3.1 Tinjauan Umum
White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan hidrotermal. Larutan hidrotermal adalah suatu cairan panas yang berasal dari kulit bumi yang bergerak ke atas dengan membawa komponen- komponen pembentuk mineral bijih (Bateman dan Jensen, 1981). Larutan hidrotermal pada suatu sistem dapat berasal dari air magmatik, air meteorik, connate atau air yang berisi mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme yang menjadi panas di dalam bumi dan menjadi larutan hidrotermal. Ketika terjadi kontak batuan dengan larutan hidrotermal, maka terjadi perubahan mineralogi dan perubahan kimia antara batuan dan larutan, di luar kesetimbangan kimia dan kemudian larutan akan mencoba kembali membentuk kesetimbangan.
Menurut Browne (1991), perubahan terjadi akibat lingkungan baru.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada batuan tergantung pada beberapa hal, yaitu:
• temperatur,
• sifat kimia larutan hidrotermal,
• konsentrasi larutan hidrotermal,
• komposisi batuan samping,
• durasi aktivitas hidrotermal,
• permeabilitas.
Reaksi hidrotermal pada fase tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu tergantung dari temperatur dan pH fluida dan disebut sebagai himpunan mineral (Guilbert dan Park, 1986), sehingga dengan munculnya mineral alterasi tertentu akan menunjukkan komposisi pH larutan dan temperatur fluida (Reyes, 1990 dalam Corbett dan Leach, 1996). Kingston Morrison (1995) menjabarkan mineral-mineral hidrotermal yang menjadi penunjuk temperatur
pembentukan mineral yang terbentuk dari alterasi batuan pada kondisi pH asam- netral (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Mineral alterasi penunjuk temperatur (Kingston Morrison, 1995).
Mineral-mineral alterasi yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal terjadi melalui empat cara, yaitu pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan membentuk urat; penggantian pada mineral primer batuan guna mencapai kesetimbangan pada kondisi dan lingkungan yang baru; pelarutan dari mineral primer batuan; dan pelamparan akibat arus turbulen dari zona didih (Browne, 1991)
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral alterasi disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Tabel 3.2 memperlihatkan zona alterasi yang ditunjukkan oleh himpunan mineral tertentu dan tipe mineralisasinya berdasarkan hubungan antara temperatur dan pH larutan yang dibuat oleh Corbett dan Leach (1996).
Tabel 3.2. Himpunan mineral alterasi dalam sistem hidrotermal berdasarkan temperatur dan pH larutan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996).
Lowell dan Guilbert (1970) membagi zona alterasi menjadi 5 bagian (Gambar 3.1) berdasarkan keterdapatan mineral alterasi akibat pengaruh, penurunan temperatur, variasi pH larutan hidortermal, dan pengaruh air meteorik.
Zona alterasi tersebut yaitu:
1. Potasik : zona ini dicirikan dengan kehadiran biotit sekunder dan k-feldspar sekunder, serta magnetit, serisit, anhidrit, dan sedikit mineral sulfida (kalkopirit, bornit, pirit, dan molibdenit) yang berada di dalam veinlets dan tersebar dalam zona K-silikat. Zona potasik terbentuk pada saat awal terbentuk tubuh intrusi porfiri.
2. Filik : zona ini dicirikan dengan rangkaian mineral serisit, kuarsa, dan pirit.
Mineral bijih yang dijumpai terdiri dari kalkopirit, molibdenit, kasiterit, native gold (Au). Zona ini mengandung banyak pirit paling banyak, sehingga sering disebut zona pirit. Zona ini terbentuk akibat hadirnya influks air yang memiliki temperatur yang lebih rendah dan pH yang lebih asam.
3. Argilik : zona ini terdiri atas mineral lempung argilik seperti kaolinit dan monmorilonit. Kehadiran zona ini diakibatkan karena makin intensifnya influks air meteorik yang memiliki temperatur yang lebih rendah dan nilai pH yang lebih rendah.
4. Propilitik : zona ini memiliki penyebaran yang luas dan sangat sedikit yang berhubungan langsung dengan mineralisasi, dicirikan dengan kehadiran klorit, kalsit, epidot, dan pirit. Pada zona propilitik ini penurunan temperatur memegang peranan dominan dalam kondisi pH netral sampai alkali.
