• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI pelangg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI pelangg "

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL

JURNAL

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

OLEH:

ELISA APRILIA

NIM: 110200194

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL

ABSTRAKSI

Elisa Aprilia*

Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H** Arif, S.H., M.Hum***

Perkembangan teknologi di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal-kapal yang sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Peningkatan jumlah penemuan bangkai kapal ini kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan harta karun dalam hukum internasional, konsep kepemilikan harta karun, serta bagaimana bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.

Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS 1982 dan Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dengan adanya bentuk/model perjanjian kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun 2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Kata kunci: Harta Karun, Kepemilikan, Perairan Internasional

* Peneliti

(3)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL

ABSTRACT

Elisa Aprilia*

Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H** Arif, S.H., M.Hum***

The improvement of deep seabed exploration technology has triggered the efforts to find and salvage the shipwrecks as well as its cargo from the international seabed. The increasing number of the wrecks discoveries thus caused the legal uncertainty regarding the ownership of the shipwrecks since there are several competing interests of various parties therein.

The issues discussed in this paper are an overview of international regulation of underwater cultural heritage, the concepts of ownership regarding the underwater cultural heritage, and how to solve the disputes of ownership of shipwrecks found in international waters.

The research method used in this paper is normative legal research method, by collecting the materials from books, journals, internet, international law instruments and another scientific papers which in line with the purpose of the accomplishment of this paper.

International law actually does not regulate specifically in international conventions regarding the ownership of underwater cultural heritage found in international waters. International conventions such as UNCLOS 1982 and UNESCO Convention 2001 on the Protection of Underwater Cultural Heritage only emphasize the issue of protection without elaborated the ownership issues in advance. However, with a new innovation of cooperation agreement in the underwater cultural heritage salvation such as Sussex Agreement in 2002, the deficiency of the current legal framework can be resolved, accomodated all the competing interest in a practical way as well as avoided the complex litigation procces.

Key Words: Underwater Cultural Heritage, Ownership, International Waters.

* Peneliti

(4)

PENDAHULUAN

Kapal-kapal karam yang berada di dasar laut perairan internasional merupakan situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini.1 Hal ini dikarenakan, bangkai-bangkai kapal tersebut mengandung berbagai macam muatan yang memiliki nilai budaya, historis, serta arkeologis.2

Karena bangkai-bangkai kapal berada di dasar laut, sudah tentu keberadaannya sangat rentan mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh peristiwa alam maupun akibat perbuatan manusia. Gunung berapi dan gempa bumi bawah laut merupakan contoh peristiwa alam yang berpotensi menimbulkan bahaya. Sementara perbuatan manusia yang berpotensi mengakibatkan kerusakan atau kehancuran bagi bangkai-bangkai kapal misalnya pembuangan limbah serta aktivitas pencarian ikan yang menggunakan bahan-bahan peledak.3

Perkembangan teknologi di bidang eksplorasi dasar laut kemudian menimbulkan usaha dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan bangkai-bangkai kapal yang telah karam di dasar laut selama beberapa waktu.4 Keadaan inilah yang memicu para penyelamat (salvors) untuk kemudian memperjualbelikan hasil penemuannya dengan maksud untuk mengganti seluruh biaya serta usaha yang telah mereka lakukan.5

Kebanyakan salvors ini berasal dari perusahaan-perusahaan komersil yang bergerak khusus dibidang eksplorasi laut dalam maupun kapal karam. Karena

salvors merupakan perusahaan, tentunya mereka harus memperoleh keuntungan atas usaha yang telah mereka jalankan tanpa memperhatikan nilai dan standar arkeologis dari penemuan tersebut.6 Kebutuhan akan dana yang besar dan waktu yang sangat lama dalam menemukan serta memulihkan bangkai kapal serta muatannya, membuat negara serta para arkeolog tidak dapat memainkan peran signifikan dalam upaya penyelamatan seperti yang dilakukan oleh salvors dari perusahaan komersil.7

Keberadaan nilai komersil dari muatan bangkai-bangkai kapal ini kemudian menimbulkan isu mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal beserta muatannya di perairan internasional. Namun sampai saat ini belum ada pengaturan internasional yang mengatur lebih lanjut mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut.

1

David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea , 30 U. Miami Inter-Am. L. Rev. 99 (1998), hal. 102

2 David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001), hal. 280

3

Sean A. Kingsley, Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel & Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009), dapat diakses pada http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000. pdf [diakses tanggal 31 Februari 2015]

4

Amber Crossman Cheng, All In The Same Boat? Indigenous Property Rights in Underwater Cultural Heritage, 32 Hous. J. Int‟l L. (2010), hal. 698

5 Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for Marine Salvage, 26 A.L.R. Fed. 858 (2002), part 2

6 Jeremy Neil, Sifting Through the Wreckage: An Analysis and Proposed Resolution Concerning the Disposition of Historic Shipwrecks Located in International Waters, 55 N.Y. L. Sch. L. Rev. 895 (2010), hal. 904

(5)

PEMBAHASAN

A.PENGATURAN HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1. Ruang Lingkup Harta Karun

Definisi harta karun dalam hukum internasional saat ini telah dikodifikasi ke dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini mendefinisikannya sebagai berikut:

Underwater cultural heritage means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context; and (iii) objects of prehistoric character.8

(Warisan Budaya Bawah Air merupakan seluruh jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam air, secara berkala, terus-menerus, setidaknya selama seratus tahun, seperti: (i) situs, struktur, bangunan, artefak – artefak dan sisa – sisa manusia yang bersifat arkeologis dan alamiah; (ii) kapal, pesawat terbang, transportasi lain atau bagian daripadanya, muatannya atau isi lainnya yang bersifat arkeologis dan alamiah; (iii) barang-barang yang bersifat prasejarah.)

Ruang lingkup harta karun dalam karya tulis ini sendiri membahas secara spesifik warisan budaya bawah air yaitu mencakup kapal beserta muatannya yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang karam di dasar laut perairan internasional.

2. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia

Banyak orang yang mengidentikkan harta karun dengan sosok sekumpulan bajak laut yang tengah mengarungi lautan dengan menggengam botol minuman, burung beo di pundak, serta sebuah peta letak harta karun yang lambangkan

dengan simbol “X” sebagai tempat terkuburnya harta karun tersebut.9 Meskipun karakter tersebut merupakan fiktif belaka, namun keberadaan harta karun tersebut masih tetap ada sampai saat ini dalam sekitar tiga juta kapal karam yang berada didasar laut dan masih belum ditemukan. 10

Pada periode awal zaman modern, upaya penyelamatan sendiri dilakukan dengan melakukan penyelaman menggunakan diving bells.11 Pada 1658, Albrecht von Treileben dikontrak oleh Raja Gustavus Adolphus dari Swedia untuk

8 UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 [UCH Convention], pasal 1 ayat 1(a)

9

Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012), hal. 142

10 Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A World Of Sci., April – June 2009, hal 19 dan 22, dapat diakses pada http://portal.unesco.org /science/en/ev.php [diakses pada tanggal 31 Februari 2014]

(6)

menyelamatkan kapal perang Vasa, yang tenggelam di pelabuhan Stockholm pada pelayaran perdananya pada tahun 1628. Antara tahun 1663-1665 penyelam dari Von Treileben berhasil menyelamatkan sebagian besar meriam menggunakan

diving bells.12 Pada tahun 1687, Sir William Phipps menggunakan wadah terbalik untuk memulihkan £ 200.000 nilai harta dari kapal Spanyol yang tenggelam di lepas pantai San Domingo.

Pada zaman modern, upaya penyelamatan adalah menggunakan diving helmets yang ditemukan oleh Charles Deane, John Deane dan Augustus Siebe, di tahun 1830-an. Diving helmets sendiri merupakan alat yang dipakai oleh penyelam profesional dengan menggunakan peralatan/helm yang diisi dengan udara untuk bernapas yang disediakan dari pusat penyelam dari permukaan, pinggir pantai atau kapal pendukung penyelam, kadang menggunakan diving bell

secara tidak langsung.13

Royal George, kapal angkatan laut kerajaan Inggris memiliki 100 buah senjata, tenggelam saat menjalani tugas rutinnya tahun 1782, dan Deane bersaudara dengan menggunakan diving helmets barunya, berhasil memulihkan sekitar dua lusin meriam.

Beberapa operasi penyelamatan penting dalam sejarah diantaranya14:

1) Pemulihan dan konservasi lebih lanjut dari Mary Rose, kapal angkatan laut Raja Henry VII yang tenggelam pada tahun 1545 di Solent, bagian utara Isle of Wight. Penyelamatan Mary Rose pada tahun 1982 merupakan operasi penyelamtan yang kompleks dan merupakan pencapaian utama di bidang arkeologi laut.

2) Pada tahun 1968 Shipwrecks Inc., yang dikepalai by E. Lee Spence, berhak atas penyelamatan berlisensi dari South Caroline terhadap bangkai kapal Perang Saudara, SS. Georgiana yang ditemukan pada tahun 1965. Usaha ini merupakan penyelamatan arkeologi pertama yang terjadi di Amerika Serikat.15 Spence beserta anak buahnya berhasil memulihkan sekitar 1.000.000 artefak, yang nilainya berkisar US$12.000.000.

3) Penemuan kapal Nuestra Señora de las Mercedes pada tahun 2007, diklaim sebagai penemuan harta karun terbesar karena kapal tersebut membawa muatan yang diperkirakan bernilai US$500 million (£314 million).

3. Pengaturan Harta Karun Dalam Hukum Internasional

a. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)

UNCLOS merupakan satu – satunya konvensi internasional yang mengatur seluruh aspek hukum laut secara umum, namun pengaturan tentang kapal karam dalam konvensi ini hanya dimuat dalam dua pasal yakni pasal 149 dan 303.

12

Vasa Museet, dapat diakses pada http://www.vasamuseet.se/en/The-Ship/Important-dates/ [diakses tanggal 03 Maret 2015]

13 Gernhardt, ML, Biomedical and Operational Considerations for Surface-Supplied Mixed-Gas Diving to 300 FSW, dalam Lang, MA and Smith, NE (eds). Proceedings of Advanced Scientific Diving Workshop (Washington, DC: Smithsonian Institution, 2006)

14

Dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Marine_salvage [diakses tanggal 28 Februari 2015]

(7)

Pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur dengan jelas terkait dengan penemuan harta karun di wilayah perairan internasional. Pasal 149 menyatakan:

“All objects of an archaeological and historical nature found in the Area shall be preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard being paid to the preferential rights of the State or country of origin, or the State of cultural origin, or the State of historical and archaeological origin” yang

artinya “seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di

Kawasan harus dilestarikan ataupun dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat manusia, khususnya terhadap hak – hak istimewa negara atau negara asal (country of origin), atau negara asal budaya, atau negara asal historis dan arkeologis.”16

Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai objek-objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini

menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose”, yang artinya “negara-negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek-objek arkeologis dan

historis yang ditemukan di laut”.17

Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus merumuskan perlindungan maupun kepemilikan secara spesifik atas penemuan bangkai-bangkai kapal beserta muatannya.

b. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage/UCH Convention)

Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari seluruh hukum laut.

Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya.

Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional. Satu hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi komersial terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp umum konvensi

ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be commercially exploited” yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak boleh dieksploitasi secara komersial.”18

Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan warisan budaya bawah air,19 melestarikan warisan budaya bawah air untuk kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk

16 United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS], pasal 149

17 Ibid., pasal 303

(8)

melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum internasional.

c. International Convention on Salvage 1989

Konvensi ini menggantikan Brussels Convention on Salvage tahun 1910, yang sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai kapal karam bersejarah.

Konvensi ini mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap harta karun, dimana konvensi ini berfokus pada upaya penyelamatan terhadap bangkai kapal beserta muatannya dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dibanding konvensi-konvensi lain. Upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai tindakan atau kegiatan untuk membantu kapal berserta muatannya yang sedang dalam bahaya.20

Ketentuan dalam konvensi ini mengatur mengenai imbalan bagi salvor yang berhasil melakukan pemulihan atas bangkai kapal beserta muatannya21, kriteria pemberian imbalan,22 serta pemberian imbalan khusus.23

Konvensi ini memiliki istilah no cure, no pay, yang berarti salvor hanya akan diberi penghargaan/imbalan atas jasanya menemukan bangkai kapal, dengan kata lain jika upaya pemulihan berhasil dilakukan.

Konvensi ini juga mengatur mengenai pemberian imbalan khusus, yaitu jika

salvor melakukan upaya untuk mencegah terjadinya polusi di lingkungan laut namun tidak berhasil melakukan upaya penyelamatan, konvensi ini memberikan sedikit imbalan bagi salvor tersebut, meskipun hanya memiliki sedikit keberhasilan pemulihan bangkai kapal beserta muatannya.

