SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
AZHAR ISMADI SIREGAR NIM . 140200492
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subahanahu Wata‟la atas segala limpahan nikmat dan rahmatnya, dengan begitu banyak nikmat yang telah Allah limpahkan kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam kita hadiahkan kepada ruh junjungan kita Rasulullah Muhammad Shallallahu „alaihi Wasallam, yang telah begitu banyak berjasa terhadap kemajuan dan kemaslahatan ummat manusia dan ummat islam pada khususnya. Adapun skripsi penulis dengan judul “ASPEK YURIDIS GUGATAN CLASS ACTION PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 74/Pdt.G/2012/PN.Kpj.”
disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus saya mengucapkan begitu banyak terimakasih kepada kedua orangtua saya, bapak saya H.Himpun Siregar dan ibu saya Mainah Nasution yang atas restu dan do‟a mereka serta selalu memberika semangat dan motivasi bagi penulis, terimaksih juga atas rasa cinta dan kasih sayang yang telah kalian berikan, kesabaran dan ketabahan yang telah kalian pertahankan selama ini, penulis tidak mampu menjabarkan segala bentuk kebaikan yang telah Ayah dan Ibu berikan kepada penulis, terimaksih juga kepada kakak dan adik penulis, kakak saya Nurainun Siregar dan adik saya Maysarah Siregar, yang selama penyusunan skripsi ini mereka begitu baik terhadap saya. Sehingga dengan itu semua penulis mampu menyelesaikan studi yang insyaallah akan berbuah baik untuk kita semua.
Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terimaksih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum, selakau Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Dr. Ok Saidin, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara;
4. Ibu Puspa Melati, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi sekaligus yang merupakan Dosen Pembimbing I;
7. Ibu Dr. Detania Sukarja, SH., L.LM., selaku Dosen Pembimbing II.
Terimakasih atas bimbingan, saran, nasehat, dan ilmu yang telah ibu berikan selam ini dengan penuh kesabaran ibu telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;
8. Ibu Tri Murti Lubis, M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik, serta membimbing penulis dalam menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Seluruh Staff pegawai dan tata usaha yang ada di Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara yang telah membantu saya dalam menyelesaikan perkara Administrasi;
11. Kepada sahabat-sahabat saya “SAUDARA JAUH”, terimaksih kepada kalian semua, jikapun kusampaikan lewat kata-kata itu mungkin tak akan berarti buat kalian, sekali lagi terima kasih untuk segalanya, kalian yang ada di “SAUDARA JAUH” adalah saudara terdekat saya;
12. Kepada sahabat-sahabat saya “YANG TERLUPAKAN” , terimaksih untuk kalian semua, kalian adalah Brother from Another Mother;
13. Terimaksih juga kepada sahabat-sahabat “SAROHA”, kalian adalah teman selahiran yang tumbuh dan besar bersama;
14. Terimakasih juga kepada seluruh teman-teman senior dan junior yang selama ini telah memberikan semangat bagi penulis untuk tetap tegar dalam mengahadapi segalanya, mohon maaf saya tidak dapat menyebutkan nama-nama kalian satu persatu.
Penulis dalam penyusunan skripsi ini telah memberikan yang terbaik dalam penyelesaiannya, dan mungkin nantinya akan banyak ditemui kesalahan yang tertuang dalam skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan kepada seluruh
pihak agar membantu penulis dalam menyempurnakan isi skripsi ini. Semogoa isi dan materi yang ada dalam skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, Amiin.
Medan, Juli 2018
AZHAR ISMADI SIREGAR NIM : 140200492
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Keaslian Penulisan ... 7
F. Tinjauan Kepustakaan ... 7
G. Metode Penelitian ... 19
H. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM SENGKETA PERDAT ... 25
A. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action ... 25
1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara ... 25
2. Perkembangan dan Pengaturan Class Action di Indonesia ... 31
B. Jenis-Jenis Gugatan Class Action ... 35
C. Unsur dan Persyaratan Class Action ... 38
D. Manfaat Penggunaan Class Action ... 41
BAB III ASPEK YURIDIS GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 46
A. Upaya Hukum Konsumen atas Kerugian Barang dan/atau Jasa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 46 B. Dasar Hukum Class Action Berdasarkan Hukum Positif Indonesia ... 49 1. Gugatan Secara Class Action Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 49 2. Gugatan Secara Class Action Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok ... 54
BAB IV ANALISIS YURIDIS GUGATAN CLASS ACTION DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 74/Pdt.G/2012/PN.Kpj ... 65
A. Posisi Kasus ... 65 B. Putusan Pengadilan ... 68 C. Analisis Putusan Hakim Mengenai Penggunaan Mekanisme Gugatan Class
Action ... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
ABSTRAK
ASPEK YURIDIS GUGATAN CLASS ACTION PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR.
74/Pdt.G/2012/PN.Kpj
Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah Undang-Undang ini, tercatat ada 3 (tiga) Undang- Undang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Kontruksu dan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 mengatur bahwa dalam mengajukan suatu gugatan secara class action harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, surat gugatan harus memuat
“identitas jelas dan lengkap wakil kelompok” dan harus memuat “keterangan dari anggota kelompok”, hal tersebut diperlukan untuk mengidentifikasi setiap anggota yang termasuk bagian dari anggota kelompok. Jika beberapa ketentuan atau syarat dalam pengajuan suata gugatan melalui mekanisme class action tidak terpenuhi, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima dan akan dinyatakan tidak sah oleh hukum.
Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia, melalui mekanisme gugatan secara class action, kemudian tergugat mengajukan keberatan atas jenis gugatan yang digunakan penggugat. Majelis Hakim dalam putusannya menimbang bahwa gugatan class action yang digunakan penggugat tidak memenuhi syarat-syarat yang telah diteapkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, sehingga majelis Hakim menolak dan menyatakan bahwa jenis gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima. Dari analisa penulis menemukan bahwa hasil putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang dan telah beralasan hukum yang kuat.
Gugatan perwakilan kelompok atau class action merupakan gugatan yang terkenal di banyak negara yang menganut sistem hukum common law.
Perkembangan gugatan perwakilan ini berdasarkan sejarahnya berkembang pertama kalinya di negara Inggris yang menganut sistem common law yang diperkenalkan pertama kalinya pada 1700-an. Model gugatan ini kemudian berkembang di kebanyakan negara bekas jajagan inggris seperti Kanada, India, Amerika Serikat, dan Australia.1
Class action sebagai prosedur pengajuan perkara perdata ke pengadilan dengan jumlah pihak yang sangat banyak pertama kali diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, di antaranya Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut sebagai UUPLH), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UUPK), Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut sebagai UUJK), Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut sebagai UUKH).2 Secara spesefik, peraturan Mahkamah Agung. No. 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok telah mempertegas dan memperkuat ada Gugatan Perwakilan Kelompok yang sering digunakan dalam
1 E. Sundari, “pengajuan Gugatan Secara Class Action” (suatu studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia, Jogjakarta : Univesitas Atma Jaya, 2002)”. Hlm. 9-14.
2 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. I (Bogor : Galia Indonesia, 2008), hlm. 123.
sistem peradilan dewasa ini, dengan membenarkan proses beracara yang telah disinggung di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Walaupun melalui peraturan tersebut secara substansi tidak mengatur secara jelas mengenai gugatan perwakilan kelompok.3
Gugatan perwakilan/gugatan kelompok ( class action ) dimungkinkan bagi sejumlah konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa ( similar complaints ) pada suatu saat, daripada menempuh proses/acara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau 2 (dua) atau lebih konsumen mewakili konsumen-konsumen senasib lainnya menggugat pelaku usaha yang di duga melanggar instrumen hukum perdata (civil law).4 Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dapat juga menarik publisitas yang berguna (usefull publicity) karena arti pentingnya dan keterlibatan sejumlah orang ( the significance and number of people involved ). Menurut Colin Scott dan Julia Black, menurut gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) terdapat efek penjera bagi pelaku usaha, dimana mereka mendapati bahwa praktek-praktek bisnis mereka tidak lagi dibiarkan. Pelaku usaha lainnya bisa jadi sangat tidak sensitif terhadap proses litigasi tersebut.5
Keberadaan gugatan class action / perwakilan kelompok telah diakui dalam acara peradilan di Indonesia dengan dikeluarkanya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 (Perma No.1 Tahun 2002) tentang Acara Gugatan
3 Restaria F. Hutabaratn “Stigma 65 Strategi Mengajukan Gugatan Class Action” (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).hlm. 43.
4 Ibid, hlm 44
5 Yusuf shofie (1). Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Konsumen Teori dan Penegakan Hukum, cetakan pertama ( Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti ),hlm.
80-81.
Perwakilan Kelompok, pada tanggal 26 April 2002. Langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia ini adalah sebagai wujud dari peran Mahkamah Agung untuk mengatur acara peradilan yang belum cukup di atur oleh peraturan perundangan-undangan yang ada.6
Mahkamah Agung mendefinisikan gugatan perwakilan kelompok sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memilik kesamaan fakta dan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok nya7.
Pada prinsipnya Gugatan class action merupakan suatu cara untuk memudahkan dalam mendapatkan pemulihan hak hukum yang di langgar melalui jalur keperdataan.8 Karena sangatlah tidak praktis apabila kasus-kasus yang merugikan masyarakat luas, yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama tetapi tetap diajukan secara sendiri-sendiri. Hal tersebut hanya akan menimbulkan ketidak efesienan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak penggugat dan juga pengadilan itu sendiri.
Untuk saat ini, class action bukan lagi merupakan hal yang aneh bagi masyarakat Indonesia karena sudah terdapat beberapa perundang-undangan dan juga sudah beberapa kali diajukan ke pengadilan.9seperti misalnya tentang guga tan class action yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor : 74/Pdt.G/2012/PN.Kpj. yaitu antara Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
6 Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 164
7 Ibid
8 Esra stephani.Ningrum Natasya Sirait dan Windha “ Gugatan Class Action Sebagai Implikasi dari Undang—ndang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” Transparancy Vol. II, (Juni 2013), hlm.2.
9 Husni syawali. Neni Sri Imaniyati “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Bandung :Penerbit Mandar Maju 2000), hlm.75.
Indonesia selanjutnya disebut sebagai penggugat, melawan PT. Adira Dinamika Multi Finance, Tbk disebut sebagai tergugat.
