• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak pertemuan kesehatan dunia ke 58 yang mengesahkan UHC (universal health coverage) (WHO, 2005), dan laporan kesehatan dunia tahun 2010, yang menemukan peran penting sistem pembiayaan kesehatan (WHO, 2010), banyak negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (LMIC) mempertimbangkan untuk mereformasi sistem pembiayaan pelayanan kesehatan untuk menyediakan perlindungan keuangan yang lebih baik dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh masyarakat. Tujuan perlindungan keuangan ini adalah menjamin agar masyarakat terhindar dari bencana keuangan (catastrophic health expenditure) dan kemiskinan akibat jatuh sakit.

Biaya kesehatan katastrofik dapat membuat orang menjadi miskin karena sakit dan ini akan membuat angka kemiskinan semakin meningkat (Ottersen &

Norheim, 2014). Berdasarkan data WHO (2005) setiap tahun ada 100 juta orang yang terdorong ke dalam kemiskinan akibat langsung dari pembayaran biaya pelayanan kesehatan. Survei pada 89 negara meliputi 89 persen dari populasi dunia menunjukkan bahwa 150 juta orang di seluruh dunia menderita bencana keuangan (catastrophic expenditure) setiap tahun karena pembayaran biaya layanan kesehatan (Xu et al., 2007).

Indonesia merupakan Negara berpenghasilan rendah (LMIC) dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 234,24 Juta Jiwa dan tahun 2011 sebesar 243,8 juta jiwa (World Bank, 2008, 2011). Pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 2008 sebesar Rp. 21 juta (US$ 2,178.2) per tahun, dengan PDB sebesar Rp 4.931,8 T (US$ 510 miliar) dan PPP (Purchasing power parity) sebesar US$ 7,280. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia di tahun

2011 sebesar Rp 33,37 juta (US$ 3,662.7) dengan PDB sebesar Rp 8.137,6 T (US$ 892 miliar) dan PPP (Purchasing power parity) sebesar US$ 8,640 (World Bank, 2008, 2011).

(2)

Alokasi anggaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan pada tahun 2008 hanya sebesar 2,8% dari total PDB, yang mana pengeluaran kesehatan bersumber pemerintah ini hanya sebesar 35,8% dari total sumber pengeluaran kesehatan di Indonesia dan 76,5% dari pengeluaran kesehatan private di Indonesia bersumber dari kantong sendiri (Out of pocket). Di tahun 2011, alokasi anggaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan tidak banyak meningkat dari tahun 2008 hanya sebesar 2,9% dari PDB, pengeluaran kesehatan bersumber pemerintah ini hanya sebesar 37,9%, tidak jauh berbeda dengan tahun 2008 dan 76,3% dari pengeluaran kesehatan private di Indonesia masih berasal dari kantong sendiri (Out of pocket).

Pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia pada tahun 2008 sebesar Rp 589.626,- (US$ 61) dan di tahun 2011 sebesar Rp 902.187,- (US$ 99) (World Bank, 2008, 2011).

Indonesia sendiri telah memiliki beberapa bentuk perlindungan sosial untuk melindungi penduduknya dari bencana pengeluaran kesehatan katastrofik.

Asuransi di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda, dimana pesertanya hanya pegawai pemerintahan belanda saja dengan model pembiayaan dengan mengganti biaya yang dikeluarkan sewaktu berobat (deductible).

Kemudian pada tahun 1947 ada asuransi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilanjutkan tahun 1960 dengan dana sakit yang bertujuan untuk menyediakan akses pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat, namun karena ketidakstabilan kondisi sosial ekonomi di Indonesia saat itu program ini belum dapat berjalan (Thabrany, 2013).

Selanjutnya Tahun 1967 Menteri Tenaga Kerja membuat SK Menaker membentuk JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyakat) dengan iuran 6%

(5% majikan, 1% karyawan) namun tidak wajib sehingga kurang berkembang.

Tahun 1968 Indonesia mulai memberlakukan asuransi kesehatan bagi PNS dan keluarganya dengan pengelola yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang kemudian dengan PP no. 6/1992 berganti menjadi PT.

Askes hingga 31 Desember 2013 (Thabrany, 2013). Pada tahun 2005 telah ada program JPKMM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin) / Askeskin yang mencakup 60 juta penduduk miskin dan hampir miskin di

(3)

Indonesia. Kemudian pada tahun 2008 berganti nama menjadi program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang mencakup 76,4 juta jiwa penduduk miskin, dan selanjutnya lahir program Jamkesda dari pemerintah daerah yang bertujuan untuk mencakup penduduk miskin yang tidak tercakup dalam Jamkesmas. Baru kemudian lahir undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dan UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS, kemudian di tahun 2014 Indonesia mengimplemantasikan jaminan kesehatan nasional (JKN) dengan prinsip asuransi sosial dengan single payer (BPJS Kesehatan) yang memiliki tujuan menjamin setiap penduduk Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan kesehatannya dan mencapai universal health coverage pada tahun 2019 (Republik Indonesia, 2012).