B.KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI PERAIRAN INTERNASIONAL

1. Pengertian Perairan Internasional

Lokasi dan status dari bangkai kapal adalah hal penting dalam menentukan siapa yang memiliki hak untuk menemukan kapal. Misalnya, sebuah bangkai kapal ditemukan di wilayah suatu negara akan tunduk kepada hukum domestik negara tersebut.24

Namun isu mengenai bangkai kapal yang ditemukan di perairan internasional tidaklah jelas pengaturannya, terkadang ada berbagai klaim kepentingan antara salvors, pemilik asli, pihak asuransi, negara, dan pemerintah negara.25

Perairan internasional merupakan perairan yang berada di luar yurisdiksi nasional suatu negara.26 Dalam hukum internasional, perairan yang berada diluar

20 International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12, 102d Cong., 1st Sess. (1991), pasal 1(1)

21

Ibid., pasal 12 22

Ibid., pasal 13 23 Ibid., pasal 14

24 Louis B. Sohn & John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed., (Leiden, Netherlands: Traansnational Publishers Inc., 2004), hal. 645

25

Craig Forrest, Historic Wreck Salvage: An International Perspective, 33 Tul. Mar. L.J. 347 (2009), hal. 348

(9)

yurisdiksi negara disebut dengan laut lepas. Laut lepas sendiri merupakan wilayah yang terbuka bagi seluruh negara27, sehingga tidak ada satu negarapun yang dapat mengklaim wilayah laut lepas sebagai wilayah kedaulatannya.28

Bangkai kapal beserta muatannya sendiri tidak mengambang di atas laut, khususnya di laut lepas, namun berada didasar laut atau disebut dengan kawasan (area). Kawasan sendiri merupakan dasar laut atau samudera dan lapisan tanah dibawahnya yang berada diluar batas yurisdiksi nasional suatu negara,29 yaitu di luar batas-batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai. Sama seperti laut lepas, negara juga tidak dapat mengklaim kedaulatan di wilayah kawasan ini.30

2. Kepemilikan Berdasarkan Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nations)/Jus Gentium

a. Hukum Penyelamatan (Law of Salvage)

Secara umum, law of salvage merujuk kepada konsep upaya penyelamatan terhadap nyawa dan harta dari bahaya-bahaya yang terjadi di laut.31 Prinsipnya adalah bahwa pihak tertentu yang berhasil menyelamatkan seseorang atau kekayaan dari laut berhak atas sebuah penghargaan dari pemilik kekayaan yang diselamatkan.32

Pada dasarnya, law of salvage adalah bentuk imbalan yang diberikan oleh hukum maritim dalam menyelamatkan kekayaan maritim yang berisiko oleh mereka yang tidak memiliki kewajiban hukum untuk membantu.33

Pada umumnya, para penyelamat (salvagers) tidak memperoleh hak atas kekayaan yang diselamatkan dan pemilik asli tetap mempertahankan haknya sampai kekayaan tersebut diabaikan.34 Kapal penyelamat (salvor) memegang hak jaminan atas kekayaan tersebut, sehingga memungkinkan untuk melakukan gugatan terhadap kapal kargo yang diselamatkan (in rem action). Salvor juga memiliki hak kepemilikan atas kekayaan tersebut sampai imbalan atas upaya penyelamatan tersebut diadili (possessory right).35

Ketika tidak ada kontrak/perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang terkait mengenai upaya penyelamatan, ada tiga unsur untuk mengklaim upaya penyelamatan yang sah, yaitu kekayaan tersebut harus:

Present Ma ritime Legal and Statutory Regimes for P rotecting Historic Wrecks in International Waters With Some Proposals for Change, 29 Tul. Mar. L.J. 313 (2005), hal. 321; Simon W. Tache, The Law of Salvage: Criteria for Compensation of Public Service Vessels, 9 Mar. Law. 79, (1984), hal. 82 – 84

32 Edgar Gold, et al, Maritime Law (Essential of Canadian Law), (Toronto, Canada: Irwin Law, 2003), hal. 594

33 Jean F. Rydstrom, loc. cit 34

Kevin Berean, Sea Hunt, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel or Vessels: How The Fourth Circuit Rocked the Boat, 67 Brook. L. Rev. 1249 (2002), hal. 1254

(10)

1) dalam risiko/bahaya laut (marine peril);

2) berhasil diselamatkan secara keseluruhan atau sebagian; 3) dilakukan dengan sukarela oleh salvagers.36

Ketiga unsur tersebut telah dikodifikasi sebagai bagian dari 1910 Assistance and Salvage Convention yaitu pada pasal 7 dan 8, dan dalam perkembangannya konvensi ini telah digantikan oleh Salvage Convention 1989.

Ketika menentukan penghargaan atas penyelamatan yang telah dilakukan,

Salvage Convention 1989 menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi 37, diantaranya:

1. Nilai kapal yang diselamatkan dan kekayaan lainnya

2. Keterampilan serta usaha dari salvors dalam mencegah atau meminimalisir kerusakan lingkungan

3. Ukuran keberhasilan yang diperoleh salvors

4. Sifat dan tingkat bahaya yang dihadapi

5. Kemampuan serta usaha dari salvors dalam menyelamatkan kapal, kekayaan lain dan nyawa

b. Hukum Penemuan (Law of Finds)

Konsep lama tentang „penemu, penjaga‟ (finders, keepers) diwujudkan dalam law of finds. Jika kekayaan diabaikan oleh pemiliknya, law of finds

memperlakukannya seolah-olah kekayaan tersebut kembali ke keadaan awal tanpa ada pemilik sebelumnya.38 Bahkan jika ada pemilik kekayaan tersebut, pengadilan menganggap bahwa pemilik tersebut tidak ada lagi, sehingga salvager diberikan hak penuh atas kapal bukan sekedar possessory rights seperti dalam law of salvage.39

Pengadilan telah menyatakan bahwa untuk memperoleh hak atas bangkai kapal dalam law of finds, salvor haruslah penemu yang pertama, untuk:

1) menunjukkan niat/maksud untuk mendapatkan kekayaan dan memperoleh kepemilikan atau pengawasan yang sebenarnya; dan

2) menunjukkan bahwa kekayaan tersebut diabaikan.40

Untuk menentukan bahwa kekayaan telah diabaikan, pengadilan memiliki tiga cara berbeda untuk menentukan pengabaian, termasuk:

1) penolakan atas kepemilikan oleh pemilik;

2) implikasi dari tidak aktifnya seorang pemilik; atau 3) berlalunya waktu dan kurangnya identifikasi pemilik.41

Namun, penggunaan law of finds ini dapat meningkatkan kekhawatiran tentang perilaku dari penemu. Calon pencari didorong oleh aturan-aturan ini untuk bertindak diam-diam, dan untuk menyembunyikan tindakan pemulihan yang

36 Thomas J. Schoenbaum, Admiralty and Maritime Law 4th ed., (United States:Thomson West, 2004), section 16 – 1

37

International Convention on Sa lvage 1989, op. cit., pasal 13

38 Hener v. United States, (1981) 525 F. Supp. 350 (United State District Court New York), hal. 354

39 James Paul, Salvaging Sunken Shipwrecks: Whose Treasure Is It? A Look at the

Competing Interests for Florida’s Underwater Riches, 9 J. Land Use & Envt‟l. L. 347 (1994), hal. 349

(11)

mereka lakukan, untuk menghindari klaim dari pemilik sebelumnya atau calon pencari lain yang bisa menghalangi mereka untuk memiliki kekayaan tersebut.

