• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PROSES PENCAMPURAN DAN PERLAKUAN KALSINASI DALAM SINTESIS SOL-GEL CdS MENGGUNAKAN AMILUM SEBAGAI AGEN PENGOMPLEKS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PROSES PENCAMPURAN DAN PERLAKUAN KALSINASI DALAM SINTESIS SOL-GEL CdS MENGGUNAKAN AMILUM SEBAGAI AGEN PENGOMPLEKS."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PROSES PENCAMPURAN DAN PERLAKUAN

KALSINASI DALAM SINTESIS SOL-GEL CdS

MENGGUNAKAN AMILUM SEBAGAI

AGEN PENGOMPLEKS

SKRIPSI

Diajukan kepadaFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian

Persyaratan Guna Memperolah Gelar Sarjana Sains Kimia

Oleh : Syaiful Anwar

12307141013

PROGRAM STUDI KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Barang siapa menginginkan kebahagiaan didunia maka dapat diraih dengan ilmu, Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat maka dapat diraih dengan ilmu, dan barang siapa ingin kebahagiaan dua-duanya maka dapat diraih dengan ilmu

(Nabi Muhammad SAW)

Jembaring ilmumu gumantung soko prihatining awakmu

(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Allah SWT

2. Nabi Muhammad SAW

3. Kepada Ayahku

4. Kepada Ibuku

5. Kepada Adik-Adikku

6. Tesia Aisyah Rahmania

7. Teman – teman seperjuangan skripsi, Mamay, Eti, Fia, Yuza, Nana dan Hari

8. Teman – teman Kimia B 2012

9. Almamaterku tercinta Prodi Kimia, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

(7)

vii

PENGARUH PROSES PENCAMPURAN DAN PERLAKUAN KALSINASI DALAM SINTESIS SOL-GEL MENGGUNAKAN AMILUM

SEBAGAI AGEN PENGOMPLEKS Oleh:

Syaiful Anwar NIM: 12307141013

Pembimbing: Dr. Cahyorini Kusumawardani, M. Si.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses pencampuran

dan perlakuan kalsinasi dalam karakter CdS hasil sintesis dengan metode sol-gel

menggunakan amilum sebagai agen pengompleks.

Sintesis dilakukan dengan mencampurkan prekursor Cd dari senyawa Cd(NO3)2 dan surfaktan (amilum) dengan variasi 0,2; 0,5; 1,0; 2,0 dan 3,0.

Selanjutnya ditambahkan senyawa (NH4)2S sebagai precursor S dengan rasio mol

Cd : S = 1:1. Proses sintesis sol-gel dilakukan dengan pengadukan selama 2 x 24

jam untuk menghasilkan padatan kuning CdS. Setelah proses penyaringan, padatan

yang diperoleh dipanaskan pada temperature 100oC selama 4 jam untuk

menghasilkan nanopartikel CdS. Senyawa hasil sintesis dikarakterisasi

menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), UV-Vis, IR dan SEM EDX.

Hasil XRD menunjukkan bahwa sintesis CdS semua variasi amilum berbentuk kubik. Hasil analisa dengan spektra IR setelah dikalsinasi menunjukkan masih adanya amilum. Hasil karakterisasi dengan UV-Vis menghasilkan nilai energi celah pita pada amilum 3 gram yang telah dikalsinasi sebesar 1,72 eV. Hasil analisis dengan menggunakan SEM-EDX menunjukkan ukuran partikel sebesar

0,683 – 1,897 µm dan perbandingan atom sebesar 0,40:0,28.

(8)

viii

THE EFFECT OF MIXING PROCESS AND CALCINATION TREATMENT CdS SYNTHESIZED BY SOL-GEL USING

STARCH AS COMPLEXING AGENT

By: Syaiful Anwar NIM: 12307141013

Supervisor : Dr. Cahyorini Kusumawardani, M. Si.

ABSTRACT

This research aimed to know the effect of mixing process and calcination treatment from character of CdS produced with sol-gel method using starch as the complexing agent.

Synthesis was done by mixing precursors Cd of Cd(NO3)2 and surfactan

(starch) with variations of 0.2; 0.5; 1.0; 2.0 and 3.0 gram. And then, added (NH4)S

as precursor S compound in the mole ratio Cd and S of 1:1. Sol-gel synthesis process was done by stirring for 2 x 24 hours to result yellow solid of CdS. After filtering

process, solid were heated at 100oC for 4 hours to produce CdS nanoparticles. The

result of synthesis was characterized by using X-Ray Diffraction(XRD), UV-Vis,

IR and SEM-EDX.

The X-Ray Diffraction showed that synthesis of CdS for all starch variation has a cubic structure. Result of the analysis spectra IR showed that the crystal still containing a starch. Characterization of CdS with UV-Vis showed that the 3 gram starch obtained band gap energy 1.72 eV. Result of the analysis SEM-EDX showed

that particles-size are 0,683 1,897 µm with atomic comparison 0.40:0.28.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Metode Pencampuran Dalam

Sintesis Sol Gel CdS Menggunakan Amilum Sebagai Agen Pengompleks.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang

telah memberikan ijin penelitian.

2. Bapak Jaslin Ikhsan, Ph. D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kimia dan

Koordinator Program Studi Kimia serta Koordinator Tugas Akhir Skripsi

Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin

penelitian dan memberikan nasihat serta saran-saran.

3. Bapak Dr. P. Yatiman selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah

membimbing akademik selama 4 tahun.

4. Ibu Dr. Cahyorini Kusumawardani, M.Si selaku pembimbing skripsi, yang telah

memberikan bimbingan, ilmu, pertanyaan, saran, dan masukannya.

5. Ibu Rr Lis Permana Sari, M.Si selaku sekretaris penguji, yang telah memberikan

(10)

x

6. Bapak Prof K H Sugiyarto, Ph.D dan Dr Hari Sutrisno berturut-turut selaku

penguji utama dan penguji pendamping yang telah memberikan pertanyaan,

kritik, dan saran.

7. Seluruh Dosen, Staf, dan Laboran Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY

yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penelitian.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari adanya keterbatasan

kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman sehingga masih terdapat kekurangan.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhirnya besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca sekalian.

Yogyakarta, Juni 2016

(11)

xi DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 4

(12)

xii

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB IIKAJIAN PUSTAKA ... 6

A. Deskripsi Teori ... 6

1. Semikonduktor CdS ... 6

2. Sintesis CdS ... 7

3. Amilum ... 9

5. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) ... 10

6. Analisis Spektrometer IR ... 12

7. Analisis Spektrofotometer UV-Vis ... 13

8. Analisis SEM-EDX ... 15

B. Penelitian yang Relevan... 16

C. Kerangka Berfikir ... 18

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 19

A. Alat dan Bahan ... 19

1. Alat yang digunakan ... 19

2. Bahan yang digunakan ... 19

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

C. Prosedur Penelitian ... 20

(13)

xiii

D. Analisis Data ... 21

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. Sintesis Senyawa CdS ... 24

B. X-Ray Diffraction (XRD) ... 25

1. Senyawa CdS tanpa amilum ... 26

2. Senyawa CdS dengan variasi amilum ... 28

C. Analisis Spektrometer IR ... 31

D. Analisis UV-Vis ... 35

E. Analisis SEM-EDX ... 41

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Data JCPDS Struktur Kubik dan Sampel... 27

Tabel 2. Perhitungan Ukuran Partikel... 27

Tabel 3. Perhitungan Ukuran Kristal Rata-rata dengan Variasi Amilum... 28

Tabel 4. Parameter Kisi Senyawa CdS Hasil Kalsinasi………... 30

Tabel 5. Perhitungan Ukuran Kristal Rata-rata dengan Variasi Kalsinasi…... 31

Tabel 6. Perbandingan serapan amilum, kalsinasi 200oC dan 300oC……….. 34

Tabel 7. Absorbansi Senyawa CdS variasi amilum……….. 36

Tabel 8. Nilai energi celah pita variasi amilum……….. 38

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kubik Material CdS... 7

Gambar 2. Tahapan Pembuatan Sol dan Gel... 8

Gambar 3. Struktur Amilosa dan Amilopektin... 9

Gambar 4. Difraksi Sinar X... 11

Gambar 5. Energi Celah Pita... 14

Gambar 6. Difraktogram Senyawa CdS Tanpa Amilum... 26

Gambar 7. Difraktogram Senyawa CdS dengan Penambahan Amilum... 29

Gambar 8. Difraktogram Senyawa CdS Setelah di Kalsinasi……….. 30

Gambar 9. Spektrum IR dari Amilum………. 32

Gambar 10. Spektrum IR Hasil Kalsinasi pada Suhu β00˚C………. 33

Gambar 11. Spektrum IR Hasil Kalsinasi pada Suhu γ00˚C………. 33

Gambar 12. Spektrum UV-Vis Senyawa CdS Variasi Amilum……… 35

Gambar 13. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS tanpa amilum………… 36