Walaupun beberapa bentuk perlindungan kesehatan telah dikembangkan di Indonesia namun sumber pengeluaran out of pocket masih tinggi. Pengeluaran kesehatan out of pocket yang besar merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya pengeluaran kesehatan katastrofik. Kwon (2011) mengatakan kecuali Jepang, Korea, Taiwan dan Thailand sebagian besar sistem kesehatan di Asia sangat terbatas pada perlindungan risiko keuangan kesehatan. Kebijakan mengenai cakupan prabayar seperti pajak dan asuransi kesehatan sosial sangat minim, dan pembayaran kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket) adalah sumber pembiayaan yang paling besar.

Di Indonesia sendiri jumlah rumah tangga yang mengalami pembiayaan kesehatan katastrofik pada tahun 2001 sebesar 5,46 persen dan meningkat pada tahun 2004 sebesar 5,70 persen (Hariyadi, 2009). Hasil analisis data Susenas 1998 menunjukkan bahwa rata-rata penduduk di Indonesia jika sekali jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit maka akan kehilangan penghasilannya selama 1-3 bulan dan untuk 20% kelompok penghasilan terendah harus kehilangan sekitar 8 bulan penghasilannya (Thabrani et al., 1999) cit. (Mukti, 2004).

Pengeluaran kesehatan Katastrofik sendiri berarti biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga ketika ada anggota rumah tangga yang sakit, dengan jumlah yang melebihi kemampuan rumah tangga tersebut yang mana

(4)

dapat mengakibatkan kemiskinan pada rumah tangga tersebut. Xu et al. (2003) mendefinisikan pengeluaran kesehatan katastrofik terjadi apabila suatu keluarga membelanjakan pendapatannya di luar biaya makan dan minum lebih dari 40 persen dari total pengeluarannya untuk pengeluaran kesehatan.

Biaya katastrofik ini dapat dicegah salah satunya adalah dengan perlindungan finansial dalam jaminan kesehatan (universal health coverage) yang mana dengan adanya jaminan kesehatan (Prepayment) akan mengurangi pembayaran out of pocket dari rumah tangga. Jaminan Kesehatan Universal menjamin bahwa setiap orang dapat menggunakan layanan kesehatan tanpa kesulitan keuangan atau pun menjadi miskin karena membayar biaya pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan. Cakupan Kesehatan Universal ini dapat dicapai salah satunya dengan pengembangan strategi pembiayaan kesehatan yang baik (WHO, 2014).

Pada tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia yang memiliki jaminan/

asuransi kesehatan sebesar 64,98% dari total penduduk Indonesia atau 153,3 juta jiwa dengan rincian peserta Jamkesmas (32,37%), jamkesda (13,98%), Askes PNS/TNI Polri (7,29%), jaminan kesehatan oleh perusahaan (6,51%), Jamsostek (2,36%), asuransi swasta dan lain-lain (2,48%) (Kemenkes RI, 2011).

Namun Suryanto (2015) mengatakan bahwa kepemilikan asuransi/

jaminan tidak menjamin seseorang terbebas dari bencana kesehatan katastrofik.

Pada tahun 2007 bahkan rumah tangga yang mempunyai Askeskin/ Jamkesmas di Indonesia lebih tinggi pengeluaran kesehatannya daripada yang tidak mempunyai Askeskin/ Jamkesmas. Sebaliknya Aji et al. (2013) menunjukkan dari hasil analisis panel data IFLS tahun 1993, 1997, 2000 dan 2007 bahwa dua program asuransi terbesar di Indonesia yaitu askes dan askeskin secara efektif mengurangi pengeluaran OOP rumah tangga, kemampuan program melakukan perlindungan finansial dengan mengurangi pengeluaran OOP kemungkinan fungsi langsung dari paket manfaat dan kebijakan tidak adanya co-payment.

Dari latar belakang di atas ingin dilihat apakah terjadi perbedaan proporsi rumah tangga yang mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik pada tahun 2008, tahun pertama kali adanya program Jamkesmas dan tahun 2011 dimana

(5)

jamkesmas telah berjalan selama 4 tahun dan juga telah ada program jamkesda di beberapa daerah di Indonesia, serta mencari tahu apa saja determinan yang mempengaruhi kejadian pengeluaran kesehatan katastrofik di Indonesia pada tahun 2008 dan 2011.