3. Kepemilikan Menurut Konvensi – Konvensi Internasional

a. Warisan Bersama Umat Manusia (Principle of Common Heritage of Mankind)

Salah satu sumber hukum internasional yang harus dipertimbangkan ketika menentukan hak kepemilikan suatu pihak dalam kaitannya dengan kapal karam bersejarah yang berada di perairan internasional adalah UNCLOS. Terdapat 167 negara yang telah meratifikasi UNCLOS.42 Bagaimanapun, UNCLOS telah diterima secara luas dan merupakan hukum kebiasaan serta telah menjadi rujukan dalam konstitusi komprehensif untuk hukum laut.43

UNCLOS sendiri menjelaskan dan mendukung bahwa objek – objek historis dan arkeologis yang ditemukan di perairan internasional diperuntukkan bagi kepentingan umat manusia.

Begitu juga dengan UCH Convention yang menyatakan bahwa negara pihak konvensi dimana harta karun tersebut secara fisik berada padanya, harus memastikan kedudukannya untuk kepentigan umum, begitu juga untuk keperluan konservasi dan penelitian, untuk kepentingan koleksi, kemudahan akses oleh masyarakat untuk pendidikan.44

b. Hak-Hak Istimewa Negara Asal (Preferential Rights of State of Origin)

Rezim hukum warisan bersama umat manusia warisan budaya bawah air di wilayah Kawasan pasal 149 UNCLOS, pasal 12(6) dan pasal 18(4) UCH Convention juga merujuk kepada hak-hak istimewa dari negara tertentu dan menghendaki agar perhatian khusus harus diberikan terhadap hak ini dalam menentukan nasib objek – objek tersebut.

Hak istimewa pada akhirnya dirundingkan dan dikodifikasi dalam pasal 149 UNCLOS dan pasal 12(6) UNESCO Convention 2001. Konvensi - konvensi ini berkaitan dengan hak negara asal sehingga memiliki kewenangan atas warisan budaya bawah air.

Fakta bahwa pasal 149 merujuk kepada hak istimewa dari ketiga kategori negara, yaitu: negara asal (country of origin); negara asal budaya (state of cultural origin); dan negara asal historis dan arkeologis (state of historical and archeological origin); tidak berarti bahwa istilah-istilah ini dilihat sebagai pilihan yang terpisah.

Konvensi UNESCO 2001 menggunakan istilah verifiable link untuk menyatakan adanya tiga jenis kepentingan negara dalam warisan budaya bawah air yaitu hubungan budaya, historis, ataupun arkeologis. Rumusan yang tepat dari konsep verifiable link digunakan dalam konvensi tersebut menyarankan bahwa

42 Terdapat 167 negara yang menandatangani sampai tanggal 07 Januari 2015 dapat diakses pada http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm (diakses tanggal 03 Maret 2014)

43

Tommy T.B. Koh, A Constitution for the Oceans, dalam Myron H. Nordquist, Connvention on the Law of the Sea 1982: A Commentary (Leiden, Netherlands:Martinus Nijhoff, 1985), hal. 11

(12)

setidaknya ada potensi negara untuk menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang memiliki kulifikasi dan dapat diverifikasi, sesuatu diluar budaya, historis, dan arkeologis.45

c. Kekebalan Berdaulat (Sovereign Immunity)

Sepanjang sejarah, kapal perang dan kapal lainnya dalam dinas pemerintahan sudah diberikan perlindungan khusus dalam konsep sovereign immunity, yang mengecualikan sebuah kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dalam dinas yang bersifat non komersil dari yurisdiksi negara lain.46

Doktrin kekebalan kapal perang (warship immunity) pertama sekali di kodifikasi secara internasional dalam 1910 Brussels Salvage Convention.47 Kapal perang berhak atas kekebalan terhadap negara-negara yang bukan negara bendera kapal (non-flag states) berdasarkan UNCLOS, dimana pasal 32 memberikan kekebalan terhadap kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang digunakan untuk tujuan-tujuan non-komersial. Berdasarkan UCH Convention, kapal yang memiliki sovereign immunity juga dikecualikan dari penemuan warisan budaya bawah air.48

Pasal 95 menyatakan bahwa kapal perang yang ada di laut lepas memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi negara lain selain dari negara bendera. Hak kekebalan dapat didefinisikan sebagai doktrin hukum yang menyangkut perlindungan yang diberikan suatu negara dari gugatan yang diajukan di pengadilan negara lain. Sebuah kapal, yang mungkin saja kapal karam, dimiliki oleh negara akan dilindungi dengan kekebalan, dan untuk itu kebal dari bentuk penangkapan maupun yurisdiksi pengadilan negara lain.

Kekebalan sering kali ditentang oleh kepentingan lain misalnya kepentingan umum untuk melindungi warisan budaya kapal tersebut beserta muatannya. Selain itu, meskipun negara memiliki hak kekebalan atas sebuah kapal karam, hal ini tidak meniadakan pemilikan pribadi atas kapal beserta kargonya.49

C.PENYELESAIAN ISU KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI PERAIRAN INTERNASIONAL

1. Latar Belakang Munculnya Isu Kepemilikan Terhadap Harta Karun yang Ditemukan di Perairan Internasional

Upaya penyelamatan merupakan bisnis yang sangat membutuhkan modal yang sangat intensif. Upaya ini tidak dapat berjalan tanpa peralatan seperti kapal penarik yang besar, dan seperangkat peralatan yang mahal. Dalam industri dengan modal besar kebanyakan investasinya didasarkan pada analisis pengembalian modal yang digunakan. Dalam pasar ekonomi klasik, jika modal berinvestasi di