Gambar 3.1. Model alterasi endapan porfiri tembaga (Lowell dan Guilbert, 1970).
3.2 Sistem Porfiri Cu-Au
Sistem porfiri adalah sistem endapan hipotermal yang terjadi dalam bentuk stockwork atau tersebar acak, dan secara dekat berhubungan dengan intrusi porfiri dan mineralisasinya berhubungan dengan alterasi potasik yang seringkali mengalami overprinted (Corbett and Leach, 1996).
Silitoe (1972, dalam Sulutov, 1974) menjabarkan genesa Cu-Au porfiri dihubungkan dengan model tektonik lempeng. Dikatakan bahwa endapan Cu-Au adalah hasil dari aktivitas penunjaman antara lempeng samudera dengan lempeng samudera membentuk busur kepulauan. Magma bersifat kalk-alkalin atau alkalin.
Sistem porfiri Cu-Au di Batu Hijau termasuk dalam late oceanic arc (Gambar 3.2), hal ini ditunjukkan dengan batuan volkanik yang terbentuk pada Tersier Awal, bersifat low-K, dan berasosiasi dengan intrusi intermediet yang bersifat kalk-alkalin (Meldrum, dkk., 1994 dalam Ali 1997).
Gambar 3.2. Skema tatanan tektonik pada batuan potassik (CAP : Continental Arc, PAP : Post Collisional Arc, WIP : Within Plate Setting, MORB : Mid Oceanic Ridge Basalt, OIB : Oceanic Island Basalt)
(Mitchell dan Garson, 1981).
3.3 Alterasi Hidrotermal Daerah Penelitian 3.3.1 Metode Pengamatan
Dalam mengetahui jenis mineral alterasi yang hadir, tekstur, serta hubungan antara mineral-mineral tersebut, penulis menggunakan 2 metode pengamatan, yaitu pengamatan secara megaskopis dan pengamatan secara petrografis. Kedua metode ini saling mendukung dalam menentukan zonasi alterasi di daerah penelitian.
3.3.1.1 Pengamatan Megaskopis
Pengamatan megaskopis merupakan hal pertama yang dilakukan dalam mengidentifikasi batuan. Dalam studi alterasi, dengan melakukan pengamatan megaskopis dapat mengidentifikasi perubahan fisik yang terjadi pada batuan, tekstur batuan asal, dan kehadiran mineral penciri alterasi. Pengamatan megaskopis dilakukan terhadap conto cutting, conto inti bor, dan conto batuan permukaan secara detail dan kemudian dilanjutkan dengan pengamatan petrografis.
Secara megaskopis, batuan yang telah mengalami alterasi dapat dikenali dari perubahan warna batuan, tekstur batuan, dan kehadiran mineral alterasi.
Mineral-mineral alterasi biasanya dibedakan dari warna dan teksturnya. Namun, dalam pengamatan secara megaskopis ini perlu dilakukan secara hati-hati karena terdapat beberapa mineral yang sulit diidentifikasi, seperti serisit karena bentuknya yang sangat halus berupa agregat. Mineral magnetit dapat dikenali dengan menggunakan magnet.
3.3.1.2 Pengamatan Petrografis
Dalam studi alterasi, analisis petrografi pada prinsipnya dilakukan untuk mengidentifikasi kehadiran mineral alterasi pada batuan berdasarkan sifat optik dari mineral tersebut. Analisis petrografi selain dilakukan untuk mengenali keberadaan mineral alterasi, juga dilakukan untuk mengamati tekstur-tekstur alterasi tertentu, seperti tekstur penggantian (replacement) atau tekstur pengisian (vug filling). Informasi tekstur khas dalam alterasi tersebut
sangat diperlukan untuk melakukan paragenesa mineral alterasi dan indikasi terjadinya overprinting.
3.3.2 Zonasi Alterasi Daerah Penelitian
Alterasi hidrotermal di daerah penelitian dapat dikelompokan menjadi 3 zona alterasi hidrotermal dengan mengacu pada klasifikasi Corbett dan Leach (1996), yaitu: Zona Biotit-Magnetit-Kuarsa, Zona Klorit–Epidot–Aktinolit, dan Zona Kuarsa–Serisit–Klorit–Kalsit. Dari himpunan mineral tersebut dilakukan perkiraan temperatur untuk mengetahui indikasi temperatur pembentuk dari tiap- tiap zona. Indikasi temperatur dari perkiraan ini dipertimbangkan juga dengan pengamatan tekstur untuk mengetahui adanya proses overprinting atau tidak.
