• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI INDONESIA (TINJAUAN DARI ASPEK KONSUMSI DAGING AYAM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI INDONESIA (TINJAUAN DARI ASPEK KONSUMSI DAGING AYAM)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kata kunci : Ayam buras, konsumsi, daging

PERSPEKTIF PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI INDONESIA (TINJAUAN DARI ASPEK KONSUMSI DAGING AYAM)

MEWA ARiANi

Pusat Penelitian SosialEkonond Pertanian ManAnd. Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Dampak adanya krisis moneter adalah kenaikan harga kebutuhan pangan pokok dan bia, produksi usahatani termasuk usahatani peternakan ayam. Tujuan tulisan ini adalah unti menganalisis sejauh mana dampak krisis moneter terhadap perubahan konsumsi daging ayam (r dan buras) clan implikasi terhadap pengembangan ayam buras. Kajian ini terutama menggunak, data SUSENAS dan data/informasi lainnya yang terkait dengan topik tersebut. Hasil kaju menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras dan buras cenderung meningk baik di kota maupun di desa. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat konsumsinya juga meningk dari tahun ke tahun. Selain itu juga tampak bahwa tingkat konsumsi daging ayam berkorela positif dengan pendapatan rumah tangga, yang berarti semakin tinggi pendapatan seseorang, aki semakin tinggi pula konsumsi daging ayam . Hal menarik adalah preferensi rumah tangga kota d, desa terhadap jenis daging ayam ternyata berbeda. Rumah tangga di kota lebih senang dengt daging ayam ras, sedangkan di desa menunjukkan kebalikannya. Terjadinya krisis moneter teli berdampak pada kenaikan harga daging ayam terutama untuk daging ayam ras, dikarenaki sebagian besar pakannya harus diimpor. Di sisi lain, dampak krisis moneter juga mengakibatki turunnya daya beli konsumen clan cneningkatkan jumlah penduduk miskin. Pada masa sebeld krisis, daging ayam banyak dikonsumsi oleh rumah tangga, namun dengan adanya krisis monet diduga terjadi sebaliknya, karena konsumsi daging ayam dipengaruhi oleh pendapatan. Oh karena itu, untuk menjaga kestabilan konsumsi daging ayam dalarn jangka menenga pengembangan unggas lokal (ayam buras) perlu ditingkatkan. Salah satu cara dengan memberik, bantuan permodalan clan pembinaan secara khusus kepada usalia ternak unggas lokal yang telt mengusahakan usahanya dengan sistem intensif atau semi intensif. Pada kelompok ini nampakn, yang paling siap berperan nyata untuk mencegah kemerosotan produksi penmggasan dan konsum daging ayam. Disamping itu, minat swasta untuk melakukan investasi pada komoditas di atas per dipacu melalui dukungan teknologi, permodalan, infrastruktur clan kelembagaan.

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan Pembangunan Jangka Panjang II ditekankan pada terciptanya kualit- masyarakat yang maju clan mandiri dalam suasana tenteram clan sejahtera lahir dan batin. Disada pula bahwa gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam membentuk kualitas manusia.

Pola pangan pokok di Indonesia mengarah pada pola pangan tunggal yaitu beras (SUHARD.

danMARTIANTO, 1992) . Dari aspek mutu konsumsi pangan, ketergantungan yang tinggi terhad, protein nabati (beras) adalah kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amil essensial, sehingga harus dipenuhi dari protein hewani. SUHADJI (1993) berpendapat bahv peranan protein hewani dalam pola konsumsi pangan adalah penting karena sifatnya yal indisperable atau tidak mudah diganti.

(2)

Seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka berbagai usaha untuk meningkatkan mutu gizi makanan melalui peningkatan konsumsi protein hewani mutlak perlu dilakukan. Hal ini mengingat pentingnya peranan protein hewani sebagai pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam perkembangan kecerdasan manusia.

Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi/moneter yang ditandai dengan peningkatan harga barang kebutuhan pokok. Selain itu akibat dari fenomena tersebut adalah penduduk banyak yang kehilangan pekerjaan1sumber pendapatan, sehingga menurunkan akses rumah tangga terhadap pangan (SUHARDJO, 1998). Tujuan tulisan ini adalah untuk menganalisis dampak krisis moneter terhadap perubahan konsumsi daging ayam dan implikasinya terhadap pengembangan ayam buras.

