• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian

Program Studi Meteorologi

© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

PENERBITAN ONLINE AWAL

Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada

Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah

diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan

penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi

Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat

diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin

dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon

diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan

kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan

versi publikasi akhir.

(2)

1

Hubungan Aktivitas Petir Cloud-to-Ground (CG) dengan Curah Hujan

di Bogor

GILANG HAMZAH FANSURY DAN MUSA ALI MUSTOFA

Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung, 40132

Email : gilang.hamzah.fansury@gmail.com

ABSTRAK

Petir merupakan proses pelepasan muatan listrik dengan arus yang sangat tinggi dan bersifat sangat singkat. Jenis petir Cloud-to-Ground (CG) merupakan jenis petir yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia. Bogor merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah intensitas petir tertinggi, dan juga memiliki intensitas curah hujan cukup tinggi di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan tujuan melihat hubungan antara aktivitas petir khususnya jenis petir CG dan curah hujan di wilayah Bogor. Data petir yang digunakan merupakan data Lightning Detector dan data curah hujan yang berasal dari pengamatan Stasiun BMKG. Perbandingan kedua data dilakukan uji korelasi metode Pearson atau Spearman, dan dilakukan perhitungan nilai rain-yield per flash (RYF). Hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan di wilayah Bogor pada penelitian ini menjelaskan bahwa intensitas jumlah sambaran petir CG memiliki hubungan yang erat dengan curah hujan dengan r = 0,756. Nilai RYF dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5,09x109 kg/fl. Aktivitas petir di Bogor sendiri terjadi akibat adanya hujan konvektif yang terjadi.

Kata kunci : Petir, petir cloud-to-ground (CG), curah hujan, korelasi.

1. Pendahuluan

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah. Petir didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada saat awan Cumulunimbus (Cb) [1]. Dalam petir terdapat beberapa bentuk pelepasan muatan, yakni pelepasan muatan awan-permukaan tanah (Cloud-to-Ground) dan pelepasan muatan antar atau dalam awan (Inter/Intra Cloud) [2]. Pelepasan muatan dari awan-permukaan tanah (CG) merupakan jenis petir yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia.

Sambaran petir dibagi atas sambaran langsung dan sambaran tidak langsung. Sambaran langsung adalah sambaran yang langsung ke benda atau obyek sambaran, sedangkan sambaran tidak langsung adalah sambaran melalui radiasi, konduksi atau induksi gelombang elektromagnetik petir [3]. [4] dijelaskan, pelepasan petir Cloud-to-Ground (CG) secara keseluruhan, biasanya terjadi dengan lintasan sepanjang beberapa kilometer dan berlangsung selama jangka waktu antara satu setengah dan satu detik. Setiap sambaran petir dapat berupa muatan positif atau muatan negatif, tergantung pada pergerakan awal muatan atau akhir dari pergerakan muatan tersebut, baik muatan positif maupun negatif.

Berdasarkan penelitian mengenai polaritas sambaran petir, terdapat beberapa jenis perambatan sambaran petir CG, umumnya terdapat empat kategori, yaitu sambaran ke bawah bermuatan negatif, sambaran ke atas bermuatan negatif, sambaran ke bawah bermuatan positif, dan sambaran ke atas bermuatan positif [5]. Petir CG negatif (-) lebih umum daripada petir CG positif (+), karena awan biasanya bermuatan negatif di bagian dasar awan dekat dengan permukaan tanah, dan muatan positif berada di dekat bagian atas. Dalam konteks produksi samabran petir CG negatif berasosiasi dengan presipitasi konvektif dan CG positif berhubungan dengan anvil dan presipitasi statiform [6].

Proses terjadi petir diawali dengan pemisahan muatan positif dan negatif dalam awan atau udara karena adanya pergerakan vertikal di udara, bintik hujan atau es terpolarisasi melalui medan listrik di atmosfer, dan kristal positif naik sehingga puncak awan bermuatan positif, yang bermuatan negatif dan batu es berkumpul di lapisan tengah dan bawah awan sehingga membentuk muatan negatif [7]. Proses pemisahan muatan listrik dapat dijelaskan dengan teori termoelektrik dan teori induksi atau polarisasi [8].

