• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

44

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Muallim Hasibuan

Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Al-Aziziyah Kota Sabang Email: muallim_hsb@yahoo.co.id

Abstrak

Marriage in Islam is not merely an ordinary civil relationship or contract, but marriage is the Sunnah of the Prophet Muhammad, and the most suitable medium between Islamic religious guidance and instinctive or biological human needs that contain the meaning and values of worship. In Islamic marriage law, there is a principle known as the principle of selectivity. A person who wants to marry must first select who he can marry and with whom he is forbidden to marry. Even in customary law, it is actually known that there is a prohibition on marriage that is more specific than what is regulated by religion and legislation. In the patrilineal Batak society, men and women of the same clan/descendant are prohibited from marrying, if a Batak man wants to marry, he must look for another woman from another clan. It is not permissible for a woman to marry a woman who is out of Islam, she is not religious because she does not stay in her religion. He is not a Muslim because he is nothing more than an infidel like the Watsaniyah (idol worshipers), because marriage has character and has religious indications. The marriage of a Muslim man with a woman of the People of the Book who does not associate with Allah is permissible, but on the other hand the marriage of a Muslim woman with a man of the People of the Book is prohibited.

Keywords: Marriage, People of the Book Abstrack

Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW, dan media yang paling cocok antara panduan agama islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia yang mengandung makna dan nilai- nila ibadah. Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas selektivitas. Seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Di dalam hukum adatpun sebenarnya dikenal adanya larangan perkawinan yang lebih spesifik melampaui apa yang diatur oleh agama dan perundang undangan. Dalam masyarakat Batak yang bersifat patrilineal, pria dan wanita semarga/keturunan yang sama dilarang melakukan perkawinan, jika pria Batak mau kawin harus mencari wanita lain dari marga yang lain pula. Tidak boleh bagi seorang menikahi wanita yang keluar dari agama Islam, ia tidak beragama karena tidak menetap pada agamanya. Ia bukan muslim karena ia tidak lebih sebagai seorang kafir seperti

(2)

45

Watsaniyah (penyembah berhala), karena pernikahan itu mempunyai karakter dan berindikasi agama. Perkawinan lelaki muslim dengan wanita Ahli Kitab yang tidak mempersekutukan Allah diperbolehkan, tetapi sebaliknya perkawinan seorang wanita muslin dengan laki-laki Ahli Kitab dilarang.

Kata Kunci: Perkawinan, Ahli Kitab

(3)

46 A. Pendahuluan

Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW, dan media yang paling cocok antara panduan agama islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia dan mengandung makna dan nilai-nila ibadah. Amat tepat kiranya jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat, perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1

Apabila pernikahan dipahami hanya sebagai ikatan atau kontrak keperdataan saja, akan dapat menghilangkan nilai kesucian pernikahan sebagai bentuk instrument ibadah sosial kepada Allah SWT. Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada laki-laki dan perempuan yang mampu, dalam hal ini yang disapa adalah generasi muda (al-syabab) untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari zina.2

Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat dari Abdullah ibn Mas’ud Radiyallahu Anhu, Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya;

“Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu menyiapkan bekal bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji.

Barangsiapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng.

Pernikahan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur tentang perkawinan antar warga negara asing dan warga negara Indonesia atau perkawinan campuran. Adalah suatu langkah pembaruan yang cukup berani yang ditempuh oleh Kompilasi

1 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal.

53

2 Ahmad Rofiq, Hukum…, hal. 53

(4)

47

Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama Islam dengan selain Islam ke dalam bab larangan perkawinan. Dimana pada Pasal 40 ayat 3 disebutkan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.3

Perkawinan merupakan ikatan yang paling dalam, kuat dan kekal yang menghubungkan antara dua anak manusia yang berlainan jenis dan meliputi respon-respon yang paling luas yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, harus terdapat kesatuan hati, harus bertemu dalam ikatan yang tidak mudah lepas. Supaya hati bisa bersatu maka harus satu pula apa yang menjadi kepercayaannya dan tujuan menghadapnya. Akidah agama merupakan sesuatu yang paling dalam dan menyeluruh dalam membangun jiwa, mempengaruhinya, membentuk perasaannya, membatasi respon- responnya dan menentukan jalan seluruh aspek kehidupan.4