Gambar 14. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS amilum 0,5 gram……. 37

Gambar 15. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS amilum 1,0 gram…….. 37

Gambar 16. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS amilum β,0 gram…….. 38

Gambar 17. Spektrum UV-Vis Senyawa CdS setelah kalsinasi……….. 39

Gambar 18. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS……….. 40

Gambar 19 Hasil SEM Senyawa CdS……… 41

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja……….. 49

Lampiran 2. Perhitungan Massa Timbang dalam Preparasi Bahan Untuk

Sintesis Senyawa CdS tanpa Amilum……… 50

Lampiran 3. Perhitungan Massa Timbang dalam Preparasi Bahan Untuk

Sintesis Senyawa CdS dengan Variasi Amilum……… 51

Lampiran 4. Difraktogram XRD Senyawa CdS Tanpa Amilum………... 52

Lampiran 5. Difraktogram XRD Senyawa CdS dengan Variasi Amilum. 53

Lampiran 6. Difraktogram XRD Senyawa CdS dengan Variasi Amilum

Setelah Kalsinasi……….. 58

Lampiran 7. Perhitungan Ukuran Kristal Senyawa CdS tanpa Amilum

dan Senyawa CdS dengan Variasi Amilum………. 61

Lampiran 8. Parameter Kisi Senyawa CdS Tanpa Amilum dan Senyawa

CdS Variasi Amilum………. 71

Lampiran 9. Perhitungan Ukuran Kristal Senyawa CdS tanpa Amilum

dan Senyawa CdS dengan Variasi Amilum Setelah

Kalsinasi……… 77

Lampiran 10. Parameter Kisi Senyawa CdS Tanpa Amilum dan Senyawa

CdS Variasi Amilum Setelah Kalsinasi……… 83

Lampiran 11. Data JCPDS Standar CdS dengan Struktur Kubik………... 85

Lampiran 12. Spektrum IR Senyawa Amilum dan CdS Menggunakan

(17)

xvii

Lampiran 13. Hasil UV-Vis Senyawa CdS Sebelum Kalsinasi…………... 89

Lampiran 14. Hasil UV-Vis Senyawa CdS Setelah Kalsinasi….………... 90

Lampiran 15. Hasil SEM-EDX... 92

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cadangan sumber daya energi di Indonesia saat ini sudah semakin terbatas.

Sebagai gambaran, Indonesia saat ini hanya memiliki 4.300 juta ton cadangan

minyak atau hanya sekitar 0,36% dari total cadangan minyak dunia tahun 2006

yaitu sebesar 1.208.200 juta ton. Dengan produksi sebesar 390 juta ton per tahun,

minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya dapat bertahan untuk 11 tahun ke

depan. Sementara itu, gas alam yang juga merupakan salah satu sumber energi

utama di Indonesia hanya memiliki cadangan yang ekuivalen dengan massa

produksi selama 35,54 tahun ke depan (Jauhari, 2007).

Pemanfaatan pembangkit energi primer yang bersifat terbarukan akhirnya

memiliki posisi yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan kekurangan

energi, karena energi terbarukan keberadaannya sangat besar sekali atau tidak

terbatas. Pengembangan energi terbarukan, seperti fotovoltaik atau sel surya

menghasilkan teknologi pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan tidak

menimbulkan polusi udara dan suara seperti pada pembangkit listrik konvensional

(Hasyim Asy’ari, β014).

Perkembangan sel surya sendiri sampai saat ini sudah mencapai generasi

ketiga, yakni sel surya berbasis nanostruktur semikonduktor dengan gabungan

material organik-anorganik. Penelitian terus dilakukan untuk mencapai efisiensi

(19)

2

masyarakat. Sel surya ini antara lain sel surya tersensitisasi zat warna atau

Dye-Sensitized Solar Cell (DSCC) (Gratzel, 2003). Sel surya generasi ini untuk

produksinya tidak memerlukan biaya yang mahal, karena material yang

dibutuhkan tidak memerlukan tingkat kemurnian yang tinggi. Perkembangan

DSSC untuk aplikasi yang lebih luas mengalami masalah pada degradasi zat

warna sehingga dikembangkan sensitiser semikonduktor seperti CdS, CdSe, PbSe,

ZnS dan seterusnya (Jun et al., 2013). Penggunaan semikonduktor ini

menggantikan fungsi zat warna (dye) untuk meningkatkan respon TiO2 pada

sistem sel surya tersensitisasi Quantum Dots Sensitized Solar Cell (QDSSC) (Jun

et al., 2013). CdS merupakan salah satu bahan semikonduktor tipe n pada p-n junction (Al-Tamemee et al., 2012) dan di alam dapat ditemukan dalam bentuk

padatan berwarna kuning sebagai mineral Greenockite (Djamas, 2010). Sintesis

CdS juga dapat dilakukan dengan metode seperti CVD (Chemical Vapor

Deposition) (Nur et al., 2007), spin coating (Al-Juaid et al.,2012), teknik DVT

(Kadash et al., 2014) dan sol-gel (Bansal et al., 2012).

Metode sol-gel yang melibatkan agen pengompleks merupakan metode yang

paling mudah untuk mengontrol sifat dan karakter CdS. Agen pengompleks

merupakan bahan yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan partikel,

sehingga diperoleh struktur yang seragam. Amilum dapat digunakan sebagai agen

pengompleks pada sintesis CdS melalui metode presipitasi air pada tingkat pH

yang berbeda untuk mempelajari kondisi optimum menghasilkan distribusi

nanopartikel yang seragam (Rozi et al., 2011). Penelitian tersebut menggunakan

(20)

3

temperatur rendah jika dibandingkan dengan metode presipitasi air, CVD

maupun spin coating (Nugroho et al, 2014). Selain itu, metode sol gel lebih

mudah mengontrol komposisi bahan, jenis pelarut, prekursor, temperatur reaksi,

konsentrasi dan parameter lainnya (Zeng et al, 1999).

Penambahan agen pengompleks pada proses sintesis mempengaruhi

karakter hasil sintesis. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan variasi

proses pencampuran pada sintesis sol gel CdS menggunakan amilum sebagai agen

pengompleks.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut.

1. Metode yang digunakan untuk mensintesis senyawa CdS.

2. Proses sintesis CdS

3. Sumber Cd yang digunakan.

4. Sumber S yang digunakan.

5. Agen pengompleks yang digunakan.

6. Variasi agen pengompleksyang digunakan.

7. Suhu sintesis CdS.

(21)

4 C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, dapat ditentukan

pembatasan masalah sebagai berikut.

1. Metode yang digunakan untuk mensintesis senyawa CdS adalah metode

sol-gel.

2. Proses pencampuran yaitu ada 2 proses.

3. Sumber Cd yang digunakan adalah Cd(NO3)2.4H2O

4. Sumber S yang digunakan adalah (NH4)2S.9H2O

5. Agen pengompleks yang digunakan adalah amilum.

6. Variasi agen pengompleks yang digunakan adalah 0,2; 0,5; 1,0; 2,0 dan 3,0

gram dengan perbandingan Cd(NO3)2.4H2O 3 gram.

7. Suhu yang digunakan saat sintesis adalah suhu kamar.

8. Suhu kalsinasi yang digunakan adalah 200◦C, 250◦C, 300◦C dan 400◦C.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang diuraikan, diambil perumusan masalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana pengaruh metode pencampuran dalam proses sintesis terhadap

struktur CdS hasil sintesis?

(22)

5 E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Mempelajari pengaruh metode pencampuran dalam proses sintesis terhadap

struktur CdS hasil sintesis.

2. Mempelajari pengaruh variasi suhu kalsinasi terhadap struktur CdS hasil

sintesis.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut.

1. Memberikan informasi tentang metode sintesis CdS menggunakan amilum

dengan metode pencampuran yang berbeda.

(23)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1. Semikonduktor CdS

Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi.

Kadmium murni berupa logam berwarna putih perak dan lunak, namun bentuk ini

tak lazim ditemukan di lingkungan (Widowati et al., 2008). Umumnya kadmium

terdapat dalam kombinasi dengan elemen lain seperti Oxigen (Cadmium Oxide),

klorin (Cadmium Chloride) atau belerang (Cadmium Sulfide). Hanya terdapat satu

jenis mineral kadmium di alam yaitu greennockite (CdS) yang selalu ditemukan

bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS) (Jayaratnam dan David Koh, 2010).

Kadmium Sulfida merupakan semikonduktor dengan rumus kimia CdS dan di alam

ditemukan sebagai senyawa berwarna kuning. Menurut Lee at al (2003) CdS

sebagai bahan semikonduktor mempunyai energi celah pita pada suhu kamar

sebesar 2,42 eV.