Kajian aktivitas petir diawali oleh mekanisme pemisahan muatan dan proses fisis dalam awan yang terepresentasi dalam tiga taraf pertumbuhan awan yaitu cumulus, mature dan disipasi [9]. [6] Keganjilan

(3)

2

aktivitas petir terepresentasikan dalam masing-masing taraf, pada tahap cumulus, tidak ada elektifikasi petir yang terjadi. Pada tahap mature, elektrifikasi petir sangat kuat terjadi, biasanya diikuti oleh peningkatan sambaran petir CG khususnya CG negatif. Dan pada tahap disipasi, pelemahan elektrifikasi petir, diikuti sambaran petir CG positif.

Aktivitas kelistrikan atmosfer sendiri menunjukkan adanya korelasi antara jumlah sambaran petir dan curah hujan [10] [11]. Dari sudut pandang spasial, sambaran petir awan ke tanah (CG) umumnya terjadi di daerah di mana curah hujan tinggi terjadi [12] Selain itu, [13] sambaran petir merupakan peristiwa yang berhubungan dengan curah hujan, jika sambaran petir dihasilkan oleh badai (storm) dimana sebanding dengan akumulasi curah hujan, maka tingkat sambaran petir dapat digunakan sebagai sarana untuk mengukur curah hujan.

Berdasarkan peta isokronik level Indonesia dari tahun 1991-2006, wilayah Bogor termasuk ke dalam kategori sangat tinggi [14]. Selain itu, wilayah Bogor memiliki intensitas curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu antara 3000-4200 mm/tahun [15]. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui aktivitas petir yang terjadi wilayah Bogor khususnya petir CG dan hubungannya dengan curah hujan di Bogor.

Gambar 1.1. Daerah kajian studi, bintang merupakan titik stasiun pengamatan curah hujan, dan kotak (garis titik-titik) menunjukan radius 10 km.

2. Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bogor dengan letak geografis berkisar dari 6o25’– 6o50’ LS dan 106o30’– 107o00’ BT (Gambar 1.1). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang bersumber dari BKMG dengan data dari alat ligtning

detector selama 1 tahun (tahun 2009). Dan data curah

hujan selama 1 tahun (tahun 2009) di wilayah Bogor, yang bersumber dari BMKG Citeko Bogor.

Secara garis besar, penelitian dilakukan berdasarkan pembuatan database, analisis time series, analisis regresi dan juga analisis secara spasial dari sebaran petir yang terjadi. Analisis time series

dilakukan sebagai analisis awal dalam melihat struktur data, mengekstrak nilai-nilai statistika yang berarti dan karakteristik lain yang terkandung dalam data [16]. Analisis regresi menguji sejauh mana korelasi antara parameter secara kuantitatif, dalam hal ini data kejadian petir CG dan data curah hujan baik secara harian dan bulanan.

Dalam analisis hubungan aktivitas petir CG dengan curah hujan digunakan pula data kilat yang dibatasi dalam radius sekitar 10 km sekitar titik stasiun curah hujan, mengingat kondisi stasiun pengamatan yang dipakai hanya 1 titik

curah hujan.

Penelitian dengan pengambilan data petir dalam radius 10 km ini telah banyak dilakukan, [17] untuk mengetahui seberapa besar keterkaitan kejadian petir

Intra-Cloud dan petir Cloud-to-Ground (CG) dengan

awan, dilakukan pengambilan data petir dalam radius 10 km.

Gambaran alur kegiatan disajikan dalam gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1. Alur kegiatan penelitian.

2.1 Perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF)

Selanjutnya dalam analisis data yang dipakai dalam meninjau hubungan aktivitas petir CG dengan curah hujan, khususnya dalam analisis petumbuhan awan konvektif memakai rain-yield per flash (RYF/RPF) digunakan data petir dalam radius 10 km. Perhitungan RYF/RPF bertujuan untuk melihat tingkat hubungan curah hujan dengan aktivitas petir dalam suatu radius wilayah tertentu. [18] RYF dapat dirumuskan sebagai berikut :

RYF (kg/fl) = RR / FRD x 107

RR adalah rainfall rate atau tingkat curah hujan (mm/yr), dan FRD adalah total lightning flash rate density atau densitas sambaran petir (fl/km2 yr).