Maka sebelum kita mengutarakan maksud yang terselubung di hati, sebaiknya kita selidiki lebih dahulu, agar terdapat persesuaian paham. Nabi SAW telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu;

yang beragama dan menjalankannya, keturunan orang yang subur (mempunyai keturunan yang sehat) dan karena hartanya.5

Dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, sesungguhnya perempuan itu dinikahi karena agamanya, hartanya dan kecantikannya, maka pilihlah yang beragama. (Riwayat Muslim dan Tirmizi)

B. Pembahasan

1. Pengertian Pernikahan

Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan

3 Ahmad Rofiq, Hukum…, hal. 53

4 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Darusy Syuruq, Beirut, 1992, hal. 284

5. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), SInar Baru Algesindo, Bandung, 1986, hal. 379

(5)

48

kewajiban diantara keduanya. Dalam pengertian luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga yang dilangsugkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.6

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi.

Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping secara majazi diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.7

Al- Quran juga menggunakan kata zawwaja dari kata zawj yang berarti

“pasangan” untuk makna diatas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam pelbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.8 Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti memberi) digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Muhammad SAW dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri.

Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi SAW. (QS. Al-Ahzab ayat 50).

Pernikahan atau tepatnya keberpasangan, merupakan ketetapan Ilahi atas segala mahluk. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Dzariat ayat 49.

















Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah.

6 Moh. Rifai, Fiqih Islam Lengkap, Toha Putra, Semarang, 2014, hal. 420.

7 M.Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Perbagai Persoalan Umat, Mizan Pustaka, Bandung, 2007, hal. 253.

8 M.Qurais Shihab, Wawasan…, hal. 253

(6)

49

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh akrena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya perkawinan, sehingga beralihnya kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah.

Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin, karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak setelah tadinya ia meronta. Sakinah, karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.9

Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan atau dianjurkan oleh syara’

sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 3,

َعىبُرَو َثىلُ ثَو ىنْٰ ثَم ِء ۤا َسِ نلا َنِ م ْمُكَل َباَط اَم اْوُحِكْناَف

Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka nikahila seorang saja.

Hukum nikah ada lima, jais, sunnah, wajib, makruh dan haram. Adapun kelimanya dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Jaiz (boleh) adalah hukum asal nikah.

2. Sunnah, yaitu bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang pangan dan lain-lainnya.

3. Wajib, yaitu bagi orang yang cukup sandang pangan dan biaya nikah, akan tetapi jika tidak nikah di khawatirkan terjerumus ke lembah perzinahan.

4. Makruh, yaitu bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.

5. Haram, yaitu bagi orang yang berkehendak melakukan pernikahan, akan tetapi bertujuan menyakiti perempuan yang akan dinikahi.10

9 M.Qurais Shihab, Wawasan…, hal. 253

10 Moh. Rifai, Op.Cit, hal. 421

(7)

50 2. Tujuan Pernikahan

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki.11

Dengan demikian dapat diperoleh pengertian bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.

Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut Undang-Undang tidak terdapat perbedaan prinsipil. Sebab pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang adalah, Ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

Pernikahan merupakan ibadah yang bertujuan untuk menjaga kehormatan diri dan terhindar dari hal-hal yang dilarang agama. Menikah juga dapat membuat kita lebih mudah untuk menundukkan pandangan sehingga lebih mudah terhindar dari zina.

3. Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi

Untuk sahnya suatu akad nikah, disyaratkan agar tidak ada larangan larangan pada diri wanita tersebut untuk dikawini, artinya, boleh dilakukan akad nikah terhadap wanita tersebut. Larangan-larangan itu ada dua bagian,

11 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Edisi Revisi Dilengkapi Dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Pena, Banda Aceh, 2010, hal. 33

12 A. Hamid Sarong, Hukum…, hal. 33

(8)

51

karena hubungan nasab dan karena sebab yang lain. Larangan pertama keharamannya untuk selama-lamanya. Sedangkan yang kedua yang sebagian menyebabkan keharaman untuk selamanya dan sebagaian lagi hanya bersifat sementara.13

Larangan karena nasab, para Ulama mazhab sepakat bahwa wanita- wanita tersebut dibawah ini haram dinikahi karena hubungan nasabnya, antara lain:

a) Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.

b) Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan, hingga keturunan di bawahnya.

c) Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu.

d) Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan seterusnya.

e) Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya.

f) Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.

g) Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di bawahnya.