CdS membentuk kristal dengan struktur kubik, heksagonal dan bahkan

campuran fase keduanya. Kristal dengan struktur kubik memiliki harga parameter

(24)

7

(a) (b)

Gambar 1. (a) Struktur Kubik

Material CdS (b) Struktur Heksagonal Material CdS

2. Sintesis sol-gel CdS

Metode-metode yang dapat digunakan untuk sintesis CdSantara lain metode

sol-gel (Thambidurai et al., 2010), chemical bath deposition (Liu et al., 2010) metal organic chemical vapor deposition (MOCVD) (Hsu et al., 2004), electrodeposition

dan photochemical deposition (PCD) (Ichimura et al.,2001). Metode sol–gel

merupakan salah satu metode yang paling sukses dalam mempreparasi material

oksida logam berukuran nano. Dalam metode ini terjadi perubahan dari suspensi

koloid (sol) menjadi fase cair (gel). Sol merupakan sistem koloid padatan dengan

ukuran 0,1–1 m yang terdispersi dalam cairan (Ismunandar, β004). Gel adalah

emulsi dalam medium pendispersi zat padat yang dapat dianggap sebagai hasil

pembentukan dari penggumpalan sebagian zat cair.

Metode sol-gel adalah metode penumbuhan lapisan yang dilakukan pada

suhu kamar (Iriani, 2009). Metode ini merupakan salah satu metode yang tidak

membutuhkan biaya yang besar karena tidak membutuhkan banyak peralatan dan

(25)

8

menggunakan metode ini dalam skala laboratorium (Adem, 2003). Proses

tahapan pembentukan sol dan gel ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. (a) Tahap Pembuatan Sol, (b) Tahap Pembuatan Gel

Beberapa keuntungan menggunakan metode sol-gel antara lain sebagai

berikut.

1. Tingkat stabilitas termal yang baik

2. Luas permukaan BET yang tinggi

3. Fase pemisahan cepat dan kristalisasi cepat.

4. Daya tahan pelarut yang baik

5. Modifikasi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai kemungkinan

Pada proses pembuatan nanomaterial (pemecahan struktur material menjadi

ukuran yang lebih kecil) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: temperatur,

kecepatan pengadukan, zat penstabil (agen pengompleks), pH larutan dan

(26)

9

digunakan agen pengompleks yang berfungsi untuk membantu mencegah

pertumbuhan nanopartikel secara berlebih dan terjadinya agregasi serta untuk

mengontrol struktur nanopartikel (Zhiqiang and Yadong, 2014). Pertumbuhan dari

nanopartikel bergantung pada kondisi saat sintesis, suhu sintesis dan waktu sintesis

untuk penyelesaian reaksi.

3. Amilum

Amilum merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau melalui

proses fotosintesis. Amilum memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut

dalam air pada temperatur kamar memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada

jenis tanamannya. Pada umumya amilum tersusun dari 25% amilosa dan 75%

amilopektin. Amilosa merupakan polimer berbentuk panjang dan lurus dan sedikit

cabang (kurang dari 1%) dengan berat molekul 500.000 g/mol (Nwokocha, 2008).

Unit-unit glukosa terhubung oleh ikatan α-1,4 pada molekul amilosa. Molekul

amilosa berbentuk helix dan bersifat hidrofobik. Amilopektin memiliki bentuk

yang bercabang dan memiliki berat molukul 107-109 g/mol bergantung pada jenis

tanamannya. Amilum terbentuk dari monomer-monomer glukosa. Gambar 3

menunjukkan struktur amilosa dan amilopektin

(27)

10

Amilum tersusun dari monomer monosakarida enam karbon D-glukosa.

Struktur monosakarida D-glukosa dapat digambarkan dalam struktur rantai

terbuka atau dalam cincin. Rumus molekul amilum adalah (C6H10O5)n, dimana

n terdiri atas 40-3000 unit D-glukosa (Anna, 1994). Pada dasarnya, amilum

merupakan salah satu surfaktan yang biasa digunakan dalam sintesis nanopartikel.

Amilum merupakan jenis surfaktan netral. Surfaktan netral mengandung suatu

gugus non-ion seperti suatu karbohidrat yang dapat membentuk ikatan hidrogen

dengan air. Surfaktan digunakan sebagai agen peningkat dalam sintesis

nanomaterial yang berfungsi untuk mengontrol mekanisme dan kinetika reaksi.

Amilum mampu memengaruhi morfologi dan ukuran partikel dari produk akhir.

Distribusi ukuran nanopartikel dapat dikontrol dengan menambahkan surfaktan.

Surfaktan lain selain amilum yang juga biasa digunakan dalam sintesis

nanopartikel adalah natrium dodesil sulfat (SDS), polivinil pirolidon (PVP),

gliserol, bis (2-ethylhexyl) sulfosuccinate (AOT), cetyltrimethyl amonium bromida

(CTAB), dan dietil sulfosuccinate (DES) (Yadav et al, 2012).

5. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

Difraksi sinar-X merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi

adanya fasa kristalin di dalam material-material benda dan serbuk, untuk

menganalisis sifat-sifat struktur sperti stress, ukuran butir, cacat kristal, dan fasa

komposisi oriental kristal dari tiap fasa. Metode ini menggunakan suatu berkas

sinar-X yang terdifraksi seperti sinar yang direfleksikan dari setiap bidang,

berturut-turut dibentuk oleh atom-atom kristal dari material sampel. Selanjutnya

(28)

11

yang dikenal sebagai data JCPDS (Joint Commite on Powder Diffraction

Standars). Gambar 4 menjelaskan bahwa seberkas sinar-X dipantulkan dari

sehimpunan bidang kristal yang berjarak antara d.

Gambar 4. Difraksi Sinar X

Prinsip difraksi untuk sampel berbentuk serbuk adalah cahaya monokromatik

sinar X dikenakan pada kristal, satu pantulan atau difraksi dari variasi sudut sinar

X akan menunjukkan sinar mula-mula, jika seberkas sinar X menumbuk partikel

berukuran atom maka sinar tersebut akan dipantulkan oleh partikel atomik yang

ditumbuknya (Bird, 1987: 34-36). Sinar X yang terdifraksi oleh bidang permukaan

sampel memiliki sudut refleksi yang sama dengan sudut sinar datang (West, 1989

(29)

12

Dalam penelitian ini, sampel dianalisis untuk memperoleh informasi tentang

struktur kristal, ukuran kristal dan parameter kisi. Untuk mengetahui struktur

kristal dari senyawa yang dianalisis perlu dibandingkan dengan data standar

JCPDS CdS no. 75-1546 untuk struktur kubik dan JCPDS CdS no. 41-1049 untuk

struktur heksagonal. Data standar JCPDS CdS untuk struktur kubik memiliki nilai

βθ yaitu 26,505o; 43,969o; dan 52,076 o dengan hkl (111), (220) dan (311). Untuk

data standar JCPDS CdS dengan struktur heksagonal memiliki nilai βθ yaitu

26,507o; 47,839o; dan 52,795o dengan hkl (002), (103) dan (201).

6. Analisis Spektrometer IR

Spektrometer inframerah merupakan instrumen yang digunakan untuk

mengukur radiasi pada berbagai panjang gelombang. Spektrofotometer IR

memberikan analisis secara kualitatif dengan mengidentifikasi macam gugus

fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Suatu senyawa akan memancarkan

energi yang kemudian akan diserap oleh alat dengan spektra. Radiasi inframerah

terjadi pada panjang gelombang 4000-670 cm-1 sehingga energi yang dihasilkan

rendah. Energi dalam radiasi inframerah ini tidak mampu memecahkan suatu

molekul menjadi komponen-komponennya, namun hanya dapat memberikan efek

vibrasi (getaran) pada gugus-gugus yang terkena pancaran inframerah ini. Efek

vibrasi yang ditimbulkan menghasilkan hasil yang spesifik untuk masing-masing

gugus, atau dengan kata lain efek vibrasi pada masing-masing gugus terjadi pada

panjang gelombang yang berbeda-beda. Data inilah yang menjadi acuan dalam

spektrometer inframerah untuk menyimpulkan gugus fungsional yang terkandung

(30)

13

Setiap gugus fungsional suatu senyawa memiliki daerah penyerapan radiasi

yang berbeda-beda sehingga dalam aplikasinya apabila berbeda gugus fungsional

maka akan bebeda pula data radiasi panjang gelombang yang ditunjukkan. Namun

tidak semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi inframerah, hanya ikatan

yang memiliki momen dipol yang dapat menyerap radiasi inframerah

(Sastrohamidjojo, 1992). Pada penelitian ini fungsi dari FTIR adalah untuk

mengetahui gugus fungsi yang terdapat di dalam sintesis senyawa CdS yang telah

dikalsinasi. FTIR juga difungsikan untuk mengetahui apakah masih terdapat

amilum di dalam sintesis senyawa CdS.