Dalam perkar a ini gugatan class action yang diajukan oleh penggugat diputus tidak sah, menurut pertimbangan Majelis Hakim untuk menolak class action yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia adalah oleh karena tidak ditemukannya orang-orang atau konsumen yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum, dengan demikian Majelis Hakim menilai bahwa gugatan penggugat tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugata Perwakilan Kelompok, sehingga gugatan penggugat yang menggunakan lembaga gugatan perwakilan kelompok menurut pendapat Majelis Hakim harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis ingin menganalisis secara mendalam mengenai variabel atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusannya. Apakah putusan hakim tersebut sudah benar- benar dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan perundang-perundangan sebagai hukum tertulis yang berlaku dan pertmbangan hukum yang tidak tertulis, kepatutan dan kesadaran hukum dalam mayarakat.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah
1. Bagaimana pengaturan gugatan secara class action dalam sengketa perdata?
2. Bagaimanakah prosedur pengajuan gugatan class action dalam hukum perlindungan konsumen?
3. Bagaimana penegakan hukum pengajuan gugatan class action dalam putusan Mahkamah Agung No. 74/Pdt.G/2012/PN.Kpj?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan gugatan secara class action dalam sengketa perdata.
2. Untuk mengetahui aspek yuridis gugatan secara class action dalam hukum perlindungan konsumen.
3. Untuk mengetahui hasil analisis yuridis gugatan class action dalam putusan Mahkamah Agung No. 74/Pdt.G/2012/PN.Kpj.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah ; a. Secara Teoritis
Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang gugatan perwakilan kelompok/ class action.
b. Secara Praktis
Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyrakat mengetahui gugatan perwakilan kelompok / class action sebagai upaya hukum perlindungan konsumen.
E. Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peniliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian Tentang “Aspek Yuridis Gugatan Class Action Perlindungan Konsumen dalam Putusan Mahkamah Agung No.
74/Pdt.G/2012/PN.KPJ”, belum pernah diteliti oleh peniliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggung jawabkan sepenuh nya.
F. Tinjauan Kepustakaan.
1. Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen”.10
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
10 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 1 angka 1.
membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.11
Pemikiran-pemikiran mengenai perlunya perlindungan konsumen di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut12 ;
1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan terhadap seluruh warga negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasional yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia-manusia yang sehat dan berkualitas yang diproleh melalui penyediaan kebutuhan secara baik dan cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.
3. Modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu didorong untuk berkonsumsi secara rasional secara dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian harta benda sebagai akibat dari prilaku curang pelaku usaha.
4. Perkembangan teknologi khususnya teknologi manufaktur mempunyai dampak negatif, berupa kemungkinan hadirnya produk yang tidak aman bagi konsumen. Dampak negatif ini dapat meluas manakala prilaku usaha/produsen dalam penggunaan teknologi itu tidak
11 Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 tentang perlindungan konsumen.
12 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, (Medan : PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hlm, 37.
bertangggung jawab. Karena itu masyarakat konsumen perlu dilindungin dari kemungkinan dampak negatif itu.
5. Kecendrungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur, yang akhirnya merugikan kepentingan konsumen, karena itu, konsumen perlu dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian sebagai akibat dari prilaku curang tersebut.
6. Masyarakat konsumen perlu diberdayakan melalui pendidikan konsumen, khususnya penanaman kesadaran akan hak-hak dan kewajiban nya sebagai konsumen. Hal yang sama juga berlaku kepada pelaku usaha, suapaya pelaku usaha senantiasa memperhatikan kepentingan konsumen dengan sungguh-sungguh dengan melaksanakan kewajiban nya dengan baik
Pengelompokan norma-norma perlindungan Konsumen ( norma-norma perlindungan konsumen (PK) ) dalam sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dapat dikemukakan sebagai berikut13:
a. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (pasal 8 ayat (1), dan ayat (3), Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ) ; b. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (pasal
9 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (3), pasal 10, pasal 12, pasal 13 ayat (1)
13 Yusuf Shofie, op,cit. Hlm. 21.
dan ayat (2), pasal 15, pasal 16, serta pasal 17, ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) );
c. Kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 11, pasal 14, serta pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) );
d. Kegiatan pasca transaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 25 dan pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ).
Norma-norma perlindungan konsumen tersebut menjadi prioritas advokasi hukum dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum dirujuk Undang- Undang perlindungan konsumen (UUPK), termasuk di dalamnya gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dan gugatan/hak gugat ornop/LSM (legal standing) yang sama sekali baru dalam hukum acara di indonesia.
Dikatakan demikian karena semula para hakim menganggap jalur tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia, padahal dalam sistem Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah sebagai pembentuk hukum untuk mengisi kekosongan hukum sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan pada waktu itu.14
2. KONSUMEN
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa15 :
14 Yusuf Shofie (2), op.,cit. hlm.11.
15 Janus Sidabolak, “Hukum Perlindungan Konsumen, cet. Ke-2 (Bandung :PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 17.
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdaganhkan”.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut, bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua orang adalah konsumen yang membutuhkan barang dan jasa untuk memppertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya16.
Penggunaan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya. Sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan untuk keluarga, bijstander, atau mahkluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli. Jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memproleh”
maka secara umum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang
16 Ibid, hlm 18
diproleh dapat digunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain17.
Hal lain yang juga perlu dikritisi bahwa cakupan konsumen dalam UUPK adalah sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta untuk tidak diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memproleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut18.
Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan dua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa19
;
“konsumen adalah pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”.
Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada kedua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi
17 Ahamdi Miru, Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. 4-5
18 Ibid
19 Yayasan Lembaga Konsumen, dikutip dari Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2011), hlm. 5.
pemkaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian konsumen yang ysng luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen. Walaupun begitu masih perlu disempurnakan sehubungan dengan penggunaan istilah “pemakai”, demikian pula dengan eksistensi “badan hukum”
yang tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut20.