+Konversi Format data; Binary => ASCII +Pengambilan parameter yang diperlukan; time, lokasi, tipe petir. Mulai

Database

Selesai Analisis Uji Korelasi Pearson

Uji Korelasi Spearman Analisis Data : Analisis Timeseries Analisis Regresi CH Petir CG Filter Data Tidak Ya Uji Normalitas Ya Tidak

(4)

3

2.2 Analisis Regresi

Dalam analisis regresi, digunakan terlebih dahulu uji normalitas yang bertujuan untuk menyelidiki bahwa data yang didapatkan terdistribusi normal atau tidak, dan selanjutnya hasil dari uji ini di pakai untuk memenuhi persyaratan uji korelasi. Pada penilitian ini uji normalitas dilakukan dengan cara Kolmogorov-Smirnov (untuk sampel lebih dari 50) dan Shapiro-Wilk (untuk sampel kurang dari 50). Pengujian dilakukan dengan menggunakan software statistik berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk

.

Dengan normalitas dipenuhi jika hasil uji signifikan untuk suatu taraf signifikansi (α) tertentu

α>0,05.

Selanjutnya uji korelasi data yang merupakan teknik menganalisa hubungan yang bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan antar dua variable atau lebih dengan skala-skala tertentu. Teknik pengukuran korelasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik korelasi pearson (data harus terdistribusi normal) dan korelasi spearman (salah satu data atau keduanya tidak terdistribusi normal). Dalam uji korelasi, kedua variabel memiliki hubungan jika nilai taraf signifikansi (α) kurang dari 0,05.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1.Curah Hujan di Bogor

Dari hasil pengolahan data curah hujan harian pada tahun 2009, total kejadian curah hujan pada tahun 2009 di wilayah Bogor sebesar 3321,8 mm. Berdasarkan curah hujan bulanan pada tahun 2009, secara umum curah hujan di Bogor memiliki tipe pola hujan monsunal (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Curah hujan bulanan pada tahun 2009

.

Pada komposit curah hujan setiap jam pada tahun 2009, curah hujan tertinggi terjadi dari pukul 11.00-18.00 WIB, dengan curah hujan maksimum terjadi pada pukul 16.00 WIB sebesar 34,1 mm. Selain itu, terjadi pula peningkatan curah hujan pada pukul 07.00 WIB sebesar 9,2 mm dan pukul 21.00 WIB sebesar 12,6 mm. Ditunjukkan pada gambar 3.2 di bawah ini.

Gambar 3.2. Komposit curah hujan setiap jam pada tahun 2009.

3.2.Petir Cloud-to-Ground (CG) di Bogor

Berdasarkan data petir pada tahun 2009, wilayah bogor memiliki jumlah sambaran petir sebesar 7836 sambaran petir Cloud-to-Ground (CG). Dengan total sambaran CG negatif sebesar 5860 sambaran ( 75 %) dan CG positif sebesar 1976 sambaran (25%). Pada jumlah sambaran petir CG bulanan pada tahun 2009. Maksimum sambaran petir CG terjadi pada bulan Mei sebesar 1357 sambaran dengan persentase CG total 17% (CG negatif 19%, dan CG positif 13%) , dan minimum terjadi pada bulan September sebesar 5 sambaran dengan persentase petir CG total 0,1% (CG negatif dan CG positif sebesar 0,1%).

Dari sebaran petir CG sepanjang tahun 2009 untuk setiap jamnya terlihat dominasi petir CG negatif dibandingkan petir CG positif dengan rentang puncak CG terjadi antara 13.00-17.00 WIB sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3.3. Sepanjang tahun 2009 terjadi 2 puncak sambaran petir, yaitu pada pukul 15.00 WIB dan pada pukul 17.00 WIB.

Gambar 3.3. Komposit setiap jam kejadian petir total CG sepanjang tahun 2009.

Pada gambar 3.3 terlihat pola yang diberikan antara petir CG negatif dan CG positif terlihat sama. Dari hasil uji korelasi menggunakan metode Spearman, didapatkan korelasi sebesar 0,913. Dengan korelasi yang kuat antara CG positif dan CG negatif, nantinya dalam penelitian ini CG total diasumsikan dapat menggambarkan dan mengggantikan pola yang ada pada petir CG negatif dan CG positif.