3.3.2.1 Zona Biotit-Magnetit–Kuarsa
Secara umum alterasi ini berkembang pada batuan tonalit tua dan batuan dinding yang terintrusi oleh batuan tonalit tua. Zona ini ditandai oleh kehadiran mineral biotit sekunder yang dominan, disertai oleh kehadiran kuarsa sekunder dan magnetit (Gambar 3.3). Dalam sayatan tipis, biotit sekunder hadir berwarna coklat dengan ukuran 0,25-1,5 mm, berserabut dan anhedral. Mineral biotit sekunder ini hadir menggantikan sebagian atau seluruhnya dari mineral hornblenda dan plagioklas. Magnetit hadir berasosiasi dengan biotit sekunder.
Dalam sayatan tipis, magnetit hadir berupa mineral opak. Identifikasi mineral magnetit dilakukan secara megaskopis dengan menggunakan magnet dan secara minegrafis. Secara megaskopis, magnetit hadir berwarna abu-abu gelap dengan kilap metalik dan sangat bersifat magnetis, sedangkan secara mineragrafis magnetit memiliki warna abu-abu kecoklatan. Mineral kuarsa sekunder hadir sebagai mineral ubahan sebagian pada tubuh mineral plagioklas dan k-felspar dengan persentase <10%.
Batuan yang mengalami alterasi pada zona ini memiliki intensitas alterasi yang bervariasi. Pada batuan tonalit tua, intensitas alterasi untuk zona ini sedang- kuat, sedangkan pada batuan tonalit muda, intensitas alterasi untuk zona ini umumnya lemah-sedang.
Berdasarkan kisaran temperatur zona alterasi hidrotermal (Kingston Morrison, 1995), Zona Biotit-Magnetit-Kuarsa ini berada dalam kisaran temperatur 300-360˚C (Tabel 3.3), pada kisaran pH 7-8, dan disebandingkan dengan Zona Potasik (Corbett dan Leach, 1996).
Tabel 3.3. Kisaran temperatur mineral alterasi pada Zona Biotit-Magnetit- Kuarsa (Kingston Morrison, 1995).
Gambar 3.3. (a) Pengamatan megaskopis pada batuan tonalit tua (conto COG.5) yang telah mengalami alterasi Zona Biotit-Magnetit-Kuarsa. (b) Magnetit pada pengamatan mineragrafi (conto M45). (c) dan (d) pengamatan petrografi yang memperlihatkan biotit sekunder hadir sebagai mineral ubahan dari hornblenda (conto COG.5). (qz : kuarsa, plg : plagioklas, bio 2nd : biotit sekunder, mt : magnetit).
a b
c d
3.3.2.2 Zona Klorit–Epidot–Aktinolit
Zona alterasi ini berkembang baik pada area yang yang jauh dari intrusi tonalit. Zona alterasi ini dicirikan oleh hadirnya mineral klorit, epidot, dan aktinolit (Gambar 3.4). Klorit hadir berserabut dan sebagai agregat halus, berukuran 0,5-1,5 mm, serta hadir sebagai mineral ubahan dari hornblenda dan plagioklas. Epidot secara megaskopis dijumpai berwarna hijau kekuningan, sedangkan pada sayatan tipis, epidot umumnya hadir sebagai mineral ubahan dari piroksen dan berasosiasi dengan mineral bijih. Aktinolit merupakan mineral dengan temperatur paling tinggi pada zona alterasi ini. Aktinolit hadir mengubah mineral plagioklas dan dijumpai umumnya berbentuk menjarum ataupun prismatik, dengan ukuran 0,1-1 mm.
Berdasarkan kisaran temperatur zona alterasi hidrotermal (Kingston Morrison, 1995), Zona Klorit-Epidot-Aktinolit ini berada dalam kisaran temperatur 305-320˚C (Tabel 3.4), pada kisaran pH 5-6, dan disebandingkan dengan Zona Propilitik (Corbett dan Leach, 1996).
Tabel 3.4. Kisaran temperatur mineral alterasi pada Zona Klorit-Epidot-Aktinolit (Kingston Morrison, 1995).
