• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT PANJA

PENYUSUNAN RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 24 TAHUN 2004 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

T ahun Sidang Masa Persidangan Jenis Rapat Rapat ke Hari/Tanggal Waktu Tempat Acara Ketua Rapat Sekretaris Rapat Hadir

ANGGOTA DPR RI : Pimpinan:

1. Ignatius Mulyono

Fraksi Partai Demokrat : 5 dari 6 orang Anggota 1. Ors. Umar Arsal

KAMIS, 29 APRIL 2010

2009-2010 Ill

Rapat Panja

Kamis, 29 April 2010 14.00 WIB

Ruang Sidang II Griya Sabha Kopo Cisarua, Bogar Melanjutkan acara tanggal 28 April 2010

Ignatius Mulyono

Ors. Djaka Dwi Winarko, M.Si 16 orang dari 24 orang Anggota

Fraksi Partai Golkar : 1 dari 5 orang Anggota

2. Didi lrawadi Syamsuddin, S.H., LLM 1. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn 3. Sutjipto, S.H., M.Kn

4. DR. Pieter C Zulkifli Sinabuea, M.H.

5. Dhiana Anwar, S.H.

Fraksi PDIP:

2 dari 4 orang Anggota 1. Ora. Sri Rahayu 2. Rahadi Zakaria

Fraksi PAN:

2 dari 2 orang Anggota 1. Jamaluddin Jafar, S.H.

2. Indira Chunda Thita Syahrul, S.E. , M.M.

Fraksi PKS:

2 dari 2 orang Anggota 1. H. TB. Soenmandjaja, SD 2. Ir. Memed Sosiawan Fraksi PKB:

1 dari 1 orang Anggota 1. Ors. H. lbnu Multazam

(2)

Fraksi PPP

1 orang dari 1 orang Anggota 1. Achmad Yani, S.H., M.H.

KETUA RAPAT (IGNATIUS MUL YONO):

Fraksi Partai Hanura

1 orang dari 1 orang Anggota 1. H. Sarifuddin Sudding, S.H., M.H.

Kita cabut skors, kemudian kita masuk ke halaman 30 Pasal 41. Di sini kita ditambahkan untuk ayat (1) "Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan". lni lebih dilengkapi kita hanya menunjuk pasal saja, meskipun ini ditulis Pasal 40 nanti mungkin nanti urutan tidak Pasal 40, tolong itu disinkronkan lagi nanti, nanti setelah pasalnya ditata bagus mulai dilihat dari yang dimasukkan dalam substansi ini. Sebutan pasal mungkin tidak Pasal 40 pada waktu urutan berikutnya.

Dan kemudian kita lihat penjelasan juga terhadap pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sampai H ini, sehingga pemeriksaan pokok permohonan, pemeriksaan ala bukti tertulis, mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan sanksi, mendengarkan keterangan ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait, pemeriksaan rangkaian data, keterangan oerbuatan, keadaan, dan/atau bukti lain yang dapar dijadikan petunjuk, pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara eletronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Kami mohon Pasal 41 ini ditanggapi, silahkan Bapak Soetjipto. ·

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

lni didalam tambahan yang ayat (3a) ini Pemeriksaan persidangan sebagaimana ayat (1) melliputi, sampai H. Khusus mengenai D, yang E tidak selalu ada karena tidak semua pemohon mengajukan saksi atau perlu ada ahli. Apakah ini tidak ada rumusan lain, jadi mendengarkan keterangan saksi (bila ada), mendengarkan keterangan ahli (bila ada), karena tidak harus ini. Jika yang rumusan yang asli seolah-olah ini harus ada.

KETUA RAPA T :

Tetapi untuk yang a, b, c, harus ada, yang d dan e ditambahkan dipenjelasan saja "bila ada". Di sana pada dasarnya jika ada maka masuk tetapi jika tidak ada memang tidak harus.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Jadi kitakan kembalikan saja kepada tugas Mahkamah Konstitusi yang mengunci undang- undang terhadap UUD 1945, inikan tadi tidak perlu saksi, tidak perlu ahli juga karena itukan sudah kumpulan ahli, tetapi begitu menguji sengketa Pemilu, baik Pilkada, Pemilihan Umum atau Pemilihan Presiden, tergantung kasus yang ditangani artinya memang d dan e ini untuk hal menguji undang- undang tidak diperlukan.

KETUA RAPA T :

"Bila diperlukan" atau "bila ada"?

(3)

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Yang berhak mengajukan adalah pemohon, jadi bukan "bila diperlukan" akan tetapi "bila ada", karena "bila ada" itu karena diadakan oleh pemohon. Terserah saja rumusan bahasa akan tetapi prinsipnya bahwa ini adalah tidak mutlak.

F·PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Karena di pasal selanjutnya itu sanksi dan ahli dapat diajukan oleh pihak terkait atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi.

KETUA RAPA T:

Jadi lebih tepat "bila diperlukan", silahkan Bapak Zakaria.

F·PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Saya sepakat dengan kata-kata "bila diperlukan", karena memang menyambung di Pasal 42 sama dengan Bapak Memed, karena Mahkamah Konstitusi kadang-kadang memerlukan saksi memang itu suatu kebutuhan, maka dihadirkanlah saksi-saksi itu, contohnya kasus-kasus Pemilihan Umum, Pilkada dan lain sebagainya. ·

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Jadi dalam hukum acara kita, alat bukti itu bisa tertulis bisa saksi, jadi itu tidak harus ada saksi jika buktinya sudah cukup tidak harus saksi itu. Jadi itu tergantung, saya tidak mempersoalkan bahasanya tetapi bahwa meskipun di dalam Pilkada pun tidak mutlak tergantung apakah memang diperlukan atau tidak, jika buktinya sudah kuat dan sudah otentik tidak harus. Oleh karena itu, saksi dan ahli ini bukan hal kemutlakan inikan alat bukti, alat bukti bisa tertulis atau saksi. Kadang-kadang jika mereka tidak mempunyai alat bukti tertulis kadang-kadang justru saksi.

KETUA RAPA T:

Kami kira jika dikaitkan Pasal 42 itu sudah bisa sinkron, walaupun nanti dipenjelasan ditambahkan "bila diperlukan", tetapi itu masih bisa dengan Pasal 42. Oke setuju ya?

(RAPAT:SETUJU)

sekarang Pasal 42 A, ini untuk lebih mengikat lagi ini. Ayat (1) "saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi ". ayat (2) Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan keterangan di bawah sumpah/janji". ayat (3) "Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masinh-masing sekurang-kurangnya 2 (dua) orang". Perlu diperkuat dengan Pasal 42 A tidak ini, ini memang untuk memperkuat proses ini, pelrlu tidak?

TENAGA AHLI (ISRAENI):

lni didalam Peraturan Mahkamah Konstitusi juga ada, tetapi di Peraturan Mahkamah Konstitusi membedakan ada untuk yudisial review, atau pembubaran partai politik, Pemilihan Umum, Pilpres, dan Kepala Oaerah, tetapi untuk yang minimal 2 orang ini mungkin dari asas satu

3

(4)

saksi bukan saksi. Jadi di dalam asas hukum acara pidana kita mengenal bahwa saksi itu harus dua orang, jadi itu ada asasnya.

KETUA RAPAT :

Bagaimana cukup?

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Jika sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak apa-apa.

KETUA RAPAT :

Jadi tidak apa-apa ya?

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Tidak apa-apa, karena ini juga masuk dalam norma juga.

KETUA RAPA T :

Oke ya, karena sudah dimasukkan. Setuju ya?

(RAPAT:SETUJU)

Selanjutnya kehalaman 32, Pasal 45 ini jika menurut aturan tidak ada yang dimasalahkan ini, tetapi masih dilengkapi begini. Walaupun di atas itu ada tulisan, Pasal 45 ayat (1), ayat (7), ayat (10) diubah dan ayat (8) dihapus. Tadi saya coba untuk membandingkan dan tidak ada yang berbeda ini, jadi sampai 45 ayat (1) sampai ayat (10) bisa kita terima karena tidak ada perubahan.

Setuju ya?

(RAPAT:SETUJU)

Pasal 45 A, ini dari PSHK. Pasal 45 A ayat (1) "Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon". lni mohon ditanggapi ini, tetapi ada di ayat (2) "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk putusan terhadap permohonan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar apabila hakim konstitusi menganggap ada keterkaitan dengan pasal-pasal lain yang tidak dimohonkan dengan pasal dalam undang-undang dimohonkan pengujian dan karenanya undang- undang yang bersangkutan menjadi tidak dapat dilaksanakan akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi terse but".