7. Analisis Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Panjang gelombang

terhadap transmisi spektrum absorbansi yang diukur dengan alat UV-Vis dapat juga

digunakan sebagai pengukuran awal untuk menentukan besaran celah pita. Sinar

Ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sementara sinar

tampak mempunyai panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

Prinsip dari spektrofotometer UV-Vis adalah jika material disinari dengan

gelombang elektromgnetik maka cahaya akan diserap oleh elektron dalam

material. Setelah menyerap cahaya, elektron akan berusaha meloncat ke tingkat

energi yang lebih tinggi. Jika energi cahaya yang diberikan kurang dari lebar

(31)

14

baru akan meloncat ke pita konduksi apabila energi cahaya yang diberikan

lebih besar daripada lebar celah pita energi, seperti yang ditunjukan pada Gambar

[image:31.596.129.466.174.386.2]

5.

Gambar 5. Energi Celah Pita

Penentuan energi celah pita (band-gap) dengan Diffuse ReflectanceUV

Metode spektrofotometri UV-Vis Diffuse Reflectance digunakan untuk

mengetahui besarnya energi celah pita dari material CdS. Energi celah pita

diperoleh dengan mengubah besaran %R ke dalam faktor Kubelka-Munk

(F(R)), sesuai dengan rumus sebagai berikut.

Dimana, F(R) adalah faktor Kubelka-Munk, K adalah koefisien absorbansi, S

adalah koefisien scattering, dan R adalah nilai reflektansi. Selanjutnya besaran

(32)

15

dimana, Eg adalah energi celah pita (band gap), h adalah konstanta Planck

(6,626 x 10-34 Joule), c adalah kecepatan cahaya di udara (2,998 x 108 m/s), dan

adalah panjang gelombang (nm).

8. Analisis SEM-EDX

SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy – Electron Dispersive X-Ray

Analyser). SEM adalah sebuah mikroskop electron yang didesain untuk menyelidiki

permukaan dari objek solid secara langsung. SEM memiliki perbesaran 10 –

3.000.000x, deph of field 4 – 0,4 mm dan resolusi sebesar 1 – 10 nm. Kombinasi

dari perbesaran yang tinggi, depth of field yang besar, resolusi yang baik,

kemampuan untuk mengetahui komposisi dan informasi kristalografi membuat

SEM banyak digunakan untuk keperluan penelitian dan industri.

Perlu diperhatikan, saat mengoperasikan SEM, electron optical coloumn

dan sample chamber harus dalam kondisi vakum agar elektron yang ditembakkan

dan dipantulkan tidak berhamburan karena dapat merusak kualitas gambar yang

dihasilkan (Jaya., 2005:19(2): 417-422).

EDX menggunakan emisi spektrum sinar-X dari sampel yang ditembak

dengan elektron yang terfokus untuk analisis kandungan kimianya. Analisis

(33)

16

kuantitatif membandingkan setiap unsur pada sampel dengan unsur yang sama pada

standar kalibrasi yang telah diketahui komposisinya (Goldstein, 2003).

Pada dasarnya SEM-EDX merupakan pengembangan SEM. Kombinasi

SEM dengan EDX (Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy) merupakan dua

perangkat analisis yang digabungkan menjadi satu panel analitis sehingga

mempermudah analisis dan lebih efisien. Analisa SEM-EDX dilakukan untuk

memperoleh gambaran permukaan atau fitur material dengan resolusi sangat tinggi

hingga memperoleh suatu tampilan dari permukaan sampel yang kemudian

dikomputasikan dengan software untuk menganalisis komponen materialnya baik

dari kuantitatif maupun kualitatifnya. Karakterisasi sampel pada penelitian ini

menggunakan alat SEM JEOL JED-2300.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Bansal, Jaggi dan Rohilla (2012) telah

berhasil mensintesis kadmium sulfida melalui metode sol gel dengan glukosa

sebagai agen pengompleks. Kadmium sulfida disintesis dengan mencampur

Cd(NO3)2 dengan Na2S kemudian ditambahkan glukosa kemudian dipanaskan

pada suhu 100°C. Variasi glukosa yang digunakan yaitu 0,001 M; 0,1 M dan 0,5

M. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa hasil analisis XRD menunjukan

kadmium sulfida memiliki ukuran nanopartikel dan berstruktur kubik.

Qinglian et al. berhasil mensintesis nanopartikel CdS menggunakan

amilum sebagai agen pengompleks Nanopartikel dikarakterisasi dengan

(34)

17

fotoluminesen. Analisis Difraksi Sinar-X (XRD) menunjukan bahwa nanopartikel

CdS dengan struktur kubik. AFM memberikan ukuran partikel rata-rata sekitar 10

nm (Qinglian et al., 2004).

Rodriguez et al. (2008) berhasil mensintesis nanopartikel CdS melalui teknik

presipitasi kimia dan menyatakan banwa polimer amilum dapat digunakan sebagai

agen pengompleks yang efektif. Difraksi sinar-X dari sintesis nanopartikel CdS

menunjukkan bahwa kristal berukuran kecil. Pola XRD menunjukkan tiga

puncak pada 26,5o; 43,9 o; dan 52,1 o, yang sesuai dengan hkl (111), (220) dan

(311) pada fase kubik CdS (Rodriguez et al., 2008)

Djamas, (2010) berhasil membuat lima sampel CdS menggunakan metode

Thermal Evaporation dengan temperatur 200°C - 250°C. Semikonduktor CdS

memiliki struktur heksagonal (Wurzite) dengan orientasi bidang 002 dan parameter

kisi a= (4,108 – 4,141) Å dan c= (6,72 – 6,797) Å.

Ria, (2015) berhasil mensintesis nanopartikel CdS menggunakan amilum

sebagai agen pengompleks. Nanopartikel yang dihasilkan menggunakan metode

sintesis sol-gel. Pada penelitian yang dilakukan, Cd(NO3)2.4H2O dihomogenkan

dengan (NH4)2S selama 24 jam yang kemudian dilakukan penambahan amilum.

Nanopartikel dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan

absorbansi UV-Vis. Pada analisis sinar-X diketahui berstruktur heksagonal dengan

ukuran kristal rata-rata 17 nm dan energi celah pita dari analisis UV-Vis rata-rata

sebesar 2,3 eV.

(35)

18 C. Kerangka Berfikir

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan senyawa semikonduktor CdS

yang berukuran nanopartikel dan efektif digunakan sebagai energi alternatif.

Bahan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Cd(NO3)2.4H2O 98%

dari Aldrich, amilum dari Alchemix sebagai agen pengompleks dan variasi

konsentrasi dari amilum masing-masing 0,2; 0,5; 1,0; 2,0; dan 3,0 gram serta

(NH4)2S 98% dari Merck.

Amilum sebagai agen pengompleks digunakan untuk mencegah atau

menghambat pertumbuhan partikel dan untuk menstabilkan nanopartikel CdS saat

proses sintesis sehingga ukuran partikel yang didapatkan bias sesuai dengan yang

diinginkan. Agar didapatkan ukuran nanopartikel yang sesuai dengan yang

diinginkan, kondisi sintesis seperti suhu maupun waktu penyelesaian sangat

berpengaruh. Maka dari itu dibutuhkan agen pengompleks untuk menghambat

ukuran partikel.

Proses pencampuran pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

karakter hasil sintesis, serta untuk membandingkan hasil sintesis pada penelitian

yang telah dilakukan oleh Ria (2015). Hasil sintesis kemudian dianalisis dan

dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction untuk mengetahui struktur kristal

maupun ukuran kristal. Setelah diketahui ukuran kristal terkecil, kemudian

dikalsinasi pada suhu 250°C. Kemudian dilakukan analisa menggunakan FTIR,

(36)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan 1. Alat yang digunakan

a. Alat-alat gelas

b. Stirer

c. Oven

d. Penyaring Kering

e. MufleFurnance

f. XRD (X-Ray Diffraction) Rigaku Multiflex dengan radiasi

CuK(=1,5405981 Å)

g. FTIR merek Shimadzu

h. UV-Visible 1700 Pharmaspec Spectrophotometer Specular

Reflectance Attchment

i. SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy-Electron Dispersive

X-Ray Analyzer)

2. Bahan yang digunakan

1. Cd(NO3)2.9H2O 98% dari Aldrich

2. (NH4)2S 98% dari Merck

3. Amilum dari Alchemix.

4. Akuades dari General

(37)

20

6. Kertas saring no.42 dari Whatmann

7. Kaca gelas

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium penelitian III dan

Laboratorium Kimia Analisis Universitas Negeri Yogyakarta untuk

sintesis nanopartikel CdS dan lapis tipis CdS. Penelitian ini dilaksanakan

pada bulan Juni 2015 sampai April 2016. Uji karakterisasi yang dilakukan

adalah uji karakteristik menggunakan alat XRD (X-Ray Diffraction) merek

Rigaku Multiflex dengan radiasi Cu K (=1,54056 Å) yang dilakukan di

Laboratorium Analisis Instrumen FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta,

Uji FTIR merek Shimadzu yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik

FMIPA Universitas Gajah Mada, Uji UV-Visible 1700 Pharmaspec

Spectrophotometer Specular Reflectance Attchment yang dilakukan di

Laboratorium kimia FMIPA Universitas Gajah Mada dan uji SEM-EDX

JEOL JED2300 yang dilakukan di LPPT Universitas Gajah Mada

C. Prosedur Penelitian 1. Sintesis Nanopartikel CdS

Langkah kerja yang dilakukan untuk menghasilkan nanopartikel CdS

adalah larutan Cd(NO3)2 0,1 M diaduk dan kemudian ditambahkan amilum

dengan variasi konsentrasi 0,2; 0,5; 1,0; 2,0; dan 3,0 gram dan dilakukan

pengadukan selama 24 jam sehingga diperoleh larutan homogen. Kemudian,

ditambahkan tetes demi tetes larutan (NH4)2S ke dalam campuran Cd(NO3)2

(38)

21

kuning. Endapan lalu disaring dan dikeringkan dengan suhu 100 C selama 4

jam dan kemudian setelah kering digerus untuk mendapatkan serbuk CdS.

