanya dilukiskan dengan

menggunakan sebuah grafik dan semua variabel independent didalam fungsi

permintaan tersebut (kecuali harga produk tersebut) dianggap tetap sehingga kurva

permintaan berbentuk lekuk negatip dari kiri atas menuju kanan bawah, sedangkan

perubahan atas jumlah permintaan akibat perubahan harga (kombinasi permintaan)

dinotasikan kedalam titik-titik yang kemudian membentuk garis permintaan.

Arsyad (2000) menjelaskan perihal elastisitas permintaan yaitu menunjukkan

tanggapan dari variabel tidak bebas (jumlah barang yang diminta) oleh karena adanya

perubahan pada variabel bebas tertentu (variabel strategis, variabel pesaing, variabel

konsumen dan variabel lainnya). Besarnya koefisien elastisitas ditunjukkan dari

prosentase perubahan jumlah permintaan suatu barang dibagikan prosentase

(49)

koefisien elastisitas dari variabel harga dapat menjelaskan jenis elatisitas barang

tersebut, apakah barang elastis, unitary elastis atau in elastis didefinisikan :

1. Elastis (Ed > 1) yaitu sedikit saja turunnya harga telah menyebabkan

banyak peningkatan permintaan dan sebaliknya (kurva landai).

2. Unitary elastis (Ed = 1). Dimana perubahan harga memberi pengaruh yang

sebanding kepada jumlah permintaan (kurva normal ).

3. In elastis (Ed < 1) yaitu , jikalau banyak terjadi penurunan harga, tetapi

permintaan hanya terpengaruh naik sedikit saja dan sebaliknya (kurva curam).

Kemudian elastisitas pendapatan maksudnya adalah prosentase perubahan

dalam jumlah barang yang diminta dibagi dengan prosentase perubahan dalam

penghasilan. Maka dengan mengetahui besarnya koefisien elasitisitas dari pendapatan

telah dapat dikelompokan atas jenis barang tersebut apakah barang inferior, barang

pokok atau barang mewah. Dimana didefinisikan sebagai berikut:

1. Barang inferior (Ey < 0) bermakna jika pendapatan naik mengakibatkan jumlah

barang yang diminta akan turun dan berlaku sebaliknya.

2. Barang pokok (0 < Ey < 1) berarti jika penghasilan meningkat menyebabkan

jumlah barang yang diminta naik dalam prosentase yang kecil.

3. Barang mewah (1 < Ey) berarti jika penghasilan meningkat menyebabkan

(50)

2.7 Tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan resources, tepatnya human resources atau sumber

daya manusia yang berperan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Peranan

tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi sangat besar terhadap perkembangan

ekonomi, demikian pula pada sektor industri yang banyak berorientasi kepada sektor

padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Suryana (2000) penduduk dapat berperan sebagai sumber tenaga kerja, tenaga

ahli, pimpinan perusahaan, dan tenaga usahawan yang diperlukan untuk memimpin

dan menciptakan kegiatan pembangunan ekonomi. Dengan demikian penduduk

bukan merupakan salah satu faktor produksi saja, tetapi juga yang paling penting

merupakan sumber daya yang menciptakan dan mengembangkan teknologi serta yang

mengorganisir penggunaan berbagai faktor produksi.

Selanjutnya Simanjuntak (1998) menyatakan tenaga kerja dan bukan tenaga

kerja dibedakan hanya oleh batas umur. Tiap-tiap negara memberikan batasan umur

berbeda. Misalnya, India menggunakan batasan umur 14 sampai 60 tahun. Jadi tenaga

kerja adalah penduduk yang berumur antara 14 sampai 60 tahun. Sedangkan orang

yang berumur dibawah 14 tahun atau diatas 60 tahun digolongkan sebagai bukan

tenaga kerja.

Sukirno (2000), bahwa golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan

(51)

tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii) penduduk muda

dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah

atau universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan

tidak mau bekerja lagi, (iv) pengangguran sukarela-yaitu golongan penduduk dalam

lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan.