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira yang ayat (1) norma, apalagi jika dalam perdata itu selalu artinya tidak boleh menjatuhkan lebih dari yang dimohonkan, itu saya kira ayat (1) setuju. A

ayat (2) ini saya kira juga benar karena kadang-kadang jika nanti ada satu pasal dibatalkan tetapi pada pasal yang lain berkait dengan itu yang satu masih berlaku itu bisa bertentangan, karena dalam sidang panel itukan dihadiri oleh 3 hakim, jadi dalam sidang panel dua kali itu memang permohonan itu bisa diperbaiki. Oleh karena itu, nanti amarnya sudah sesuai dengan permohonannya. Khusus yang ayat (2) saya setuju karena jika 3 hakim baru panel nanti di dalam

(5)

sidang untuk plenonya itu bisa saja memang ada pasal lain yang terlena atau terlewat oleh hakim yang 3 itu, sehingga pada intinya dua ayat ini saya setuju.

KETUA RAPA T :

Jadi dua-duanya ini saling mengisi sebenarnya. Silahkan Bapak Rahadi Zakaria.

F·PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Saya menggaris bawahi Bapak Tjipto, saya sangat setuju dengan Pasal 45 A ayat (1) karena ini untuk memberikan semacam suatu "larangan" agar Mahkamah Konstitusi tidak memberikan putusan yang bersifat ultra petita, sepakat saya ini dan saya kira tidak ada masalah.

KETUA RAPA T :

Silahkan Bapak Memed.

F·PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Saya ingin menanyakan saja apakah selama ini pernah terjadi ultra petita itu, dalam kasus apa.

KETUA RAPAT :

Yang bisa menjawab mungkin Bapak Tjipto.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Ada beberapa secara faktual empirik memang sudah terjadi, terutama pada Undang- Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang di yudisial review rnerupakan putusan yang ultra petita. Kemuidan yang berikutnya adalah tentang pembatalan Undang-Undang Komisi Keberadaan Rekonsiliasi atau KKN itu dalam petitumnya hanya satu yang dimohonkan akan tetapi akhir dalam putusan, Mahkamah Konstitusi memutuskan ultra petitum dalam arti semua dibatalkan Undang-Undang KKR itu. Terus yang terakhir adalah Undang-Undang Sadan Hukum Pendidikan.

KETUA RAPA T :

Jadi ini memang faktanya ada, agaknya memang perlu diatur di sini. Apa kita setuju karena berdasarkan apa yang sudah dijelaskan tadi.

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Sebenarnya jika ultra petita itu tentunya substansinya bukan pasal, jadi jika di ayat (2) itu adalah jika pasal terkait. Jadi belum tentu yang dikatakan bahwa yang Undang-Undang Komisi Yudisila ultra petita karena jika satu pasal dibatalkan itu memang di ayat (2) itu bisa itu tadi dibatalkan juga meskipun tidak minta tetapi ini adalah prinsip hukum saya kira ayat (1) itu, jadi meskipun itu tidak sepenuhnya benar andaikata menurut saya tetap saja ayat (1) perlu bahwa itu norma. Kita inikan peradilan tata negara tetapi jika diperadilan perdata TUN pun selalu.

(6)

KETUA RAPA T :

Jadi Pasal 45 A bisa kita ketok ini.

(RAPAT:SETUJU)

Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 tetap. Kita langsung ke Pasal 48 A, Pasal 48 A ini memuat pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf D meliputi ringkasan :

a. Pendirian dan keterangan tambahan dari pemohon yang disampaikan dipersidangan.

b. Keterangan pihak yang berperkara.

c. Keterangan pihak terkait.

d. Hasil pemeriksaan alat-alat bukti.

lni untuk Pasal 48 A kami mohon diberikan tanggapan. Apa ini norma juga, silahkan Bapak Soetjipto.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira khusus D saja, jika yang lain saya setuju D inikan pemeriksaan alat-alat bukti, karena bukti itu bisa tertulis dan bisa saksi jadi jika menurut saya jika sanksikan apakah alat bukti atau tidak sebaiknya hasil pemeriksaan bukti saja, karena jika saksi apakah alat bukti, tepat tidak mungkin dalam legal drafternya.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Jika kita komparasikan dengan KUHAP maupun HIR itu saksi merupakan alat bukti, bukti tertulis, saksi, pengakuan terdakwa.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Baik terima kasih jika begitu.

KETUA RAPAT :

Bapak dan ibu bisa menerima ini tadi, apa yang dimasalahkan oleh Bapak Soetjipto tadi, saksi dan sebagainya termasuk alat bukti, kemudian dijelaskan bahwa itu semua termasuk alat bukti. Apakah disetujui ini?

(RAPAT:SETUJU)

Pasal 48 B ayat (1) "Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal:

a. Permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan, atau

b. Pemohon menarik kembali permohonannya.

Jadi jelas ini ada dua hal, itu apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan. Ayat (2) "Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf A berbunyi : menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan pemohon". Ayat (3) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi "menyatakan permohonan pemohon ditarik kembali".

(7)

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira jika yang ayat (1a) tetapi yang ayat (1b) tadikan di depan tadi sudah ada ketentuan Akta, apakah itu ketetapan inikan masih proses administrasi. Oleh karena itu, di Peraturan Mahkamah Konstitusi bagaimana.

KETUA RAPA T :

Apakah penarikan kembali permohonan itu sudah berjalan proses terus dihentikan atau sebelum berjalan sudah ditarik.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Perlu ketetapan itu, jika a itu memang iya menurut saya.

KETUA RAPAT :

Yang a itu sudah disidangkan belum.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

lya pak, paling tidak ada panel. B itukan bisa baru masuk, baru didaftarkan, bisa dalam panel, sebelum ada keputusan kapanpun bisa ditarik.

KETUA RAPA T :

Jika itu ditarik apa perlu ditetapkan.

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Justru itu makanya apa perlu Ayat (1) huruf b ini.

KETUA RAPAT:

Kita tanyakan jika itu sekedar masuk terus ditarik lagi perlu ditetapkan tidak.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Tadi kita ingat ada daftar registrasi, ketika dia sudah masuk daftar registrasi, ketika dicabut apakah dicabut langsung saja.

KETUA RAPAT :

Bapak dan ibu saya mohon masalah rasanya namanya antar keputusan dan ketetapan itu masaih lebih kuat ketetapan, ini untuk yang hanya masuk registrasi terus ditarik apa harus ditetapkan.

(8)

F-PD (DHIANA ANWAR, S.H.):

Saya kira ketetapan karena bisa saja begitu masuk ditarik bisa saja sudah didalam tengah- tengah proses dia tarik kembali, bisa saja sudah tiga perempat proses ditarik kembali. Jadi saya mengatakan bahwa itu adalah ketetapan.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Mungkin jika dari teori hukum acaranya bahwa bedanya keputusan dan ketetapan adalah keputusan itu bersifat kondem natoar, sedangkan jika ketetapan adalah bersifat menerangkan deklanotoir. lnikan belum masuk pokok perkara jadi belum ada amar putusannya jadi yang memang tepat adalah ketetapan, dan itu di Peraturan Mahkamah Konstitusi juga sudah diatur.

TENAGA AHLI (SRI KARYATI):

Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 5 Tahun 2006 di sana dibedakan yang akta tadi itu ketika baru registrasi. Sedangkan dalam Pasal 48 B ini deliver dari bahwa dia ketika dalam proses pemeriksaan, jadi ketetapan.

F-PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Saya ingin menanyakan saja apakah ketetapan ini juga berfungsi adanya kekhawatiran terhadap masalah yang sama diajukan oleh orang lain, jika tidak ada ketetapan. Maksudnya ini dicabut oleh orang A akibatnya orang B masukkan lagi. Apakah ketetapan ini menutup masalah itu atau sebaiknya jika masuk masalah yang persis harus ada ketetapan-ketetapan lagi.

KETUA RAPAT :

Silahkan kepada Bapak Soetjipto.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Jadi jika Mahkamah Konstitusi jika ada permohonan yang sama itu disidangkan bersama- sama, andaikata ada orang menguji pasal beda akan tetapi satu undang-undang jadi yang diuji dijadikan satu, tetapi yang dimaksud di sini sebenarnya kewenangan mutlak jadi kan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tetapi jika yang diuji itu artinya Peraturan Pemerintah itu makanya yang dimaksud di sini menurut saya adalah itu tadi jadi kewenangan absolut, untuk yang A ini.