0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 C H (m m ) Bulan 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 C h ( m m )

Waktu Lokal (WIB)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324 Ju m la h

Waktu Lokal (WIB) Total CG

CG -CG +

(5)

4

Gambar 3.4. Komposit setiap jam sepanjang tahun 2009,

kotak (garis titik-titik) merupakan fase matang pada awan.

Untuk menganalisis pertumbuhan awan pada fase matang menggunakan parameter petir CG, maka dibuat grafik kumulatif harian selama 24 jam sepanjang tahun 2009 sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3.4. Terjadi peningkatan jumlah CG secara signifikan di atas pukul 13.00 WIB yang mengindikasikan awal fase matang (Mature) pada awan dan berlangsung hingga 4 jam (pukul 17.00 WIB). Lamanya fase matang sampai dengan proses terdisipasinya awan (fase lenyap) menunjukkan kuatnya konvektivitas yang terjadi [16].

Tabel 3.1. Hasil uji distribusi normal dan uji korelasi bulanan antara petir CG dan curah hujan tahun 2009.

Uji distribusi normal Uji korelasi Metode Kolmogorov-Smirnov Pearson

Hasil 0,174 0.589

Selang Kepercayaan

(α>0,05) (α<0,05)

3.3.Hubungan Petir CG dan Curah Hujan di

Bogor

Berdasarkan pola bulanan petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 2009 kejadian petir CG maksimum terjadi pada bulan Mei, dan minimum terjadi pada bulan September. Korelasi yang diberikan dengan metode Pearson antara petir CG dan curah hujan lebih baik dibandingkan sebelumnya yaitu sebesar 0,589 (CG positif r=0,872 dan CG negatif r=0,65) (Tabel 3.1).

Tabel 3.2. Kumulatif variasi harian per-periode antara petir CG dengan curah hujan padaTahun 2009.

Parameter Harian (% dari total) Pagi (6-12) Siang (12-18) Sore (18-00) Malam (00-06) Curah Hujan 15,5 54,5 21,7 8,2 Petir CG 2,8 60,8 33,8 2,7 Pada pola distribusi harian (setiap jam) kejadian petir CG dan curah hujan yang ditunjukkan pada gambar 3.5. Meskipun terjadi dua puncak aktivitas petir CG, namun hanya satu sel awan yang teridentifikasi

menimbulkan curahan. Kejadian petir CG dan curah hujan puncak kejadianya terjadi pada sore hari setelah terjadi insolasi maksimum atau sekitar pukul 13.00-17.00 WIB. Berdasarkan pembagian kategori waktu (Tabel 3.2), kejadian petir CG dan curah hujan dominan pada pukul 12.00-18.00 WIB.

Gambar 3.5. Komposit setiap jam petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 2009.

Proses terjadinya aktivitas petir CG ini menggambarkan tipe badai guruh termal yang terjadi sebagai akibat proses pemanasan permukaan (Konveksi). Selain itu, karena daerah wilayah Bogor bearada di wilayah pegunungan, sehingga terdapat faktor orografi yang membuat hujan semakin lebat. Untuk mendapatkan analisis pertumbuhan awan lebih lanjut dilakuan overlay kumulatif petir CG dengan curah hujan.

Tabel 3.1. Hasil uji distribusi normal dan uji korelasi harian (setiap jam) antara petir CG dan curah hujan tahun 2009.

Uji distribusi normal Uji korelasi Metode Kolmogorov-Smirnov Pearson

Hasil 0,000 0.756

Selang Kepercayaan

(α>0,05) (α<0,05)

Pada gambar 3.6 fase matang terjadi pukul 13.00-16.00 WIB karena adanya peningkatan petir CG secara tajam, kemudian setelah itu dilanjutkan dengan fase disipasi yang ditunjukkan dengan penurunan titik balik CG.