Dalil yang dijadikan pijakan untuk itu adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 23.

ِخَْلْا ُتىنَ بَو ْمُكُتىلىخَو ْمُكُتى مَعَو ْمُكُتىوَخَاَو ْمُكُتى نَ بَو ْمُكُتىهَّمُا ْمُكْيَلَع ْتَمِ رُح ِتْخُْلْا ُتىنَ بَو

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu laki-laki dan perempuan… (QS.An-Nisaa 23)

Adapun yang dilarang karena sebab lain, seperti karena ikatan perkawinan (Mushaharah). Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-

13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I Hambali) Edisi Lengkap, Lentera, Jakarta, 2006, hal. 326

(9)

52

laki dengan perempuan yang dengan itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut;

a. Seluruh mazhab sepakat bahwa istri ayah haram dinikahi oleh anak kebawah, semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri ataupun belum. Dalilnya adalah firman Allah dalam Al-Quran Surah An-Nisa ayat 22.

َبٰا َحَكَن اَم ا ْوُحِكْنَت َلَ َو ْمُكُؤۤا

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu. (QS.4:22) b. Demikian juga seluruh mazhab sependapat bahwa istri anak laki-laki haram dinikahi oleh ayah keatas, semata-mata karena akad nikah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa ayat 23 yang artinya,

....dan diharamkan bagimu istri-istri anak-anakmu. (QS. 4:23)

c. Seluruh mazhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dinikahi, hanya karena semata-mata adanya akad nikah

dengan anak perempuannya. … dan

diharamkan bagimu ibu istrimu (QS.4:23)

d. Seluruh mazhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak perempuan tiri) tidak haram dinikahi semata semata-mata karena adanya akad nikah. Dia boleh dinikahi sepanjang ibunya belum dicampuri, dipandang dan disentuh dengan birahi, berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 23.

…dan anak-anak perempuan istri-istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah engkau campuri (QS.4:23)

Kalimat yang berbunyi, “yang ada dalam pemeliharaanmu” semata- mata menunjukkan kelaziman anak perempuan tiri itu tinggal bersama-sama ibunya di rumah suami ibunya itu. Semua mazhab sepakat bahwa seorang haram mengawini anak perempuan dari wanita yang telah melakukan akad dan telah pula dicampuri oleh dirinya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam

(10)

53

hal itu, manakala dia telah melakukan akad dengan wanita tersebut tetapi belum dicampurinya namun sudah melihat dan menyentuhnya dengan birahi.14

Imamiyah Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa keharaman hanya terjadi setelah dicampuri. Menyentuh, memandang dengan birahi dan sebagainya tidak berpengaruh. Sementara imam Hanafi dan Maliki sependapat bahwa menyentuh dan melihat yang disertai dengan birahi menyebabkan keharaman, persis seperti mencampuri.15

Menyatukan dua wanita “Muhrim” sebagai istri, seluruh mazhab sependapat dalam hal keharaman mengawini dua wanita bersaudara sekaligus.

Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah An-Nisaa ayat 23.

…dan haram bagimu mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri. (QS.4:23) Demikian juga hadis Nabi tentang keharaman dalam mengumpulkan dalam satu nikah antara dua saudara atau wanita dengan bibinya, 16

Dari Abu hurairah ra, berkata ia, Bersabda Rasulullah SAW, tidak boleh dikumpulkan (dimadu) istri dengan saudaranya atau dengan bibinya. (Bukhari, Muslim)

Keempat mazhab sepakat tentang ketidakbolehan menyatukan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah sebagai istri dan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya. Sebab, dikalangan mereka berlaku hukum kulli (umum), yaitu ketidakbolehan menyatukan dua orang yang kalau seandainya salah satu diantara kedua orang itu laki-laki, dia haram mengawini yang perempuan. Artinya, kalau kita andaikan bibi si wanita itu adalah pamanya (dari pihak ayah) atau keponakan perempuannya adalah keponakan laki- lakinya (dari saudara laki-laki), pasti dia tidak boleh mengawininya. Demikian pula bahwa bila dianalogikan dengan bibi dari pihak ibu dan anak perempuan dari saudara perempuan.