Kemudian yang B menarik kembali permohonan, jadi saya kira perlu dijelaskan juga jika yang tadi diawal baru registrasi di sini nanti apakah penjelasan, maksudnya permohonan yang sudah masuk dalam persidangan, persidangan panel sampai persidangan pleno. Jika sudah pleno itukan sudah langsung sidang tertutup yang itu tertutup sudah langsung dibacakan putusannya. Jadi nanti perlu B ini dipenjelasan saja. Jadi biasanya jika sudah daftar perkara itu mereka periksa kelengkapan, jika sudah periksa kelengkapan baru diberikan nomer setelah diberikan nomer ada panel, jadi panel pertama itu sudah bisa. Jadi ini bukan kewenangan, jadi contoh kemarin pada waktu Gubernur Jawa Timur itukan sudah permohonan dua kali, yang tiga kali tidak disidang, jadi contohnya itu. Oleh karena itu, nanti dipenjelasannya perlu ada, hanya ini memang.

Sebenarnya inikan masih dalam proses persidangan, oleh karena itu menurut saya memang Mahkamah Konstitusi itu benar harus diminta. lnikan kita rnembuat undang-undang jangan sampai nanti DPR nanti disalahkan. Disalahkan nanti bukan Mahkamah Konstitusi akan tetapi orang luar, tetapi inikan proses teknis jika bicara masalah umur dan segala macam memang

conflict interest

(9)

tetapi inikan bahwa proses persidangan, proses administrasi teknis, saya kira Mahkamah Konstitusi perlu memberikan masukan.

KETUA RAPA T :

Yang ditanyakan Bapak Memed belum dijawab. Yang sama apakah ketetapan ini terus tertutup atau bagaimana.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Jadikan begini jika sudah diputuskan permohonan yang sama saya kira di panel nantikan ada penolakan. Jika ada orang lagi yang mereka tidak menarik, hak dia untuk maju terus. Jika orang yang sama boleh, pengalaman saya di sana jadikan boleh saja.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

lni tadi saya tanya karena presedennya suatu keputusan ini sudah panel sudah ada keputusan final dari Mahkamah Konstitusi, ada keputusan juga dari Mahkamah Agung, tetapi kemudian orang yang tidak puas ini menggugat lewat PTUN. PTUN kan tidak boleh menolak, berarti keputusan yang final-final tadi itu ternyata belum final juga ditempat lain. lni preseden saja, jadi apakah kejadian ini bisa terjadi terus begitu, tetapi ini di luar kita artinya di luar bab ini, yang final itu itu ternyata masih bisa kemana-mana.

KETUA RAPA T :

Oke ya, barangkali kita sudah sama-sama paham. Jadi itu tolong diberikan penjelasan yang proses ini sudah dalam proses, belum baru masuk registrasi. Oke ya jelas ?

(RAPAT:SETUJU)

Sekarang Pasal 50 A, jika Pasal 50 "Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setalah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Apa iya ini? Kemarin masalah penistaan agama itukan tahun berapa itu? Tetapi tetap ini yang lainnya dihapus. Pasal 50 yang saya bacakan tadi dihapus, ini disetujui tidak dihapus.

Pasal 50 A saya bacakan lanjutannya, Pasal 50 A ayat (1) "Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum". Ayat (2) "Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi". Maksudnya menguji undang-undang yang akan kita buat ini.

F-PD (DHIANA ANWAR, S.H.):

Tapi bagaimana seandainya justtru masyarakat yang keberatan atas ini, yang keberatan itu bukan dari lembaga Mahkamah Konstitusi tetapi dari masyarakat. Ada pasal yang dianggap bahwa ini tidak tepat berada dalam Mahkamah Konstitusi, jika hal itu semacam ini bagaimana, Kecuali tentunya apabila Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dalam pembahasan semua undang-undang ini ikut terlibat secara intensif sehingga pas sekali, jika ini berarti Mahkamah Konstitusi sudah akan mampu menjawab semuanya, tetapi jika Mahkamah Konstitusi sendiri tetap bersikap seperti sekarang seakan-akan bahwa dia tidak mempunyai kewenangan untuk ikut campur dan dia akan

(10)

tetap sebagai lembaga independen persoalan semacam ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi.

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira sebenamya semacam ada

conflict of interest

akan tetapi menurut saya lebih baik dirubah menjadi hak inkar, jadi hak inkar artinya bahwa rumusannya Mahkamah Konstitusi dapat menolak pengujian undang-undang yang berkaitan dengan tugas tentang Mahkamah Konstitusi.

Jadi dapat menolak, dia bisa menguji dan dapat menolak. Benar apa yang dikatakan lbu Dhiana bisa saja bahwa undang-undang itu sebenarnya sangat ada bertentangan dengan konstitusi, lembaganya kemana jika tidak kepada dia tetapi jika itu menyangkut umpamanya minta umurnya 70 tahun dibatalkan 65 tahun, itu saya kira mereka tidak pas jika menguji ulang, supaya itu di sini hak inkar saja jadi jangan mutlak. Tolong dirumuskan usulan saya "Mahkamah Konstitusi dapat menolak pengujian atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi".

Jadi maksudnya mereka boleh menguji boleh tidak.

KETUA RAPA T :

Ada pendapat jadi ini yang nomor dua yang menjadi masalah, menurut dari lbu Dhiana perlu dipertimbangkan di sini tidak berwenang melakukan itu jika memang ada hal-hal yang memang masyarakat luas diajukan masa tidak diproses. Tetapi jika ditulisnya dengan begini otomatis itu tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sudah diatur dalam undang-undang. Bapak Soetjipto memberikan jalan keluar "Mahkamah Konstitusi dapat menolak pengujian atas undang- undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi''. Tolong ini ditanggapi.

F·PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Saya kira apa yang diusulkan Bapak Soetjipto sudah sangat fleksible itu bahasa hukum, artinya dapat itu bisa iya dan bisa tidak, jadi tidak usah dikonkritkan seperti ini.

KETUA RAPAT:

Silahkan lbu Yayuk.

F·PDIP (ORA. SRI RAHA YU):

Jika itu memang undang-undang tidak bisa diuji jika ada sesuatu yang disampaikan seperti lbu Dhiana sampaikan tadi siapa yang melakukan, apakah harus melalui perubahan lagi.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Maksudnya lbu Dhiana itukan supaya ayat (2) jangan begini jadi tetap saja boleh, tetapi jika ayat (2) itu dihilangkan jadi apapun mereka harus menguji itu normanya. Akan tetapi bahwa di mana-mana itu di dalam dunia peradilan selalu ada jadi ada hak inkar, juga ada katakanlah hakim jika mereka mengadili bahwa di sana ada

conflict of interest

yang sengketa ada hubungan saudara dia harus mengundurkan diri sebagai hakim. Oleh karena itu, di sini juga harus diatur jadi jika menyangkut kewenangannya tentunya kita percaya dia negarawan tentunya mereka akan menolak.

Jadi itu diberikan kepada mereka, jika usulan saya yang Bapak Rahadi juga setuju tadi.

(11)

F-PDIP (ORA. SRI RAHA YU):

Saya sepakat dengan kalimat itu akan tetapi paling tidak ada, kita percaya sepenuhnya dengan Mahkamah Konstitusi itu yang dengan profesionalnya atau dengan apanya negarawan. Jika misalnya ada yang memang mendesak dari masyarakat yang aspirasi itu yang tak terbendung misalnya akan tetapi disatu sisi beliaunya menolak,~ karena dapatkan disana. Artinya harus ada solusi, solusinya apakah kita yang di DPR lagi kemudian merubah itu.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Bahwa jalan keluarnya itu DPR, karena memang Mahkamah Konstitusi katakanlah masyarakat tidak setuju umurnya 70 tahun ya sudahlah itu ke DPR, tetapi andaikata apa yang kira- kira yang sangat luar biasa saya kira DPR aspiratif sebagai wakil rakyat jika Mahkamah Konstitusi itu merasa conflict of interest jika mereka memutuskan, karena mereka tentu tidak akan memutuskan conflict of interest contohnya waktu Undang-Undang Komisi Yudisial dibatalkan saya kira karena pengawasan itu mencakup hakim sehingga Mahkamah Konstitusi kena padahal saya katakan tadi bahwa dalam pembahasan Undang-Undang Komisi Yudisial pasal-pasal kekuasaan kehakiman itu memang tidak ditujukan untuk Mahkamah Konstitusi, pengawasan itu khususnya untuk peradilan umum. Sebenarnya pada waktu itu ada konflik akan tetapi saya menghargai Mahkamah Konstitusi hanya imbasnya jadi yang hakim agung tidak diawasi.