Gambar 3.6. Akumulatif kejadian petir CG dan curah hujan setiap jam pada tahun 2009, kotak (garis titik-titik) mengindikasikan fase matang (Mature) pada awan. 0 20 40 60 80 100 120 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 A k u m u la si C G ( % d a ri T o ta l) C G T o ta l (% d a ri T o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CG Total Akumulasi CG 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 % d a ri T o ta l

Waktu Lokal (WIB) CH Petir CG 0 20 40 60 80 100 120 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 % ( d a ri t o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CH

(6)

5

Lamanya fase matang sampai dengan proses terdisipasinya awan (lenyap) menunjukkan kuatnya konvektivitas yang terjadi, artinya di wilayah bogor kuatnya konvektivitas selama tahun 2009 berlangsung selama 3 jam. Dari komposit harian setiap jam antara kejadian petir CG dengan curah hujan didapatkan nilai korelasi dengan metode Spearman sebesar 0,756 (CG positif r=0,765 dan CG negatif r=0,746) (Tabel 3.3).

Berdasarkan komposit variasi musiman petir CG dan curah hujan selama periode bulan DJF yang merupakan periode bulan basah, puncak kejadian curah hujan terjadi pada pukul 13.00-16.00 WIB, meskipun tidak jarang terjadi curahan sekitar pukul 07.00-11.00 WIB. Diikuti dengan puncak kejadian

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3.7. Komposit variasi musiman antara petir CG dengan curah hujan selama tahun 2009, dimana (a) Bulan Desember, Januri, dan Februari (DJF), (b) Bulan Maret, April, dan Mei (MAM), (c) Bulan Juni Juli, dan Agustus (JJA), (d) Bulan September, Oktober, dan November (SON).

petir CG petir CG yang berlangsung dari pukul 13.00-18.00 WIB. Berdasarkan persentase curahan hujan terbanyak selama tahun 2009 terjadi pada periode bulan basah (DJF) yaitu sebesar 41.20 % dari total curah hujan dan persentase petir CG total sebesar 32,35 % (Tabel 3.3).

Tabel 3.3. Prosentase kejadian petir CG dan curah hujan.

Parameter Jenis Musim

DJF MAM JJA SON

CG (%)

+ 10.34 7.29 2.56 5.03 - 22.01 30.42 5.77 16.58 Total 32.35 37.71 8.33 21.61 CH (%) 41.20 29.91 6.94 21.95

Periode DJF merupakan fase dimana terjadinya penguatan monsun barat yang ditandai dengan posisi matahari di selatan, yang mengakibatkan jawa berpotensi memperoleh massa udara lembab Asia [19]. Umunya hujan di pagi dan malam hari sedikit

menghasilkan petir CG diakibatkan oleh adanya angin musim yang mengarah dari laut ke darat, dan angin tersebut berlawanan dengan arah angin gunung pada malam hari.

Pada periode MAM yang merupakan fase melemahnya monsun Asia. Puncak curah hujan berlangsung dari pukul 14.00-16.00 WIB, dan kejadian petir CG puncaknya terjadi dari pukul 16.00-17.00 WIB. Proses elektrifikasi tertinggi CG terjadi pada periode MAM dengan presentase CG sebesar 37,71% serta presentase curah hujan = 29,9%. Tingginya elektrifikasi petir CG diakibatkan oleh proses pemaksaan masa udara dengan kejenuhan masa udara yang lebih, yang dipengaruhi oleh efek topografi di wilayah Bogor.

Pada periode bulan JJA yang merupakan periode menguatnya monsun timur atau yang biasa sering disebut periode bulan kering, merupakan kondisi terlemah frekuensi kejadian petir CG maupun curah hujan dengan persentase petir CG total sebesar 8,33 % dan persentase curah hujan sebesar 6,94 % dari total curah hujan pada tahun 2009. Curah hujan yang terjadi

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 C H ( % d a ri t o ta l) C G ( % d a ri t o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CG CH 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 C H ( % d a ri t o ta l) C G ( % d a ri t o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CG CH 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 C H ( % d a ri t o ta l) C G ( % d a ri t o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CG CH 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 C H ( % d a ri t o ta l) C G ( % d a ri t o ta l)

Waktu Lokal (WIB) CG

(7)

6

dihasilkan oleh udara lembab yang berasal dari laut Jawa dan konvektivitas didaratan (lembah) ke arah pegunungan. Namun karena suplai massa udara yang minim, sehingga tidak ada aliran massa udara lembab ke atas akibat fluks radiasi yang minim.