2. Variasi Kalsinasi CdS

Hasil sintesis yang didapatkan berupa serbuk CdS kemudian di analisis

menggunakan X-Ray Diffractometer untuk mengetahui ukuran kristal dan

parameter kisi. Setelah didapatkan ukuran kristal yang terkecil kemudian

diambil untuk dikalsinasi dengan variasi suhu 200oC, 250 oC, 300oC dan 400oC.

Kalsinasi dilakukan selama 6 jam. Dari hasil kalsinasi ini, selanjutnya

dilakukan analisis menggunakan X-Ray Diffraction untuk mengetahui ukuran

kristal terkecil dan diidentifikasi menggunakan spektrometer IR, UV-Vis dan

SEM.

D. Analisis Data

Senyawa CdS yang telah divariasi konsentrasi amilumnya dan telah

disintesis kemudian di analisis menggunakan XRD dengan panjang

gelombang ( ) 1,5406 A pada range β0 sampai 900 dengan laju sebesar 0,02.

Hasil analisis Sinar-X digunakan untuk mengetahui informasi berupa

struktur kristal, ukuran kristal dan parameter kisi. Data yang diperoleh

berupa hubungan antara intensitas dengan sudut difraksi βθ, hasil tersebut

kemudian dibandingkan atau dicocokkan dengan data JCPDS dan akan

diketahui bidang-bidang hkl dari sampel. Hasil dari pencocokan

menggunakan data JCPDS adalah dapat diketahui struktur senyawa tersebut.

Sedangkan untuk mengetahui ukuran kristal dan parameter kisi yang

(39)

22

Kristal dapat diketahui dengan menggunakan metode Debye Scherrer

(Morales et al.,2007) yaitu menggunakan persamaan:

� =

�. �

����

D adalah ukuran kristal (nm), k merupakan konstanta material yang

nilainya 0,λ, merupakan panjang gelombang yang digunakan pada waktu pengukuran (nm), merupakan Full Widht Half Maximum (FWHM) puncak yang dipilih (γ puncak utama) dan θ merupakan sudut difraksi dari data

grafik βθ pada difraktogram. Sedangkan untuk mengetahui nilai parameter

kisi ditentukan dengan menggunakan persamaan:

=

√�

Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui nilai parameter kisi

dengan struktur kubik. Untuk parameter kisi dengan struktur kubik adalah

a=b=cdan (α= = ).

Selain itu juga dilakukan analisis dengan menggunakan spektronik infra

red (FTIR). Sepktra IR digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa

apasaja yang berada di dalam hasil sintesis tersebut. Pembacaan spectra IR

dengan cara membandingkan antara hasil spectra IR dari amilum dengan hasil

spectra IR senyawa CdS. Dari hasil tersebut maka dapat diketahui perbedaan

antara amilum dengan senyawa CdS yang telah disintesis sebelumnya.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan XRD, spektrometer IR,

spektrofotometer UV-Vis dan SEM. Spektrofotometer UV-Vis digunakan

(40)

23

maksimum ( maks) dan data reflektasi untuk mengetahui energi celah pita

atau nilai band gap. Dari data spektrofotometer nantinya akan didapatkan

grafik hubungan antara %R dengan panjang gelombang ( ).

Energi celah pita didapatkan dengan mengubah %R yang ada kedalam

persamaan Kubelka-Munk (F(R)) dan mengubah panjang gelombang ( )

menjadi besaran eV. Kemudian akan diperoleh grafik hubungan antara

F(R’∞ x hv)1/2 dengan eV.

Senyawa hasil sintesis juga dianalisis dengan menggunakan

SEM-EDX. Analisis SEM digunakan untuk menentukan morfologi partikel

(permukaan) dan ukuran partikel sedangkan hasil analisis EDX digunakan

untuk menentukan komposisi senyawa dari suatu sampel. Scanning

Electrone Microscope (SEM) adalah sebuah mikroskop electron yang

didesain untuk menyelidiki permukaan dari objek solid secara langsung.

SEM memiliki perbesaran 10 – 3.000.000x, depth of field 4 – 0,4 mm dan

(41)

24 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sintesis Senyawa CdS

Nanopartikel CdS disintesis melalui metode sol-gel dengan menggunakan

amilum sebagai agen pengompleks. Agen pengompleks digunakan untuk

menghambat pertumbuhan partikel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh metode pencampuran pada sintesis CdS sol-gel dengan menggunakan

amilum sebagai agen pengompleks. Proses pencampuran yang dipelajari pada

penelitian ini adalah penambahan agen pengompleks amilum yang dilakukan

sebelum dicampur dengan precursor S, [(NH4)2S]. Variasi agen pengompleks dan

suhu kalsinasi digunakan untuk mengetahui pengaruh terhadap CdS hasil sintesis.

Pada penelitian sebelumnya, penambahan amilum dilakukan kedalam campuran

prekursor.

Beberapa bahan yang digunakan untuk sintesis senyawa nanopartikel CdS

adalah Cd(NO3)2, (NH4)2S dan amilum. Proses pertama yang dilakukan adalah

mengencerkan senyawa Cd(NO3)2 dan (NH4)2S. Selanjutnya mengaduk terlebih

dahulu 0,1 M Cd(NO3)2 yang kemudian ditambahkan amilum dengan variasi 0,2;

0,5; 1; 2 dan 3 gram dan diaduk selama 24 jam di dalam suhu kamar. Pengadukan

ini dilakukan agar campuran larutan bersifat homogen. Setelah itu, ditambahkan

secara tetes demi tetes 0,1 M (NH4)2S dan diaduk selama 24 jam pada

suhu kamar. Proses pengadukan ini dilakukan agar larutan Cd(NO3)2 yang telah

(42)

25

sehingga semua bahan-bahan yang digunakan menjadi homogen. Reaksi yang

terjadi pada sintesis tersebut adalah sebagai berikut:

Cd(NO3)2(aq) + Amilum(s) Cd-Amilum(s) + NO3- (aq)

Cd-Amilum + NO3- + (NH4)2S CdS + NH4NO3 + Amilum

Larutan hasil pengadukan kemudian disaring untuk memisahkan filtrat dan

endapan menggunakan kertas saring kemudian dicuci menggunakan aquades dan

etanol. Endapan yang sudah disaring kemudian dipanaskan pada suhu 100°C

selama 4 jam untuk menghilangkan air dan etanol yang bersisa. Senyawa yang

dihasilkan tersebut berupa padatan berwarna kuning yang kemudian digerus untuk

dijadikan serbuk. Dari hasil dapat diketahui bahwa semakin banyak agen

pengompleks atau amilum yang digunakan maka warna dari padatan yang

dihasilkan akan semakin kuning cerah.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Ria (2015)

proses sintesis yang dilakukan adalah mencampurkan Cd(NO3)2 dengan (NH4)2S

terlebih dahulu yang kemudian setelah homogen ditambahkan agen pengompleks

yaitu amilum. Hasil sintesis tersebut didapatkan padatan berwarna kuning.

B. X-Ray Diffraction (XRD)

Karakterisasi dengan X-Ray Diffraction (XRD) menggunakan sumber radiasi

CuKα, pada rentang βθ yaitu 2o sampai 90o dengan interval 0,02 dan laju 2. Senyawa

CdS yang telah dikarakterisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD)

(43)

26

intensitas (I) puncak spektrum kristal dan sudut difraksi (βθ). Dari data yang

dianalisis dapat diperoleh informasi berupa struktur kristal senyawa CdS.

1. Senyawa CdS tanpa amilum

Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa CdS tanpa penambahan

amilum sebagai agen pengompleks. Hal ini bertujuan untuk mengetahui struktur

dan ukuran kristal dari senyawa CdS tanpa penambahan amilum. Dari karakterisasi

menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) pada senyawa CdS tanpa menggunakan

[image:43.596.118.486.338.507.2]

amilum didapatkan data dan puncak sebagaimana Gambar 6.