KETUA RAPA T :

Jika di sani memang yang kedua tulisan aslinya ini memang itu lebih jelas, bahwa mereka tidak punya wewenang untuk itu sehingga jika orang mengajukan masalah itu ke Mahkamah Konstitusi salah alamat. Jadi maksudnya lbu Yayuk jika saya tangkap adalah itu, bapak dan ibu yang lain kira-kira masuk aliran yang mana ini, aliran lbu Yayuk atau Bapak Soetjipto.

F-PD (DHIANA ANWAR, S.H.):

Saya kira kalimat dapat menolak itu adalah bahasa hukum yang fleksible jadi bisa diterima bisa juga ditolak, jadi bahasanya istilahnya fleksible.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Saya cenderung membentuk pada kasus, supaya kita tahu sikap politik kita di mana.

Contohnya adalah Undang-Undang Komisi Yudisial, dari namanya dia tidak berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi tetapi di dalam undang-undang itu ada tugas mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, sehingga ketika ada yudisial review terhadap masalah ini kemudian undang- undang ini dibatalkan karena menyangkut perasaan orang Mahkamah Konstitusi akan menyangkut dirinya. Sekarang kita itu inginnya bisa ada kejadian seperti itu lagi apa tidak, jika itu kita tidak ingin terjadi berarti pasal ini, jika teman-teman ingin sudah tidak apa-apa supaya dia nanti mau revisi pasti begitu ada undang-undang yang menyangkut dirinya pasti akan tertarik untuk terlibat.

KETUA RAPA T :

Jika boleh saya menyimpulkan agaknya ada masalah yang harus kita pertimbangkan yaitu kita hindari conflict of interest. Jika itu dapat dihindari berarti bahwa benar-benar pihak dari Mahkamah Konstitusi itu sepenuh hati harus melakukan apa yang sudah diputuskan dalam undang- undang ini. Dia tidak ada pertimbangan lain untuk dia nanti umpamanya diminta pertimbangan terus dia mau mengusulkan perubahan ini atau itu terhadap undang-undang yang dibuat ini kami kira biar

(12)

itu dilarikan kepada ahlinya, karena yang membuat undang-undang DPR. Seharusnya jika mau ada usulan perubahan terhadap yang diundangkan kaitan dengan Mahkamah Konstitusi itu jangan larikan ke Mahkamah Konstitusi sendiri, memang rasanya jika menilai terhadap apa-apa yang diberlakukan pada dirinya sendirinya agaknya kurang pas juga. Apakah bisa diputuskan bahwa yang nomor dua ini biar tetap saja.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Maaf jika tadi mungkin kurang pas, saya kira apa yang dikatakan Bapak Memed jika Undang-Undang Komisi Yudisial itu tidak mengatur mengenai tugas dan wewenang, yang disini dikaitkan dengan tugas dan wewenang jadi yang dimaksud di sini adalah seharusnya Undang- Undang Komisi Yudisial kecuali jika mau diperluas. Seperti pengawasan, pengawasan itukan ada di Komisi Yudisial akan tetapi itukan sudah dibatalkan. Jadi jika di sini kelihatannya hanya Mahkamah Konstitusi saja, jika ini tegas memang tidak etis sebenarnya mengadili diri sendiri, selama ini selalu saya katakan hakim itu biasanya mengundurkan diri, karena ini institusi tidak ada lagi. Oleh karena itu, benar kembali ke DPR jika ada orang yang mengajukan yudisial review Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus DPR dan pemerintah. Oleh karena itu, apakah ketentuan ini masuk atau tidak ini hal baru, mau tetap saja boleh tetapi karena saya merasa bahwa Mahkamah Konstitusi itu saya kira negarawan saya kira bisa memilah-milah, karena dalam satu undang-undang itu tentu ada yang sangat konflik, ada juga yang tidak. Oleh karena itu, saya terserah kepada pimpinan, tetapi jika menurut saya rumusan yang tadi saya usulkan tadi fleksible. Jadi kita serahkan bahwa mereka itu, kita lihat, kita uji, kenegarawanan mereka sejauhmana jika dia orang yang mengajukan.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Artinya yang saya tanyakan tadi dengan ini belum terjawab, supaya bisa menjawab bahwa bukan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tadikan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan sehingga kemudian ditolak oleh Mahkamah Konstitusi yang berakibat juga tidak hanya hakim konstitusi tidak bisa diawasi bahkan hakim agung, jadi penolakan itu tidak untuk dirinya juga tetap saja merembet ke institusi lain menyebabkan tidak bisa diawasi. Apakah tidak terulang undang-undang lain akan berusaha mengawasi Mahkamah Konstitusi bukan hanya tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang ada di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Tadi pagi kitakan mencari bentuk bagaimana mengawasinya apakah cukup dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Apakah di masa depan jika Undang-Undang Komisi Yudisial itu kemudian dibatalkan apakah kita tidak membuat revisinya, apakah revisinya kemudian nanti di yudisial review lagi, apakah tidak dibatalkan laigi jika dia hanya undang-undang yang bersangkutan dengan tugas, pokok, wewenang Mahkamah Konstitusi yang ada di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, padahal bab pengawasan bukan di tugas pokok Mahkamah Konstitusi.

Apakah ayat (2) jika kita ingin hal tersebut tidak terulang maka kalimatnya adalah "Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian atas undnag-undang yang berkaitan dengan pengawasan, tugas, dan wewenang Mahkamah Konstitusi".

F-PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Jika kita mau berangkat dari tataran filosofis, yuridis, tentang undang-undang inikan jelas, bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas dan wewenang untuk menguji undang-undang. lni harus jelas batasannya dahulu, itu yang sedang kita bahas sekarang ini adalah tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi antara lain menguji undang-undang, sekarang ada undang-undang Mahkamah Konstitusi, jika melihat secara dari tataran filosofis tentunya Mahkamah Konstitusi juga berhak untuk menguji undang-undang manapun juga yang diajukan oleh siapapun juga. Sekarang yang menjadi persoalan ketika Mahkamah Konstitusi dengan tugas dan wewenangnya harus

(13)

menguji dirinya sendiri, ini persoalan tentunya ada satu batasan-batasan yang perlu kita tempelkan di pasal manapun yang bisa mengakhiri persoalan ini. Saya mencoba berpikir dari filosofis saja sudah tugas Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang tetapi ketika ada undang-undang yang diuji berkaitan dengan dirinya sendiri bagaimana jalan keluarnya, kita perlu carikan baju atau pakaian yang bisa mengatasi persoalan ini. Sinkronisasi antara pembahasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan Undang-Undang Komisi Yudisial harus ada sinkron, Undang-Undang Komis Yudisial bagaimana kira-kira. Karena persoalan ini di Komisi Yudisial juga menjadi bahasan yang sangat luar biasa.

KETUA RAPAT :

Memang kita sama-sama menyadari di Komisi Yudisial juga menjadi masalah terhadap pengawasan, penilaian, terhadap tugas dan wewenang penyelenggaraan profesi dari hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi. ltu agaknya kesimpulannya tidak termasuk dikawasan Komisi Yudisial, makanya tadi sudah mulai kita bikin perlu badan atau bagaimana, tetapi jika badan rasanya juga tidak perlu karena tadi sudah termuat di aturan-aturan pembatas yang dipasal-pasal lebih lanjut itu sudah mengatur segala sesuatunya dan disamping itu meskipun dia itu yang disebut dengan Mahkamah Konstitusi ada suatu lembaga yang tetap melakukan pengawasan, yaitu DPR kan bisa dia dipanggil DPR untuk melakukan pengawasan bisa juga, meskipun tidak harus dituangkan di sini.

Jadi jika menurut hemat saya memang apa yang termuat di Ayat (2) sudah cukup bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, memang kita ini berkait kepada lingkup hanya tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, jika masalah pengawasan di luar itu tadi. Apakah bisa kita terima jika ini sudah cukup ini saja.

