• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet Rakyat Menjadi Lahan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Karet

Tanaman karet secara umum memiliki masa produksi selama 25-30 tahun. Untuk

menghasilkan lateks pada tanaman karet, pohon karet akan dilukai kulitnya

dengan maksud untuk membuka pembuluh lateks sehingga lateks dapat mengalir

keluar. Penyadapan pohon karet untuk pertama kalinya akan dilakukan jika

tanaman karet yang berada dalam suatu hamparan lahan sudah matang sadap

pohon dan matang sadap kebun. Matang sadap pohon adalah suatu kondisi di

mana tanaman karet akan memberikan hasil lateks maksimal ketika disadap tanpa

menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan kesehatan pohon karet tersebut.

Dengan perawatan yang baik, matang sadap pohon umumnya bisa dicapai pada

saat tanaman karet berusia 4-5 tahun (Nazaruddin dan Paimin, 1998)

Analisis pendapatan usahatani untuk tanaman musiman (annual crop) berbeda

dengan tanaman tahunan (parenial crop). Usaha tanaman tahunan memiliki resiko

yang lebih tinggi maka pendapatan yang diperoleh haruslah lebih tinggi pula

dibandingkan dengan pendapatan tanaman musiman. Hernanto (1996), analisis

pendapatan terhadap usahatani penting dalam kaitannya dengan tujuan yang

hendak akan dicapai oleh setiap usahatani dengan berbagai pertimbangan dan

motivasinya. Analisis pendapatan pada dasarnya memerlukan 2 (dua) keterangan

pokok yaitu: (a) keadaan penerimaan dan (b) keadaan pengeluaran (biaya

produksi) selama jangka waktu tertentu.

(2)

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah

memiliki beraneka ragam perkebunan yang bernilai ekonomis. Salah satu

komoditas perkebunan yang menjadi andalan Negara Indonesia di pasar dunia

adalah karet. Karet merupakan komoditas perkebunan yang memberikan devisa

terbesar kedua kepada Negara Indonesia setelah sawit.

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber

pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi

sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian

lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal

terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi

beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang

merupakan mayoritas (91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang

masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya

produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan

tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang

menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet

rakyat dan pengembanan industri hilir (Anonim, 2015).

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat,

perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih

positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara

dan swasta sama-sama menurun 0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan

pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas

(3)

hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada

sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Pada tingkat hilir, jumlah pabrik

pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan

akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk

menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena

produksi bahan baku karet akan meningkat (Anonim, 2015).

Salah satu permasalahan pokok perkaretan Indonesia adalah harga jual yang tidak

stabil dan cenderung menurun, serta persaingan pasar yang semangkin berat.

Persaingan bukan hanya terbatas pada satu negara saja, melainkan sudah meluas

hingga ke negara-negara karet sintesis. Untuk memperkuat daya saing karet alam

Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan efektivitas dan efisiensi

disemua bidang. Peningkatan yang dimaksud terutama dilakukan pada

produktivitas, mutu, pemanfaatan sumber daya, serta peningkatan aktivitas dan

efektivitas pemasaran (Tim Penulis PS, 2008).

Selain itu keparahan penyakit banyak dialami oleh perkebunan karet rakyat dan

perkebunan besar. Perkebunan karet rakyat sering mengalami kerusakan yang

lebih berat dibandingkan dengan perkebunan besar karena kurangnya upaya

pengendalian (Fox, 1977 dan Wijewantha, 1964). Dibandingkan dengan tanaman

karet, tanaman kelapa sawit lebih tahan dan lebih sedikit terserang oleh penyakit,

sebagai contoh penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah penyakit

akar putih yang banyak menimbulkan kematian pada tanaman karet. Dengan

banyaknya penyakit yang menyerang tanaman karet tersebut maka biaya yang

(4)

kerugian yang tidak sedikit apalagi tanaman perkebunan merupakan tanaman yang

memerlukan waktu yang cukup lama dalam pembudidayaannya.

Dewasa ini, karet merupakan bahan baku lebih dari 50.000 jenis barang. Dari

produksi karet, 46% digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet

busa, sepatu, dan beribu jenis barang lainnya. Karet dihasilkan oleh tidak kurang

dari 20 negara di dunia. Negara-negara penghasil karet terbesar terletak di Asia

Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand (Setyamidjaya, 1993).

Selain getah karet, bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah kayu karet. Kayu

atau pohon karet mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan

pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya

pemanfaatan lebih lanjut. Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai

prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan

dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya

industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi

dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis.

Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi.

Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia

karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan

lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan

komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan

mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu

asal hutan. Pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kemajuan IPTEK

(5)

ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon

unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan

meningkatkan pendapatan petani (Anonim, 2015).

2.1.2 Kelapa Sawit

Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat

menghasilkan buah serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika

dihitung mulai dari pertanaman biji kecambah di pembibitan. Namun, jika

dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen

pada umur 2,5 tahun. Keberhasilan suatu usaha perkebunan kelapa sawit antara

lain ditentukan oleh faktor bahan tanaman atau bibit yang memiliki sifat-sifat

unggul. Bibit yang unggul akan menjamin suatu pertumbuhan yang baik dan

tingkat produksi yang tinggi apabila perlakuan dilaksanakan secara optimal.

Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi

tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar

swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh

rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan

tersebut, tentunya menghasilkan produksi tandan buah segar (TBS) yang terbatas

pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke

prosesor / industri pengolah (Fauzi, 2012).

Peluang usaha pembudidayaan kelapa sawit di Indonesia sangatlah besar.

Budidaya kelapa sawit bukanlah budidaya yang musiman, melainkan tahunan.

Kelapa sawit mampu berproduksi lebih dari 20 tahun. Tentu hal ini sangat

(6)

waktu yang panjang. Telah diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu

penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia (Adi, 2010).

Pada perkebunan sawit rakyat, permasalahan umum yang sering dihadapi antara

lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Kebun sawit rakyat rata-rata

hanya memproduksi 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar, sementara

potensi produksi bila menggunakan bibit unggul bisa mencapai 30 ton

TBS/ha/tahun. Investasi di bidang perkebunan kelapa sawit sangatlah

menguntungkan. Memang, modal yang diperlukan sangat besar. Namun prospek

bisnis investasi perkebunan kelapa sawit benar-benar menjanjikan, banyak yang

menganggap bahwa investasi di komoditi ini adalah sebagai bentuk deposito unik

yang menghasilkan uang secara mudah tiap bulannya (Adi, 2010).

Prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia sangatlah bagus. Diperkirakan

permintaan terhadap produk kelapa sawit Indonesia akan tetap tinggi di

masa-masa mendatang. Dibandingkan dengan produk minyak substitusinya seperti

minyak kedelai, minyak jagung, minyak bunga matahari, permintaan terhadap

minyak kelapa sawit diperkirakan masih tetap tinggi. Tingginya permintaan

terhadap minyak kelapa sawit disebabkan minyak sawit memiliki banyak

keunggulan dibandingkan dengan produk substitusinya. Keunggulan tersebut

antara lain adalah relatif lebih tahan lama disimpan, tahan terhadap tekanan dan

suhu tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi relatif tinggi, serta

bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri. Keunggulan lain adalah

dari sisi produktivitas dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan

(7)

2.1.3 Konversi Lahan

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi

sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)

menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan

dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai

perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis

besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin

bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang

lebih baik (Lestari, 2009).

Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari, beberapa kasus menunjukkan jika

disuatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan

disekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua

faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di

suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi

semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya

mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah

sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan

selanjutnya dapat merangsang petani lain disekitarnya untuk menjual lahan

(Irawan, 2008). Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat,

sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum

rentan terhadap proses alih fungsi lahan (Wibowo, 1996).

Biasanya petani merubah fungsi lahannya dari komoditi lama menjadi komoditi

(8)

maupun yang bersifat sosial. Faktor ekonomi terdiri dari jumlah tanggungan, luas

lahan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor sosial terdiri dari umur, pendidikan dan

pengalaman kerja. Salah satu komoditi yang diganti dengan tanaman baru adalah

tanaman karet yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit (Daulay, 2003).

Alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan

pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih

menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi

dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah

berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di

Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit

karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di Propinsi Jambi, alih

fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut

di Kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang Kabupaten Jabung

Timur (Kompas, 2008).

Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang

maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan karet menjadi lahan kelapa

sawit, yang terjadi lahan karet semakin menurun yang mengakibatkan penurunan

produksi. Dibandingkan dengan budidaya tanaman karet, budidaya tanaman

kelapa sawit akhir-akhir ini lebih disenangi oleh para petani, dimana tanaman ini

dapat memberi keuntungan dan meningkatkan pendapatan petani (Goenawan,

2013). Apabila tanaman utama petani tidak ekonomis lagi karena harga rendah

(9)

maka petani lebih memilih mengkonversi lahan ke komoditi yang lebih

menguntungkan.

Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non- pertanian yang terjadi

disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan

terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut.

1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika

pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh

kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah

pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait

dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan

yang dilarang dikonversi (Lestari, 2009).