SUMBER DAN ANALISIS DATA

Data yang digunakan adalah data Survai Sosial Ekonomi Pertanian (SUSENAS) tahun 1987, 1990, 1993 dan 1996 dan sumber lain yang terkait dengan tujuan tulisan. Data dianalisis secara deskriptifkualitatif dan dengan menggunakan tabel-tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Partisipasi dan konsumsi daging ayam sebclum ki isis moneter

Daging ayam dibedakan antara daging ayam ras dan ayam buras (ayam kampung). Pada Tabel 1 secara umum terlihat bahwa tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras dan buras selama tahun 1987-1993 cenderung meningkat di berbagai propinsi baik di wilayah kota maupun di desa. Dengan memperhatikan data tersebut juga tampak bahwa tingkat partisipasi konsumsi ayam buras di wilayah pedesaan lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan dan sebaliknya untuk daging ayam ras di kota selalu lebih tinggi daripada di desa.

Dengan memperhatikan data tahun 1993 untuk wilayah kota, tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras tertinggi adalah Propinsi Bali (47,5%) kemudian diikuti oleh Propinsi DIY (42,3%) dan DKI (34,6%) . Sementara untuk daging ayam buras adalah Propinsi Sulteng (14,2%), Lampung (11,5%) dan Sumbar (11,3%) . Untuk wilayah pedesaan, tingkat partisipasi konsumsi tertinggi untuk daging ayam ras adalah Propinsi Bali (25,2%), diikuti Propinsi DIY dan Jateng, sedangkan untuk daging ayam buras adalah Propinsi NTT (19,6%), NTB dan Lampung.

Sebaliknya tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras terendah untuk wilayah perkotaan tahun 1993 di Propinsi Timtim yaitu 2,2%. Sedangkan untuk wilayah pedesaan adalah Propinsi Maluku dan Irja, karena terlalu kecil tingkat partisipasinya, maka dalam Tabel 1 tertera 0 (nol).

Sementara untuk daging ayam kampung, tingkat partisipasi konsumsi terendah di kota adalah Propinsi Sulsel (2,2%), sedangkan di desa adalah Propinsi Maluku (3,2%) .

Sejalan dengan keragaan tingkat partisipasi, secara nasional tingkat konsumsi daging ayam ras dan buras selama tahun 1990-1996 juga cenderung meningkat (Tabel 2). Peningkatan tampaknya konsisten antara tahun clan cenderung bersifat linier. Secara nasional konsumsi daging ayam ras pada tahun 1990 hanya 0,83 kg menjadi 1,25 kg tahun 1993 dan 2,34 kg/kapita tahun 1996, sedangkan untuk daging ayam buras, dari 1,09 kg tahun 1990 menjadi 1,04 tahun 1993 dan meningkat lagi menjadi 1,20 kg/kapita tahun 1996 .

(3)

Dari keragaan tersebut terlihat peningkatan konsumsi daging ayam ras mencapai dua ka lebh tinggi dibandingkan dengan daging ayam buras. Peningkatan konsumsi daging ayam ras u lebih banyak terjadi di wilayah kota daripada di desa. Sebagai gambaran tingkat konsumsi dagin ayam ras di kota tahun 1990 sebesar 2,03 kg menjadi 4,26 kg tahun 1996 . Sementara untuk i desa, dari 0,31 kg tahun 1990 hanya menjadi 1,30 kg tahun 1996.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pangan rumah tangga termasu konsumsi daging ayam, namun pada umumnya faktor pendapatan nimah tanggalah yang dominai Data pada Tabel 3 mendukung pernyataan tersebut di atas. Pada Tabel 3 terlihat bahwa tinggi konsumsi daging ayam ras dan daging ayam buras sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapata rumah tangga yang diproksi dengan pengeluarannya . Dari data tersebut menunjukkan bahw semakin tinggi pendapatan rumah tangga akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi daging ayal ras dan buras baik di wilayah kota maupun di desa. Hasil kajian yang dilakukan oleh ARIANi da

Tabel 1. Perkembangan tingkat partisipasi konsumsi daging segar menurut wilayah (%)