F-PDIP (ORA. SRI RAHA YU):

Jika memang itu ada yang bersentuhan dengan Komisi Yudisial kita coba yang itu jangan kita putuskan dahulu, hal-hal yang berkaitan atau yang bersentuhan juga ada kaitanya juga supaya tidak bertentangan dengan Komisi Yudisial, tenaga ahli memilah-milah mana yang bersentuhan yang kita harus supaya tidak bertentangan, mungkin suatu saat ketika ini sudah selesai semua kita bertemu dengan mereka, pasal-pasal khusus yang ada kaitanya kita bersama untuk membahas.

F-PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Kemarin kita mempunyai preseden yang buruk, Mahkamah Konstitusi yang kita undang tidak pernah mau datang memberikan masukan, apakah itu bisa dikatakan DPR itu melakukan pengawasan kepada Mahkamah Konstitusi.

KETUA RAPA T:

Menurut hemat kami barangkali sebenarnya melalui fungsi DPR RI sendiri itulah kita melakukan, karena tidak ·ada lembaga lain yang bisa menangani soal proses pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi. Jika itu fungsi yang dimiliki oleh DPR itu benar-benar sapu jagat, pengawasan DPR itu sapu jagat tidak bisa ditolak oleh siapapun, karena pengawasan itu memang pada Undang- Undang Dasar sudah diberikan kepada DPR bahwa fungsi pengawasan itu dilakukan oleh DPR.

Jangankan Mahkamah Konstitusi, Presiden seharusnya bisa jika memang ada hal yang harus kita mintakan oleh DPR itu barangkali juga bisa. Jika menurut saya jika ini dipending ini nanti antara ayan dan telur, Komisi Yudisial juga menunggu ini bagaimana sikap Mahkamah Konstitusi. Jika di Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu memang tidak masuk di dalam rahamnya Komisi Yudisial,

(14)

Komisi Yudisial memang selesai juga dia melepas itu. Jadi jika boleh sementara kita pakai keputusan kita itu yang ini yang termuat di sini, terus kita berikan catatan saja.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira di sini yang ayat (2) tidak berhubungan langsung dengan masalah pengawasan Komisi Yudisial terhadap Mahkamah Konstitusi. Justru di sini saya sepakat dengan Bapak Rahardi bahwa inikan normanya bahwa Mahkamah Konstitusi itu tugasnya menguji undang-undang, ini saya khawatir ada pihak-pihak yang ingin mengerdilkan Mahkamah Konstitusi itu berbahaya sekali undang-undang tidak bisa dirubah, karena jika nanti ini benar konstitusi katakan Mahkamah Konstitusi mengawasi sengketa Pemilu, pembubaran partai politik ternyata bisa saja bahwa ini segi praktis bahwa bisa saja, karena ada pasal ini nanti pada waktu membahas undang-undang partai plitik jangan bisa dibuat ke Mahkamah Konstitusi, padahal ini tidak bisa diuji bagaimana. Jadi saya kira kenapa saya katakan rumusan itu saya kira saya sudah dibantu sekali oleh Bapak Rahadi bahwa secara filosofinya bahwa karena Mahkamah Konstitusi tugas megnguji undang-undang saya kira ini tidak bisa diredusir, hanya diperhalus undang-undang tertentu yang kira-kira conflict of interest dengan mereka dia bisa menolak dan bisa tidak, tetapi jika diredusir Mahkamah Konstitusi tidak boleh menguji undang-undang menurut saya tidak bisa.

KETUA RAPA T :

lni menguji undang-undang, inikan ada batasannya atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Jadi itu saja jadi bukan undang-undang yan lain.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Benar meman jelas wewenang justru wewenang Mahkamah Konstitusi itukan sudah diatur dalam konstitusi. Jika nanti diredusir bahwa partai politik tidak ingin, tidak boleh dibubarkan inikan berbahaya sekali karena sengketa lembaga. Jadi kewenangan itu jelas, oleh karena itu munculnya pasal ini menjadi perdebatan, jadi jika biar tidak terjadi perdebatan ini tidak usah dimunculnya pasalnya saya lebih setuju, dihapus saja.

F-PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Jadi saya ingin mengingatkan wewenang daripada Mahkamah Konstitusi, menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, itu jelas tugasnya menguji undang-undang. Kemudian di pasal ini jelas Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian atas undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Jadi jika menurut saya karena tugas dari Mahkamah Konstitusi itu adalah menguji undang-undang kemudian jika di sini ada penolakan seperti itu sekalan-akan ada diskriminasi, jika undang-undang lain boleh diuji kenapa Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak boleh diuji.

Menurut saya kita cari batasan, jika memang mau ya di Pasal 10 ini ada pengecualian undang- undang menyangkut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, lebih baik pasal itu di drop saja supaya tidak menimbulkan persoalan.

KETUA RAPA T:

ini ada aliran baru lagi di drop saja, ada tanggapan kira-kira tidak ini, atau kita setuju di drop saja. Karena jika membuat permasalahan memang kita drop saja. Jika setuju di drop saya mengharapkan di drop akan tetapi disimpan.

(15)

TENAGA AHLI (ISRAENI):

Kami mencoba mengklarifikasi saja, jadi keputusan politik memang ada di Peraturan Mahkamah Konstitusi, jadi ini sebenarnya juga pareral dengan asas memoudeks improperia jadi di mana memang bukan karena masalah di masyarakat tetapi memang ada asas hukum acara yang berlaku umum universal itu asas memoudeks improperia di mana hakim maupun hakim konstitusi itu tidak boleh memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang berkaitan dengan dirinya.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

ltu saya kira benar ada akan tetapi jika di dalam peradilan lain itu perkara tetap diputus, karena hakimnya itu mengundurkan diri ganti hakim yang lain, seperti dalam ranah perdata pun jika ada direksi transaksi dengan perusahaannya itu bukan direksi yang punya kepentingan akan tetapi direksi yang lain, tetapi disini itu karena hak uji itu hanya di Mahkamah Konstitusi tidak ada lain lagi.

Jadi saya kira teori hukum itu benar tetapi disini tidak ada solusinya. Oleh karena itu, saya setuju di drop mau disimpan oke karena ini jadi timbul persoalan, karena ini sudah melanggar konstitusi jika tidak boleh menguji undang-undang itu.

F·PD (DHIANA ANWAR, S.H.):

Kecuali jika tadi ada keberanian kita secara letter leg, bahwa DPR mempunyai kewenangan untuk itu, itu persoalannya akan lebih jelas lagi. Tetapi kita tk:lak mungkin melakukan itu, jadi menurut saran saya jangan di drop seperti saran Bapak Memed, jadikan catatan dulu kita diskusikan dahulu dengan Mahkamah Konstitusinya bagaimana solusinya. Mahkamah Konstitusi diundang tidak pernah mau datang berarti dia tidak tunduk kepada DPR.

F-PD (SOET JIPTO, 5.H., M.Kn):

Jangan diartikan Mahkamah Konstitusi tidak datang kepada DPR justru Mahkamah Konstitusi ingin independen, karena membahas dirinya sendiri dia tidak memberikan masukan.

Menurut saya Mahkamah Konstitusi itu seharusnya yang tidak diberikan masukan substansi misalnya masalah umur, tetapi jika masalah teknis tadi mengenai teknis persidangan atau bukti saya kira bisa saja.

F-PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Oleh karena Mahkamah Konstitusi tidak datang, maka kita selalu merujuk kepada Peraturan Mahkamah Konstitusi, kenapa kita tanya Peraturan Mahkamah Konstitusi karena tidak ada orang yang kita tanyakan.

KETUA RAPA T :

Jika boleh saya ambil keputusan bagaimana jika ini kita drop dan kita simpan saja dulu.

Drop dan disimpan saja dulu, supaya ini nanti jangan hilang substansi jika nanti kapan ada saatnya ini akan menjadi bahan yang akan kita diskusikan, oke ya?

(RAPAT:SETUJU)

Kita lanjut ke Pasal 51, Pasal 51 ada tambahan ayat (1 a) jadi setelah ayat (1) "Pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

(16)

a. Perorangan warga Negara Indonesia.

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

c. Sadan hukum public atau privat.

d. Lembaga Negara.

Yang ayat (1a) "kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus secara nyata dialami sendiri dan dapat dibuktikan". Perlu tidak klausul ini?