Masalah ketidak stabilan harga dialami oleh petani karet, yang secara langsung

mempengaruhi harga jual getah yang dijual petani kepada agen. Dalam dua tahun

terakhir, sesuai catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra

Selatan, harga jual karet memperlihatkan tren kemerosotan. Bahkan, harga karet

tahun 2014 merupakan terendah di tingkat petani, atau harga karet hanya berada di

kisaran Rp 5.000 – 5.500/kg. Akibat turunnya harga karet ini, para petani menjerit

karena sulit dan risau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

.

Kalau harga

karet terus mengalami penurunan akan berdampak besar pada perekonomian

masyarakat, apalagi karet merupakan komoditas unggulan (Koran Jakarta, 2014).

(10)

1.300/kg. Hal inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menanam kelapa

sawit dibandingkan dengan usahatani karet yang harganya selalu menunjukkan

penerunan.

Rata-rata biaya produksi usaha perkebunan kelapa sawit setahun per hektar

mencapai Rp 4,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan kelapa sawit yang

paling besar yaitu untuk tenaga kerja sebesar 39,89 persen, dengan jenis kegiatan

terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 25,85 persen dari seluruh

total biaya. Sedangkan rata-rata biaya produksi usaha perkebunan karet setahun

per hektar mencapai Rp 8,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan karet

yang paling besar yaitu biaya untuk tenaga kerja sebesar 56,19 persen, dengan

jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 45,25

persen dari seluruh total biaya (BPS Banten, 2014).

Dalam (BPS Banten, 2014) hasil ST2013 sub sektor juga memberikan informasi

tentang struktur ongkos rumah tangga usaha perkebunan. Rata-rata jumlah total

biaya usaha tanaman karet selama setahun mencapai 70,30 % dari total nilai

produksi. Sementara untuk komoditas kelapa sawit rata-rata jumlah biaya yang

dikeluarkan selama setahun jika dibandingkan dengan nilai produksi mencapai

51,56 %. Dari hasil ini secara relatif kegiatan usaha tanaman kelapa sawit

memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan komoditas karet, sehingga banyak

masyarakat yang beralih komoditi yang semulanya karet menjadi kelapa sawit.

Pada komoditas kelapa sawit sebagian besar biaya digunakan untuk membayar

upah tenaga kerja sebesar 39,89 % dengan jenis kegiatan terbesar berada pada

(11)

lain yang juga cukup besar di struktur biaya komoditas kelapa sawit adalah biaya

perkiraan sewa lahan yang mencapai 29,31 %. Sementara itu rata-rata jumlah

biaya pupuk, pestisida dan stimulan masing-masing mencapai 6,90 %, 0,26 % dan

0,01 %. Struktur biaya komoditas tanaman karet secara relatif memiliki kesamaan

dengan kegiatan tanaman kelapa sawit, namun dari sisi biaya tenaga kerja untuk

pemanenan menghabiskan porsi paling besar diantara semua biaya yang

dibayarkan mencapai 45,25 % dari total biaya, hal ini dikarenakan proses

pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah

masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya dari pohon ke tempat

pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik (BPS Banten, 2014).

Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian yang kurang elastis

terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu

pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk

cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan

laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian.

Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi

setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang

bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan

pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar

pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk

kegiatan pertanian (Irawan, 2005).

Berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat, pola konversi lahan

(12)

adalah terjadi secara sporadis/terpencar yang dilakukan oleh perorangan dan

secara seketika (instant) bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas

dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak

swasta maupun pemerintah (Widjonarko, et all., 2006).

Konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari

situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan begitu cepat.

Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila

lahan tersebut letaknya dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi maka akan

bergeser penggunaannya ke bentuk lain. Hal ini terjadi karena land rent persatuan

luas yang diperoleh dari aktifitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan

pertanian (Anwar, 1993).

Ada tiga faktor baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan

determinan alih fungsi lahan sawah, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan dan air ,

dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk (Pasandaran, 2006)

Ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan

perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan

keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor

terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah

sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai

pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Witjaksono, 1996).

Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet.

(13)

kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya

pengendaliannya. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan

karet. Pada perkebunan karet terdapat banyak jenis penyakit yang sering

menimbulkan kerusakan seperti penyakit akar, batang/cabang, daun tanaman dan

lain-lain. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat

kepada kematian tanaman karet yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang

cukup berarti (Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 2003).