Dari sudut pandang yang lain, jika kita hanya berpegang pada rumusan pengertian konsumen dalam UUPK, kemudian dikaitkan dengan pasal 45 yang mengatur tentang gugatan ganti kerugian dari konsumen kepada pelaku usaha, maka keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain, tidak dapat menuntut ganti kerugian karena mereka tidak termasuk konsumen, tetapi kerugian yang dialaminya dapat menjadi alasan untuk mengadakan tuntutan ganti kerugian.
Berdasarkan hal itu, apabila badan hukum, keluarga dan orang lain diberi hak untuk menuntut ganti kerugian maka rumusan pengertian konsumen sebaiknya menentukan bahwa21 :
“konsumen adalah setiap orang/badan hukum yang memproleh dan atau memakai barang/jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk diperdagangkan”.
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan memakai memproleh
20 Ahamdi Miru dan Sutarman Yodo, op, cit., hlm. 6
21 Ibid, hlm 7
perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun hukum perlindungan konsumen. Berdasarkan directive tersebut, yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain product yang cacat itu sendiri22.
Hal lain yang juga perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai
“konsumen akhir” (end consumer) dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived/ intermediate consumer).23 Dalam kedudukan sebagai derived/intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan Undangg-Undang ini, lain halnya apabila seorang pemenang undian atau hadiah seperti nasabah bank, walaupun setelah menerima hadiah undian kemudian yang bersangkutan menjual kembali hadiah tersebut, kedudukannya tetap sebagai konsumen akhir (end consumer), karena perbuatan menjual yang dilakukannya bukanlah dalam kedudukan sebagai professional seller. Ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku usaha menurut Undang-Undang ini, sebaliknya ia dapat menuntut pelaku usaha menurut Undang-Undang ini, sebaliknya ia dapat menuntut pelaku usaha bila hadiah yang diproleh ternyata mengandung suatu cacat yang merugikan baginya.
22 Nurhayati Abbas, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, Makalah, Elips Project, Ujung Pandang, 1996, hlm, 13.
23 Ibid
3. GUGATAN CLASS ACTION
Istilah class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan dari kata class dan action. Pengertian class adalah sekelompok orang, benda, kualitas, atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan. Class action digambarkan sebagai suatu pengertian dimana sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lenih dari mereka dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili.24
Istilah class action atau disebut pula dengan action popularis diartikan dalam bahasa Indonesia dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok atau ada juga yang menyebutkan dengan gugatan berwakil.25 Ada beberapa pengertian yang mencoba menjelaskan pengertian class action, baik menurut kamus hukum, pendapat para ahli hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Class action merupakan salah satu prosedur penggabungan gugatan dipengadilan yang terdiri dari banyak orang (sekelompok orang) untuk mengajukan gugatan yang mensyaratkan satu orang atau lebih mewakili kelompok yang mengajukan gugatan. Gugatan yang diajukan selain untuk dirinya sendiri, sekaligus mewakili kelompok orang yang mewakili kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Gugatan class action dapat dilakukan terhadap perkara perdata yang diderita oleh
24 Susanti Adi Nugroho, “class Action dan Perbandingan Dengan Negara Lain”. (jakarta : Kencana Prenada Media Group 2010). Hlm. 6.
25 NHT. Siahaan, Hukum Lingkungan, (Jakarta : Pancuran Alam, 2006 ), hlm.214.
sekelompok orang yang memilki lerugian dan memiliki kesamaan fakta hukum untuk diajukan bersama-sama melalui perwakilannya di pengadilan.26
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menterjemahkan class action dengan gugatan perwakilan. Undang-undang ini tidak secara spesifik mengatur mengenai defenisi dari gugatan perwakilan, yang di atur adalah defenisi dari “mengajukan gugatan perwakilan” yaitu:
“hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili kelompok masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalaham, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.27
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, istilah class action diterjamahkan dengan”gugatan perwakilan”. Undang-undang ini hanya mengatur defenisi dari “ hak mengajukan gugatan perwakilan” sebagai berikut ;
“yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak sekelompok kecil masyarakat bertindak mewakili sekelompok masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gugatan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjeaan konstruksi”.28
26 Badriyah Harun. Aryya Wyagrahtama, “Tata Cara Pengajuan Class Action”.
(Yogjakarta : Pustaka Yustisia. 2008). Hlm. 6.
27 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 35.
28 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menterjemahkan class action dengan “gugatan kelompok. Undang-Undang ini tidak mengatur defenisi dari class action atau gugatan kelompok, namun istilah class action diatur secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang ini, yaitu dalam penjelasan pasal 46 ayat (2) huruf b.
Dalam pasal 1 huruf a PERMA No. 1 Tahun 2002, gugatan perwakilam kelompok ( class action) didefenisikan sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.29
Di Kanada dalam Ontorio Law Reform Commission menjelaskan pengertian “berkepentingan” dalam suatu perkara ialah “berkepentingan secara langsung, baik berkepentingan secara hukum maupun untuk suatu manfaat atau keuntungan”. Dalam gugatan class action, seseorang atau lebih yang maju ke Pengadilan sebagai penggugat atau tergugatmewakili kepentingan seluruh anggota kelompok lainnya didasarkan atas adanya kesamaan kepentingan serta kesamaan permasalahan.30
Dari beberapa pengertian class action, maka didapatkan unsure-unsur class action yang terdiri dari ;
1. Gugatan secara perdata
29 Pasal 1 hurut a PERMA Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
30 Susanti Adi Nugroho (2), op. cit. hlm. 6
Gugatan class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata, sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memproleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigeirichtig). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hal yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah penggugat dan tergugat. Pihak di sini dapat berupa orang perseorangan maupung badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.
