• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Djoni Sumardi Gozali, Hukum Pengadaan Tanah, UII Press, Yogyakarta, 2017, hal. 1. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Djoni Sumardi Gozali, Hukum Pengadaan Tanah, UII Press, Yogyakarta, 2017, hal. 1. 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tanah dalam kehidupan manusia merupakan kedudukan yang penting, karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tinggal bagi manusia, disamping itu tanah juga sebagai sumber penghidupan.1 Dalam pengertian yuridis tanah adalah permukaan bumi, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.2 Menurut Supriadi hak-hak yang timbul di atas hak permukaan bumi (hak atas tanah) termaksud di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum.3

Hukum itu sendiri menurut Prof. Dr. van Kan “hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat”4. Tujuan hukum menurut Prof Subekti “hukum mengabdi pada

pada tujuan negara yang intinya mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Pengabdian tersebut dilakukan dengan cara menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”. Sehingga ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subyek hukum tertentu, maka subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.5

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan, yang bersumber pada Pancasila dan konsep negara hukum.6

1 Djoni Sumardi Gozali, Hukum Pengadaan Tanah, UII Press, Yogyakarta, 2017, hal. 1.

2 Effendi Perangin. Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum,Raja

Grafindo,Jakarta,1994, hal. 17.

3 Supriadi, Hukum Agraria, Edisi ke 1, Cetakan ketujuh , Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal. 3. 4 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi ke Satu, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 27. 5 Ibid, hal. 266.

(2)

2

Dari penjelasan mengenai perlindungan hukum maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan seseorang atas tanahnya berarti mendapatkan perlindungan hukum atau dengan yang dikenal adalah perlindungan hukum pemegang hak atas tanah.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah, berlaku kepada pemegang hak atas tanah dalam pengadaan tanah. Salah satu perlindungan hukum yang diberikan oleh negara ialah hak kepemilikan atas tanah. Hak milik tertuang pada Pasal 28H ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut menjadi UUD 1945 sebagai dasar negara tertinggi di Indonesia, menyatakan:

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Pengertian hak milik juga tertuang di dalam Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut dengan UUPA, menyatakan bahwa:

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

Namun kepemilikan hak atas tanah dapat diambil kepemilikannya dengan salah satu cara yaitu Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum. Pengertian PengadaanTanah menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum selanjutnya disebut dengan UU Pengadaan Tanah yang berbunyi:

Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Tujuan Pengadaan Tanah berdasarkan Pasal 3 UU Pengadaan Tanah, yaitu: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,

(3)

3

dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

Dalam pengadaan tanah tersebut, cara yang dilakukan untuk mendapatkan tanah ialah dengan memutuskan hubungan hukum pemegang hak atas tanah. dalam pemutusan hubungan hak atas tanah tersebut, maka Pemerintah akan memberikan ganti rugi yang layak kepada pemegang hak atas tanah. Pemberian besarnya ganti rugi tersebut diberikan berdasarkan proses musyawarah, dimana pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki tanah di kumpulkan untuk bermusyawarah agar tercapainya kesepakatan besarnya ganti kerugian. Namun di dalam proses kesepakatan besarnya pemberian ganti rugi dalam Pengadaan Tanah yang tidak tercapai, jika pemilik hak atas tanah tidak menyetujui besarnya ganti kerugian, maka pemilik hak atas tanah dapat melakukan upaya hukum seperti mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 38 ayat (1) UU Pengadaan Tanah yang menyatakan:

(1) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).

Apabila pengajuan keberatan tersebut ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri setempat, maka pemilik hak atas tanah dapat melakukan upaya hukum yang terakhir dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan pada kasasi merupakan keputusan yang mutlak atau berkekuatan hukum tetap. Pemerintah dalam hal ini apabila masih mendapatkan hambatan dalam pemberian ganti rugi yang sudah keputusan hukum tetap, maka pemerintah melakukan penitipan ganti rugi kepada Pengadilan yang disebut juga dengan nama Konsinyasi.

Konsinyasi dikenal pada awalnya didalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. Pengertian konsinyasi tersebut diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata yang berbunyi:

(4)

4

Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang dutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan.

Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.

Dalam penjelasan Pasal 1404 KUHPerdata ini, maka jelas bahwa yang akan dikonsinyasikan adalah uang pembayaran yang diutangkan, namun ada penolakan penerimaan pembayaran oleh yang berpiutang, dalam hal ini maka terdapat sengketa pembayaran. Namun berbeda dengan kosinyasi didalam pengadaan tanah. Konsinyasi didalam pengadaan tanah timbul ada beberapa alasan yang tertera pada Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, yakni:

(1) Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.

(2) Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap:

a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau

b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:

1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2. masih dipersengketakan kepemilikannya;

3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau 4. menjadi jaminan di bank.

Bila dilihat pengertian konsinyasi pada KUHPerdata sangat berbeda pengertian di dalam Pengadaan Tanah. Konsinyasi di dalam KUHPerdata disebabkan karena sebuah sengketa, dimana seorang berhutang tidak mau menerima pembayaran dari seorang berpiutang. Hal ini menimbulkan konflik hukum dimana terdapat suatu

(5)

5

hambatan sengketa dalam sebuah perjanjian yang sudah disepakati, namun salah satu pihak melakukan pelanggaran dalam perjanjian. Di dalam hal ini sudah jelas bahwa sebelum adanya konsinyasi, mereka sudah lebih dahulu melakukan kesepakatan perjanjian. Berbeda dengan hal konsinyasi didalam pengadaan tanah, lebih tepatnya didalam Pasal 42 ayat (1) UU Pengadaan Tanah.