45Patrick J. O‟Keefe,

Shipwrecked Heritage: A Commentary on the UNESCO Convention on Underwater Cultural Heritage, (United Kingdom: Institute of Art and Law, 2002), hal. 70

46 Geoffrey Brice, Maritime Law of Salvage 3rd

ed., (London : Sweet and Maxwell, 1999), hal. 148-152

47 Frederic A. Eustis, The Glomar Explorer Incident: Implications for the Law of Salvage, 16 Va. J. Int'l. L. 177, (1975), hal. 179

48 UCH Convention, op. cit., pasal 13

(13)

suatu perusahaan tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada sektor lain maka tidak ada insentif untuk berinvestasi di sektor tersebut.50

Karena adanya insentif keuntungan yang akan diperoleh, hal itu mendorong terjadinya kompetisi, menyebabkan ledakan teknologi, yang berakibat terhadap tingkat penemuan yang belum pernah terjadi.51 Hal itu berarti tanpa insentif tersebut akan sedikit kompetisi diantara perusahaan/penyelamat, sedikit perkembangan teknologi, dan untuk itu sedikit kapal karam dan muatannya yang akan ditemukan.52

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, timbulnya isu kepemilikan terhadap harta karun juga tidak terlepas dari berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam memperolah hak kepemilikan yang sah atas penemuan bangkai kapal beserta muatannya.

2. Berbagai Kepentingan (Competing Interest) Dalam Isu Kepemilikan Harta Karun

a. Kepentingan Arkeologi (Archeological Interest)

Pandangan arkeolog dalam hal ini adalah mulai dari menganjurkan pemeliharaan bangkai kapal yang ditemukan dan muatannya sampai kepada keyakinan bahwa penyelamatan dewasa ini memperlihatkan perlindungan terbaik atas warisan budaya bawah air dari aktivitas manusia di laut. Namun, komunitas arkeologi sangat memperhatikan perolehan pengetahuan tentang masa lalu.53 Mereka memperhatikan pertanyaan penelitian terkemuka mengenai masa lalu manusia pada satu sisi dan pertanggungjawaban pengaturan warisan nasional maupun internasional di sisi lain.54

Negara – negara berdaulat dan para arkeolog tidak menyetujui penerapan hukum penyelamatan dalam perbandingannya dengan rezim hukum baru yang secara khusus dibuat untuk melindungi kapal – kapal karam bersejarah sebagai warisan budaya.55

b. Kepentingan Komersil (Commercial Interest)

Perusahaan eksplorasi kapal karam komersil berpendapat bahwa hukum penyelamatan saat ini dibutuhkan untuk melindungi kapal karam yang sedang dalam bahaya penghancuran. Perusahaan ini memiliki teknologi, kemampuan, dan alasan untuk menemukan kapal-kapal yang tengah dalam kedaan bahaya sebelum dihancurkan.

50

Andreas Tsavliris, President of International Salvage Union Paper for International Tug Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses pada http://www.marine-salvage.com/media-information/conference-papers/the-challenges-facing-the-salvage-industry/ [diakses tangggal 28 Februari 2015]

51

Amber Crossman Cheng, loc. cit

52 Christopher R. Bryant, The Archaeological Duty of Care: The Legal, Professional, and Cultural Struggle Over Salvaging Historic Shipwrecks, 65 Alb. L. Rev. 97 (2001), hal 106

53 James P. Delgado, The Trouble With Treasure, Naval History: Augustus 2010, Vol. 24 Issue 4, hal. 21

54 Elizabeth S. Greene, op. cit., hal. 313

(14)

Perusahaan eksplorasi kapal karam komersil lebih lanjut menyatakan bahwa motif berbasis profit sangat penting karena menyelamatkan kapal karam, terutama yang bernilai sejarah, sangat mahal. Karena perusahaan telah menghabiskan banyak waktu untuk penelitian dan peralatan yang bernilai jutaan dollar serta penempatan tenaga ahli, keuntungan ekonomi sangatlah penting untuk keberlangsungan perusahaan semacam itu..

Mereka yang memiliki kepentingan komersil berpendapat bahwa perusahaan berbasis keuntungan harus diperbolehkan dan didukung untuk menyelamatkan bangkai kapal karena industri semacam itu memiliki modal dan pengalaman yang cukup untuk melaksanakan upaya penyelamatan, sementara banyak pemerintahan dan akademik arkeologi tradisional tidak dapat melakukannya. Menempatkan tugas semacam itu pada negara untuk menemukan dan memulihkan bangkai kapal dapat menyebabkan pembekuan pemulihan dan potensi kerugian kapal terancam semakin besar.56

c. Kepentingan Umum (Public Interest)

Akhir dari perdebatan antara kepentingan arkeologi dan kepentingan komersil perusahaan eksplorasi kapal karam adalah kepentingan publik. Kepentingan yang dipergunakan untuk umum dapat disimpulkan sebagai kepentingan bagi pembelajaran implikasi sejarah dan budaya yang ada pada bangkai kapal. Kepentingan ini memiliki kecenderungan untuk saling bertentangan yaitu antara para arkeolog dan perusahaan eksplorasi kapal karam. Sebagai contoh, ketika kapal karam bersejarah ditemukan, para arkeolog mungkin tidak menginginkan artefak tersebut untuk dipindahkan atau diganggu.

Para arkeolog memiliki kecenderungan untuk menjadi pihak tunggal untuk melindungi artefak dan melupakan alasan awal mengapa perlindungan tersebut diperlukan.57 Sebaliknya, penyelamat tentu saja ingin menjual artefak yang telah diselamatkan untuk mengganti biaya operasi penyelamatan dan menerima kompensasi atas waktu dan usahanya.58

Sejalan dengan itu, perusahaan eksplorasi kapal karam komersial harus diizinkan untuk mendapatkan keuntungan dari kapal karam bersejarah jika mereka mampu menambah dokumentasi sejarah dengan menyediakan informasi artefak budaya atau sejarah lainnya kepada publik.