B. Perumusan Masalah

Dengan adanya program jamkesmas pada tahun 2008, dan empat tahun setelah program tersebut berjalan di tahun 2011, ingin dilihat:

1. Apakah ada perbedaan kemampuan membayar pelayanan kesehatan pada rumah tangga di Indonesia pada tahun 2008 dan 2011?

2. Apakah ada perbedaan proporsi rumah tangga di Indonesia yang mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik pada tahun 2008 dan 2011?

3. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya pengeluaran kesehatan katastrofik pada rumah tangga Indonesia di tahun 2008 dan 2011?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menghitung perbedaaan besar kemampuan membayar pelayanan kesehatan pada rumah tangga di Indonesia pada tahun 2008 dan 2011.

2. Menghitung perbedaan besar proporsi kejadian pengeluaran kesehatan katastrofik pada rumah tangga di Indonesia pada tahun 2008 dan 2011.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya pengeluaran kesehatan katastrofik pada rumah tangga di Indonesia tahun 2008 dan 2011.

(6)

D. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan kontribusi positif terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang konsep biaya kesehatan katastrofik dan pembiayaan kesehatan serta sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai alat untuk mengukur pengeluaran kesehatan secara out of pocket dan besar kejadian pengeluaran kesehatan katastrofik pada rumah tangga di Indonesia.

b. Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai besar pengeluaran kesehatan katastrofik yang terjadi pada rumah tangga di Indonesia, sehingga dapat dibuat kebijakan dari masukkan ini.

(7)

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian

No. Peneliti Judul Hasil Temuan Perbedaan

1. Hariyadi (2009) Determinan Pengeluaran Kesehatan Katastrofik di Indonesia

Rumah tangga yang mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik di Indonesia sebesar 5,46 persen pada tahun 2001 dan 5,70 persen pada tahun 2004. Rumah Tangga dengan status ekonomi rendah, rawat inap tidak memiliki asuransi, memiliki anggota berusia lanjut dan balita berisiko besar mengalami Katastrofik.

Perbedaan dengan penelitian Hariyadi pada variabel Dependency ratio, jenis kelamin KRT, penelitian saat ini tidak melihat faktor utilisasi pelayanan kesehatan dan tahun data Susenas yang digunakan yaitu 2008 dan 2011

2. Eakman (2007) Catastrophic health payments and health insurance: Some counterintuitive evidence from one low-income country

Menunjukkan kebalikan dari teori yang ada, asuransi kesehatan tidak ditemukan sebagai penyedia perlindungan finansial untuk menghindari risiko pembayaran katastrofik, bahkan asuransi ditemukan meningkatkan risiko pengeluaran kesehatan katastrofik.

Tempat dan tahun penelitian, serta tidak melihat faktor utilisasi pelayanan kesehatan.

(8)

3. Rivera et al.

(2006)

The Bolivian Health system and its impact on health care use and financial risk protection

Kemungkinan penggunaan layanan fasilitas umum untuk kuintil terkaya adalah hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan kuintil termiskin. Selain itu, orang dengan asuransi kesehatan sosial atau asuransi swasta memiliki probabilitas lebih tinggi menggunakan pelayanan publik daripada mereka yang tidak memiliki asuransi. Oleh karena itu cakupan asuransi merupakan faktor yang signifikan dalam mengakses pelayanan kesehatan.

Penelitian ini tidak melihat faktor utilisasi pelayanan kesehatan publik dan swasta dan tidak mengukur dampak pemiskinan akibat biaya kesehatan katastrofik.

4. Limwattananon (2007)

Catastrophic and poverty impacts of health payments:

results from national household surveys in Thailand

Rumah tangga yang menggunakan layanan rawat inap, terutama pada rumah sakit swasta, lebih cenderung menghadapi pengeluaran kesehatan katastrofik dan pemiskinan akibat pembayaran out-of-pocket. Penggunaan layanan yang tidak tercakup dalam paket manfaat UC dan melewati penyedia (PPK) yang ditunjuk adalah penyebab utama pengeluaran kesehatan katastrofik dan pemiskinan.

Tidak mengikutkan variabel level fasilitas pelayanan kesehatan, jenis pelayanan kesehatan (rawat inap, rawat jalan), perbedaan metode dalam definisi katastrofik yaitu bukan 10% dari total konsumsi, dan tempat penelitian.

(9)

5. Xu et al. (2003) Household catastrophic health expenditure: a multicountry analysis

Mendefinisikan pengeluaran sebagai bencana jika kontribusi keuangan rumah tangga dengan sistem kesehatan melebihi 40% dari pendapatan yang tersisa setelah kebutuhan hidup terpenuhi. Penelitian ini menemukan tiga prasyarat utama untuk terjadinya pembayaran kesehatan Katastrofik yaitu:

pelayanan kesehatan yang memerlukan pembayaran, kapasitas masyarakat untuk membayar yang rendah, dan sedikitnya cakupan asuransi kesehatan atau sistem prabayar.