Ayam ras Ayam kampung

Propinsi Kota Desa Kota Desa

1987 1993 1987 1993 1987 1993 1987 1993

Aceh 0,7 3,3 1,1 10,1 10,3 10,1 6,5 13,6

Sumut 2,2 11,5 0,6 3,5 8,1 5,3 7,2 11,0

Sumbar 3,2 4,2 1,9 1,4 8,7 11,3 10,0 9,1

Riau 23,1 21,0 1,9 6,4 4,8 8,3 6,0 13,2

Jambi 2,7 21,5 7,1 4,6 10,0 6,2 5,7 14,8

Sumsel 20,9 25,7 3,7 8,0 5,1 6,7 9,6 12,4

Bengkulu 13,0 27,2 2,9 3,5 10,8 3,4 13,6 5,0

Lampung 2,0 14,7 1,2 2,7 17,2 11,5 14,1 17,4

DKI Jakarta 43,5 34,6 - - 12,3 7,3 - -

Jawa Barat 32,0 34,0 6,3 12,6 7,8 5,7 10,6 12,9

Jawa Tengah 13,3 29,5 2,8 15,0 12,2 9,8 8,1 8,4

DI Yogyakarta 22,7 42,3 10,3 23,4 9,9 6,4 7,3 10,3

JawaTimur 9,1 30,3 2,0 ll,l 4,0 7,4 2,4 7,9

Bali I1,1 47,5 15,7 25,2 20,0 6,5 10,5 9,2

NTB 9,0 10,7 3,6 4,7 6,3 10,4 7,1 18,5

NTT 1,2 3,2 1,0 1,1 16,3 10,2 14,9 19,6

Timor Timur - 2,2 0,0 1,4 - 5,2 6,6 7,1

Kalbar 21,0 22,6 0,7 5,3 3,5 5,0 6,7 10,0

Kalteng 24,3 30,9 1,5 8,5 15,1 8,9 5,5 13,8

Kalsel 17,4 16,1 3,2 7,1 8,3 6,8 6,3 11,3

Kaltim 20,6 25,5 3,6 6,2 2,7 5,5 6,6 8,1

Sulut 5,2 7,1 0,8 0,4 11,7 9,7 10,7 9,1

Sulteng 0,6 2,8 0,4 0,1 13,9 14,2 18,8 11,2

Sulsel 1,1 2,8 0,1 4,8 3,6 2,2 4,4 14,6

Sultra 0,0 0,0 0,0 0,2 5,5 9,5 5,4 10,0

Maluku 5,9 5,4 0,2 0,0 7,1 5,4 0,5 3,2

Irian Jaya 6,1 5,5 1,1 0,0 3,9 3,0 1,7 8,4

(4)

GATOET (1996) menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan daging akan tercapai apabila seseorang mempunyai pendapatan (didekati dengan pengeluaran) minimal Rp 60.000/kapita/bulan, yang berarti penduduk berada di atas garis kemiskinan (batas garis kemiskinan Rp 20614/kapita/bulan).

Tabel 2. Perkembangan konsumsi daging ayam (kg/kapita)

Sumber :SUSENAS, BPS

Tabel 3. Tingkat konsumsi daging ayam menurut Keompok pengeluaran tahun 1996 (kg/kapita/th)

Sumber : Keterangan : Kelompok Pengeluaran

(Rp/kap/bl) Kota

Ras Desa

Daging Kota+Desa

Ayam Kota

Kampung

Kota Kota+Desa

___ ___ 0,16

II 0,31 --- 0,31 --- --- 0,16

III 0,31 0,16 0,18 0,10 0,31 0,31

IV 0,99 0,42 0,52 0,26 0,57 0,52

V 2,03 1,09 1,35 0,36 1,20 0,94

VI 3,38 2,13 2,65 0,68 2,08 1,51

VII 4,37 3,22 3,85 0,99 2,65 1,72

VIII 6,24 4,26 5,62 1,46 3,85 2,18

IX 8,16 6,24 7,75 1,77 4,94 2,44

X 9,46 7,18 9,10 2,76 5,56 3,17

XI 10,71 6,92 10,30 4,68 3,17 4,52

Wilayah Ras

Daging Ayam

Buras (Kainpung) Kota

1990 2,03 0,78

1993 2,76 0,88

1996 4,26 1,04

Desa

1990 0,31 1,25

1993 0,52 1,09

1996 1,30 1,30

Kota + Desa

1990 0,83 1,09

1993 1,25 1,04

1996 2,34 1,20

SUSENAS, BPS

I = < Rp 15.000,00 VII Rp 80.000,00 - Rp 99.999,00 11 = Rp 15.000,00 - Rp 19.999,00 Vill Rp 100.000,00 -Rp 149.999,00 III = Rp 20.000,00 - Rp 29.000,00 IX Rp 150.000,00 - Rp 199.999,00 IV = Rp 30.000,00 - Rp 39.999,00 X Rp 200.000,00 - Rp 299.999,00 V = Rp 40.000,00 - Rp 59.999,00 M Rp 300.000,00

VI = Rp 60.000,00 - Rp 79,999,00

(5)

Dampak krisis moneter terhadap konsumsi daging ayam

Pada pertengahan tahun 1997, di Indonesia terjadi krisis moneter yang salah satunya ditanda dengan kenaikan harga kebutuhan pangan pokok dan biaya produksi usahatani . Pengembanga komoditas yang banyak menggunakan komponen impor tetapi orientasi pasarnya adalah untli memenuhi kebutuhan domestik akan terkena dampak yang cukup serius dengan adanya krisi moneter.