14 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima…, hal. 328

15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima…, hal. 328

16Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, Himpunan Hadist Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari Dan Muslim, PT. Bina Ilmu,Surabaya, 1996, hal. 480

(11)

54

Demikian juga halnya bahwa semua mazhab sepakat bahwa laki-laki boleh beristri empat dalam waktu bersamaan, dan tidak boleh lima. Apabila salah seorang diantara keempat istri itu ada yang lepas dari tangannya karena meninggal atau diceraikan, maka orang tersebut boleh kawin dengan wanita lainnya.17 Demikian juga para Ulama Mazhab sepakat bahwa apabila seorang suami menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, yang didahului oleh dua kali talak raj’i, maka haramlah istrinya itu baginya sampai ada pria lain yang mengawininya. Terkait dengan pernikahan dengan wanita yang berbeda agama akan dibahas khusus pada pembahasan selanjutnya.

4. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektik Hukum Islam

Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.18 Di dalam hukum adatpun sebenarnya dikenal adanya larangan perkawinan yang lebih spesifik melampaui apa yang diatur oleh agama dan perundang undangan. Dalam masyarakat Batak yang bersifat patrilineal, pria dan wanita semarga/keturunan yang sama dilarang melakukan perkawinan, jika pria Batak mau kawin harus mencari wanita lain dari marga yang lain pula.

Hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fikih disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi). Di masyarakat istilah ini sering disebut dengan muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu tepat.

Muhrim kalaupun kata ini ingin digunakan maksudnya adalah suami, yang menyebabkan istrinya tidak boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i. Ulama fikih telah

17 Muhammad Jawad Mughniyah, Op.,Cit, hal. 430

18 Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No.1/1974 Sampai KHI. Prenada Media, Jakarta.2004, hal. 144

(12)

55

membagi mahram ini kepada dua macam, mahram mua’aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan mahram abbad (larangan untuk selamanya)19

Larangan yang bersifat mua’aqqat (larangan untuk waktu tertentu) seperti yang termuat pada pasal 40 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, seperti, karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain dan seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal yang termasuk larangan kawin. Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya lebih rinci dan tegas, bahkan Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mengikut sistematika fikih yang telah baku.

Tidak boleh menikahi wanita atheis yang ingkar terhadap semua agama dan tidak beriman kepada wujudnya Tuhan. Demikian juga tidak boleh menikahi wanita yang beriman kepada agama selain agama samawi, seperti agama-agama yang diciptakan manusia, seperti agama Majusi yang menyembah api, Watsaniyah yang menyembah berhala, Shabiah yang menyembah bintang-bintang dan benda-benda langit dan Hindu yang menyembah sapi.20

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 221,

ْوَلَّو ٍةَكِرْشُّم ْنِ م ٌرْ يَخ ٌةَنِمْؤُّم ٌةَمََلَْو ۗ َّنِمْؤُ ي ى تَّح ِتىكِرْشُمْلا اوُحِكْنَ ت َلَْو ْمُكْتَ بَجْعَا

ۚ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. (QS. Al-Baqarah ayat 221)

19 Amiur Nuruddin dkk, Hukum…, hal. 145

20 Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, Amzah, Jakarta, 2011, hal. 112

(13)

56

Demikian juga disebutkan dalam surah Al-Muntahanah ayat 10,

ِرِفا َوَكْلا ِمَصِعِب ا ْوُكِسْمُت َلَ َو

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan- perempuan kafir. (QS. Al-Muntahannah (60): 10)

Tidak boleh bagi seorang menikahi wanita yang keluar dari agama Islam, ia tidak beragama karena tidak menetap pada agamanya. Ia bukan muslim karena ia tidak lebih sebagai seorang kafir seperti Watsaniyah (penyembah berhala). Pernikahan itu mempunyai karakter dan berindikasi agama, orang murtad tidak beragama karena ia juga tidak berpendirian pada agamanya walaupun telah berpindah kepada agama samawi lain.