Pada periode SON yang merupakan fase transisi menuju monsun barat dengan labilitas yang cukup kuat sehingga memungkinkan awan berada pada fase matang dengan kuatnya konvektivitas yang lebih lama dari periode sebelumnya. Pada periode ini, kuatnya konvektivitas berlangsung selama 3 jam dari pukul 12.00-15.00 WIB. Puncak kejadian petir CG terjadi pada pukul 15.00 WIB, sedangkan untuk curah hujan terjadi dari pukul 12.00-16.00 WIB.

3.4.Hubungan Aktivitas Petir CG dengan Curah

Hujan pada Radius 10 km dari titik stasiun Pengamatan Curah Hujan

Dari hasil pengolahan data, selama tahun 2009 sambaran petir CG total terjadi sebanyak 2607 sambaran, dengan sambaran CG negatif sebesar 1854 (71%) dan sambaran CG positif sebesar 753 (29%). Selanjutnya, berdasarkan pola bulanan petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 2009 kejadian petir CG maksimum terjadi pada bulan Mei, dan minimum terjadi pada bulan September. Korelasi yang diberikan dengan metode Pearson antara petir CG dan curah hujan lebih baik dibandingkan sebelumnya yaitu sebesar 0,715 (CG positif r=0,927 dan CG negatif r=0,508).

Dari komposit harian setiap jam antara kejadian petir CG dengan curah hujan didapatkan nilai korelasi dengan metode Spearman sebesar 0,881(CG positif r=0,858 dan CG negatif r=0,880). Kejadian petir CG berlangsung selama maksimum pada pukul 13.00-16.00 WIB dengan kuatnya konvektivitas pada awan selama 3 jam (Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Komposit setiap jam petir CG dan curah hujan sepanjang tahun 2009 dalam radius 10 km dari titik stasiun curah hujan, kotak (garis titik-titik) menunjukkan kuatnya konvektivitas di awan pada tahap matang.

3.5.Analisis Rain-Yield per Flash (RYF)

Berdasarkan perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF), didapatkan nilai dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5,09x109 kg/fl untuk radius 10 km dari titik stasiun pengamatan curah

hujan. Menurut [20], nilai RYF dapat mengidikasikan sebuah area, misalkan, untuk nilai RYF sebesar ~108 kg/fl untuk wilayah Amerika Serikat yang berupa daratan yang luas (continental). Untuk nilai RYF sebesar ~109 kg/fl untuk wilayah rezim curah hujan di kepulauan samudera (island ocean). Dan untuk nilai RYF sebesar ~1010 kg/fl untuk rezim wilayah tropis samudera (island tropical). Dari hasil perhitungan, nilai RYF pada penelitian ini, wilayah Bogor menunjukkan wilayah rezim curah hujan di kepulauan samudera, dan mendekati untuk wilayah rezim tropis samudera.

Hujan konvektif dan aktivitas petir CG merupakan dua efek yang terkait dalam kejadian badai. Aktivitas CG sendiri tidap dapat secara langsung membedakan hujan antara konvektif dan statiform. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba untuk membandingkan kejadian hujan secara konvektif dan statiform dari hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan dengan mengambil contoh aktivitas yang menggambarkan hujan konvektif dan statiform selama tahun 2009.

Dari nilai rain-yield per flash (RYF), didapatkan nilai RYF untuk hujan konvektif sebesar 6,33x109 kg/fl sedangkan untuk hujan statiform nilai RYF sebesar 4,42x109 kg/fl.

(a)

(b)

Gambar 3.9. (a) Menunjukkan hujan konvketif yang dilihat dari pola curah hujan harian terjadi setelah proses konvektif, (b) Menunjukkan hujan statiform yang dilihat dari pola curah hujan yang merata selama sehari.

4. Kesimpulan dan Saran

4.1.Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data curah hujan bulanan pada tahun 2009, kejadian curah hujan di Bogor

0 5 10 15 20 25 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 % d a ri to ta l

Waktu Lokal (WIB)

Petir CG CH 0 5 10 15 20 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 % d a ri t o ta l

Waktu Lokal (WIB) curah hujan petir CG 0 10 20 30 40 50 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 % d a ri t o ta l

Waktu Lokal (WIB) curah hujan Petir CG

(8)

7

terdapat pengaruh dari monsun. Pada komposit curah hujan harian (setiap jam), curah hujan terakumulasi terjadi dari pukul 11.00-18.00 WIB, dengan curah hujan maksimum terjadi pada pukul 16.00 WIB. Ini mengindikasikan hujan yang terjadi di Bogor merupakan hujan konvektif.