3. Bentuk Penyelesaian Isu Kepemilikan Atas Harta Karun di Perairan Internasional

a. Melalui Pengadilan/Litigasi

Hukum internasional saat ini mengatur bahwa perairan internasional merupakan wilayah dimana tidak satu negarapun dapat secara sah mengklaim bagian dari laut lepas menjadi kedaulatannya.59

56 Jeremy Neil, op.cit., hal. 906 908 57

Ibid., hal. 907

58 Allison Leigh Richmond, Scrutinizing the Shipwreck Salvage Standard: Should A Salvor Be Rewarded For Locating Historic Trea sure? 23 N.Y. Int'l L. Rev (2010), hal.118

(15)

Namun yurisdiksi pengadilan suatu negara dapat memperluas otoritas yurisdiksinya atas bangkai kapal yang terletak di perairan internasional melalui teori constructive in rem jurisdiction.60

In rem jurisdiction digunakan ketika kapal berada di wilayah perairan teritorial pengadilan tertentu, dan "res" atau properti berada dalam yurisdiksi yang pengadilan tersebut.61 Dengan demikian, constructive in rem jurisdiction

merupakan perpanjangan dari in rem jurisdiction, digunakan ketika kapal berada di luar batas-batas teritorial suatu negara.62 Berdasarkan constructive in rem jurisdiction, bagian dari kapal harus dibawa ke dalam batas-batas geografis yurisdiksi suatu pengadilan. Diasumsikan bahwa "res" secara hukum merupakan suatu keseluruhan yang terpisahkan, dan dengan demikian doktrin ini memungkinkan bagian dari kapal tersebut untuk memenuhi persyaratan yurisdiksi dalam mewakili seluruh bangkai kapal.63

Beberapa penyelesaian kasus kepemilikan bangkai kapal yang ditemukan di perairan internasional oleh pengadilan nasional suatu negara diantaranya:

1) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal Black Swan

Pada Maret 2007, sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang eksplorasi kapal karam, Odyssey Marine Exploration, Inc. (OME) menemukan bangkai kapal yang disebut sebagai Black Swan, di wilayah perairan internasional sekitar 100 mil dari sebelah barat Selat Gibraltar. OME memulihkan sekitar 500.000 koin perak dan emas dari Black Swan seberat 17 ton dan diperkirakan bernilai 500 juta dollar Amerika.64

Selama penggunaannya, kapal tersebut melaksanakan baik misi resmi pemerintahan maupun misi yang bersifat komersil.65 Misalnya, kapal tersebut berpartisipasi dalam pertempuran, mengangkut pasukan, muatan/barang dan pejabat tinggi pemerintah.66 Sebaliknya, Mercedes juga melaksankan misi untuk mengantarkan surat, penumpang pribadi, dan pengiriman barang-barang dagangan.

Pengadilan Distrik Florida kemudian pada tanggal 03 Juni 2009 menyimpulkan bahwa kapal tersebut adalah Mercedes, yang tunduk pada

sovereign immunity Kerajaan Spanyol, sehingga pengadilan distrik tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili klaim ini dan bahwa koin – koin tersebut harus

63 California v. Deep Sea Research (1998), 523 U.S. 491 (United States 9th Cir.), hal. 499 500

64 Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified, Shipwrecked Vessel (2009), 675 F.Supp.2d 1126 (Middle District of Florida.), [OME I] hal. 1134; Amber Crossman Cheng, op. cit., hal. 700; Craig Forrest, op. cit., hal. 352; Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey to Request En Banc Hearing in Black Swan Case to Address Contradictions in Eleventh Circuit's Ruling (Sept. 21, 2011) dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/pr231.php [Press Release II] [diakses tanggal 03 Maret 2015]

65 Ibid., 66

Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey Will Object to Magistrate's Recommendation to Dismiss Black Swan Case (June 3, 2009) dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/prl 80.php [Press Release I] [diakses tanggal 03 Maret 2015]

(16)

Pada bulan September 2011, Pengadilan Banding Amerika Serikat di Atlanta (11th Circuit of Appeals) setuju dengan putusan pengadilan distrik bahwa kapal tak dikenal itu sebenarnya Nuestra Senora de las Mercedes dan memutuskan bahwa OME harus mengembalikan 17 ton koin perak dan harta lainnya yang telah dipulihkan untuk pemerintah Spanyol.

2) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal SS Central America

SS Central America dan muatan emasnya tidak pernah diketahui mulai dari tahun 1857 sampai tahun 1988, sampai pada bulan September 1988, setelah banyak usaha dan biaya, Columbus-America Discovery Group berhasil menemukan bangkai kapal tersebut, 160 mil dari lepas pantai South Carolina, 8000 meter di bawah permukaan Samudera Atlantik.68 Kemudian Columbus-America memulai operasi penyelamatan pada tahun 1989 dengan memulihkan emas bernilai jutaan dollar dengan estimasi total kargo senilai satu miliar dolar.

Akibatnya, muncullah proses litigasi untuk menentukan hak kepemilikan atas emas yang sudah dipulihkan. Pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan diantaranya Columbus-America, yang menyatakan pengabaian atas kapal tersebut dan Atlantic Mutual Insurance Company yang terdiri dari penjamin asli dari emas yang hilang tersebut yaitu pengawas asuransi New York, dan mewakili perusahaan asuransi lainnya, termasuk salvors lain.

4th Circuit of Appeals membatalkan putusan tersebut. Pilihan yang ditentukan oleh pengadilan dalam kasus terhadap penerapan law of salvage

daripada law of finds diadopsi oleh 4th Circuit dalam Columbus-America Discovery Group v. Atlantic Mutual Insurance Co.69 Pengadilan menyimpulkan

law of salvage harus diterapkan, bahwa SS. Central America tidak diabaikan, dan bahwa Columbus-America hanya berhak atas penghargaan penyelamatan.

3) Penyelesaian Kasus Bangkai Kapal RMS Ttitanic

Kapal penyelamat pertama yang mulai penggalian artefak adalah sebuah perusahaan Amerika, Titanic Ventures, Ltd (yang kemudian mengalihkan saham mereka ke RMS Titanic, Inc.).

Pada tahun 1993, RMS Titanic Inc. (salvor) memohon agar Eastern District of Virginia melaksankan constructive in rem jurisdiction terhadap Titanic. RMS Titanic Inc. membawa serta botol minuman anggur dan barang-barang dari bangkai kapal ke dalam wilayah Virginia untuk membantu pengadilan memperoleh yurisdiksi tersebut.

Pengadilan banding, 4th Circuit Appeals kemudian memutuskan pada tanggal 28 April 1999 bahwa pengadilan distrik telah keliru menerapkan perluasan law of salvage untuk memberikan RMS Titanic Inc. hak eksklusif untuk mengunjungi, melihat, mengambil foto bangkai kapal, dan lokasi bangkai kapal di perairan internasional.