Gambar 6. Difraktogram senyawa CdS tanpa Amilum

Berdasarkan data yang diperoleh dan grafik yang didapatkan, maka

dapat diketahui struktur dari senyawa CdS, ukuran kristal dan parameter

kisinya. Struktur kristal diketahui dengan cara membandingkan data XRD

berupa βθ atau d(A) dari hasil sintesis dengan data JCPDS yang telah

didapatkan sebelumnya. Data JCPDS standar untuk senyawa CdS adalah no.

75-1546 yang dapat dilihat pada Tabel.1

In

te

n

sitas Re

(44)
[image:44.596.114.513.107.267.2]

27

Tabel 1. Perbandingan Data JCPDS Struktur Kubik dan Data Sampel

JCPDS Sampel Hkl

26,505 26,42 111

43,969 43,99 220

52,076 52,40 311

α 5,820 5,8425

Dari data di atas dan perbandingan yang telah dilakukan maka dapat diketahui

bahwa struktur dari senyawa CdS tanpa tambahan amilum adalah kubik. Hal yang

sama telah dilaporkan oleh Barman et al. (2008) dimana pembentukan struktur CdS

yang dilakukan pada suhu kamar membentuk struktur kubik. Data tersebut

menunjukkan bahwa γ puncak yang muncul secara jelas pada βθ yaitu β6,4βo;

43,99o; dan 52;40o secara berurutan menunjukkan bidang kristal (111), (220) dan

(311) sehingga menunjukkan bahwa senyawa tersebut berbentuk kubik.

Berdasarkan data difraktogram sinar-X, dapat dihitung ukuran kristal dari

senyawa CdS menggunakan persamaan Scherer. Hasil perhitungan disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Perhitungan Ukuran Kristal

B (FWHM) Cos θ λ(nm) d(nm)

26,42 0,0678 0,9735 1,5406 2,1007

43,99 0,0661 0,9272 1,5406 2,2623

52,40 0,0762 0,8972 1,5406 2,0280

Berdasarkan perhitungan dan data pada Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa

[image:44.596.110.516.112.267.2]
(45)

28

tersebut adalah sebesar 2,1303 nm yang berarti berukuran quantum dots. Quantum

dots sendiri merupakan senyawa yang berukuran antara 2 nm- 10 nm.

2. Senyawa CdS dengan variasi amilum

Hasil dari sintesis senyawa CdS dengan variasi amilum kemudian dianalisis

menggunakan X-Ray Diffraction. Dari data yang diperoleh dan grafik yang

didapatkan, maka dapat diketahui struktur dari senyawa CdS dengan variasi

amilum, ukuran kristal dan parameter kisinya. Berdasarkan perhitungan dengan

menggunakan rumus Scherer diketahui ukuran kristalnya. Struktur dari senyawa

CdS dengan variasi amilum juga sama dengan hasil sintesis CdS tanpa amilum,

yaitu berstruktur kubik. Hasil perhitungan ukuran kristal untuk masing-masing

[image:45.596.118.506.419.529.2]

variasi amilum dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perhitungan ukuran kristal rata-rata dengan variasi amilum.

Data d (nm)

CdS 0,2 2,0725

CdS 0,5 1,9918

CdS 1,0 1,9159

CdS 2,0 1,9009

CdS 3,0 1,7404

Berdasarkan Tabel 3 diketahui semakin besar konsentrasi amilum, maka

semakin kecil ukuran kristalnya. Hal tersebut karena semakin banyak agen

pengompleks yang ditambahkan, maka pertumbuhan partikelnya semakin

terhambat. Perhitungan ukuran partikel ini didapatkan dari hasil difraktogram

(46)

29

[image:46.596.144.495.85.293.2]

Gambar 7. Difraktogram XRD Senyawa dengan Penambahan Amilum

Gambar 7 menunjukkan struktur CdS yang sama dan tidak menunjukkan

perbedaan pola puncak yang signifikan. Proses pencampuran dengan penambahan

amilum terhadap campuran precursor Cd dan S menghasilkan struktur yang

berbentuk heksagonal (Ria, 2015). Penelitian Ria diketahui bahwa perbedaan

metode percampuran dapat mempengaruhi struktur senyawa CdS.

Pada Tabel 3 diketahui bahwa ukuran terkecil dari senyawa CdS dengan

penambahan amilum sebanyak 3 gram. Setelah diketahui senyawa dengan ukuran

terkecil kemudian dilakukan kalsinasi dengan variasi suhu 200°C, 250°C dan

300°C. Kalsinasi dilakukan untuk mengetahui karakter hasil sintesis CdS yang

optimum. Hasil kalsinasi dari masing-masing senyawa kemudian dilakukan

analisais menggunakan XRD untuk mengetahui ukuran kristal yang paling sesuai,

yaitu yang paling kecil. Dari hasil analisis menggunakan XRD maka didapatkan

difraktogram seperti pada Gambar 8.

20 40 60

amilum

2(0)

(47)

30

0 20 40 60 80 100

2-theta

[image:47.596.94.481.88.347.2]

200 C 250 C 300 C

Gambar 8. Difraktogram Senyawa CdS Setelah Kalsinasi

Gambar 8 menunjukkan bahwa senyawa CdS hasil variasi kalsinasi

[image:47.596.111.519.461.546.2]

memiliki struktur yang sama, yaitu kubik.

Tabel 4. Parameter kisi senyawa CdS hasil kalsinasi

Suhu α

200°C 5,8563

250°C 5,8897

300°C 5,8675

Dari hasil analisis ini kemudian dilakukan perhitungan untuk mendapatkan

ukuran kristal. Ukuran kristal didapatkan dengan menggunakan rumus Scherer.

In

ten

sitas

R

elati

(48)
[image:48.596.110.512.102.206.2]

31

Tabel 5. Perhitungan ukuran kristal rata-rata dengan variasi kalsinasi

Data d (nm)

200°C 2,3169

250°C 3,7824

300°C 14,740

Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin besar suhu kalsinasi maka ukuran

kristalnya semakin besar. Ukuran kristal pada senyawa CdS dengan suhu kalsinasi

200°C adalah sebesar 2,31 nm. Selanjutnya untuk senyawa CdS dengan suhu

kalsinasi 250°C diketahui ukuran kristalnya adalah 3,78 nm dengan warna

senyawa yang telah dikalsinasi berwarna kuning pekat mendekati keabu-abuan..

Kalsinasi terakhir adalah variasi kalsinasi dengan suhu 300°C. Hasil kalsinasi ini

kemudian dilakukan analisa XRD dan diketahui bahwa ukurannya adalah 14,79

nm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar suhu kalsinasi maka ukuran

kristalnya semakin besar. Ketiga variasi suhu kalsinasi maka dipilih senyawa yang

memiliki kondisi optimum, yaitu ditandai dengan warna senyawa yang masih

berwarna kekuningan dan ukuran kristal yang relatif kecil. Ketiga suhu kalsinasi

didapatkan kondisi optimum yaitu pada suhu 250°C. Difraktogrm pada suhu 250oC

diketahui masih mengandung CdS murni dan semakin kristalin. Sedangkan pada

difraktogram suhu 300oC diketahui sudah terjadi perubahan fasa. Diketahui pada

suhu 300oC ditemukan CdO pada βθ γγ,41 dan 70, λγ. Dengan bidang hkl (111

(49)

32 C. Analisis Spektrofotometer IR

Karakterisasi hasil sintesis menggunakan spektrometer IR bertujuan untuk

mengidentifikasi keberadaan senyawa amilum sebagai agen pengompleks yang

terdapat pada hasil sintesis CdS. Hasil spektrum IR dari senyawa amilum dapat

[image:49.596.111.511.231.571.2]

dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Spektrum IR dari Amilum

Spektrum IR Gambar 9 menunjukkan bahwa di dalam senyawa amilum

tersebut terdapat gugus -OH pada daerah serapan 3448,72 cm-1, kemudian pada

daerah 2981,80 cm-1 serapan untuk gugus alkana, gugus alkena terdapat pada

daerah serapan 1651,07 cm-1 dan yang teakhir terdapat serapan untuk gugus

(50)

33

CdS menggunakan amilum sebagai agen pengompleks dapat dilihat pada Gambar

[image:50.596.115.521.115.395.2]

10.