Kejadian Petir Cloud-to-Gorund (CG) selama tahun 2009 sebanyak 7836 sambaran, dan dominan oleh petir CG negatif dengan persentase sebesar 75% dan CG positif 25 %. Dari distribusi sambaran secara spasial, wilayah Bogor bagian selatan memiliki konsentrasi terbanyak dibandingkan wilayah lainnya. Dari aktivitas petir CG harian (setiap jam) terjadi dari pukul 13.00-16.00 WIB. Pola ini sesuai dengan pola curah hujan pada setiap jamnya.

Hubungan antara aktivitas petir CG dengan CH dengan pola kumulatif harian selama tahun 2009 di wilayah Bogor, memiliki korelasi sebesar r=0,756 (CG negatif r=0,746, dan CG positif r=0,765). Apabila dikerucutkan hasilnya lebih baik dalam radius 10 km dari titik stasiun pengamatan curah hujan didapatkan sebesar r=0,881(curah hujan dengan CG positif r=0,858 dan dengan CG negatif r=0,880).

Nilai Rain-Yield per Flash (RYF) dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 5.09x109 kg/fl untuk radius 10 km dari titik stasiun pengamatan curah hujan. Dan nilai RYF untuk hujan konvektif sebesar 6,33x109 kg/fl lebih tinggi dibandingkan untuk hujan statiform nilai RYF sebesar 4,22x109 kg/fl.

Dari hubungan antara aktivitas petir CG dengan curah hujan, petir CG yang terjadi di Bogor merupakan petir yang diakibatkan oleh hujan konvektif dengan kuatnya konvektivitas berlangsung selama 3 jam.

4.2.Saran

Dalam menganalisis kejadian petir CG dengan curah hujan, perlu dimasukkan data curah hujan lebih dari satu titik (minimal 3 titik curah hujan), sehingga nantinya dapat dibuat peta isohyet yang kemudian dapat dilihat hubungan sebaran petir dengan sebaran hujan secara spasial. Dan juga perlu dilakukan verifikasi sebaran petir yang terjadi dengan pencitraan awan, sehingga nantinya dapat dianalisa hubungan pertumbuhan awan dengan kejadian petir CG.

REFERENSI [1]

Tjasyono, B. (2006). Meteorologi Indonesia I. Jakarta : Badan Meteorologi dan Geofisika.

[2]

Rust, W. (1986). Positif Cloud-to-Ground Lightning.

Washington DC: National Academy Press , The

Earth's Eletrical Environment page. 41.

[3]

Zoro. (2009). Induksi dan Konduksi Gelombang

Elektromanetik Akibat Sambaran Petir pada Jaringan Tegangn Rendah. Bandung: Makara

Teknologi.

[4]Uman. (1987). The Lightning Discharge. Mineola, New

York: Dover Publications, inc.

[5]

Poelman, D. R. (2010). On The Science of Lightning : An

Overview. Belgium: Royal Meteorological Institute of Belgium.

[6]

Zajac, B., J, F. Weaver., D, E. Bikos., & D, T. Lindsey. (2002). Lightning Meteorology II: An Advanced

Course on Forecasting with Lightning Data.

Preprint, 21st Conf. on Severe Local Storms, Amer. Meteor. Soc., San Antonio, TX , 438-441.

[7]

Viemeister. (1972). The Lightning Book. Cambridge: MA : MIT Press.

[8]

Tjasyono, B. (2008). Mikrofisika Awan dan Hujan. Jakarta: Penerbit Badan Meteorologi dan Geofisika.

[9]

Septiadi, D., Tjasyono, B., & Hadi, S. (2010). The

Simulation of Weather Early Warning System Using Lightning Data in Anticipating of Extreme Weather Event in Bandung. In Proceedings of 5th Kentingan Physics and its Applications, Environmentally Friendly Technology and Disaster, , PP. 235-238.