Bagi seorang muslim halal menikahi wanita kitabiyah yang disandarkan kepada agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani, demikian menurut jumhur fuqaha, karena firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5.

َوۖ ْمُهَّل ٌّل ِح ْمُكُماَعَط َوۖ ْمُكَّل ٌّل ِح َبٰتِكْلا اوُت ْوُا َنْيِذَّلا ُماَعَط َو ُُۗتٰبِ يَّطلا ُمُكَل َّل ِحُا َم ْوَيْلَا َصْحُمْلا َو ِتٰنِمُْْمْلا َنِم ُتٰنَصْحُمْلا

َن ِم ُتٰن

ْبَق ْن ِم َبٰتِكْلا اوُت ْوُا َنْيِذَّلا ْمُكِل

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita- wanita yang beriman dan wanita wanita menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah ayat 5)

Ayat diatas memberi penjelasan tentang halalnya wanita yang terpelihara dari pada wanita mukminah dan kitabiyah. Para sahabat sepakat diperbolehkannya hal tersebut kecuali Abdullah bin Umar. Sisi perbedaan antara wanita musyrikah dan kitabiyah bahwa musyrikah tidak pernah bertemu dengan muslim. Tidak sama akidahnya dalam islam, baik sedikit atau

(14)

57

banyak, sementara kitabiyah bertemu dengan Islam bahwa ia agama samawi dan dasar-dasar agama samawi juga satu.21

Iman Syafi,i berkata, Ahli Kitab yang halal menikahi istri-istri mereka adalah ahli kitab yang terkenal dengan Taurat dan Injil, mereka adalah Yahudi dan Nasrani bukan Majusi. Demikian pula Muslim tidak sah menikahi wanita yang dilahirkan dari campuran antara Kitabi dan Majusi, sekalipun bapaknya Kitabi, karena memenangkan keharaman. Hikmah keharaman ini adalah membedakan antara muslim dan antara orang yang tidak beragama, karena tidak akan tercapai ketenangan dan kasih sayang sebagaimana yang dicita- citakan dalam perkawinan.22

Haram mengadakan hubungan perkawinan antara dua hati yang tidak sama akidahnya. Karena dalam kondisi seperti ini hubungannya adalah palsu dan lemah, keduanya tidak bertemu dalam akidah mengenai Allah dan kaidah hidupnya tidak ditegakkan atas manhaj Allah. Allah telah memuliakan manusia dan mengangkat derajatnya di atas derajat binatang. dia menghendaki agar hubungan ini bukan karena kecendrungan atau keinginan yang bersifat kebinatangan dan bukan semata-mata karena dorongan syahwat.23

Oleh karena itu, datanglah disini nash yang pasti, “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. Apabila dia telah beriman, kama hilanglah sekat yang memisahkan, dapatlah bertemu kedua hati itu pada akidah Allah. Dan selamatlah unsur-unsur kemanusian antara keduanya dari hal-hal yang menghalanginya dan merusaknya sehingga selamat dalam jalinan akidah.

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik bagimu daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”

21 Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqh.., hal. 113

22 Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqh…, hal 112.

23 Op.,Cit, Sayyid Quthb, hal. 285

(15)

58

Ketertarikan ini hanya semata-mata bersumber dari insting, tidak disertai dengan rasa kemanusiaan yang luhur dan tidak lebih tinggi dari kedudukan anggota tubuh panca indra, padahal keindahan hati itu lebih dalam dan lebih mahal. Sehingga seandainya wanita itu bukan wanita merdeka sekalipun, penisbatannya kepada Islam akan mengangkat derajatnya melebihi kedudukan wanita musyrikah.

Adapun masalah perkawinan lelaki Ahli Kitab dengan wanita muslimah maka hal ini terlarang. Hal ini berbeda dengan perkawinan lelaki muslim dengan wanita Ahli Kitab yang tidak mempersekutukan Allah, dalam hal ini terdapat perbedaan hukum. Sesungguhnya anak-anak itu dinisbatkan kepada ayahnya menurut hukum islam. Maka apabila seorang laki-laki muslim menikah dengan dengan seorang wanita Ahli Kitab yang tidak mempersekutukan Allah, berpindahlah si wanita itu kepada keluarga si suami, dan anak-anak yang dilahirkan dinisbatkan kepada suaminya. Maka Islamlah yang melindungi dan menaungi tempat perlindungan itu.