Perluasan hak penyelamatan oleh pengadilan distrik untuk memberikan hak eksklusif untuk mengambil foto begitu juga merekam gambar bangkai kapal dengan tujuan untuk memberikan kompensasi kepada salvor atas usahanya

68

Drew F. T. Horrell, Note, Telepossession is Nine-Tenths of the Law: The Emerging Industry of Deep Ocean Discovery, 3 Pace Y.B. Int'l L. 309 (1991), hal.328 – 329

(17)

menyelamatkan dan memulihkan kekayaan Titanic dapat dikatakan aneh. Pengadilan banding tidak setuju atas penggunaan law of salvage untuk memberikan salvor hak eksklusif pada harta yang belum dipulihkan.

Singkatnya, pengadilan banding membatalkan perintah pengadilan distrik untuk melarang kunjungan, pencarian, kegiatan penelitian, pengambilan gambar bangkai kapal maupun lokasi bangkai kapal selama hal itu tidak menggangu hak penyelamatan RMS Titanic Inc.

b. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama

Suatu perjanjian memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan kerangka hukum yang berlaku saat ini.

Pertama, perjanjian akan menghindari kerumitan proses pengadilan dan membiarkan para pihak untuk mengatur hasilnya.

Kedua, suatu bentuk kerjasama akan terhindar dari masalah dalam UCH Convention. Konvensi ini berlaku untuk menghilangkan motif keuntungan dari perusahaan eksplorasi kapal karam komersil, memberi beban pada negara untuk menginvestasikan keperluan untuk penelitian, pencarian, dan mengeksplorasi kapal, dengan demikian menghambat kemampuan dunia untuk menemukan, melindungi, melestarikan dan mempelajari kapal karam bersejarah tersebut.

Ketiga, suatu perjanjian kerjasama akan menghilangkan masalah kekeliruan saat ini, ketiadaan teknik dan standar penyelamatan yang seragam, dan kebutuhan partisipasi komunitas arkeologi.

Contoh terbaik dalam bentuk perjanjian kerjasama dalam penemuan harta karun di perairan internasional adalah Sussex Agreement.

Pada tahun 2001, OME menemukan sebuah bangkai kapal (yang diyakini sebagai HMS Sussex) di perairan internasional dari pesisir pantai Gibraltar.70 Pada tahun berikutnya, OME membuat Sussex Agreement, sebuah perjanjian kerjasama penggalian arkeologi pertama yang pernah ada.71

Sussex Agreement merupakan suatu perjanjian penting dan inovatif karena menciptakan sebuah contoh yang mengakui pentingnya pendidikan budaya, memberikan ruang pengawasan oleh pemerintah dan arkeolog, dan tetap mempertahankan rangsangan nilai komersil bagi perusahaan. Sussex Agreement

menyatukan kepentingan seluruh kelompok, dengan menghindari biaya dan waktu yang lama dalam suatu pengadilan.

70

Craig Forrest, op. cit., hal. 351; HMS Sussex Project Overview, Odyssey Marine Exploration dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/hmssussex.php [diakses tanggal 04 Februari 2015]

(18)

PENUTUP

Kesimpulan

1. Harta karun telah dikodifikasi ke dalam pengaturan internasional, yakni terdapat dalam ketentuan UNCLOS, UCH Convention 2001, serta

International Convention on Salvage 1989. Pengaturan hukum internasional mengenai harta karun menjadikan perlindungan dan pelestarian harta karun itu sendiri menjadi hal prioritas dalam daftar kewajiban masyarakat internasional khususnya terhadap bangkai kapal beserta muatannya yang berada di perairan internasional.

2. Terdapat keberagaman konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yakni law of finds, law of salvage, dan warisan bersama umat manusia, hak istimewa negara asal, dan kedaulatan berdaulat.

3. Proses pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang sangat mahal memunculkan gagasan untuk dapat menghidari kerugian yang lebih banyak nantinya, yaitu dengan cara melakukan perjanjian kerjasama antara penemu bangkai kapal dengan pemilik/negara asal bangkai kapal berserta muatannya tersebut untuk mewakili seluruh kepentingan dan menyelesaikan banyak kekurangan – kekurangan pada kerangka hukum saat ini.

Saran

1. Bagi hukum internasional positif, sebaiknya perlu diadakan penambahan konsep kepemilikan yang jelas, diantaranya pengaturan yang lebih rinci mengenai kepemilikan privat dan kepemilikan publik terhadap kapal – kapal yang karam di dasar laut lepas internasional, sehingga para penegak hukum dapat memutus berdasarkan peraturan yang seragam di setiap negara tanpa adanya penafsiran yang berbeda – beda.

2. Sudah saatnya bagi perusahaan eksplorasi kapal karam yang melakukan operasi penyelamatan harta karun untuk mencegah timbulnya sengketa atas penemuannya dengan cara mengadakan perjanjian kerjasama dengan pihak lain yang sudah teridentifikasi memiliki hubungan dengan objek temuan tersebut. Begitu juga sebaliknya agar negara melakukan upaya pendekatan serupa kepada perusahaan komersil untuk bersama-sama mengadakan perjanjian kerjasama.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Brice, Geoffrey, Maritime Law of Salvage,3rd ed., London: Sweet and Maxwell, 1999

Gold, Edgar, et al, Maritime Law (Essential of Canadian Law), Toronto, Canada: Irwin Law, 2003

Koh, Tommy T.B., A Constitution for the Oceans, in: Connvention on the Law of the Sea 1982: A Commentary, Myron H. Nordquist, eds., Leiden, Netherlands:Martinus Nijhoff, 1985

L., Gernhardt M., Biomedical and Operational Considerations for Surface-Supplied Mixed-Gas Diving to 300 FSW, in: Proceedings of Advanced Scientific Diving Workshop, Lang M.A and Smith N.E eds., Washington, DC: Smithsonian Institution, 2006

Schoenbaum, Thomas J., Admiralty and Maritime Law 4th ed., United States: Thomson West, 2004

Shaw, Malcolm N., International Law, 6th ed., United Kingdom: Cambridge University Press, 2008

Sohn, Louis B. dan John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed., Leiden, Netherlands: Transnational Publishers Inc., 2004

Jurnal

Allison Leigh Richmond, Scrutinizing the Shipwreck Salvage Standard: Should A Salvor Be Rewarded For Locating Historic Treasure? 23 N.Y. Int'l L. Rev (2010)

Amber Crossman Cheng, All In The Same Boat? Indigenous Property Rights in Underwater Cultural Heritage, 32 Hous. J. Int‟l L. (2010)

Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008)

Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012)

Christopher R. Bryant, The Archaeological Duty of Care: The Legal, Professional, and Cultural Struggle Over Salvaging Historic Shipwrecks, 65 Alb. L. Rev. 97 (2001)