[10]

Zoro, R. (2000). Analisis Karakteristik Petir dan Cuaca

di Wilayah di Daerah Tropis. Jurnal Teknik

Tegangan Tinggi Indonesia, Vol. 2, No. 1. Bandung: Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.

[11]

Michaelides, S. (2010). Relationships between lightning

and rainfall intensities during rainy events in Cyprus. Nicosia, Cyprus: Copernicus Publications

on behalf of the European Geosciences Union.

[12]

Soula, S. (1998). The CG lightning activity of storm

causing a flashflood,. Geophysic , Res. Lett., 25,

1181–1184.

[13]

Labrada, C. R. (1999). Lightning / Precipitation

Relationships on a Global Basis. Massachusetts:

Massachusetts Institute of Technology.

[14]

Pandiangan, L. N. (2010). Analisis Pemetaan Sambaran Petir Akibat Bangunan BTS Terhadap Lingkungan Dan Sekitarnya Di Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

[15]

Hafsari, A. (2000). Distribusi Spasial dan Temporal Hujan Asam di Bogor dan Sekitarnya. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[16]

Septiadi, D., & Tjasyono, B. (2011). Variabilitas

Musiman Cloud Ground Lightning dan Kaitannya dengan Pola Hujan di Wilayah Jawa (Studi Kasus Bandung dan Semarang). Bandung: Jurnal Bumi

Lestari.

[17]

Boonstra, R. (2008). Validation of SAFIR/FLITS Lightning detection system with railway-damage reports. De Bilt: Wageningen University and Research Centre, Department Meteorology and Air Quality.

[18]

Takayabu, Y. N. (2006). Rain-Yield per Flash Calculated

from TRMM PR and LIS data and its Relationship to the Contribution of Tall Convective Rain.

Geophysical Research Letters , Vol 33, L 18705

[19]Rusnadi, I., & Wilson, S. (2008). Pengaruh Aktivitas

Matahari pada Curah Hujan di Atas Indonesia : Variasi Siklus ke Siklus. Majalah Sains dan

Teknologi Dirgantara , Vol. 3 No.1.

[20]

Peterson, W., & S.A, Rutledge. (1998). On the

Relationship Between Cloud-to-Ground Lightning and Convective Rainfall. J.Geophys. Res, 103 , 14

Gambar

Gambar  1.1.  Daerah  kajian  studi,  bintang  merupakan  titik  stasiun  pengamatan  curah  hujan,  dan  kotak  (garis titik-titik) menunjukan radius 10 km
Gambar  3.3.  Komposit  setiap  jam  kejadian  petir  total  CG  sepanjang tahun 2009
Gambar  3.4.  Komposit  setiap  jam  sepanjang  tahun  2009,  kotak (garis titik-titik) merupakan fase matang  pada awan
Gambar  3.7.  Komposit  variasi  musiman  antara  petir  CG  dengan  curah  hujan  selama  tahun  2009,  dimana  (a)  Bulan  Desember,  Januri,  dan  Februari  (DJF),  (b)  Bulan  Maret,  April,  dan  Mei  (MAM),  (c)  Bulan  Juni  Juli,  dan  Agustus (JJA
+2

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas segala berkat, rahmat dan kasih karunia Nya yang telah diberikan kepada penulis,

Penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho dan Sidiyasa (2001) juga sejalan dengan ini, dimana biomassa pada setiap bagian pohon meningkat secara proporsional dengan semakin

Merawat anggota keluarga dengan penyakit mental dapat menyebabkan tekanan psikologis yang cukup besar dan mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarga perempuan

Untuk membuktikan adanya kesamaan yang tidak terbantahkan antara substansi berbangsa dan bernegara dalam konsep Islam dengan substansi demokrasi di Indonesia seperti yang

orifice seringkali terdapat di pinggir posterior dari kantung pupa dengan jarak yang sama dengan panjang vasiform orifice (Gambar 2).. Pada submargin tidak ada atau

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Perilaku

Khusus untuk melindungi beruang Madu dibangun Kawasan Wisata dan Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH). Beruang Madu dilindungi di Indonesia sejak tahun 1973. Diharapkan hal

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti atau baik yang dilakukan secara wawancara, pengamatan, pencatatan atau penelitian pada objek