Konsinyasi dilakukan ketika seorang pemilik tanah tidak mau menerima pemberian ganti rugi dan melakukan upaya hukum yang tidak juga mendapatkan hasil. Sehingga, konsinyasi hanyalah sebagai alat oleh panitia pengadaan tanah untuk mempermudah berjalannya proses pembangunan dan adanya pemutusan hak milik dari pemegang hak atas tanah dan beralih hak milik tersebut kepada yang membutuhkan tanah. Konsinyasi tidak menghormati hak milik sebagai hak yang diatur didalam UUD 1945 sebagai dasar negara tertinggi di Indonesia. Konsinyasi yang dilakukan pada Pasal 42 ayat (1) UU Pengadaan Tanah tidak memberikan jalan keluar yang tepat, sehingga tidak memberikan perlindungan hukum secara jelas terhadap pemegang hak atas tanah sekalipun adanya penetapan banding dan kasasi , namun tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan apabila tetap tidak terjadi kesepakatan. Hal ini tidak menunjukkan bahwa pengadaan tanah yang didasar pada asas-asas yang harus dihormati tidak tercapai. Apakah dengan adanya konsinyasi didalam pengadaan tanah sudah tepat dan memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap pemegang hak atas tanah?

Berdasarkan latar permasalahan tersebut, sehingga penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah

Dalam Konsinyasi Pengadaan Tanah” B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar permasalahan diatas, berikut rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah konsinyasi dalam Pengadaan Tanah sudah tepat diterapkan dan memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah?

(6)

6

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menjelaskan bahwa konsinyasi tidak tepat dalam pengadaan tanah dan tidak memberi perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian terbagi menjadi 2 yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini agar dapat menyumbangkan suatu pemikiran terhadap pembaca mengenai konsinyasi yang tidak tepat dalam pengadaan tanah dan tidak memberi perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.

2. Manfaat Praktis

Untuk membantu dalam hal memecahkan masalah terhadap kosinyasi dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.7 Penelitian ini meninjau bahwa dasar prinsip konsinyasi yang seharusnya tidak diterapkan di dalam pengadaan tanah. Kosinyasi di dalam pengadaan tanah tidak memberikan perlindungan hukum khususnya pada kasus pemberian ganti rugi yang tidak mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan yang membutuhkan tanah.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

(7)

7

dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang didahapi.8 Maka penelitian dengan pendekatan konseptual tentang penerapan prinsip konsinyasi di dalam pengadaan tanah. Sehingga penulis akan melakukan penelitian hukum mengenai perlindungan hukum pemegang hak atas tanah dalam konsinyasi. 3. Bahan Hukum Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum:

1) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.9 Penulis dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, seperti:

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

4. Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Tata Cara

Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

8 ibid, hal. 95. 9 Ibid, hal. 95.

(8)

8

6. Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

7. Kitab Undang Hukum Perdata

2) Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 10 Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Jurnal hukum yang berkaitan dengan konsep penerapan prinsip konsinyasi, jurnal hukum tentang pengadaan tanah.

F. Sistematika Penelitian

Skripsi ini direncanakan terdiri dari 3 Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka berisi tentang konsinyasi KUHPerdata, Pengadaan Tanah dan Perlindungan Hukum.

Bab III Hasil Penelitian yang berisikan landasan yuridis konsinyasi, waktu konsinyasi dilakukan, prosedur konsinyasi serta perkembangan kosninyasi. Analisis berisi ketidaktepatan konsinyasi dalam pengadaan tanah dan konsinyasi yang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Bab IV Penutup berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan seorang anak adalah sebuah tanggung jawab bersama. Setiap anak adalah bibit yang harus diberi stimulus pofitif dari lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.

f) Guru memberikan apresiasi kepada murid yang aktif dalam tanya jawab dengan mengirimkan emoticon jempol dan tepuk tangan untuk lebih memotivasi mereka supaya tambah

Penulis tertarik untuk mengamati apakah perusahaan deterjen yang berlokasi di Tasikmalaya telah menetapkan anggaran penjualan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi,

Gejala stress akibat kerja karena paparan bising yang timbul pada responden adalah gejala fisik meliputi: sakit kepala dan tekanan darah tinggi, sedangkan gejala emosi

Hal yang terjadi pada kebanyakan pengguna komputer dalam membuat dan mengedit dokumen serta berinteraksi dengan komputer lebih cepat dan nyaman dengan menggunakan

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju

Hasil uji statistik Fisher Exact Test diperoleh nilai p value = 0,342 lebih besar dari p > α 0,05 berarti (H0) diterima sehingga tidak terdapat hubungan antara saran

Jenis kesulitan pendidik dalam membentuk kecerdasan emosional peserta didik yakni ada yang cepat dengan sendirinya terbentuk ada juga yang kecerdasanya kurang cepat untuk menerima