Gambar 3.4. (a) dan (d) pengamatan megaskopis pada batuan yang menunjukan alterasi propilitik. (b) Epidot hadir sebagai mineral ubahan dari piroksen. (c) Aktinolit berbentuk menjarum dan hadir sebagai mineral ubahan dari plagioklas. (e) dan (f) klorit hadir sebagai mineral ubahan dari plagioklas dan hornblenda, epidot umumnya hadir berasosiasi dengan mineral bijih. (plg : plagioklas, ch : klorit, ep : epidot, act : aktinolit).
a d
b e
c f
3.3.2.3 Zona Kuarsa-Serisit-Klorit–Kalsit
Zona alterasi ini berkembang pada area luar dari intrusi tonalit, terutama pada daerah tepi dari tonalit. Zona alterasi ini ditandai oleh kehadiran mineral serisit dan klorit yang dominan disertai oleh kehadiran kuarsa sekunder dan kalsit (Gambar 3.5). Pada zona ini serisit hadit berbentuk agregat dengan sifat optik mirip dengan muskovit (Corbett dan Leach, 1996). Serisit ini umumnya hadir menggantikan plagioklas. Klorit hadir sebagai mineral ubahan dari plagioklas dan mineral mafik (biotit, piroksen, hornblenda) maupun ubahan dari mineral sekunder hasil alterasi sebelumnya yaitu mineral biotit sekunder. Hal ini ditandai oleh adanya overprinting mineral yang teramati pada pengamatan mikroskopis.
Sama halnya dengan klorit, kalsit dan kuarsa sekunder hadir dominan menggantikan mineral plagioklas.
Berdasarkan kisaran temperatur (Kingston Morrison, 1995), didapat bahwa zona ini terbentuk pada kisaran temperatur 280-3200 C (Tabel 3.5) dan pada kisaran pH 4-6 serta disebandingkan dengan Zona Filik (Corbett dan Leach, 1996).
Tabel 3.5. Kisaran temperatur mineral alterasi pada Zona Kuarsa-Serisit-Klorit- Kalsit (Kingston Morrison, 1995).
Gambar 3.5. (a) Pengamatan megaskopis pada batuan tonalit tua yang mempelihatkan alterasi pada Zona Kuarsa-Serisit-Klorit-Kalsit.
(b) Serisit berupa agregat halus dan hadir menggantikan hampir seluruh mineral plagioklas. (c) Klorit hadir berserabut sebagai mineral ubahan dari plagioklas. (d) Kalsit hadir menggantikan sebagian dari mineral plagioklas. (plg : plagioklas, ch : klorit, qz : kuarsa, ser : serisit, cal : kalsit).
3.3.3 Tahapan Alterasi
3 zona alterasi pada daerah penelitian yakni: Zona Biotit-Magnetit-Kuarsa (disebandingkan dengan Zona Potasik), Zona Klorit-Epidot-Aktinolit (disebandingkan dengan Zona Propilitik), dan Zona Kuarsa-Serisit-Klorit-Kalsit (disebandingkan dengan Zona Filik) menunjukkan adanya perubahan kondisi temperatur dan pH dari larutan hidrotermal. Berdasarkan pengelompokan mineral alterasi hidrotermal menurut Corbett dan Leach (1996) dapat diketahui perkiraan tahapan zona alterasi. Tahapan zona alterasi pada daerah penelitian diawali dengan terbentuknya Zona Biotit-Magnetit-Kuarsa yang terbentuk pada
d
a b
c
temperatur tinggi sekitar 300 - 360˚ C, dan pada pH 7-8. Tahapan ini kemudian diikuti oleh pembentukan Zona Klorit-Epidot-Aktinolit pada bagian luar dari Zona Potasik, pada kisaran temperatur 305-320˚ C dan pada pH 5-6, yang menandakan adanya proses pendinginan sistem yang progresif. Tahap selanjutnya yaitu pembentukan Zona Kuarsa-Serisit-Klorit-Kalsit yang terbentuk pada kisaran temperatur 280-320˚ C dan pada pH 4-6. Ke-3 zona alterasi ini menunjukan adanya perubahan secara mineralogi akibat perubahan temperatur dan pH larutan hidrotermal (Tabel 3.6).
Tabel 3.6. Tahapan alterasi hidrotermal di daerah penelitian.