Sebaliknya apabila wanita muslimah menikah dengan lelaki Ahli Kitab, maka ia akan hidup jauh dari keluarganya. Kadang-kadang karena kelemahannya dan sudah hidup menyatu dengan suami dan keluarganya yang non muslim, maka ia terfitnah dari keislamannya dan anak-anaknya pun dinisbatkan kepada bapaknya.24

Perbedaan antara suami muslim yang menikah dengan istri kitabiyah dengan suami kitabiyah istri muslimah, yang pertama diperbolehkan dan yang kedua terlarang. Suami muslim sebagai pimpinan rumah tangga diperintahkan Islam meminpin istri kitabiyah dan tidak menentang akidah dan keimanannya, ia pun mengimani kenabian Nabi Musa dan Isa. Berbeda dengan suami kitabi yang berpasangan dengan istri muslimah, ia tidak mengimani Nabinya umat Islam sebagai nabi, yaitu nabi Muhammad, itulah yang menyebabkan ia menyakiti istrinya dan menfitnah agamanya.25

24Op.,Cit, Sayyid Quthb,, hal 286

25 Op.,Cit Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, hal. 116

(16)

59

Kalimat wala tankihu (اوُحِكْنَت َلَ َو) pada surah Al Baqarah ayat 221 ini artinya, janganlah kamu nikahi atau janganlah kamu kawini. Pelarangan ini dihadapkan Allah SWT kepada sekalian kaum muslimin secara umum tanpa kecuali. Dengan lain perkataan Allah SWT, melarang seluruh kaum muslimin nikah dengan wanita-wanita yang musrik.

Ulama berbeda pendapat tentang perempuan musyrik yang haram dinikahi itu. Sebagian mengatakan bahwa yang haram dinikahi itu hanyalah perempuan kafir penyembah berhala. Demikian keterangan Qatadah dan selanjutnya ia berkata, surah Al-Baqarah ayat 221, diturunkan kepada Abu Marsad Al-Ghinawi ketika ia diutus Rasulullah ke Mekkah, disana ia bertemu dengan seorang perempuan musyrik yang bernama Inaq, yang telah berkenalan dengannya pada zaman zahiliyah. Perempuan itu memintanya supaya mengawininya, tetapi Abu Marsad belum mau mengabulkan permintaan itu dan berjanji untuk terlebih dahulu menanyakannya kepada Rasulullah SAW, di Madinah. Sesampainya di Madinah, ditanyakannya kepada Rasulullah, maka berdasarkan kasus tersebut turunlah ayat ini.26

Adapula yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan musyrik disini adalah umum, bukan saja musyrik penyembah berhala tetapi juga termasuk Ahli Kitab. Seperti orang Yahudi dan Nasrani karena mereka juga termasuk golongan musyrik seperti firman Allah dalam Al-Quran surah At- Taubah ayat 30.

ۗ ِى للّا ُنْبا ُحْيِسَمْلا ىَرىصَّنلا ِتَلاَقَو ِى للّا ُنْبا ِ ُرْ يَزُع ُدْوُهَ يْلا ِتَلاَق ََ

“orang Yahudi berkata, Uzair anak Allah dan orang Nasrani berkata Isa Al-Masih adalah anak Allah.”

Sebagian ulama berkata, Allah telah mengharamkan menikahi sekalian perempuan musyrik dan termasuk Ahli Kitab. Kemudian turun ayat di dalam surah Al Maidah menasakhkan ayat ini, yakni mengahalalkan menikahi

26 Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam. Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 86

(17)