Pengertian tenaga kerja dalam (www.nakertrans.go.id) adalah: Setiap orang

yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja

guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (UU

Pokok Ketenagakerjaan No, 14 Tahun 1969). Dalam hubungan ini maka pembinaan

tenaga kerja merupakan peningkatan kemampuan efektivitas tenaga kerja untuk

melakukan pekerjaan.

BPS (2001) membagi tenaga kerja (employed) atas 3 (tiga) macam, yaitu:

a) Tenaga kerja penuh (full employed), adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah

jam kerja ≥ 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan

uraian tugas.

b) Tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), adalah

tenaga kerja dengan jam kerja < 35 jam dalam seminggu.

c) Tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed),

(52)

2.8 Konversi Tanaman

Pengertian konversi secara umum berarti adanya perubahan, pengubahan,

penukaran penggunaan lahan. Wahyunto et al, (2001) perubahan penggunaan lahan

dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi

karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk

yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya

tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Para ahli berpendapat bahwa

perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan

manusia. Menurut Mc Neill et al., (1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan

penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Selanjutnya

pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor

penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan

akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya

perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi

lahan.

Perkembangan suatu wilayah akan sangat terkait dengan perubahan yang

terjadi pada komponen utama dari suatu wilayah. Perubahan salah satu komponen

dari wilayah akan mempengaruhi komponen lainnya, dan perubahan itu dapat

menunjukkan adanya suatu proses pertumbuhan, stagnasi atau kemunduran wilayah.

(53)

pemahaman mengenai faktor yang mempengaruhi perubahan suatu wilayah sebagai

suatu proses yang melibatkan suatu interaksi yang kompleks antara aktivitas-aktivitas

yang ada di suatu wilayah (Winoto, 1996). Hal lain yang perlu dilihat dalam menilai

perubahan suatu wilayah adalah transformasi struktural yang terjadi di wilayah

tersebut, baik yang berkaitan dengan transformasi ekonomi, ketenagakerjaan,

demografi, sosial dan budaya masyarakat (Winoto, 1996).

Ketersediaan lahan secara total bersifat tetap di suatu wilayah, sedangkan

permintaan terus bertambah dengan cepat terutama di sekitar kawasan perkotaan. Hal

ini didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, kegiatan ekonomi

dan migrasi dari wilayah lain maupun wilayah hitterland kota di wilayah yang

bersangkutan (urbanisasi) (Nasoetion dan Wagner, 1985).

Pada era tahun 80-an komoditi teh adalah andalan atau primadona PTPN VIII

yang kini dilebur menjadi PTPN IV (Persero) Medan bersama PTPN VI dan PTPN

VII, tapi sekarang tidak demikian lagi. Ini karena harga teh dipasaran internasional

terus menerus menurun dan tidak dapat diandalkan lagi untuk meningkatkan

pendapatan perusahaan. Sebelum Perang Teluk meletus beberapa tahun lalu, pasar teh

PTPN VIII (PTPN IV) paling besar adalah Irak. Teh yang diproduksi adalah teh

hitam dengan pasar terbesar Irak. Karena embargo ekonomi dari Amerika Serikat

(AS) volume ekspor teh hitam ke Irak di batasi dan kalah bersaing dengan pruduk

(54)

negara itu semakin suram. Akibatnya komoditi teh ini tidak memberi profit lagi bagi

perusahaan, maka pemerintah meleburnya menjadi PTPN IV pada tahun 1996. Begitu

juga kakao yang dikelola PTPN VI Pabatu dulu tidak menguntungkan lagi. Harganya

dari tahun ke tahun terus menerus menurun dan tidak ekonomis lagi untuk diusahai,

apalagi untuk sebuah perusahaan besar seperti PTPN. Melihat hal ini, pimpinan

PTPN IV sejak 2003 lalu mengkonversi tanaman ini menjadi lahan sawit (Suara

Karya, 2005).