[image:50.596.111.523.139.639.2]

Gambar 10. Spektrum IR Hasil Kalsinasi pada Suhu 200°C

(51)

34

Gambar 10 dan 11 menunjukkan senyawa CdS hasil kalsinasi. Gambar 10

menunjukkan hasil kalsinasi pada suhu 200oC, sedangkan Gambar 11 menunjukkan

hasil kalsinasi pada suhu 300oC. Interpretasi senyawa IR dari hasil kalsinasi pada

[image:51.596.113.515.207.348.2]

suhu 200oC dan 300oC senyawa CdS dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan serapan amilum, kalsinasi 200oC dan 300oC

Bilangan Gelombang (cm-1)

Gugus Fungsi Amilum Kalsinasi 200oC Kalsinasi 300oC

3448,72 3448,72 3456,44 -OH

2981,80 - - C-C

1651,07 - - C=C

1157,29 1111,00 1111,00 C-O-C

Senyawa CdS yang telah dikalsinasi kemudian dianalisis dengan

menggunakan spektrofotometer IR. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui

kandungan amilum dalam senyawa CdS setelah proses kalsinasi. Hasil analisis

senyawa yang telah dikalsinasi pada suhu 200°C dan 300°C menunjukkan bahwa

senyawa hasil kalsinasi masih mengandung amilum. Hal ini diketahui dari spektrum

IR yaitu masih ada puncak-puncak yang menunjukkan gugus fungsi dari amilum.

Akan tetapi jumlah atau intensitas dari amilum cenderung berkurang. Pada

kalsinasi 200°C dan 300°C masih terdapat serapan gugus –OH pada daerah serapan

34478,42 cm-1 dan 3456,44 cm-1. Sedangkan pada daerah serapan 1110 cm-1 pada

kalsinasi 200°C dan 300°C masih menunjukkan adanya serapan gugus C-O-C.

Kedua puncak spektrum IR hasil kalsinasi hampir mirip, yang menyatakan bahwa

(52)

35 D. Analisis UV-Vis

Senyawa CdS yang telah dikalsinasi pada suhu 250°C dilakukan

karakterisasi menggunakan spektroskopi UV-Vis untuk mengetahui absorbansi

atau kemampuan material untuk menyerap cahaya dan energi celah pita. Serbuk

hasil kalsinasi sebelum dianalisis perlu dilakukan preparasi sampel pada kaca

preparat dengan cara menempelkan serbuk CdS yang telah dilarutkan dengan

sedikit etanol pada kaca preparat. Kaca preparat yang telah terlapis sampel

dipanaskan selama 30 menit dengan suhu 80oC untuk menguapkan etanol yang

digunakan sebagai pelarut.

Pada penelitian ini pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 200 –

800 nm. Kisaran radiasi untuk UV adalah 180 380 nm sedangkan untuk visibel

[image:52.596.151.454.422.706.2]

adalah 380 – 780 nm (Fessenden & Fessenden, 1997). Hasil absorbansi variasi amilum sebelum dilakukan kalsinasi ditunjukkan Gambar 12.

(53)

36 0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3

FR’∞ x h v 1/2 eV

[image:53.596.100.525.233.398.2]

Gambar 12 menunjukkan hasil absorbansi UV-Visibel senyawa CdS variasi amilum. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui nilai energi celah pita. Data absorbansi dari spektra senyawa CdS digunakan untuk mengetahui perubahan transisi elektronik pada daerah UV maupun sinar tampak. Berikut merupakan Tabel 7 data absorbansi yang diperoleh.

Tabel 7. Absorbansi Senyawa CdS Variasi Amilum.

Sampel λ (nm) Ket

CdS

273

UV 306

510 Visibel

CdS 0,5 312 UV

397 Visibel

CdS 1,0

312

UV 341

411 Visibel

CdS 2,0 361 415 Visibel UV

Berdasarkan data absorbansi, maka dapat diketahui energi celah pita dari

[image:53.596.125.474.481.697.2]

setiap variasi amilum. Nilai energi celah pita setiap variasi amilum ditunjukkan

Gambar 13-16.

(54)

37 0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3

F R’∞ x h v 1/2 eV 0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3

[image:54.596.135.492.81.339.2]

FR ’∞ x h v 1/2 eV

Gambar 14. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS amilum 0,5 gram

[image:54.596.135.488.366.592.2]
(55)

38 0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3

[image:55.596.138.488.83.298.2]

FR ’∞ x h v 1/2 eV

Gambar 16. Grafik Energi Celah Pita Senyawa CdS amilum 2,0 gram

Berdasarkan keempat grafik diatas terlihat perbedaan yang tidak terlalu

signifikan. Gambar 13 dan 14 menunjukkan nilai energi celah pita yang hampir

sama sebesar 1,98 eV dan 1,96 eV. Sedangkan pada Gambar 15 dan Gambar 16

menunjukkan nilai energi celah pita sebesar 2,14 eV.

Untuk energi celah pita masing-masing dari sampel senyawa CdS dapat

dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai energi celah pita variasi amilum

Sampel Nilai energy celah pita (eV)

CdS tanpa amilum 1,98

CdS 0,5 1,96

CdS 1,0 2,14

CdS 2,0 2,14

Nilai energi celah pita dari Tabel 8 menunjukkan bahwa variasi amilum

[image:55.596.111.514.518.662.2]
(56)

39

200 300 400 500 600 700 800 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 Abs nm CdS

dilakukan pengukuran UV-Visibel. Gambar 17 merupakan absorbansi senyawa

[image:56.596.184.452.127.358.2]

CdS hasil kalsinasi.

Gambar 17. Spektrum UV-Vis Senyawa CdS Setelah Kalsinasi

Data absorbansi dan spektra senyawa CdS digunakan juga untuk

mengetahui perubahan transisi elektronik pada daerah UV. Tabel 9 merupakan data

absorbansi senyawa CdS setelah dilakukan kalsinasi yang diperoleh.

Tabel 9. Absorbansi Senyawa CdS Variasi Amilum.

Sampel λ (nm)

Visibel UV

CdS 341

267 410

Berdasarkan data diatas maka dapat ditentukan perubahan transisi

elektronik pada daerah UV. Pada umumnya, tipe transisi n→π* terjadi pada daerah

maks 401 nm – 700 nm. Pada senyawa CdS yang telah dikalsinasi pada suhu 250

[image:56.596.112.512.497.571.2]
(57)

40 0 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001

1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2

F R’∞ x h v 1/2 eV

→π* terjadi pada daerah 200 nm 400 nm. Senyawa CdS pada kalsinasi 250 oC

memberikan nilai maks sebesar 267 nm dan 341 nm.

Energi celah pita merupakan besarnya energi yang digunakan untuk

melepaskan elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Energi celah pita

memengaruhi kemampuan fotokatalitik suatu katalis, sehingga sangat penting

dilakukan pengukuran. Untuk mengetahui besar energi celah pita yang terdapat

pada sampel senyawa CdS digunakan data reflektansi yang diperoleh. Metode yang

digunakan dalam menentukan energi celah pita adalah metode spektrofotometri

UV-Vis Diffuse Reflektansi.

Nilai energi celah pita diperoleh dengan mengubah besaran %R ke dalam

faktor Kubelka-Munk (F(R’∞ x hv)1/2) dan besaran panjang gelombang diubah

menjadi besaran eV. Selanjutnya, diperoleh kurva persamaan garis lurus. Besarnya

energi celah pita merupakan perpotongan sumbu x dari persamaan garis yang

[image:57.596.133.464.456.659.2]

diperoleh seperti Gambar 18.

(58)

41

Gambar 18 menunjukan nilai energi celah pita yang dihasilkan oleh sampel

pada kalsinasi 250°C yaitu sebesar 1,72 eV. Penelitian yang dilakukan oleh Ria

(2015) menunjukkan energi celah pita pada berbagai konsentrasi senyawa CdS

sebesar 2,1 – 2,3 eV. Hal ini menunjukkan perbedaan energi celah pita antara

senyawa CdS sebelum dikalsinasi dengan sesudah dikalsinasi. Perbedaan energi

celah pita ini menunjukkan bahwa metode pencampuran dan variasi suhu

kalsinasi berpengaruh terhadap nilai energi celah pita.

E. Analisis SEM-EDX

Scanning Electron Microscopy – Electron Dispersive X-Ray Analyser

(SEM-EDX) digunakan untuk menganalisis morfologi permukaan dan komposisi

senyawa dari suatu sampel. Sampel yang dianalisa adalah senyawa CdS yang telah

dikalsinasi pada suhu 250°C. Pada analisis SEM kali ini, dilakukan perbesaran

mulai dari 500 X hingga 20000 X. Hasil SEM senyawa CdS menunjukkan bahwa

Kristal senyawa ini memiliki morfologi yang tidak homogen. Perbesaran elektron

[image:58.596.114.512.498.651.2]

micrograph senyawa CdS berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 19.