2. Wakil Kelompok (Class Representative)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan wakil kelompok sebagai penggugat aktif.
3. Anggota Kelompok (class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.
Apabila class action diajukan kepengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif.
4. Adanya Kerugian
Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class representative) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalamii kerugian atau diistilahkan Concrete Injured Parties.
5. Kesamaan Peristiwa atau Fakta dan Dasar Hukum
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of Law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members).
G. Metode Penelitian
Dalam menuliskan skripsi, posisi metodologi peneletian sangatlah penting sebagai suatu pedoman dalam menuliskannya. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini agar dapat terarah dan dipertanggung jawabkan secara ilmiah antara lain ;
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau kepustakaan,karena peraturan ini hanya meneliti peraturan perundang-undangan dan sumber yang digunakan berasal dari sumber data sekunder. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau dari data sekunder belaka yang telah dikenal dengan nama dan bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.31 Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.32
31 Surjono Sukanto dan Sri Mamudji, “penulisan Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat” ( Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada, 2007), hlm. 33.
32 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, “metode Penelitian dan Penulisan Hukum sebagai Bahan Ajar”, (Medan, Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, 2009), hlm 54.
b. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian hukum ini, digunakan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undaganan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangan- undangan dan putusan putusan hakim.33 Bahan hukum primer dalam skripsi ini yaitu ;
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
6) Peraturan perundangan-undangan lain yang berkaitan dengan skripsi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan-bahan sekunder berupa
33 Peter Mahmud Marzuki, “penelitian Hukum” (Jakarta : Prenda Media Group, 2005), hlm. 181.
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal- jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.34 Seperti misalnya literatur yang diproleh dari perpustakaan seperti bahan bacaan, buku- buku,jurnal, skripsi, tesis, dan artikel-artikel lain yang berhubungan dengan judul yang di buat oleh penulis.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.35 Misalnya seperti kamus-kamus (hukum), ensiklopedia dan sebagainya agar diproleh informasi terbaru yang berkaitan dengan permasalahan, maka kepustakaan yang di cari harus relevan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memproleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara:36 studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat- surat, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang di bahas dalam skripsi ini.
5. Analisis Data
Analisi data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diproleh dan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang
34 Ibid
35 Moh Najir, “Metode Penelitian”, ( Jakarta Ghalia Indonesia, 2001), hlm. 63.
36 Soejono soekanto. “Pengantar penelitian Hukum”, (Jakarta UI Press, 1986), hlm. 24
akan dibahas dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berpikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah.37 Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.38 Dari hasil analisis dapat ditarik suatu kesimpulan. Mempergunakan metode kualitatif tidak semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tapi juga memahami kebenaran tersebut dengan penggunaan metode kualitatif, landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta lapangan.
H. Sistematika penulisan
Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi. Penulisan skripsi ini ditulis secara sistematis agar memberi kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dan memproleh manfaatnya. Adapun yang menjadi sistematika penulisan yang digunakan secara garis besar dapat diuraikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab I memuat pendahuluan yang menggambarkan secara umum tentang pokok-pokok latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
37 Ibid
38 H.B. sutopo, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, (Surakarta : UNS Perss, 1988), hlm. 37.
keaslian penulisan, tujuan kepustakaan, metedologi penelitian, dan sisitematika penulisan.
BAB II GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM SENGKETA PERDATA
Pada bab II ini penulis memuat tentang ruang linkup gugatan secara class action dalam sengketa perdata. Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab,yaitu sejarah perkembangan dan pengaturan class action, jenis gugatan class action, unsur dan persyaratan class action, kekurangan dan kelebihan class action.
BAB III ASPEK YURIDIS GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN`
Pada bab III ini penulis memuat tentang aspek yuridis gugatan class action dalam hukum perlindungan konsumen. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu upaya hukum konsumen atas kerugian barang dan jasa berdasarkan Undang- Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dasar hukum class action dalam hukum positif indonesia.
BAB IV ANALISIS YURIDIS GUGATAN CLASS ACTION DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
74/Pdt.G/2012/PN.Kpj.
Pada bab ini akan membahas mengenai. Posisi kasus sengketa perlindungan konsumen, putusan pengadilan negeri terhadap gugatan penggugat yang diajukan secara class action, analisis putusan atas gugatan penggugat yang diajukan secara class action ke pengadilan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Selanjutnya pada bab v akan dikemukakan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya yang memungkinkan berguna bagi orang-orang yang membacanya dan saran-saran yang mungkin bisa menjadi masukan bagi penulis untuk lebih dapar menyempurkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM SENGKETA PERDATA
A. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action.
1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara.