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi

fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit

memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, laju pertumbuhan

perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang

mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan (Kompas, 2008).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Keputusan Konversi

Teori keputusan adalah teori mengenai cara manusia memilih pilihan yang

diantara pilihan-pilihan yang tersedia secara acak guna mencapai tujuan yang

hendak diraih (Hansson, 2005). Teori keputusan dibagi menjadi dua, yaitu : (1)

teori keputusan normatif yaitu teori tentang bagaimana keputusan seharusnya

dibuat berdasarkan prinsip rasionalitas, dan (2) teori keputusan deskriptif yaitu

(14)

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan a. Harga

Pada dasarnya perubahan harga jual akan memberi pengaruh yang sangat besar

terhadap petani. Salah satu pengaruhnya yaitu tingkat pendapatan para petani,

yang selanjutnya sangat berpengaruh untuk memotivasi atau meningkatkan

produktivitas kerja para petani. Darwis (2006), menyatakan bahwa “harga jual

merupakan salah satu perangsang (motivator) bagi petani untuk melakukan

pekerjaannya”.

Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian

ke non pertanian yaitu sebagai berikut :

1) Perkembangan standar tuntutan hidup. Berhubungan dengan nilai land rent

yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup petani.

2) Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas

yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah.

3) Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan

sawah yang semakin mahal dan cenderung memperkuat proses konversi lahan.

4) Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada

penggunaan lahan yang memiliki tingkat pertanian yang terus meningkat akan

mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi

dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.

5) Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi

terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal akan lebih mendorong

(15)

6) Resiko dan ketidak pastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidak

pastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga

dan keuntungan. Dengan demikian penggunaan lahan yang mempunyai resiko

dan ketidak pastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversi ke

penggunaan lain yang resikonya lebih rendah (Nasution, et al., 2000).

b. Pendapatan usahatani

Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif

komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya

peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar,

lingkungan dan daya saing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada

tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan baik dalam jangka pendek maupun

dalam jangka panjang akan meningkat (Ilham et al, 2009).

c. Biaya usahatani

Secara mikro, faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi adalah faktor

ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang

tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan

pertanian yang umumnya rendah, disisi lain pengerjaan lahan pertanian

memerlukan biaya yang tinggi. Faktor penting yang menyebabkan proses konversi

lahan adalah perkembangan standar hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur

biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidak pastian

dalam pertanian (Nasoetion, et all., 2000).

d. Pengeluaran keluarga

Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,

(16)

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan

meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Lestari, 2009).

Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari interaksi

permintaan dan penawaran sumberdaya lahan. Menurut Barlowe (1978),

faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik

alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Sedangkan

dari segi permintan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah populasi penduduk,

perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan,

pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan serta perubahan sikap dan

nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

2.3. Penelitian Sebelumnya

Penelitian Kursianto (2011), Faktor yang mendorong petani melakukan konversi

lahan pertanian dan beralih ke lahan perkebunan disebabkan oleh pendapatan

usaha tani kelapa sawit lebih tinggi dengan tingkat resiko yang lebih rendah, nilai

jual/ agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usaha tani lebih rendah, dan

terbatasnya ketersediaan air.

Penelitian Syafa’at (1995), pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar

Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi

yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah :

(1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani

terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Penelitian Agus et al. (2001), ada beberapa penyebab tingginya alih fungsi lahan

(17)

dipatuhinya peraturan tata ruang (lemahnya penegakkan hukum tentang tata

ruang), keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih fungsian

lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antara lembaga dan departemen terkait

dengan perencanaan penggunaan lahan.

Penelitian Pewista (2011), di Kabupaten Bantul, pada luas lahan < 1.000 m2,

dimana sebelum terjadi konversi lahan berjumlah 10 orang atau 14,29%, tetapi

kini meningkat menjadi 42 orang atau 60%. Untuk kepemilikan lahan 1.000–

2.000 m2 sebelum konversi lahan ada 45 orang atau 64,29% tetapi setelah

konversi lahan mengalami penurunan menjadi 22 orang atau 31,43%. Sedangkan

pemilik lahan > 2.000 m2 juga mengalami penurunan kepemilikan lahan dari 15

orang atau 21,42% menjadi 6 orang atau 8,57%.

Karakteristik penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang

mendominasi keluarga pemilik lahan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa

penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang yang paling banyak

melakukan konversi lahan pertaniannya. Telah diketahui bahwa semakin

banyaknya tanggungan keluarga tentunya pengeluaran keluarga juga semakin

besar. Untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga yang besar tentunya akan

dilakukan berbagai upaya, dan tidak sedikit petani yang memiliki lahan pertanian

akan mengkonversi lahan pertaniaanya untuk menghasilkan tambahan biaya agar

dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya (Pewista, 2011).