TENAGA AHLI (ISRAENI):

Masukan ini juga dari Peraturan Mahkamah Konstitusinya dan practice yang sudah berjalan di Mahkamah Konstitusi. Jadi disinikan kerugian untuk legal standing apakah dia punya legal standing atau tidak dia menganggap dirinya punya kerugian konstitusional, kerugian konstitusional itu bagaimana apakah dia punya legal standing atau tidak makanya ada pengaturan seperti ini dan Peraturan Mahkamah Konstitusi juga sudah ada.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Pengalaman saya Mahkamah Konstitusi juga tidak konsisten juga dalam hal ini, jadi nyata diri sendiri itu pada saat kami mengajukan waktu itu disetujui bahwa, contohnya kerugian calon pemilih itu juga maksudnya kerugian calon yang dipilih itu juga menjadi kerugian calon yang memilih.

Oulu begini bahwa yang mengajukan itukan orang calon pemilih akan orang yang dipilih, jadi ada dua pasal yang diuji, itu legal standingnya boleh. Oleh karena itu, saya usulkan ini tidak usah diadakan karena Mahkamah Konstitusi sendiri tidak konsisten meskipun ada Peraturan Mahkamah Konstitusi. Saya usul itu tidak usah ditambahkan ini.

KETUA RAPAT :

Jadi ini ada usul Ayat (1a) di drop juga, karena menurut Bapak Soetjipto tidak perlu diformalkan di sini masalah ini. Apakah setuju untuk dihapus ?

(RAPAT:SETUJU)

Kita lanjutkan ke halaman 37 Pasal 51 A, ini tambahan baru cukup panjang. Saya bacakan saja.

Ayat (1) "Pemohon pengujian undang-undang terhadap Undang-Undan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 31".

Ayat (2) "Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohojnan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b untuk perkara permohonan pengujian undang-undang meliputi :

a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian.

b. Kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian.

c. Alasan permohonan pengujian sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf diuarikan jelas dan rinci.

(17)

Ayat (3) "Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, maka hal- hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) Huruf c, yaitu meliputi:

a. Mengabulkan permohonan pemohon.

b. Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Menyatakan undang-undang tersebut tidak rnepunyai kekuatan hukum mengikat.

Ayat (4) "Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian meteril, maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf c, yaitu meliputi:

a. Mengabulkan permohonan pemohon.

b. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

lni nampaknya SOP juga, silahkan ditanggapi.

F-PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Saya ingin menanyakan konsekuensinya apabila yudisial review itu kemudian baik formil atau uji meteril itu mendapatkan penilaian B dan C, itu kemudian bagaimana apa undang-undangnya direvisi oleh DPR apa jika yang C tidak mengikat inilah agak abu-abu, tetapi yang 8 ini yang menyatakan bertentangan ini harus bagaimana, ini penjelasannya disini juga atau tidak ada.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

lnikan semacam SOP, tetapi inikan yang banyak dibahas ditambahkan inikan khusus pengujian undang-undang saja padahal bahwa perkara yang diajukan itu bukan pengujian Undang- undang akan tetapi juga sengketa Pemilu yang banyak. Oleh karena itu, jika sifatnya SOP teknis yang suatua saat itu nanti bisa dirubah karena Mahkamah Konstitusi keluesannya tidak semuanya masuk di dalam materi undang-undang, apakah materi Undang-Undang Mahkamah Agung juga begini, rijit begini. Jika mau rijit semuanya tidak hanya pengujian undang-undang akan tetapi termasuk juga mengenai bagaimana jika sengketa Pemilu, bagaimana jika ada hal pernyataan pendapat. Oleh karena itu, tolong jika memang mau masuk, masuk semuanya jangan sepotong- potong, jika di Undang-Undang Mahkamah Agung tidak ada lebih baik juga jangan.

KETUA RAPA T :

Ada tanggapan lain, silahkan tenaga ahli.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Mungkin sedikit menanggapi Bapak Tjipto, ini kebetulan yang sedang kita bahas adalah mengenai pengujian jadi inikan ada clusternya di undang-undang ini, nanti juga akan bertemu kewenangan Mahkamah Konstitusi lain dalam hal sengketa Pemilu maupun pembubaran partai politik dan lainnya. Terkait dengan tidak semuanya, Peraturan Mahkamah Konstitusi itu kita angkat di draft RUU ini akan tetapi yang berkaitan hukum acara yang pokok-pokoknya saja jadi itu kita

(18)

angkat yang belum diatur di Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, karena jika kita komparasikan dengan hukum acara perdata maupun pidana itu acara itukan diatur dalam Undang-Undang, jadi untuk acara perdata itu diatur oleh HIR sementara untuk acara pidana diatur KUHAP. Dalam Pasal 24 C UUD 1945 diatur Ayat (6) bahwa hukum acara Mahkamah Konstitusi itu harus diatur dalam undang-undang, kecuali untuk hal yang teknis bisa diderifatifkan ke Peraturan Mahkamah Konstitusi.

KETUA RAPA T:

Mohon dilihat halaman 35, itu judulnya memang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, itu Bagian Kedelapan jadi jika ini memang Nampak berkait langsung hanya pengujian kepada undang-undang memang babnya di sana. Bisa oke ini lebih memberikan kejelasan, setuju ya?

(RAPA T:SETUJU)

Kita akan melanjutkan Pasal 52 tetap, Pasal 53 tetap, Pasal 54 tetap, Pasal 5 tetap, Pasal 56 tetap, Pasal 57 silahkan kehalaman 40.

Pasal 57 ayat (1) "Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa meteri muatan ayat, pasal, dan/atau baian undang-undang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 195, materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat".

Ayat (2) "Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat".

Ayat (2a) "Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat :

a. Amar selain sebagaimana dimaksud pada Ayt (1) dan Ayat (2) dalam perkara pengujian undang-undang.

b. Perintah kepada pembuat undang-undang.

c. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

lni ada tambahannya terhadap 3 hal itu, silakan jika ada yang menanggapi.

F·PKS (IR. MEMED SOSIAWAN):

Ayat (2a) menjawan pertanyaan saya tadi, jika sudah diputuskan begitu bagaimana, ternyata memang dia tidak boleh karena dia sifatnya pasif sehingga tidak bisa harus revisi atau harus apa ternyata tidak boleh jadi pasif saja, setelah itu bagaimana memang tidak dijelaskan. Amar sebagaimana dimaksud ayat ini dalam perkara pengujian undang-undang tidak boleh memuat amar dalam perkara pengujian undang-undang, tidak boleh memuat perintah kepada pembuat undang- undang dan tidak boleh memuat rumusan norma sebagai pengganti.

KETUA RAPA T :

Silahkan Bapak Rahadi Zakaria.

F·PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Jadi saya juga ingin menjawabnya di dua ini, Mahkamah Konstitusi itu tidak boleh memuat antara lain bla-bla, ketika sebuah undang-undang atau pasal di dalam undang-undang itu dibatalkan

(19)

terjadi kevakuman dan kemudian tidak nyambung dengan pasal-pasal yang lain, konteksnya terputus ini bagaimana jalan keluarnya ini pertanyaan saya, karena ketika satu undang-undang ada pasalnya di gugurkan pengganti pasal ini apa, ini yang menjadi masalah yang selama ini sering terjadi. ltu nanti kita akan bicara ke masalah Pemilu dan lain sebagainya. Saya ingin mendapatkan semacam gambaran jika ternyata ada larangan seperti itu malah tidak memerintah padahal Mahkamah Konstitusi bisa, penggantinya siapa yang berhak untuk memunculkan pasal-pasal dalam undang-undang yang telah digugurkan tadi, padahal pasal itu sangat diperlukan.

F·PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Mungkin sekedar informasi atau pengalaman saya saja, jadi kemarin pada waktu saya mengajukan pengujian undang-undang itu memang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa putusan itu namanya self executing, jadi tidak dirubah undang-undang pun langsung berlaku. Tadi kita kan sudah ada pasal, tetapi bahwa Mahkamah Konstitusi boleh artinya menguji atau membatalkan pasal-pasal yang tentunya dengan pasal-pasal yang itu, jadi Mahkamah Konstitusi nanti harus menyambung. Jadi jika ada pasal yang diujikan dibatalkan ternyata nanti hakimnya mungkin ada terlupa atau terlewat maka itu Mahkamah Konstitusi boleh, hakim membatalkan pasal yang lain yang terkait dengan pasal yang diuji sehingga disana nyambung.

Saya kira persolannya adalah inikan tugas DPR juga, oleh karena itu dalam praktek selama ini kelihatannya kebetulan di Mahkamah Konstitusi memang semua ahli tata negara jadikan campur ahli tata negara, ahli perundang-undangan, ada ahli yang berperkara. Tetapi praktek selama ini rasanya itu sudah banyak terjawab apalagi tadi ada pasal yang mengatur bahwa bukan ultra petita tetapi bahwa jika ada pasal yang diuji itu dibatalkan itu Mahkamah Konstitusi bisa juga menguji pasal lain yang terkait yang disetujui dibatalkan.