Class action dikenal dibanyak negara yang menganut sistem hukum Comman Law. Hal tersebut sesuai dengan sejarah yang diperkenalkannya lembaga class action untuk pertama kalinya, yakni di Inggris, Negara tempat lahirnya sistem comman law sekitar tahun 1700-an. Kebanyakan negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.39
a. Inggris
Lembaga class action dikenal dibanyak negara yang menganut sistem hukum comaan law. Prosedur penggunaan gugatan perwakilan kelompok atau class action pertama kali dikenal di Inggris pada abad ke-18. “the Bill of Peace”
yang memungkinkan banyak penggugat atau tergugat untuk menyelesaikan perkara dengan masalah yang sama dalam satu gugatan saja. Sebelum 1873 penerapan class action ini hanya diperkenankan pada Court of Chanchery, dengan alasan bahwa jika dalam suatu perkara penggugatnya begitu banyak, tidaklah dimungkinkan keseluruhannya diwajibkan hadir secara fisik ke persidangan, sehingga pengadilan memperbolehkan perwakilan penggugat untuk mewakili perkara tersebut atas nama penggugat lain, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Baru kemudian pada 1873, dengan diundangkannya the supreme Court of
39 E. Sundari, op. cit , hal 10
Judicature Act, diakui pengaturan mengenai mekanisme gugatan class action, sehingga mulai saat itu gugatan class action mulai digunakan di- supreme court in- Inggris. Konsep peraturan inilah yang menjadi cikal bakal dan kemudian berkembang dan diterapkan juga di negara-negara dengan comman law system seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan negara-negara jajahan Inggris lainnya, meskipun kemudian pada 1965, diubah dan diatur kembali dalam The English Rules of the Supreme Court.40
b. Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat mengatur prosedur class action untuk sistem peradilan federal, yakni di dalam The United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP), 1983, yang kemudian direvisi pada tahun 1966.41 Pada 1966 terjadi amandemen Us Federal Rule 23 versi 1938 ini, karena ternyata menurut laporan The Advisory Commite Notes, lembaga yang diserahi tugas melakukan penelitian dan usulan revisi, menyatakan bahwa dalam penerapannya persyaratan dalam kategori true, hyibrid dan spurious, ini kabur, tidak jelas dan tidak ada kepastian. Oleh karena itu, US federal rule 23 versi 1938 ini ditinggalkan, dan diamandemen dengan US Federal Rule 23 versi 1966.42
Dalam US Federal Rule 23 versi 1966 menghilangkan kategori true, hybrid dan spurious dan menerapkan cara yang lebih praktis yaitu dengan lebih memperhatikan pada keadilan dan kelayakan wakil kelompok. Berdasarkan
40 Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 8-9
41 M. Yahya Harahap, Hukum acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaa, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. 1(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 139.
42 Susanti Adi Nugroho, op, cit, hlm 12
penjelasan dari The Advisory Commite Notes, dalam Us Federal Rule versi 1966, putusan hakim dalam gugatan class action baik mengabulkan atau menolak gugatan, berlaku dan mengikat bagi semua anggota kelas, baik yang hadir dipersidangan maupun tidak hadir. Peraturan baru ini juga mengatur berbagai persyaratan atau acara yang harus diterapkan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara gugatan class action.43
Us Federal Rule inilah yang kemudian menjadi inspirasi untuk lebih mengembangkan dan sebagai percontohan dalam perkembangan persyaratan penerapan prosedur class action negara-negara bagian lain di Amerika, maupun negera-negara seperti di Kanada, Autralia, India, termasuk Indonesia. Di Amerika sendiri sebelum 1975 gugatan class action hanya dapat diajukan di Federal Court, tidak dimungkinkan diajukan di pengadilan negara bagian (state court). Ketentuan ini, menimbulkan permasalahan terutama karena kedudukan federal court yang sangat jauh dari tempat tinggal penduduk. Keadaan itu, mengakibatkan perubahan peraturan, bahwa gugatan class action hanya bisa diajukan ke pengadilan federal, jika minimal nilai kerugian US$ 50.000 dan jumlah anggota kelompok minimal 100 orang. Namun sekarang ini hampir semua negera bagian di Amerika Serikat telah memiliki peraturan mengenai class action. Penggugat wakil kelas atau pengacaranya dapat memilih negara bagian mana akan diajukan gugatannya, sepanjang anggota kelas berdomisili dinegara bagian tersebut.44
43 Ibid hlm 13
44 ibid
c. Kanada
Kanada mulai mengenal prosedur class action pertama kali di provinsi Ontorio dengan dikeluarkannya The Ontorio Judicater Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan supreme court of Ontorio Rule of Practice (SCORP), 1980.
Ketentuan tentang class action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontorio Class Proceedings Act (OCPA) tahun 1922. Di Ontorio kemudian dibentuk Ontorio Law Reform Commission yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan model-model class action dinegara tersebut. Dalam rangka mewujudkan prosedur class action yang seragam untuk seluruh provinsi di Kanada, The Uniform Law Confrence of Kanada telah berhasil membuat class proceeding Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di seluruh di provinsi di Kanada.45
Dalam OCPA 1992, pengaturan class action mencakup : adanya sejumlah orang yang mempunyai permasalah hukum yang sama, permasalahan itu timbul dari fakta atau pristiwa yang sama, dan dalam hal seperti itu satu atau lebih anggota kelompok, dapat tampil mengajukan gugatan mewakili seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.46
d. Australia
Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada tahun 1970 tepatnya dibagian South Wales dan diatur di dalam New South Wales Supreme Court Rules (NSWSCR), 1970. Peradilan federal kemudian juga memperkenalkan
45 Emerson Yuntho, Class Action sebagai Pengantar, Jakarta, 2005, hal 2
46 M Yahya Harahap, op, cit, hlm 138
class action dan diatur di dalam Federal Court of Australia Act (FCAA), 1976.47 Part 8 Rule 3 (1) dari NSWSCR menentukan dalam hal ada sejumlah orang yang mempunyai kepentingan yang sama, satu atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan atau digugat, mewakili kepentingan seluruhnya. Negara bagian Victoria mengatur prosedur class action secara sumir, yakni di dalam Order 18 Victoria Supreme Act (VCSA), 1986, yang secara keseluruhan menentukan bahwa apabila ada sejumlah orang yang mempunya kesamaan kepentingan tiap-tiap gugatan, maka gugatan-gugatan tersebut dapat diajukan dan dapat diteruskan dalam sebuah gugatan oleh atau terhadap seseorang atau lebih yang mempunyai kesamaan kepentingan sebagai wakil dari keseluruhan. Negara bagian Australia Selatan mengatur prosedur class action di dalam Section 34.01 dari South Australia Civil Procedure (SACP), 1922. Menurut ketentuan tersebut, dimana ada sejumlah orang mempunyai kesamaan permasalahan fakta dan hukum, satu atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan mewakili keseluruhan.48
Dalam pengadilan tingkat federal di Australia, berdasarkan The Federal Court of Australia Act 1976, Part IV A dan s. 43 (14) ditentukan kriteria gugatan class action adalah.49
1) The are 7 or more person with potential claim, rather the comman law requirment of “numerous” person at the commencement of proceedings ;
47 Emerson Yuntho, op,cit, hlm. 11
48 Abdul Halim Barkatullah, Hukum perlindungan konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, ( Banjarmasin : Nusa Media,2008), hlm. 144.
49 Indro sugianto, class action-membuka akses keadilan bagi rakyat, (Jakarta : In TRANS press,2008), hlm. 9.
2) The claims arise out of the same similiar or circircntances, instead of the comman law equirment of common intrest ;
3) The claims give rise to at least on substantive issue of law or fact, instead of the comman law test of a “common grievance”
1). Ada tujuh orang atau lebih, dengan tuntutan potensial disamping persyaratan comman law menganai jumlah banyak orang pada saat permulaan gugatan hukum;
2). Suatu tuntutan timbul dari keadaan yang sama, keadaan serupa atau keadaan terkait, disamping persyaratan comman law tentang kepentingan bersama, atau common intrest;
3). Tuntutan timbul, sedikitnya dari satu persoalan substantive hukum fakta hukum, disamping persyaratan common law tentang keluhan bersama.
e. Filipina
Mahakamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui prosedur gugatan class action dalam kasus sengketa lingkungan minor oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14 orang anak-anak dibawah umur (mino) yang di dampingi oleh para orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap mentri lingkungan hidup Filipina (Secretari of the Departement of Environment and Natural Resources/ DENR) mengenai pembatalan injin pembangunan hutan (logging) dengan mengatasnamakan kelompok penggugat dan sekaligus generasi
mendatang yang memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian hutan di filipina.50
f. India
Di india, class action mulai dikenal tahun 1908 dan diatur dalam Rule of Order of Civil Procedure, 1908.51 Ketentuan tersebut kemudian diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang di maksud dengan class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) ada sejumlah besar orang. (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk mewakili kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok.52
2. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Acyion di Indonesia Class acttion sesungguhnya lebih dikenal oleh negra-negara yang menganut sistem hukum common law daripada negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Hal ini karena dalam sejarah dan perkembangannya class action untuk pertama kalinua diperkenalkan di Inggris, negara yang melahirkan sistem hukum common law. Pada perkembangannya negara-negara persemakmuran Inggris kemudian menganutnya. Sementara negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law, seperti halnya Amerika dan Indonesia
50 I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, Januari 3, 2008.
51 M. Yahya Harahap, op,cit, hlm. 139.
52 Emerson Yuntho, op,cit, hlm. 11
pada umumnya hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku di negara nya masing-masing. Sejarah class action di Indonesia dibagi menjadi dua Periode53 :
1. Before recognition.
2. After recognition.
1. Before Recognition of Class Action
Sebelum 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktikkan dalam dunia peradilan di Indonesia, gugatan class action yang pertama kali dimulai pada 1987 terhadap kasus R.O. tambunan melawan Bantoel Remaja, yang diajukan di PN jakarta pusat. Dalam gugatannya, pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya, namun juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bantoel.54
Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil kesehatan DKI (kasus endemi demam berdarah) di PN Jakarta pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN persero (kasus pemadaman listrik se-jawa bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan. Dalam kasus demam berdarah, pengacara Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri
53 Zainal Asikin, “Hukum Acara Perdata di Indonesia”, cet, ke-2 (Jakarta :Pranadamedia, 2016), hlm. 47.
54 Ibid hlm 48
sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa.55
Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada sartupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan ;
 Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan. Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA class action dalam putusannya pada 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum.
 Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu surat khusus, dalam pasal 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu surat khusus.
 Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal defenisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan.
 Bahwa class action lebih di dominasi dinegara yang menganut stelsel hukum Anglo Saxson, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh stelsel hukum Eropa Kontinental.
2. After Recognition of Class Action
Di indonesia acara gugatan perwakilan kelompok tidak dikenal dan tidak diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku baik dalam HIR maupun RBg. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
55 Adrian Sutedi, op,cit, hlm. 138-139
Lingkungan Hidup mulai dikenalkan kemungkinan diajukan gugatan perwakilan kelompok, dan kemudian disusul dengan Undang-Undang perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Kehutanan, namun bagaimana cara pelaksanaan nya belum diatur dalam Undang-Undang ini, karena akan diatur kemudian dalam peraturan pemerintah. Namun sampai sekarang peraturan pemerintah yang diharapkan sampai sekarang belum ada. Sejak itu, mulai muncul gugatan-gugatan perwakilan kelompok baik yang mengatasnamakan masyarakat korban pencemaran lingkungan, atau gugatan yang diajukan atas nama dan kepentingan konsumen, maupun gugatan kelompok yang ditujukan kepada pemerintah pusat maupun daerah karena adanya kelalaian dalam pengelolaan.56 Karena pada saat itu, acara penerapannya belum ada, maka terjadi ketidakpastian hukum dalam penerapan putusan hakim, mulai dengan putusan hakim tidak dapat diterima karena aturan hukumnya tidak ada, sampai pada putusan hakim yang mengadopsi dari putusan-putusan asing baik dari amerika, Kanada, maupun Australia.
Berdasarkan kekosongan ini, maka oleh Mahkamah Agung RI diterbitkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang “ Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok”. Dengan adanya PERMA ini, maka landasan penerapan gugatan class action di Indonesia akan berlandaskan pada acara yang di atur dalam PERMA No.
1 Tahun 2002.57
Dalam perkembangannya ternyata beberapa tahun setelah PERMA No.
1 Tahun 2002, dikeluarkan, terdapat kekosongan yang tidak diatur sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, yang tidak diduga
56 Ibid
57 Susanti Adi Nugroho(1), op,cit, hlm. 31.
sebelumnya, seperti adanya beberapa gugatan perwakilan kelompok yang ditujukan kepada tergugat yang sama, yang diajukan di beberapa pengadilan berbeda, apakah dimungkinkan untuk digabungkan menjadi satu perkara saja, agar pihak tergugat tidak melayani perkara yang sama yang diajukan oleh wakil kelas yang berbeda di pengadilan yang berbeda. Jika hal ini dimungkinkan bagaimana mekanisme penggabungan perkara.58
Kekosongan lain yang tidak diatur, bagaimana cara merealisasikan atau membagi ganti kerugian kepada anggota-anggota kelompok yang berjumlah banyak, yang berada di wilayah pengadilan yang berbeda, jika kemudian gugatan kelompok tersebut dikabulkan. Karena berdasarkan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, eksekusi suatu putusan hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri, sehingga pengadilan negeri mana yang harus membagikan ganti rugi yang dikabulkan, karena anggota kelompok yang berjumlah banyak tersebar dibebrapa wilayah pengadilan yang berbeda. Dan bagaimana anggota kelas membuktikan tentang keikutsertaannya dalam kelompok, atau membuktikan kerugiaannya sehingga ia berhak mendapat bagian dari ganti rugi yang dikabulkan. Hal tersebut tidak diatur dalam PERMA.59
B. Jenis-jenis Gugatan Class Action
1. Plaintif Class Action dan Defendant Class Action
Dilihat dari para pihak yang saling berhadapan, di beberapa negara class action dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu plaitiff class action dan defendant
58 Ibid
59 Ibid, hlm 32
class action. Plaintiff class action adalah pengajuan gugatan secara perwakialan oleh seseorang untuk kepentingan sendiri dan kepntingan kelompok dalam jumlah yang besar. Sedangkan defendent class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seseorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar. Negara-negara seperti Inggris, Australia, India, Amerika Serikat, Kanada serta Indonesia menggunakan defendent class action.60
2. Public Class Action dan Private Class Action
Menurut kepentingan pihak yang dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnya, di negara bagian Ontorio, Kanada, berdasarkan ontorio law commission, gugatan class action dibagi menjadi public class action dan private class action. Pembagian ini didasarkan pada siapa yang akan mewakili untuk menuntut ke pengadilan dalam hal terjadi ketidakadlian bagi masyarakat luas.61
Public Class Action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran public. Class action ini diajukan oleh instansi pemerintah yang mempunyai kapasitas dimana instansi pemerintah tersebut bukan bagian dari suatu kelompok yang dirugikan.62
Private Class Action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan yang dialami oleh sejumlah orang besar. Class action ini diajukan oleh perorangan, yaitu oleh seseorang atau beberapa orang
60 Adrian sutedi, op,cit, hlm. 144-145
61 Ibid
62 Ibid hlm 146
yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar kesamaan permasalahan hukum dan tuntutan.
3. True Class Action, Hybrid Class Action, dan Spurious Class Action
Di samping dua kriteria pembagian class action tersebut, Amerika bersarkan Federal Rule of Civil Procedure tahun 1938 pernah membagi class action ke dalam tiga jenis yaitu true class action, hybrid class action dan spurious class action.63
True class action adalah class action dimana dalam satu kelompok seluruh anggotanya mempunyai kepentingan yang sama atau mempunyai hak yang diproleh bersama-sama dan atas kasus yang sama. Contoh class action jenis ini adalah kasus para konsumen di perumahan yang mengalami kerusakan pada bagian rumahnya karena wanprestasi dari pengembang dan tuntutan yang diajukan adalah berupa ganti kerugian64.
Hybrid class action adalah class action dimana hak yang dituntut oleh suatu kelompok orang ada beberapa tetapi objek gugatannya adalah untuk memproleh putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari tergugat.65 Contoh kasus class action ini adalah ada desain setir mobil yang berbentuk tanduk rusa yang membahayakan para konsumennya apabila ada kecelakaan. Oleh karena itu, baik pengemudi yang telah atau yang belum mengalami kecelakaan dapar mengajukan gugatan keperusahaan setir mobil tersebut dengan beberapa tuntutan: ada yang menuntut supaya diganti dengan
63 Ibid hlm. 147.
64 Ibid
65 Susanti Adi Nugroho (1), op, cit, hlm 124