Desakan peningkatan kebutuhan akan lahan tersebut dapat menjadi salah satu

faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan karena di satu sisi kondisi kegiatan

usaha yang tengah mengalami kelesuan karena berbagai penyebab, di sisi lain

persoalan ekonomi yang terus menekan perusahaan untuk kepentingan intern. Salah

satu lahan perkebunan yang mendapatkan tekanan terhadap konversi tanaman adalah

lahan perkebunan teh.

2.9 Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan

dianggap dapat mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Afifuddin (1989) didalam penelitian yang berjudul “Kajian Ekonometrika

Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia“. Dengan menggunakan model estimasi

(55)

memberikan pengaruh atas penawaran dalam produksi minyak kelapa sawit

diantaranya luas kawasan produktif, upah pekerja, teknologi dan pupuk sedangkan

dari sisi lain, ada beberapa variabel yang memberikan pengaruh terhadap permintaan

atau konsumsi minyak kelapa sawit diantaranya variabel harga minyak kelapa sawit

dipasar lokal, pendapatan perkapita, harga barang turunan minyak sawit dipasar lokal

seperti sabun. Input utama yang memberikan pengaruh signifikan terhadap perluasan

lahan produktif kelapa sawit adalah, nilai investasi, dan tingkat upah buruh serta

tingkat teknologi yang digunakan memperoleh hasil bahwa harga barang produk

turunan (harga sabun) memberi kesan positif kepada permintaan CPO akhirnya hal

tersebut berdampak kepada perluasan lahan produktif sawit.

Larson (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Sub Sektor Minyak Sawit

Indonesia”. Dengan menggunakan model analisis quantitative untuk mengujinya

menemukan beberapa hal dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu, dalam

20 tahun terakhir perkebunan sawit di Indonesia telah berkembang dengan sangat

cepat dimana dominasi hasil produksi dari perkebunan milik pemerintah telah beralih

dikuasai oleh perkebunan swasta hal ini tidak terlepas dari struktur permodalan yang

mendukung investasi dibidang agribisnis akhirnya menciptakan pertumbuhan hasil

produksi pertanian yang dramastis. Perkembangan lainnya yang justru mencemaskan,

adalah pajak ekspor CPO. Dimana akibat dari kebijakan Pemerintah yang memasukan

Gambar

Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia Tahun 2003-2007
Tabel 1.2. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia Tahun 2003-2007
Tabel 1.3. Perkembangan Hasil Penjualan Ekspor Teh Indonesia Tahun              2003-2007 (Ton)
Tabel 1.5. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Tahun        2003-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2009 hingga tahun 2011 luas panen padi sawah mengalami penurunan sebesar 1.651 ha sedangkan luas perkebunan kelapa sawit rakyat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2009 hingga tahun 2011 luas panen padi sawah mengalami penurunan sebesar 1.651 ha sedangkan luas perkebunan kelapa sawit rakyat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2009 hingga tahun 2011 luas panen padi sawah mengalami penurunan sebesar 1.651 ha sedangkan luas perkebunan kelapa sawit rakyat

mempengaruhi alih fungsi lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit. rakyat menunjukkan bahwa faktor pengeluaran keluarga petani,

Penelitian yang berjudul “Alih Fungsi Lahan Sawah ke Perkebunan Kelapa Sawit”. penelitian ini mengangkat masalah 1) mengapa masayarakat kecamatan Trumon beralih dari

Berapa Kebutuhan modal untuk bertanam kelapa sawit per Ha dengan kondisi lahan bekas lahan sawah ( Rp... Apakah modal Bapak tersedia untuk menanam kelapa sawit dengan

Alih fungsi lahan pertanian tanaman jeruk menjadi kelapa sawit memberikan dampak terhadap pendapatan petani, dengan perubahan pendapatan petani yang meningkat maka

terhadap alih fungsi lahan tanaman adalah lahan perkebunan teh menjadi kelapa.. Seperti yang terjadi