Craig Forrest, An International Perspective on Sunken State Vessels as Underwater Cultural Heritage, Ocean Development and International Law, Vol. 34, Issue 1 (2003)

Craig Forrest, Historic Wreck Salvage: An International Perspective, 33 Tul. Mar. L.J. 347 (2009)

D.K. Abbass, A Marine Archaeologist Looks at Treasure Salvage, 30 J. Mar. L. & Com. 261 (1999)

David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001)

(20)

Drew F. T. Horrell, Note, Telepossession is Nine-Tenths of the Law: The Emerging Industry of Deep Ocean Discovery, 3 Pace Y.B. Int'l L. 309 (1991)

E. Lee Spence, Underwater Archeology in South Carolina, The Conference on Historic Site Archeology Papers 1970, (1971)

Elizabeth S. Greene, et al., Mare Nostrum? Ethics and Archaeology in Mediterranean Water, 115 Am. J. Of Archaelogy 311 (2011)

Frederic A. Eustis, The Glomar Explorer Incident: Implications for the Law of Salvage, 16 Va. J. Int'l. L. 177, (1975)

James Paul, Salvaging Sunken Shipwrecks: Whose Treasure Is It? A Look at the Competing Interests for Florida’s Underwater Riches, 9 J. Land Use &

Envt‟l. L. 347 (1994)

Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for Marine Salvage, 26 A.L.R. Fed. 858 (2002)

Jeremy Neil, Sifting Through the Wreckage: An Analysis and Proposed Resolution Concerning the Disposition of Historic Shipwrecks Located in International Waters, 55 N.Y. L. Sch. L. Rev. 895 (2010)

Justin S. Stern, Smart Salvage: Extending Traditional Maritime Law to Include Intellectual Property Rights in Historic Shipwrecks, 68 Fordham L. Rev. 2489 (2000)

Kevin Berean, Sea Hunt, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel or Vessels: How The Fourth Circuit Rocked the Boat, 67 Brook. L. Rev. 1249 (2002)

Ole Varmer, The Case Against the “Salvage” of the Cultural Heritage, 30 J. Mar. L. & C0m. 279 (1999)

Patrick J. O‟Keefe, Shipwrecked Heritage: A Commentary on the UNESCO Convention on Underwater Cultural Heritage, (United Kingdom: Institute of Art and Law, 2002)

Rob Regan, When Lost Liners Become Found: An Examination of the Effectiveness of Present Maritime Legal and Statutory Regimes for Protecting Historic Wrecks in International Waters With Some Proposals for Change, 29 Tul. Mar. L.J. 313 (2005)

Simon W. Tache, The Law of Salvage: Criteria for Compensation of Public Service Vessels, 9 Mar. Law. 79, (1984)

Todd B. Siegler, Finders Keepers Revised for the High Seas: Columbus-America Discovery Group v. Atlantic Mutual Insurance, 17 Tul. Mar. L.J. 353 (1993)

Instrumen Hukum Internasional

United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS]

UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001

International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12, 102d Cong., 1st Sess. (1991)

Putusan Pengadilan Nasional

California v. Deep Sea Research (1998), 523 U.S. 491 (United States 9th Cir.) Hener v. United States, (1981) 525 F. Supp. 350 (United State District Court New

(21)

Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified, Shipwrecked Vessel (2009), 675 F.Supp.2d 1126 (Middle District of Florida.), [OME I]

Internet

Chronological lists of ratifications of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements, dapat diakses pada: http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratificat ions.htm

Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel & Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009) dapat diakses pada:

http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000

Diving bell dapat diakses pada:

http://en.wikipedia.org/wiki/Diving_bell

HMS Sussex Project Overview, Odyssey Marine Exploration dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/hmssussex.php

International Waters, dapat diakses pada:

http://en.wikipedia.org/wiki/International_waters Marine Salvage, dapat diakses pada:

http://en.wikipedia.org/wiki/Marine_salvage

The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses pada http://www.marine-salvage.com/media-information/conference-papers/the-challenges-facing-the-salvage-industry/

Vasa Museet dapat diakses pada:

http://www.vasamuseet.se/en/The-Ship/Important-dates/

Sumber – Sumber Lain

James P. Delgado, The Trouble With Treasure, Naval History: Augustus 2010, Vol. 24 Issue 4

Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey to Request En Banc Hearing in Black Swan Case to Address Contradictions in Eleventh Circuit's

Ruling (September 21 2011) dapat diakses pada

http://www.shipwreck.net/pr231.php

Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey Will Object to Magistrate's Recommendation to Dismiss Black Swan Case (June 3, 2009) dapat diakses pada http://www.shipwreck.net/prl 80.php

(22)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Kota Sibolga, Sumatera Utara, pada tanggal 22 April

1994, merupakan anak keempat dari Benno P. Sidabutar dan Rospita

Panjaitan. Penulis menimba ilmu di SD RK Serdang Murni Lubuk Pakam,

kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP RK Serdang Murni Lubuk

Pakam dan SMA Negeri 1 Lubuk Pakam. Setelah menyelesaikan pendidikan

di sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Stambuk 2011) dan memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada tahun 2015. Selama masa perkuliahan, penulis aktif

sebagai anggota International Law Student Association (ILSA) dan

International Law Moot Court Club (ILMCC) Fakultas Hukum USU.

Referensi

Dokumen terkait

Critical understanding Mahasiswa Universitas Riau Pada tabel 4 juga dapat di lihat dan mahasiswa Universitas Riau untuk kriteria Communivative Abbilities lebih dominan berada

Sudah saatnya untuk berbicara tentang masalah nasional yang patut diperbincangkan.. Seandainya persoalannya hanya ini saja, mungkin tak perlu dipersoalkan (bisa

easil penelitian mengenai pola asuh makan ditemukan bahwa sebagian besar batita mengalami ketidakseimbangan pemenuhan zat giziI kurangnya dukungan yang diberikan oleh pelaku

Pre-kultur 5 hari yang diikuti dengan pe- rendaman pada suspensi bakteri selama 20 menit menghasilkan 91 kalus yang terseleksi higromisin dari total 114 eksplan yang

Selain membaca dan menulis, kegiatan menerjemahkan dongeng lokal yang berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia menjadi sangat penting dilakukan, sebagai upaya meramaikan

ASURANSI TUGU PRATAMA INDONESIA

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2017 di perairan Probolinggo dengan tujuan untuk menentukan daerah potensial penangkapan ikan tembang ( Sardinella

36 Additional Tier 1 Capital before regulatory adjustments Jumlah AT1 sebelum regulatory adjustment - Modal Inti Tambahan: Faktor Pengurang (