Gambar 19. Hasil SEM senyawa CdS perbesaran (a) 3000x ,(b) 10000x

(59)

42

Dari Gambar 19 maka dapat diketahui bahwa pada senyawa CdS yang telah

dikalsinasi memiliki ukuran partikel sebesar 0,683 - 1, 897 µm. Karakterisasi

dengan EDX dapat digunakan untuk mengetahui prosentase unsur Cd dan S yang

ada di dalam senyawa CdS. Spektra EDX dari senyawa CdS yang telah dikalsinasi

[image:59.596.119.415.213.431.2]

dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Spektra EDX senyawa CdS

Dalam penelitian ini, hasil karakterisasi EDX menunjukkan bahwa senyawa

CdS mengandung unsur S sebesar 16,94% dan unsur Cd sebesar 83,06%. Serta

menunjukkan persentase atom untuk S sebesar 41,68% dan Cd sebesar 58,32%.

Sehingga hasil karakterisasi EDX menunjukkan perbandingan atom Cd dan S yaitu

sebesar 0,40 : 0,28. Hal ini tidak sesuai dengan perhitungan awal, yaitu 1:1.

Kemungkinan yang terjadi adalah S menguap dan bereaksi dengan oksigen,

(60)

43 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut.

1. Metode pencampuran dalam proses sintesis berpengaruh terhadap struktur CdS

hasil sintesis. Pengaruh tersebut terjadi dengan adanya perubahan struktur

senyawa dan ukuran kristal. Diketahui bahwa semakin banyak penambahan

amilum maka ukuran kristal semakin kecil.

2. Variasi suhu kalsinasi berpengaruh terhadap struktur CdS hasil sintesis.

Pengaruh tersebut terjadi pada ukuran kristal, energi celah pita dan komposisi

atom. Semakin tinggi suhu kalsinasi maka ukuran kristalnya semakin besar.

Setelah dikalsinasi energi celah pita juga semakin kecil.

B. Saran

Penelitian ini masih memerlukan pengembangan yang lebih luas dan masih

berada dalam lingkup yang sederhana. Saran untuk penelitian lebih lanjut

sebagai berikut.

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari sintesis senyawa

CdS dengan metode yang berbeda.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bahwa senyawa CdS setelah

dikalsinasi menghasilkan ukuran kristal yang besar tetapi memiliki energi celah

(61)

44

DAFTAR PUSTAKA

Adem. U. (2003). Preparation of BaxSr1-xTiO3 Thin Films By Chemical Solution

Deposition and Their Electrical Charaterization. Thesis. The Departement of

Metallurgical & Materials Engineering. The Middle East Technical University.

Al-Juaid, F., Merazga, A., Abdel-Wahab, F. & Al-Amoudi, N. (2012). ZnO Spin-

Coating of TiO2 Photo-Electrodes to Enhance The Efficiency of Dye-

Sensitized Solar Cells. World Journal of Condensed Matterial Physics

(2). 192-196.

Al-Tememee, Nathera A., N. M. Saeed, S. M. A. Al-Dujayli, B. T. Chiad. (2012).

The Effect of Zn Concentration on the Optical Properties Of Cd10xZnxS Films

for Solar Cells Application. Advances in Material Physics and Chemistry 2,

69-74.

Anna P., Titin S. (1994). Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

Azmi, Ardita N. (2014). Preparasi Senyawa Nanokomposit N-TiO2/CdS Dengan

Metode Chemical Bath Deposition. Skripsi. Yogyakarta: FMIPA

Universitas Negeri Yogyakarta.

Bansal. P., Jaggi N. & Rohilla S. K. (2012). “Green” Synthesis of CdS

Nanoparticles and Effect of Capping Agent Concentration on Crystallite

Size. Research Journal of Chemical Scienes 2(8). 69-71.

Bird, T. (1987). Kimia Fisikia Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia.

Barman, J., Sarma, K. C., Sarma, M., & Sarma, K. (2008). Structural and Optical

Studies of Chemically Prepared CdS Nanocrystalline Thin Films. Indian

Journal of Pure and Applied Physics (46). 339-343.

Dachriyanus, Dr. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.

Padang: Andalas University Press. 8-9.

.Djamas, Djusmaini. (2010). Penentuan Microstructure Lapisan Tipis CdS

Menggunakan X-Ray Diffractrometer. EKSAKTA. (1), 9-19.

Fessenden, R. J., & J. S. Fessenden. (1997). Kimia Organik Edisi Ketiga.

(62)

45

Goldstein, Joseph. (2003). Scanning Electron Microscopy and X-Ray

Microanalysis. The Journal of Scanning Microscopies 27(4): 215-216.

Hasyim Asy’ari, Jatmiko, Angga. (β01β). Intensitas Cahaya Matahari Terhadap

Daya Keluaran Panel Sel Surya. Simposium Nasional. Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Hsu Yung-Jung, Shih-Yuan Lu. (2004). Additive Effects on Chemical Vapor

Deposition of CdS. Hsu et al., Aerosol and Air Quality Research 4(1). 17-26.

Ichimura,. M, Kazuki,. T, Eisuke,. A. (2001). Photochemical Deposition of Se and

CdSe Films From Aqueos Solution. Journal Thin Solid Films 384(2):

157-159.

Iriani, Y. (2009). Penumbuhan Lapisan Tipis Barium Stronrium Titanat (Ba

1-xSrxTiO3) dengan Berbagai Doping Untuk Aplikasi Memori. Disertasi.

Program Studi Ilmu Material Universitas Indonesia.

Ismunandar. (2004). Padatan oksida logam: struktur, sintesis dan sifat-sifatnya.

Bandung : Departemen Kimia FMIPA ITB.

Jauhari, Muhammad. (2007). Potensi Industri Pengolahan Batubara Cair.

Economic Review. No. 208.

Jaya, D.M.N. (2005). A Study on the Growth and Structure of Titania Nanotubes.

Journal of Material Research 19(2): 417-422.

Jararatnam, J., David Koh. (2010). Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Buku

Kedokteran EGC: Jakarta.

Jun, H. K., Careem, M. A. & Arof, A. K. (2013). Quantum Dot-Sensitized Solar Cells-Perspective and Recent Developments: A Review of Cd

Chalcogenide Quantum Dots as Sensitizers. Renewable and Sustainable

Energy Reviews (22). 148-167.

Kadash, E. A., AL Hattami, A. A., Rathod, J. R., Patel, K. D. & Pathak, V. M. (2014). Synthesis and Caracterization of Cadmium Sulfide Crystals Grown

By DVT Technique. International Journal of Pure Applied Sciences and

Technology 22(1). 18-26.

Lee, J. Hyeong, Woo-Chang Song, Jun-Sin Yi, Kea-Joon Yang, Wun-Dong Han,

Joon Hwang. (2003). Growth and Properties of the Cd1-xZnxS Thin Films for

Solar Cell Application. Elsevier. Thin Solid Films 431-432, 349-353.

Liu Fangyang, Yanqing Lai, Yexiang Liu. (2010) Characterization of Chemical Bath Deposited CdS Thin Films at Different Deposition Temperature.

(63)

46

Nakatani, K., Kento, H., Yuki, K., Yuuki, N., Haruho, A., Takashi, O., Masahiko, M. & Kurodo-Sona, T. (2015). Synthesis, Crystal Structure, and Electroconducting Properties of a ID Mixed-Valence Cu(I)-Cu(II) Coordination Polymer With a Dicyclohexyl Dithiocarbamate Ligand.

Crystals 5(2). 215-225.

Nwokocha, L. M., (2009). A comparative study of some properties of cassava

(Manihot esculenta, Crantz) Carbohydrate Polymers

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Data JCPDS Struktur Kubik dan Sampel...................  27
Gambar 1. (a) Struktur Kubik
Gambar 2. (a) Tahap Pembuatan Sol, (b) Tahap Pembuatan Gel
Gambar 3. Struktur Amilosa dan Amilopektin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia. Waktu konsep ini diterapkan dalam hubungan dengan kemiskinan dan penderitaan Pak Gerrit menyerukan kepada gereja di Indonesia untuk memperhatikan prinsip

Energy Indonesia guna menyampaikan penawaran konsep solusi produk menyampaikan penawaran konsep solusi produk layanan "Oesa Intelektual" dengan energi surya

Di KBIH As-Shodiqiyah saya itu merasa senang mbak, karena disamping banyak teman dan kenalan di KBIH, dalam bentuk pembayaran pembimbingan manasik juga tidak

- Analisis confidence interval (CI) dari nilai rataan kelimpahan untuk melihat pengelompokkan kelimpahan simping. Pengelompokkan dibagi atas 3 kategori yaitu

I skal selv lave en optælling af antal anslag af jeres projekt, altså hvor mange anslag inkl.. mellemrum det

Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan jalur ganda rel kereta api yang dibangun diatas tanah lunak adalah kemungkinan terjadi kelongsoran dan penurunan tanah dasar, hingga ini

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa metakognisi siswa kelas X IPA 2 SMA Negeri 4 rejang Lebong tentang pemecahan masalah matematika dengan

penelitian mengenai galur hasil persilang- an tanaman kedelai yang bertujuan (1) Mengkaji keragaan galur-galur kedelai hasil persilangan varietas Tanggamus x