• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Pengetahuan

1.

1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimiliknya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior).

Pengetahuan adalah sebagai fakta atau informasi yang kita anggap benar berdasarkan pemikiran yang melibatkan pengujian empiris (pemikiran tentang fenomena yang diobservasi secara langsung) atau berdasarekan proses berfikir lainnya seperti pemberian alasan logis atau penyelesaian masalah (Basford &

Slavin, 2006)

1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari hasil pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada tidak didasari oleh pengetahuan. (Notoadmodjo,2003).

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu :

(2)

a. Tahu (know)

Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (compherension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, yang dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application)

Diartikan sebagai kemamampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya antara satu sama lain.

e. Sintesis (sinthesys)

Menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

(3)

f. Evaluasi (evaluation)

Suatu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Notoadmodjo , 2003 adalah:

a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.

Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini biasa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

d. Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran dan buku.

(4)

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseseorang.

Bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

f. Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

1.4 Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003). Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo, 2003) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non behavior causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu : a. Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai-nilai.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan.

(5)

c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

1.5 Tipe-tipe Pengetahuan

Pengetahuan dapat diklasifikasikan dalam suatu pengetahuan teori yang diperoleh tanpa observasi di dunia. Pengetahuan empiris hanya diperoleh setelah observasi ke dunia atau interaksi dengan beberapa cara. Pengetahuan sering diperoleh dari kombinasi atau memperluas pengetahuan lain dalam cara-cara yang bervariasi.(Notoatmodjo,2003)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan tejadi melalui pancaindera manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmojdo, 2003).

2. Perilaku Kekerasan

2.1 Pengertian Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional, dan seksualitas (Nanda, 2005).

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan

untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam

Depkes, 2000).

(6)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau secara destruktif (Yosep, 2009). Gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol.

2.2 Pengkajian Perilaku Kekerasan

Gejala klinis yang ditemukan pada pasien dengan perilaku kekerasan didapatkan melalui pengkajian meliputi :

a. Wawancara

Diarahkan penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan oleh pasien.

b. Observasi

Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan sering pula tampak pasien memaksakan kehendak seperti merampas makanan dan memukul jika tidak senang.

Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi

pada pasien, hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Perawat harus mengkaji pula

afek pasien yang berhubungan dengan perilaku agresif. Kelengkapan pengkajian

dapat membantu perawat : Membangun hubungan yang terapeutik dengan pasien,

Mengkaji perilaku pasien yang berpotensial kekerasan, Mengembangkan suatu

perencanaan, Mengimplementasikan perencanaan, Mencegah perilaku agresif dan

kekerasan dengan terapi milleu

(7)

2.3 Penyebab Perilaku Kekerasan

Adapun penyebab perilaku kekerasan menurut Keliat (2002) adalah:

a. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:

1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.

2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.

3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permissive).

4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik,

lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan

neurotransmiter turut berperan dalam perilaku kekerasan.

(8)

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan, dan interaksi dengan orang lain (provokatif dan konflik).

2.4 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Adapun tanda-tanda dan gejala dari perilaku kekerasan menurut yaitu muka merah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit, atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda, tidak mempuyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku. (Purba, dkk 2009). Dan gejala yang muncul seperti stress, mengungkapkan secara verbal dan menentang.

2.5 Akibat dan Mekanisme Perilaku Kekerasan

Akibat dari perilaku kekerasan adalah resiko tinggi mencederai diri

sendiri dan orang lain, seseorang dengan resiko perilaku kekerasan dimana

dia mengalami kegagalan yang menyebabkan frustasi yang dapat

menimbulkan respon menentang dan melawan seseorang melakukan hal

(9)

sesuai dengan keinginannya akibatnya dia menunjukkan perilaku yang mal adaptif yang menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

2.6 Rentang Respon Marah

Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. Asertif adalah kemarahan yang diungkapakan tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu dan tidak menimbulkan masalah.

a. Frustasi adalah kemarahan yang diungkapkan sebagai respons yang terjadi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena tidak realistis atau adanya hambatan dalam proses pencapaian.

b. Pasif merupakan respon lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan.

c. Agresif adalah perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih dapat terkontrol.

d. Kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai

kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan. Apabila marah tidak terkontrol sampai respons maladaptif

(kekerasan) maka individu dapat menggunakan perilaku kekerasan. Individu

merasa perilaku kekerasan merupakan cara yang dirasakan dapat

menyelesaikan. Perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik

(mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional,

(10)

marah, mudah tersinngung, dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral) (Stuart dan Laraia, 1998 dalam Jenny 2009).

2.7 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan adalah:

1) Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap poroses impuls agresif:

sistem limbik, lobus frontal, dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi emosi, perilaku, dan memberi. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.

Beragam komponen dari sistem neurologist mempunyai implikasi

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic terlibat

dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara

konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari

Townswnd, 1996).

(11)

b. Biokimia

Goldstein (dikutip dari Townsend, 1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinephrine, noreepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat inpuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respon terhadap stress.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetic karyotype XYY.

d. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2) Teori psikologik a. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego

dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan

memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan

memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku

(12)

kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih anak-anak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa (Owens dan Straus dikutip dari Townsend, 1996)

3) Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.

Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu

menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara

konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko

untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan

kekerasan dalam hidup individu.

(13)

2.8 Tindakan dan Tujuan Keperawatan untuk Pasien Perilaku Kekerasan

Adapun tindakan dan tujuan keperawatan pasien menurut Damaiyanti (2008) yaitu:

a. Tindakan

1. Bina hubungan saling percaya

Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat;

a. Beri salam/panggil nama pasien

b. Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan c. Jelaskan hubungan interaksi

d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat e. Lakukan kontak singkat tapi sering

2. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan ; a. Beri kesempatan pasien untuk mengungkapakan perasaannya b. Bantu pasien untuk mengungkapkan penyebab kesal/jengkel 3. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan;

a. Anjurkan pasien mengungkapkan apa yang dialami saat marah/jengkel b. Observasi tanda perilaku kekerasan pada pasien

c. Simpulkan bersama pasien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialaminya 4. Pasien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan;

a. Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan

(14)

b. Bicarakan dengan pasien apakah cara yang pasien lakukan agar masalahnya selesai

5. Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan ; a. Bicarakan akibat /kerugian dari cara yang dilakukan pasien

b. Bersama pasien menyimpulkan akibat cara yang digunakan pasien

6. Pasien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam merespon terhadap kemarahan;

a. Tanyakan pada pasien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat?”

b. Berikan pujian jika pasien mengetahui cara lain yang sehat

c. Diskusikan dengan pasien cara pasien yang sehat: secara fisik yaitu tarik napas dalam jika sedang kesal/memukul bantal/kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga, secara verbal yaitu katakan bahwa nada sedang kesal/tersinggung/jengkel, secara social yaitu lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latiahan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan, secara spiritual yaitu anjurkan pasien sembahyang, berdoa/ibadah sesuai keyakinan pasien.

7. Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan;

a. Bantu pasien untuk memilih cara yang paling tepat untuk pasien b. Bantu pasien mengidentifikasi mamfaat cara dipilh

c. Bantu keluaga untuk menstimulasi cara tersebut (role play)

d. Beri reinforcement positif atau keberhasilan pasien menstimulasi cara

tersebut

(15)

e. Anjurkan pasien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel/marah

8. Pasien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan;

a. Identifikasi kemampuan keluarga merawat pasien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap pasien selama ini

b. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat pasien

c. Jelaskan cara-cara merawat pasien yaitu terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif, sikap tenang, bicara tenang dan jelas, membantu pasien mengenal penyebab ia marah

d. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat pasien

e. Bantu keluarga menyebabkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi 9. Pasien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya

(jenis, waktu, dosis dan efek) ;

a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum pasien pada pasien, keluarga b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa

seizin dokter

c. Jelaskan prinsip benar minum obat (baca nama yang tertera pada obat, dosis obat, waktu, dan cara minum)

d. Ajarkan pasien minum dan minum tepat waktu

e. Anjurkan pasien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek

yang tidak menyenangkan

(16)

f. Beri pujian jika pasien minum obat dengan benar yaitu terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif, sikap tenang, bicara tenang dan jelas, membantu pasien mengenal penyebab ia marah

b. Tujuan

Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan, pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan, pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya, pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya, pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.

3 Strategi Pelaksanaan Komunikasi

Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan perilaku kekerasan pertama adalah mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan, membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik I, menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan perilaku kekerasan kedua adalah mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II, menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan perilaku kekerasan ketiga

adalah mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, melatih pasien mengontrol

(17)

perilaku kekerasan dengan cara verbal, menganjurkan pasien memasukkan jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan komunikasi pasien dengan perilaku kekerasan

keempat adalah mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, melatih pasien

mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual, menganjurkan pasien

memasukkan dalam jadwal kegiatan harian (Purba, dkk 2009).

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh long term debt to equity ratio terhadap pertumbuhan laba adalah semakin besar hutang yang dimiliki maka laba yang dihasilkan perusahaan akan semakin rendah karena

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara struktur aktiva, profitabilitas, price earning ratio, dan pertumbuhan penjualan

Yang bisa kami lakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut adalah dengan tetap menjalin hubungan baik dengan pelanggan dan calon pelanggan, komitmen terhadap apa yang telah

perilaku yang disadari secara sosial benar atau salah. Perkembangan bahasa anak ternasuk kosakata, yang memungkinkan penggabungan berbagai personifikasi yang

Ikan nila strain GIFT dengan 3 tingkatan umur yang berbeda yaitu ukuran benih (kurang dari 3 bulan), ukuran konsumsi (antara 3-6 bulan) dan ukuran induk (lebih dari

Pada vlogger keempat, keterbukaan diri yang dilakukan menggunakan media video berupa video blog berfokus pada diri vlogger sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dari banyaknya

Saran yang diajukan penulis kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneruskan penelitian yang telah peneliti lakukan mengenai hubungan antara upah kerja