F·PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Jadi saya ingin banyak hal sekali yang saya ingin bicara di sini, tetapi kayaknya akan menjadi luas sekali. Jadi misalnya sebuah pasal dibatalkan, Bapak Tjip mengatakan itu bisa membatalkan pasal-pasal padahal pemohon hanya membatalkan satu pasal, Mahkamah Konstitusi punya kewenangan ternyata pasal-pasal itu saling kait mengkait, apakah harus dibatalkan semuanya persoalannya, inikan menjadi persoalan kita jika pasal itu ternyata juga saling berkaitan satu sama lain secara terus menerus, pasti itu saling berkaitan karena yang namanya undang- undang itu satu pasal dengan pasal yang lain tidak bisa dicabut kemudian berdiri sendiri, pasti ada kaitannya dengan pasal yang lain. lni yang menjadi persoalan jika larangan-larangan itu muncul.

Misalnya sebagai contoh ketika dari suara urut nomor kemudian suara terbanyak, padahal peserta Pemilu adalah partai politik yang menentukan tetapi suara terbanyak menjadi peserta Pemilu adalah individual bukan partai politik, inikan jadi satu persoalan sebenarnya. Jika kita bicara soal itu saya banyak teori atau argumen yang bisa disampaikan ke pihak-pihak yang berwenang. Jadi ini menurut saya artinya bahwa undang-undang itu harus kuat dan berdaya. Kira-kira pasal yang kontradiktif tadi saya kira kita hilangkan saja.

KETUA RAPA T :

Sekarang tolonglah biar kembali kepada ahlinya, jadi di sini inilah yang dimaksud dengan komulatif terbuka itu, komulatif terbuka itu rancangan undang-undang yang kita gunakan untuk salah satunya menindaklanjuti terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, disinilah ternyata dimuat memang belum dimuat di MD3 maupun Tata Tertib yang aturannya nanti harus masuk di sana. Di sini praktek DPR menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi , ini ada terhadap pasal yang dicabut dan sebagainya tindak lanjutnya untuk mengisi itu dan sebagainya bisa diserahkan kepada Sadan Legislasi dan bisa diserahkan kepada Ketua DPR menunjuk alat kelengkapan dewan yang

(20)

lain untuk menindaklajuti, mendalami terhadap pengisian terhadap hukum yang tadi ada yang dicabut tadi.

Begitu juga disampaikan terhadap praktek penindakan pemerintah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, jadi bukan kita saja. Jika bapak dan ibu membutuhkan buku ini bisa dipesan pada Sekretaris Baleg, tidak usah bayar. Setelah saya buka-buka ada ini, tetapi memang perlu dimuat dalam rancangan perbaikan nanti terhadap MD3 maupun di Tata Tertib. Tetapi itu tidak perlu kita bahas di sini suda hada aturan penindaklanjutan terhadap keputusan itu. Oke jika begitu saya rasa ada kata-kata yang kurang pas rasanya, kata-kata "tidak boleh", apa itu tidak bisa dirubah yang lebih enak digunakan dalam aturan perundang-undangan. "tidak memuat" gitu saja ya, ini kita sudah kita setuju ya?

(RAPAT:SETUJU)

Kita lanjut ke Pasal 59 tetap, Pasal 60 tetap, kemudian Bagian Keembilan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar. lni Ayat (1), Ayat (2) tidak ada perubahan, ada penambahan Ayat (2a) "kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945". Padahal di judul suda hada, apa perlu ditambah itu lagi, di judul sudah Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Apakah masih ditambahi di sini kewenangan yang dipersengketan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Apa masih perlu ditambah atau didrop.

TENAGA AHLI (ISRAENI):

Sebenarnya ini tidak masalah jika di drop, hanya pada waktu itu karena masalah adalah ketika menginterpretasikan lembaga kosntitusional mana saja yang bisa bersengketa menjadi pemohon principal di Mahkamah Konstitusi, makanya di konstitusi ada yang secara eksplisit lembaga negara ada yang secara insplisit, makanya itu berkembang multi tafsir ada sampai 18-22 lembaga negara yang punya legal standing di sana hanya dibatasi bahwa yang dimaksud adalah yang eksplisit ditentukan dalam Undang-Undang Dasar tetapi sebenarnya bukan merupakan hal krusial, ini kami juga menerima untuk didrop.

F-PDIP (RAHADI ZAKARIA):

Tadi saya terlalu sepat ketok sebenarnya saya ingin berbicara di Pasal 59. Jadi tidak sesederhana ini jika melihat uraian Bapak Mulyono tadi ada kuncinya, kenapa tidak dimasukkan sekalian saja disini, misalnya Pasal 59 ayat (1 ). Saya ingin mengusulkan di sini misalnya inikan hanya satu ayat, saya ingin mengusulkan ada 3 ayat di sini supaya lebih lengkap, melengkapi apa yang dikatakan Bapak Mulyono tadi, ketika terjadi kevakuman dan sebagainya. Misalnya sebagai contoh DPR dan/atau Presiden segera menyusun Rancangan Undanng-Undang yang baru sebagai pengganti norma-norma yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 paling lambat 30 hari sejak diterimanya putusan". Jadi itu mengisi kekosongan tadi.

Kemudian ayat (3) "Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah disahkan oleh Presiden selambat-lambatnya 1 (satu) tahun kali masa sidang". Ayat (4)

"jika kekosongan hukum akibat putusan akibat putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kegentingan memaksa maka Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu untuk menggantikan norma-norma yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". ltu untuk yang tadi Bapak Mulyono katakan tadi, kenapa tidak dimasukkan di sini.

(21)

KETUA RAPA T :

Saya lihat apa yang disampakan Bapak Zakaria itu untuk mendiskripsi dari lankah-langkah yang perlu diambil baik oleh DPR dan Pemerintah. Kami kira sebelumnya ini, ini tenaga ahli bisa tidak menyusun yang disampaikan Bapak Zakaria seharusnya begitu mendengar tadi sudah langsung jadikan. Sementara biar disusun redaksinya bagaimana, baru nanti kita akan bahas kembali kita melanjutkan perjalanan kita.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Ayat (1) saya usulkan dipenjelasannya diatur saja, siapa lembaga negara yang diatur di sana di dalam konstitusi kita. Jadi jelas dipenjelasan, jika lembaga negaranya ada MPR, DPR.

Mahkamah Agung, Presiden, jadi lembaga negara yang di sana, KPK lembaga negara tetapi tidak masuk. Tenaga ahli tolong di Pasal 61 ayat (1) dipenjelasannya yang dimaksud dengan lembaga negara yang kewenangan diatur siapa saja disebutkan di sana, jadi nanti jangan Gubernur itu dianggap lembaga negara.

KETUA RAPAT :

Jadi itu masuk dipenjelasan dapat disetujui? Pasal 61 oke ya?

(RAPAT:SETUJU)

Pasal 59 kita tunda dahulu menunggu hasil baru kita bahas. Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64 tetap akan tetapi Pasal 65 ini hanya ada tambahan terakhir kata-kata "sepanjang mengenai teknis peradilan". "Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak baik sebagai pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi sepanjang mengenai teknis peradilan". Mahon benar-benar didalami kata-kata "sepanjang mengenai teknis peradilan" itu atau penjelasan anda dahulu silahkan, kenapa harus ditambahi itu.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Sebenarnya jika di Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 ini yang Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang lama. Mahkamah Agung bagaimana tidak bisa menjadi legal standing untuk sengketa lembaga negara, sementar itu di konstitusi disebutkan bahwa Mahkamah Agung juga merupakan lembaga negara jadi dia sebenarnya bisa sebagai pihak untuk sengketa kewenangan lembaga negara. Mungkin dahulu pembuat Pasal 65 dikhawatirkan adanya semacam review terhadap putusan Mahkamah Agung, oleh karenanya yang dimaksud tidak boleh sebagai pihak di sini adalah sepanjang itu menyangkut mengenai teknis yudisial, tetapi Mahkamah Konstitusi mempunyai potensi juga untuk sengketa kewenangan dengan lembaga negara lainnya. ltu sebenarnya memang harus dibuka juga untuk Mahkamah Agung sepanjang itu tidak menyangkut mengenai teknis yudisial.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira kurang jelas teknis peradilan inikan luas sekali, jadikan jika kewenangan itukan diatur di konstitusi, apakah teknis peradilan juga diatur dalam konstitusi juga.