60

perempuan Ahli Kitab, atau paling tidak ayat ini men takhsiskan ayat Al- Baqarah dengan arti dikecualikan perempuan Ahli Kitab. Demikian yang telah diceritakan dari Ibnu Abas, Malik, Sufyan bin Said, Abdurrahman bin Umar dan Auza’i. Demikian juga qaul Usman bin Affan, Talhah, Jabir, Said bin Musayyab, Said bin Zubair, Hasan, Thawus, Ikrimah, Sya’bi dan Dahhak, sebagaimana yang telah diceritakan Nahas dari Qurthubi. Telah menambahkan Ibnu Munzir terhadap perkataan Umar Ibnu Al-Khattab, tidak dapat dibenarkan perkataan orang yang mengharamkan itu.27

Akan tetapi, terdapat beberapa peristiwa yang menjadikan mubahnya perkawinan lelaki muslin dengan wanita Ahli Kitab menjadi makruh. Ini antara lain adalah pandangan Umat Ibn Khathtab r.a. Ibnu Katsir meriwayatkan di dalam tafsirnya, Abu Ja’far bin Jarir rahimahullah berkata sesudah mengemukakan ijma ulama tentang bolehnya mengawini wanita Ahli Kitab.

Sesungguhnya Umar memakruhkan hal itu, supaya orang-orang tidak menjauhi wanita muslimah.

C. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan ini antara lain:

1. Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal asas selektivitas, dimana seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.

2. Tidak boleh menikahi wanita atheis yang ingkar terhadap semua agama dan tidak beriman kepada wujudnya Tuhan. Demikian juga tidak boleh menikahi wanita yang beriman kepada agama selain agama samawi, seperti agama-agama yang diciptakan manusia, seperti agama Majusi yang menyembah api, Watsaniyah yang menyembah berhala, shabiah yang menyembah bintang-bintang dan benda-benda langit dan Hindu yang menyembah Sapi.

27 Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir…, hal. 86

(18)

61

3. Perkawinan lelaki muslim dengan wanita Ahli Kitab yang tidak mempersekutukan Allah diperbolehkan, karena apabila seorang laki- laki muslim menikah dengan dengan seorang wanita Ahli Kitab yang tidak mempersekutukan Allah, berpindahlah si wanita itu kepada keluarga si suami, dan anak-anak yang dilahirkan dinisbatkan kepada suaminya. Maka Islamlah yang melindungi dan menaungi tempat perlindungan itu. Berbeda dengan perkawinan antara lelaki Ahli Kitab dengan wanita muslimah maka hal ini terlarang.

(19)

62

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Edisi Revisi Dilengkapi Dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Pena, Banda Aceh, 2010

Abdul Aziz Muhammad Azzam dkk, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, Amzah, Jakarta, 2011

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2007

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015

Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No.1/1974 Sampai KHI. Prenada Media, Jakarta.2004

M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Perbagai Persoalan Umat, Mizan Pustaka, Bandung, 2007

Moh. Rifai, Fiqih Islam Lengkap, Toha Putra, Semarang, 2014

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, Himpunan Hadist Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari Dan Muslim, PT. Bina Ilmu,Surabaya, 1996 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I

Hambali) Edisi Lengkap, Lentera, Jakarta, 2006

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Darusy Syuruq, Beirut, 1992

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pengantar Imam Hasan Al- Banna, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1986

Syekh, H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, Prenada Media, Jakarta, 2006

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pakuncen Wirobrajan Wogyakarta pada tahun 2012 juga menunjukkan hal yang serupa bahwa ada hubungan lemah antara indeks massa

Berdasarkan penelitian tentang Prevalensi Skoliosis Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas pada Sekolah Dasar Negeri Sumber

Baja karbon tinggi memiliki karbon 0,6% C-1,5% C serti memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari baja karbon sedang, namun keuletannya rendah. Baja dengan karbon

Studi Ruang Khusus – Ruang Kamar Unit Hunian Bangunan kompleks Rumah Susun Kontainer di Semarang merupakan hunian yang memanfaatkan material peti kemas sebagai material utama

Akhibatnya, bertumbuh subur perilaku menyimpang, seperti: bangga melanggar hukum, kurang sikap kritis, kurang jujur, kurang mengakui dan menghargai kelebihan orang

Model 1: Rotation Bentuk umum model rotasi adalah dalam kuliah yang diberikan selama satu semester, siswa kembali pada jadwal tetap antara pembelajaran online ,

Input diterima Jika mesin ditolak Pada state akhir jika mesin halt..