Pengembangan komoditas ayam ras (petelur dan pedaging) membutuhkan impor bahan bak utama untuk pakan yang cukup besar proporsinya seperti komoditas jagung dan tepung ikar MenurutRusASTRA(1996), proporsi impor kedua bahan baku tersebut masing-masing adalah 259 clan 60%. Akibat hal tersebut harga pakan juga menjadi mahal, dari sekitar Rp 800 menjadi R 1600/kg terhitung mulai bulan Juli 1997 sampai dengan Januari 1998(SETIAWAN, 1998) .

Selanjutnya dipastkan bahwa keadaan semakin parah dengan adanya keputusan Preside No.37/1998 tanggal 9 Maret 1998 yang isinya pemerintah tidak lagi menanggung Paja Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas pakan jadi, pakan konsentrat dan bahan baku pakaj Implikasi dari Keppres ini adalah naiknya harga pakan jadi sebesar 10% yaitu sekitar Rp 12 sampai Rp 150 per kilogram, sedangkan harga konsentrat menjadi Rp 190 per kilogram.

Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah harga daging terutama daging ayam n meningkat tajam. Sebelum krisis moneter harga daging ayam ras sekitar Rp 5.000/kg, namun seja krisis moneter menjadi sekitar Rp 10.000 sampai Rp 12.000 per kg.

Di sisi lain dampak krisis moneter adalah menurunnya daya beli penduduk yang tercermi dari meningkatnya jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Pada masa sebelum krisis, jumla penduduk miskin hanya 27 juta jiwa meningkat menjadi 80 juta jiwa sejak krisis moneter. KarelI konsumsi daging ayam dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, maka dapat dipastikan tingkj konsumsi daging ayam terutama ayam ras akan menurun dengan adanya dampak krisis tersebq Hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian pada bulan Juni 191 memperkuat argumen tersebut. Penelitian yang dilakukan di sentra produksi padi di Jabar, Jatenj dan Jatim diperoleh informasi bahwa tingkat konsumsi daging ayam pada krisis moneter adals menurun dibandingkan keadaan sebelum krisis.

Perspektif pengembangan ayam buras di Indonesia

Industri perunggasan memegang peranan penting dalam penyediaan lapangan kerj penghematan devisa dan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Keberhasilan indusi perunggasan telah berhasil menyediakan produk pangan ternak terutama telur dan daging ungg dalam jumlah yang cukup dan terjangkau daya beli masyarakat. Sehingga Indonesia maml mencapai swasembada daging unggas clan telur bahkan sudah mulai merintis dan menjajagi pas ekspor.

Namun demikian pengembangan industri perunggasan tidak terlepas dari permasalalu struktural yaitu (1) produksi produk perunggasan didominasi oleh produksi ayam ras pedaging do petelur, sementara pengembangan ayam buras clan itik tertinggal, (2) pengembangan ayam rj mengalami ketergantungan yang cukup besar terhadap bahan baku impor, (3) industri ayam r

didominasi oleh industri skala besar dan (4) tingkat efisiensi yang lebill rendah dibandingkt dengan usaha sejenis di negara lain(PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN, 1998).

Mengingat pada permasalahan tersebut, usaha perunggasan menjadi rentan terhadap gejolo eksternal seperti krisis moneter yang dihadapi sekarang ini. Krisis moneter berdampak terhadr

(6)

biaya produksi, daya beli masyarakat, permintaan produk perunggasan dan upaya peningkatan produksi perunggasan. Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan konsumsi daging ayam dalam jangka pendek/menengah, maka pengembangan ayam buras perlu ditingkatkan, mengingat biaya produksi ayam buras relatif murah dan sebagian besar penduduk telah terbiasa mengusahakan usaha tersebut. Salah satu cara dengan memberikan bantuan permodalan dan pemnnaan secara khusus kepada usaha ternak ayam buras yang telah mengusahakan usahanya dengan sistem intensif maupun semi intensif. Pada kelompok ini nampaknya paling siap berberan nyata untuk mencegah kemerosotan produksi perunggasan dan konsumsi daging ayam. Disamping itu, minat swasta untuk melakukan investasi pada komoditas di atas perlu dipacu melalui dukungan teknologi, permodalan, infrastruktur dan kelembagaan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN

Tingkat partisipasi dan konsumsi daging ayam cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik di wilayah kota maupun wilayah desa. Namun kecenderungan tersebut terjadi pada saat sebelum terjadi krisis moneter, yaitu pada saat daya beli masyarakat masih cukup tinggi dan harga daging masih murah. Keadaan berbeda pada waktu terjadi krisis moneter. Dampak krisis moneter adalah harga daging ayam terutama ayam ras menjadi sekitar dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga sebelum krisis dan daya beli masyarakat menjadi turun drastis. Sementara, tingkat konsumsi daging ayam berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan, dalam arti semakin tinggi pendapatan rumah tangga akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi daging ayam. Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan konsumsi daging ayam dalam jangka pendek/menengah, maka pengembangan ayam buras perlu ditingkatkan, dengan salah satu cara memberikan bantuan permodalan dan pemnnaan khusus kepada usaha unggas ayam buras yang telah mengusahakan usahanya dengan sistem intensif dan semi intensif.

DAFTAR PUSTAKA

ARV{m, M. danS.H . GATOET . 1996 .Upaya Peningkatan Konsumsi Pangan Asal Temak di Indonesia.Media Gizi dan Keluarga,Tahun XX, No. 1, Junlsan GMSK, Fak. Pertanian, IPB. Bogor

PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN. 1998 . Keragaan Produksi, Dlstrlbusl Produksi dan harga Relatif Input-Output Usahatani Padi. Laporan Intern P/SE. Bogor.

PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN. 1998 . Perspektif Kebijakan Industrl Penlnggasan Jangka Menengah Di Masa Krisis. Laporan Intern P/SE. Bogor.

SuHARDJo(tan MARTIANTO. 1992 . Analisis Tipologi Makanan Pokok. Makalah disajikan pada Workshop SUSENAS BPS, Jakarta, 15-16November.

SUHARDJO. 1998 . Dampak El-Nino dan Krisis Moneter pada Ketersediaan, Akses dan Distribusi Pangan dalam Prihatin Lahir Batin: Dampak Krisis Moneter dan Bencana El Nino Terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak di Indonesia dan Pilihan Intervensi. Edisi II. Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan dan LIPI bekerjasama dengan UNICEF, Jakarta.

SUHAD7i. 1993 . Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof Dr. Michael C; Prof Dr. B. Dannojo dan Prof. Dr.

Soekinnan. makalall disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, Jakarta,20-22April.

SETIAWAN, H. 1998 .Refonnulasi Pakan.Majalalt hfovet,Edisi056April-Mei. Jakarta.

RUSASTRA, W. 1996 . Kinerja dan Perspektif Perdagangan Produk Penmggasan. Poultry IndonesiaNo. 195, Mei1996,Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan tingkat partisipasi konsumsi daging segar menurut wilayah (%)
Tabel 2. Perkembangan konsumsi daging ayam (kg/kapita)

Referensi

Dokumen terkait

Rerata kadar resistin dan TNF-α pada wanita hamil yang obesitas lebih tinggi dari pada yang memiliki berat badan normal pada Preeklamsi Berat Awitan Lambat. UCAPAN

adalah suplemen pakan dari bakteri hidup yang memberikan keuntungan terhadap ternak dengan meningkatkan keseimbangan mikro- flora dalam usus, karena mikroba yang

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan interaksi pemberian Pupuk Kandang Kotoran Ayam dan Pupuk NPK Mutiara Yaramila berpengaruh sangat nyata terhadap

Allport (dalam Nurcahyaningsih, 2003, h.21) mendukung pernyataan di atas dengan berpendapat bahwa pada dasarnya harga diri adalah evaluasi terhadap diri sendiri. 38)

(2) Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan dapat dilakukan verifikasi terlebih dahulu oleh lembaga

Dalam era globalisasi dan ditengah gempuran kecanggihan teknologi informasi pekerjaan seorang pustkawan tidak hanya bersifat teknis tetapi pustakawan dituntut untuk

Videografi memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi banyak pelajaran dikurikulum melalui proses aktif membuat video. Sebagai tambahan dalam keterampilan

Banyak akun yang membahas tentang Persebaya dan Bonek, namun berdasarkan jumlah followers dan like, akun Bonek Persebaya memiliki followers terbanyak daripada