Menurut Daulay (2003), tidak sedikit juga petani yang mengkonversi lahan

mereka ke tanaman kelapa sawit dikarenakan mengikuti orang lain. Hal ini dapat

(18)

70% petani karet mengkonversikan lahannya menjadi kelapa sawit dikarenakan

ikut-ikutan dengan orang lain, banyak petani di Desa Batu Tunggal melihat

kesuksesan pada petani yang mengusahan tanaman kelapa sawit, sehingga

menarik minat petani lain untuk ikut mengusahakan tanaman kelapa sawit dengan

mengganti tanaman karet yang selama ini petani usahakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Wahid (2006), yang dilakukan di Kabupaten

Asahan, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat

mengkonversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit secara parsial berpengaruh

signifikan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan kemampuan menabung) dan

sosial (pendidikan dan minat).

Dalam penelitian Ginting (2005), di Desa Munte, Kabupaten Karo, alih fungsi

lahan di daerah tersebut mulai terjadi tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan

kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah

Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke

non padi sawah sekitar 38,65% dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani.

Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air,

disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi

padi sawah maupun komoditi non padi sawah.

Penelitian oleh Dewa Putu Arwan Suputra et al., (2012) menyatakan bahwa ada

empat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina, yaitu

faktor kondisi lahan, faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk),

faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan faktor ketidak efektifan

(19)

di Subak Daksina ada 14 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan,

keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah

mewakili faktor kondisi lahan; variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan

penduduk mewakili faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk);

variabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga

mewakili faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan variabel

digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain

menjanjikan mewakili faktor ketidak efektifan lahan. Persamaan dengan

penelitian ini adalah sama-sama mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi

konversi lahan.

Penelitian yang dilakukan Ahmad Muzzani (2015), mengenai analisis faktor

pertimbangan petani yang berhungan dengan keputusan mengkonversi lahan

sawah irigasi menjadi lahan kelapa sawit yang dilakukan di Kecamatan

Hatonduan Kabupaten Simalungun. Variabel yang berhubungan nyata dengan

keputusan petani mengkonversi lahannya adalah faktor ekonomi yang mencakup

(ketersediaan lahan, keuntungan usahatani dan biaya pemeliharaan usahatani),

faktor lingkungan mencakup (ancaman hama penyakit, kondisi irigasi dan luas

lahan), serta faktor teknis mencakup (teknik budidaya, frekuensi panen dan

jumlah tenaga kerja dipakai.

Penelitian yang dilakukan oleh Rusydi Irawan (2015), yang dilakukan di

Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai, mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi alih fungsi lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit

(20)

sawah, dan luas kepemilikan lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi

lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan

Pegajahan tersebut.

2.4. Kerangka Pemikiran

Luas lahan karet rakyat yang pada awalnya cukup luas akhir-akhir ini makin

menyusut. Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi

yang maksimal. Namun seiring dengan konversi yang terjadi, luas lahan karet

semakin menurun. Perubahan dari penggunaan lahan yang awalnya digunakan

untuk perkebunan karet berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit

disebabkan oleh banyak faktor yang dipertimbangkan oleh petani. Dari banyak

faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahannya maka dipilihlah

beberapa faktor konversi lahan yang sesuai dengan karakteristik daerah penelitian

yaitu : biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani

sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani sebelum konversi lahan,

pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat

(21)

Keterangan : : Pengaruh

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

2.5 Hipotesis Penelitian

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan karet rakyat menjadi

kelapa sawit rakyat di daerah penelitian yaitu : biaya usahatani sebelum konversi

lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan usahatani

sebelum konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas

kepemilikan lahan, minat petani, dan penyakit tanaman karet.

Luas Lahan Yang dikonversi Biaya usahatani sebelum

konversi lahan

Harga karet ditingkat petani sebelum konversi

lahan

Pendapatan usahatani sebelum konversi lahan

Pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan

Luas Kepemilikan Lahan

Minat petani

Gambar

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

6.3 The Discounted Payback Period Rule 6.4 The Average Accounting Return. 6.5 The Internal Rate

Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah didasarkan atas tujuan untuk

7.2 The Majestic Mulch and Compost Company: An Example 7.3 Inflation and Capital Budgeting. 7.4 Investments of Unequal Lives: The Equivalent Annual Cost

Masyarakat yang adil dan makmur akan tercipta apabila pemimpin sebagai pelaksana amanah rakyat mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi. Karena pemimpin

Mirza Tindar Fathimah P

Mata Diklat disajikan melalui pembelajaran berbasis pengalaman langsung ( experiential learning) , dengan penekanan pada proses internalisasi nilai-nilai dasar tersebut,

[r]

tugas pemerintahan yang dilakukan oleh camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 225 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h serta Pasal 226 ayat (1)