(22)

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Maksudnya adalah jika di Pasal 65 itukan Mahkamah Agung tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara, jika menurut Pasal 65 lama. Tetapi pada kenyataannya Mahkamah Agung juga punya potensi adanya dispute dengan lembaga negara lainnya, contohnya terakhir dengan BPK tahun 2007. Di sini maksudnya jika sepanjang memang bukan mengenai teknis yudisial dalam arti bukan mengenai perkara atau bagaimana itu sebenarnya Mahkamah Agung itu bisa menjadi dijadikan termohon di Mahkamah Konstitusi, misalnya BPK mengajukan pemohonan itu sebenarnya bisa akan tetapi jika Pasal 65 di kunci jadi tidak bisa, jadi apapun dia tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya ingin tahu mungkin bisa ditanyakan teman-teman kenapa dulu muncul Pasal 65, jika menurut pandangan saya sebenarnya Pasal 65 tidak perlu, karena semua lembaga negara itu memang bisa bersengketa antara lembaga negara tetapi tentu berdasarkan kewenangan yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, kenapa ini hanya Mahkamah Konstitusi saja, jika nanti Presiden apa tidak diatur juga seperti Pasal 65 ini lembaga negara yang lain, kenapa hanya Mahkamah Agung.

TENAGA AHLI (ISRAENI) :

Kebetulan kami jika yang untuk Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 itu belum terlibat, jadi kita tidak tahu law maker dulu kenapa dan alasanya apa membuat Pasal 65 ini, karena kita hanya terlibat didraft revisi RUUnya saja, tetapi untuk Pasal 65 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 ini kami belum terlibat. Seperti Bapak Tjipto bilang jadi ketika sudah dibuka begini berati Mahkamah Agung dengan Pasal 65 revisi ini bisa menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara tetapi ada ascep clause untuk yang terkait dengan putusan perkara itu dia tidak bisa. Menyangkut mengenai yudisialnya atau peradilannya tidak bisa.

Apabila tambahan kata-kata ini didrop berarti Mahkamah Agung tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara. Jadi kembali ke Pasal 65 ketika kata-kata ini didrop sepanjang mengenai ini, jadi Mahkamah Agung sudah mutlak tidak bisa rnenjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira itu dianggap kasus, jadi maksudnya baik tetapi menurut saya Pasal 65 itu dengan konstitusi, karena ada potensi antara lembaga negara itu ada sengketa kewenangannya tetapi oleh karena itu jika saya melihat Pasal 65 ini seharusnya di drop, jadi tidak usah ditambahi, karena siapapun bisa jadi pihak di sana. Yang Mahkamah Konstitusi itu sulit yang jadi pihak, karena dia mengadili diri sendiri tetapi jika Mahkamah Agung, Presiden, DPR siapapun bisa kenapa ada muncul Pasal 65 ini saya tidak mengerti, oleh karena itu jika saya sepakat justru Pasal 65 ini hapus, karena ini meredusir konstitusi dan tidak ekual dengan lembaga negara lain, alasannya tidak jelas ini.

F·PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Memang jika dibenturkan dengan contoh, contoh kemarin Pemilu bagaimana Mahkamah Agung membuat keputusan dan bagaimana Mahkamah Konstitusi membuat keputusan. Mahkamah Konstitusi membuat keputusan pemohon dengan masalah yang sama pindah ke Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung kemudian memberikan keputusan. Perdamaian terjadi karena antara dua pihak ini tidak bertempur habis-habisa. Apabila Pasal 65 ini didrop Mahkamah Agung dan

22

(23)

Mahkamah Konstitusi bertempur pada masalah yang sama, untuk mengakui siapa yang punya hak memutuskan sengketa ini, itu adalah masalah Pemilu yang di UUD masalah Pemilu di Mahkamah Konstitusi, itupun Mahkamah Agung ikut memutuskan kemarin untuk masalah Dapil, perhitungan kedua dan ketiga itu. Jika Pasal ini tidak ada terjadi pertempuran habis-habisan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang menengahi siapa kira-kira dan apakah akan selesai proses Pemilu dan Presiden bisa terpilih pada jadwalnya.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

Saya kira begini, jika menurut saya kemarin itu jelas. Jadi jika dalam Mahkamah Agung itu putusanya tidak salah karena mereka itu adalah uji materil keputusan di bawah undang-undang tetapi Mahkamah Konstitusi lebih benar juga karena mereka menafsirkan undang-undang sehingga itu tidak ada sengketa kewenangan karena memang Mahkamah Agung punya kewenangan menguji peraturan di bawah undang-undang, tetapi Mahkamah Konstitusi punya kewenangan menguji Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi lebih tinggi karena memang tafsiran pasal undang- undang itu sesuai dengan konstitusi. Tetapi jika pasal ini ada menurut saya ini juga meredusir ketentuan konstitusi.

F-PKS

(IR.

MEMED SOSIAWAN):

Cara perhitungan suara kemarin itu adalah sengketa Pemilu bukan undang-undang, proses penghitungan suara itukan dilakukan oleh KPU bukan undang-undang. Kenapa Mahkamah Konstitusi bisa memutuskan karena Mahkamah Konstitusi mempunyai hak untuk menyelesaikan sengketa masalah Pemilu, ini bukan Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Tentang Pemilu, tetapi proses penghitungan suara, tata cara penghitungan suara yang merupakan peraturan KPU. Ketika Mahkamah Agung merasa punya hak, karena dia bukan undang-undang dia adalah peraturan KPU. Mahkamah Konstitusi punya hak karena dia adalah masalah pemilu dan kedua hak ini kewenangannya diberikan leh undang-undang. Hak Mahkamah Konstitusi maupun hak Mahkamah Agung itu terhadap masalah yang sama ini.

F-PD (SOET JIPTO, S.H., M.Kn):

itu sebenarnya materinya sengketa pemilu tetapi bahwa kemarin itu sebenarnya menguji peraturan KPUnya, cara KPU itu bahwa Mahkamah Agung berpendapat beda, akan tetapi jika Mahkamah Konstitusi kemarin itu juga ada kompromi. Mahkamah Konstitusi kemarin dalam menafsirkan di undang-undangnya, jadi menafsirkan undang-undang. Jadi contoh yang sekarang juga lagi diuji yaitu menafsirkan mengenai 20 A itu juga lagi diuji, apakah hak angket bisa ditujukan kepada pemerintah yang sebelumnya atau pemerintah sekarang itu juga Mahkamah Konstitusi bisa.

Sehingga kemarin bukan sengketa kewenangan jadi jelas jika Mahkamah Konstitusi itu pengadilan pemilu itu adalah Mahkamah Konstitusi, itu jelas tetapi jika yang Mahkamah Agung kemarin itukan yang diuji itu adalah peraturan KPU terhadap Undang-Undang Pemilu. Jadi jika Mahkamah Konstitusi tidak putuskan Mahkamah Agung yang itu bisa dilaksanakan tetapikan kemarin tidak terjadi, jadi menurut saya Pasal 65 itu saya tidak tahu cara bikinnya, kebetulan saya ikut merumuskan dulu pada waktu membuat konstitusi ini jadi akual siapapun boleh. Oleh karena itu, menurut saya setuju Pasal 65 didrop, karena jika ditambahi ini kenapa yang Presiden tidak diatur begini, kenapa DPR tidak diatur, itukan undang-undang ini harus ada kesepadanan.

KETUA RAPA T :

Memang jika boleh saya tambahi sedikit Mahkamah Konstitusi kemarin yang diuji itu pasal- pasal yang ada di dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008, muatan substansi undang-undangnya

23

Referensi

Dokumen terkait

Aliran panas tersubstitusi oleh aliran fluida dari gangguan sehingga pada bagian kiri model terisi oleh fluida yang bersuhu rendah dikarenakan kecepatan dan tekanan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Sementara tindakan kolektif dapat dimaknai dengan: (1) menjaga hubungan baik secara timbal-balik dengan orang-orang PNG yang berkunjung ke Indonesia, dan ketika

Seseorang yang memulai proses mandi dengan membasuh wajah atau rambut dapat dikatakan mereka memiliki kepribadian yang punya rasa ingin tahu tinggi tentang hal baru dan terlalu

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap nilai perusahaan yaitu

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami