3 TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan Minyak Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit terdiri atas sabut, tempurung dan inti atau kernel. Pengolahan tandan buah segar sampai diperoleh minyak sawit kasar (CPO = crude palm oil) dan inti sawit dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang. Diagram alir proses produksi minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Proses Produksi Minyak Kelapa Sawit (Lang, 2007) Tahapan produksi minyak kelapa sawit secara berurutan terdiri atas pengangkutan buah ke pabrik, perebusan buah (sterilisasi), pelepasan buah dari
Shell
Cracked mixture Oil
Fiber Fresh Fruit Bunch (FFB)
Loading ramp Nut/Fibre Separator Nut Dryer Winnowing column Hydrocyclone Kernel Dryer Steriliser condensate Stripper stalks Digester Press
Press liquor Press cake
Screen Settling tank Sludge Decander Centrifuge Sludge Centrifuge Vacuum Dryer Oil Kernel
4 tandan (striping), pelumatan buah (digesting), pengeluaran minyak (pengepresan), penyaringan, pemurnian dan penjernihan minyak (klarifikasi) dan pengolahan biji (Murdiati, 1992 dan Winarno, 1999). Minyak kelapa sawit mentah diturunkan dari mesocarpus tandan buah segar (TBS). Pemanasan (steam-heat) TBS dilakukan menggunakan sterilizers horizontal pada tekanan 3 kg/cm2 dan suhu 140 oC selama 75-90 menit (Lang, 2007). Setelah dilakukan sterilisasi, TBS dimasukkan ke dalam rotary drum-stripper (threser) dimana TBS dipisahkan dari spikelet (tandan kosong). Tandan buah segar kemudian dilumatkan dalam digester di bawah kondisi pemanasan uap dengan kisaran suhu 90 oC. Baling-baling kembar penekan (twin screw presses) biasanya digunakan untuk mengeluarkan minyak dari buah yang telah dilumatkan di bawah tekanan tinggi. Proses ekstraksi minyak yang tidak lengkap dapat meningkatkan effluent chemical oxygen demand (COD). Minyak kelapa sawit mentah secara langsung dibawa ke tangki pemurni (clarification tank) dan suhu dipertahankan sekitar 90 oC untuk memperbesar pemisahan minyak. Minyak yang sudah dimurnikan selanjutkan dilewatkan melalui pemusing (centrifuge) ber-kecepatan tinggi dan vakum pengering (vacuum dryer) sebelum penyimpanan. Minyak berserat dan biji dari pengepresan (press cake) dibawa ke pemisah biji dan serat dengan arus udara kuat disebabkan oleh kipas penghisap (suction fan). Kemudian, biji dibawa ke nut cracker dan selanjutnya ke hydrocyclone untuk memisahkan cangkang dari kernel. Kernel tersebut dikeringkan sampai kelembabannya di bawah 7% untuk mencegah pertumbuhan kapang sehingga dapat memperpanjang waktu simpan (Lang, 2007).
Limbah Pabrik Kelapa Sawit
Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi. Aktivitas pengolahan pada pabrik kelapa sawit menghasilkan dua jenis limbah, antara lain limbah padat dan limbah cair. Limbah padat, antara lain tandan kosong kelapa sawit, cangkang dan serat yang sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai sumber energi dengan membakarnya secara langsung, serta ampas dari tandan kosong yang belum termanfaatkan dengan baik (Mahajoeno, 2008).
Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari proses produksi minyak kelapa sawit (Apriani, 2009). Rata-rata pabrik minyak
5 kelapa sawit mengolah setiap ton TBS menjadi 200-250 kg minyak mentah, 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel dan air limbah 0,7 m3 (Yuliansari et al., 2001).
Palm Oil Mill Effluent (POME)
Palm oil mill effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu limbah agroindustri yang paling sering menyebabkan polusi. Limbah ini memiliki konsentrasi yang tinggi dan berwarna coklat pekat. Karakteristik POME dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan
Parameter Konsentrasi* pH 4,7 Temperatur 80-90 BOD 3 hari, 30 oC 25.000 COD 50.000 Total Solids 40.500 Suspended Solids 18.000
Total Volatile Solids 34.000
Amoniacal-Nitrogen 35 Total Nitrogen 750 Phosphorus 18 Potassium 2.270 Magnesium 615 Kalsium 439 Boron 7,6 Iron 46,5 Manganese 2,0 Copper 0,89 Zinc 2,3
*Seluruh parameter dalam mg/l kecuali pH dan temperatur (oC) Sumber : Lang (2007)
Pengolahan tandan buah segar menghasilkan dua bentuk limbah cair, yaitu air kondensat dan effluent. Air kondensat biasa digunakan sebagai umpan boiler untuk mengoperasikan mesin pengolahan kelapa sawit. Effluent yang banyak mengandung unsur hara dimanfaatkan sebagai bahan pengganti pupuk anorganik. Limbah cair pabrik kelapa sawit dihasilkan dari tiga tahap proses, yaitu :
6 1. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari tandannya, mengurangi kadar air dan untuk inaktivasi enzim lipase dan oksidase. 2. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian
lainnya.
3. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain (Departemen Pertanian, 1998).
Teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di pabrik kelapa sawit adalah :
1. Kolam Pengumpul (fatpit)
Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi.
2. Kemudian dimasukkan ke unit deoiling ponds untuk dikutip minyaknya dan diturunkan suhunya dari 70-80 oC menjadi 40-45 oC melalui menara atau bak pendingin.
3. Kolam Pengasaman
Proses pada kolam ini menggunakan mikroba untuk menetralisir keasaman cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah cair yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah cair dalam kolam ini mengalami asidifikasi yaitu terjadinya kenaikan konsentrasi asam-asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis limbah cair dalam kolam pengasaman ini selama lima hari. Kemudian sebelum diolah di unit pengolahan limbah kolam anaerobik, limbah dinetralkan terlebih dahulu dengan menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5.
4. Kolam Anaerobik Primer
Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik untuk merombak BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam dan gas. Waktu penahanan hidrolisis dalam kolam ini mencapai 40 hari.
5. Kolam Anaerobik Sekunder
Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari. Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar untuk pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar/jam.
7 Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan lumpur-lumpur yang terdapat dalam limbah cair. Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini berkisar dua hari. Kolam ini biasanya merupakan pengolahan terakhir sebelum limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah memenuhi standar baku mutu air sungai (Departemen Pertanian, 2006).
Pencemaran lingkungan akibat limbah cair dapat diatasi dengan cara mengendalikan limbah cair tersebut secara biologis. Pengendalian secara biologis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri anaerob (Tobing & Darnoko., 1992). Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit memiliki potensi sebagai pencemar lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi (Apriani, 2009).
Hasil penelitian komposisi limbah menyebutkan bahwa 76% BOD berasal dari padatan tersuspensi dan hanya 22,4% dari padatan terlarut. Jumlah padatan yang terdapat dalam limbah terutama padatan tersuspensi mempengaruhi tinggi rendahnya BOD (Apriani, 2009).
Kotoran Sapi
Kotoran ternak merupakan bahan baku potensial dalam pembuatan biogas karena mengandung pati dan lignoselulosa (Deublein & Steinhausher., 2008). Biasanya, kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisanya digunakan untuk memproduksi gas metana menggunakan proses anaerob. Salah satu ternak yang kotorannya biasa dimanfaatkan sebagai pupuk dan bahan baku biogas adalah sapi. Kotoran sapi adalah biomassa yang mengandung karbohidrat, protein dan lemak. Drapcho et al. (2008) berpendapat bahwa biomassa yang mengandung karbohidrat tinggi akan menghasilkan gas metana yang rendah dan CO2 yang tinggi, jika
dibandingkan dengan biomassa yang mengandung protein dan lemak dalam jumlah yang tinggi. Secara teori, produksi metana yang dihasilkan dari karbohidrat, protein, dan lemak berturut-turut adalah 0,37; 1,0; 0,58 m3 CH4 /kg bahan kering organik.
Kotoran sapi mengandung ketiga unsur bahan organik tersebut, sehingga dinilai lebih efektif untuk dikonversi menjadi gas metana (Drapcho et al., 2008).
Kotoran sapi adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan
8 tingkat produksinya, jenis, jumlah konsumsi pakan serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi, terdiri atas nitrogen (0,29%), P2O5 (0,17%) dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno, 2003). Kotoran sapi yang
tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009).
Biogas
Biogas merupakan salah satu produk hasil biokonversi dari bahan organik. Biokonversi adalah sebuah proses yang mampu mengubah bahan organik menjadi produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah dengan memanfaatkan proses biologis dari mikroorganisme dan enzim (Hardjo et al., 1989). Menurut Sahidu (1983), biogas adalah bahan bakar gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Bahan bakar ini diproses dalam kondisi anaerob sehingga menghasilkan metana (CH4) dengan kadar dominan
dan karbondioksida (CO2).
Komposisi biogas yang dihasilkan terdiri atas CH4 (50-70%), CO2 (25-45%),
H2, NH3 dan H2S dalam jumlah yang sedikit (Price & Cheremisinoff, 1981).
Polprasert (1980) juga mengemukakan bahwa komposisi biogas terdiri atas CH4
(55-65%) dan CO2 (35-45%) yang merupakan komponen gas dominan, serta NH3
(0-3%), H2 (0-1%), H2S (0-1%), dan unsur NPK serta mineral lainnya yang
terakumulasi dalam sludge. Komposisi gas penyusun biogas yang terdiri atas campuran kotoran ternak dan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Biogas
No. Jenis Gas
Komposisi Biogas (%)
Kotoran Sapi Campuran Kotoran Ternak
dan Sisa Pertanian
1. Metana (CH4) 65,7 54-70 2. Karbon dioksida 27,0 45-27 3. Nitrogen 2,3 0,5-3,0 4. Karbon monoksida 0,0 0,1 5. Oksigen 0,1 6,0 6. Propana (C3H8) 0,7 -
7. Hidrogen sulfida - Sedikit
9 Proses Pembentukan Biogas
Fauziah (1998) menyebutkan bahwa proses pembentukan biogas dilakukan secara anaerob. Bakteri merombak bahan organik menjadi biogas dan pupuk organik. Proses pelapukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi anaerob (Polprasert, 1980). Reaksi pembentukan biogas dapat dilihat pada Gambar 2.
Bahan organik + H2O CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge
anaerob
Gambar 2. Reaksi Pembentukan Biogas
Proses pembentukan biogas ini memerlukan instalasi khusus yang disebut digester agar perombakan secara anaerob dapat berlangsung dengan baik. Proses perombakan bahan organik secara anaerob yang terjadi di dalam digester, terdiri atas empat tahapan proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis), asetogenesis, dan metanogenesis. Proses perombakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Proses Perombakan Secara Anaerob (Grady et al., 1999) mikroorganisme
10 (1) Hidrolisis
Tahap hidrolisis merupakan tahapan yang paling awal terjadi pada proses anaerob, dalam tahap ini terjadi pemecahan dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (monomer). Senyawa kompleks ini, antara lain protein, karbohidrat dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerob, senyawa ini akan diubah menjadi monomer (Deublein & Steinhausher., 2008).
Protein asam amino Selulosa glukosa
Lemak asam lemak rantai panjang
Proses hidrolisis karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, sedangkan hidrolisis pada protein dan lemak memerlukan waktu beberapa hari.
(2) Fermentasi (Asidogenesis)
Monomer yang dihasilkan dari tahap hidrolisis akan didegradasi pada tahap ini. Fermentasi merupakan tahap yang akan mengubah monomer menjadi asam organik rantai pendek, asam butirat, asam propionat, asam asetat, asam asetic, alkhohol, hidrogen dan karbon dioksida (Deublein & Steinhausher., 2008). Selain itu, terjadi pula pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al., 2007).
(3) Asetogenesis
Asam organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam asetat, H2 dan CO2 oleh bakteri asetogenik (Drapcho et al., 2008). Pada fase ini,
mikroorganisme homoasetogenik akan mengurangi H2 dan CO2 untuk diubah
menjadi asam asetat (Deublein & Steinhausher., 2008). (4) Metanogenesis
Tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan gas metana sebagai komponen utama biogas. Bakteri yang berperan dalam proses ini, antara lain Methanococcus, Methanobacillus, Methanobacterium, dan Methanosarcina. Terbentuknya gas
Enzim lipase Enzim selulase Enzim protease
11 metana terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2,
seperti yang terlihat pada Gambar 4 (Hambali, 2007, Deublein & Steinhausher., 2008).
CH3COOH CH4 + CO2 (dekarboksilasi asetat)
4CO2 + H2 CH4 + CO2 (reduksi CO2)
Gambar 4. Reaksi Pembentukan Metana (CH4)
Barnett et al. (1978) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan dari instalasi penghasil biogas, yaitu penggunaan bahan bakar lebih efisien, menambah nilai pupuk dan menyehatkan lingkungan. Selain itu, teknologi biogas memiliki beberapa keuntungan, antara lain sebagai sumber energi yang aman, stabilisasi limbah, meningkatkan unsur hara dan menginaktifkan bakteri patogen (Polprasert, 1980).
Keuntungan utama yang diperoleh dari fermentasi anaerob bahan organik buangan adalah konservasi. Kurang lebih 99% nitrogen masih terdapat di dalam lumpur (sludge), sedangkan sisanya hilang sebagai gas ammonia selama proses berlangsung. Kelebihan fermentasi anaerob dibandingkan fermentasi aerob kotoran ternak atau bahan buangan yaitu ammonia yang terbentuk mudah menguap sekitar 84,1% (Fauziah, 1998).
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberlangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Suhu tidak terlalu berpengaruh pada terjadinya proses hidrolisis. Hal ini karena bakteri pada proses hidrolisis tidak terlalu peka terhadap perubahan suhu (Gerardi, 2003). Suhu optimal untuk bakteri pembentuk asam yaitu 32-42 oC (mesophilik) dan 48-55 oC (thermophilik), sedangkan bakteri metanogenik kebanyakan hidup pada suhu mesofil dan sebagian kecil lainnya hidup pada suhu thermofil. Selain itu, terdapat beberapa bakteri yang mampu memproduksi metana pada suhu rendah (0,6-1,2oC). Bakteri metanogenik sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Bakteri metanogenik yang hidup pada suhu thermofil lebih sensitif terhadap perubahan suhu jika dibandingkan dengan bakteri metanogenik mesofil. Suhu harus dijaga tidak lebih dari ± 2 oC (Deublein & Steinhausher., 2008). Penjagaan suhu digester agar tetap konstan ini didukung oleh pernyataan Price &
12 Cheremisinoff (1981) yang menyebutkan bahwa produksi gas pada proses perombakan secara anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 4-60 oC jika suhu konstan dan apabila terjadi fluktuasi suhu maka proses akan terganggu. Selanjutnya Price & Cheremisinoff (1981) berpendapat bahwa walaupun digester yang memiliki suhu yang rendah (20-25oC) membutuhkan waktu retensi dua kali lebih lama dari digester dengan suhu mesofil, namun produksi gas, kualitas dan parameter lain dari kestabilan proses dinilai menguntungkan. Selain itu, digester dengan suhu rendah ini dapat dijadikan alternatif pembuatan biogas di daerah beriklim dingin.
Suhu tidak hanya mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk metana, tetapi juga mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk asam volatil. Fluktuasi suhu dapat menguntungkan salah satu kelompok bakteri, namun merugikan bakteri kelompok lain. Contohnya, peningkatan suhu sebesar 10 oC dapat menghentikan produksi metana atau aktivitas bakteri pembentuk metana selama 12 jam, sedangkan pada kondisi yang sama terjadi peningkatan asam volatil. Perubahan aktivitas pada bakteri pembentuk asam volatil akan berpengaruh pada jumlah asam organik dan alkhohol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Asam organik dan alkhohol ini digunakan sebagai substrat bagi bakteri pembentuk metana, sehingga akan mempengaruhi keseluruhan performa digester (Gerardi, 2003).
Nilai pH
Bakteri pembentuk metana hidup pada pH optimum 6,7-7,5 (Deublein & Steinhausher., 2008) dan 6,8-7,2 (Gerardi, 2003). Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Apabila nilai pH turun hingga di bawah 6,5 maka asam organik mulai terbentuk dengan bantuan bakteri hidrolitik dan tahap fermentasi mulai berhenti. kenyataannya nilai pH pada tahap ini berada pada kisaran netral karena adanya sistem penyangga (buffering system). Proses fermentasi yang terlalu kuat akan dihindarkan oleh karbon dioksida, hidrogen karbonat, atau sistem penyangga karbonat. Bahan kimia yang sering digunakan sebagai sistem penyangga dapat dilihat pada Tabel 3.
13 Tabel 3. Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga
Bahan Kimia Formula Kation Penyangga
Sodium bikarbonat NaHCO3 Na+
Potassium bikarbonat KHCO3 K+
Sodium karbonat Na2CO3 Na+
Potassium karbonat K2CO3 K+
Kalsium karbonat CaCO3 Ca2+
Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Ca2+
Anhydrous ammonia (gas) NH3 NH4+
Sodium nitrat NaNO3 Na+
Sumber : Gerardi (2003)
Selama proses fermentasi terjadi, CO2 disusun secara terus-menerus dan
dibebaskan ke udara. Penurunan nilai pH membuat karbon dioksida larut pada substrat, sedangkan peningkatan pH membuat karbon dioksida terlarut diubah menjadi asam karbonat yang terionisasi, sehingga ion hidrogen dibebaskan (Deublein & Steinhausher., 2008).
CO2 H2CO3 H+ + HCO3- 2H+ + 2CO32-
Seluruh CO2 berupa molekul bebas pada pH 4, sedangkan pada pH 13 seluruh
CO2 terlarut dalam bentuk karbonat pada substrat. Nilai tengah pH pada sistem ini
adalah 6,5. Hidrogen karbonat memberikan penyangga yang kuat pada konsentrasi 2,5-5 g/l.
Proses fermentasi yang terlalu lemah akan dihindarkan oleh sistem penyangga amonia-amonium. Penurunan nilai pH menyebabkan ion ammonium terbentuk dengan melepaskan ion hidroksil, sedangkan peningkatan nilai pH akan membentuk lebih banyak molekul ammonia bebas. Nilai tengah pH pada sistem ini adalah 10 (Deublein & Steinhausher., 2008).
NH3 + H2O NH4+ + OH-
NH3 + H+ NH4+
Peningkatan pH paling tinggi akan terjadi pada tahap metanogenesis, dimana bakteri akan tumbuh optimal pada kondisi pH tersebut. Akan tetapi, terdapat satu jenis bakteri pembentuk metana yang dapat hidup pada pH rendah yaitu < 6,5, bakteri tersebut adalah Methanosarcina (Deublein & Steinhausher., 2008).
14
Total Volatile Solids (TVS)
Total Volatile Solids atau total padatan yang teruapkan merupakan kandungan bahan kering organik yang berpotensi untuk dikonversi menjadi biogas. Jumlah TVS pada bahan baku pembuatan biogas akan mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan. Sebanyak 0,7 m3 metana dihasilkan dari perombakan 1 kg volatile solids (VS) (Drapcho et al., 2008). Gerardi (2003) menyatakan bahwa, dari 100 kg lumpur digester, sebanyak 70% berupa VS. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalam substrat, maka semakin tinggi pula VFA yang diproduksi. Volatile fatty acids (VFA) yang terlalu tinggi akan menyebabkan gangguan pada nilai pH. Penurunan nilai pH yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Penurunan kandungan VS pada lumpur digester yang dirombak secara anaerob dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Penurunan Kandungan VS pada Lumpur Digester (Gerardi, 2003) Rasio C/N
Populasi mikroba pada proses perombakan bahan organik secara anaerob memerlukan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang biak. Rasio C/N merupakan nilai perbandingan antara karbon dan nitrogen yang terdapat pada substrat. Kisaran rasio
15 C/N yang optimal menurut Deublein & Steinhausher. (2008) adalah 16:1 – 25:1 dan 20:1 - 30:1 menurut Stafford et al. (1980).
Substrat dengan rasio C/N yang terlalu rendah akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia yang dapat menghambat produksi metana. Sebaliknya, jika rasio C/N terlalu tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada substrat, dimana hal ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang diperlukan mikroba untuk tumbuh. Maka, diperlukan keseimbangan rasio C/N agar produksi gas lebih optimal (Deublein & Steinhausher., 2008).