Penelitian ini tidak menganalisis perbandingan pada multi negara.

6. Bowser et al.

(2011)

Guatemala: The economic burden of illness and health system implications

Cakupan asuransi yang rendah dan banyaknya yang tidak memiliki asuransi adalah penduduk miskin dan tinggal di daerah pedesaan, yang mana tingkat akses mereka ke pelayanan kesehatan publik rendah dan ini merupakan faktor yang mendorong terjadinya pengeluaran out of pocket. Rumah tangga yang memiliki lansia meningkatkan pengeluaran kesehatan out of pocket.

Penelitian ini tidak sampai pada mengkaji ke akses pelayanan kesehatan dan kesenjangan akses pada urban dan rural.

(10)

7. Pal (2010) Analysing Catastrophic OOP Health Expenditure in India : Concepts , Determinants and Policy Implications Analysing Catastrophic OOP Health Expenditure in India : Concepts ,Determinants and Policy Implications.

Pengeluaran kesehatan katastrofik didefinisikan sebagai salah satu hal yang mengurangi pengeluaran non-kesehatan pada level di mana rumah tangga tidak mampu lagi menjaga kebutuhan konsumsinya. Dan hasil temuannya menunjukkan pendidikan merupakan salah satu instrumen kebijakan penting yang dapat digunakan untuk mengurangi kejadian pengeluaran katastrofik di India.

Penelitian ini tidak menggunakan metode yang cocok untuk negara berkembang seperti yang diungkapkan pal yaitu setiap rumah tangga dengan total pengeluaran dibawah pengeluaran yang dibutuhkan untuk konsumsi dasar (dibawah garis kemiskinan), setiap pengeluaran kesehatannya dianggap katastrofik.

8. Suryanto (2015)

Kajian pengeluaran kesehatan katastrofik pada Rumah Tangga di Indonesia

Status ekonomi faktor terbesar terjadinya pembayaran kesehatan katastrofik. Sebagian rumah tangga yang berpotensi katastrofik tidak mengalami katastrofik karena mereka mengurangi pengeluaran biaya kesehatan dan tidak menjalani pengobatan yang memadai.

Subsidi biaya kesehatan seperti bantuan dan pinjaman biaya kesehatan dan jaminan kesehatan belum bisa mengurangi terjadinya biaya kesehatan katastrofik.

Penelitian suryanto menggunakan data panel IFLS tahun 2000 dan 2007 serta data cross sectional Susenas tahun 2009 dan 2010. Melihat dampak dari kepemilikan jaminan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini tidak menilai dampak suatu program.

(11)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah pada metode yang digunakan dalam menetapkan pengeluaran kesehatan katastrofik yaitu dengan menggunakan pendekatan Xu et al. (2003) dan WHO (2005).

Kemudian melihat pengaruh variabel tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala keluarga, rasio jumlah anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan, adanya anggota rumah tangga yang berusia lanjut (≥65 tahun), adanya anggota rumah tangga yang berusia dibawah 5 tahun, tempat tinggal rumah tangga, status ekonomi rumah tangga dan kepemilikan asuransi anggota rumah tangga dengan kejadian pengeluaran kesehatan katastrofik. Serta melihat perbedaan kemampuan membayar rumah tangga Indonesia pada tahun 2008 dan 2011. Kemudian mendeskripsikan fungsi sistem pembiyaan kesehatan di Indonesia dalam hubungannya dengan proporsi pengeluaran kesehatan katastrofik di Indonesia.

(12)

Gambar

Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) merupakan inovasi Administrasi Sipil Negara dalam pengembangan teknologi dan informasi yang ditentukan oleh Peraturan Kepala

Analisis Bukti Digital pada Telegram Messenger Menggunakan Framework NIST… 1403 Aplikasi Telegram yang sedang berjalan pada laptop dapat digunakan untuk mengambil data dan

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada

Setelah analisis intensitas curah hujan dilakukan, maka kemudian digambarkan kedalam kurva IDF (Kurva Frekuensi Intensitas). Kurva IDF menggambarkan

Peluang emprik merupakan rasio dari hasil yang dimaksud dengan semua hasil yang mungkin pada suatu eksprimen lebih dari satu.Dalam suatu percobaan dimana setiap hasil memunyai

Dengan memperhatikan Dokumen Kualifikasi Pekerjaan Barang Jasa Pemerintah, serta sesuai Dokumen Kualifikasi perusahaan saudara, setelah dilakukan evaluasi yang berdasarkan

Teknik pencarian yang digunakan adalah teknik PARSING, yaitu memanfaatkan source code dari situs yang digunakan sebagai sumber dan memilah-milah hasil yang didapat untuk

(1) how lexical density progresses among and within the selected English textbooks, (2) how lexical variation progresses among and within the selected English