• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN AMILOGRAFI PATI GARUT DAN GANYONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN AMILOGRAFI PATI GARUT DAN GANYONG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN AMILOGRAFI PATI GARUT DAN GANYONG

Joko Susilo Utomo, Rahmi Yulifianti, dan Astanto Kasno Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Jl. Raya Kendalpayak km 8 Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. 0341-801468 Email: jokosut@yahoo.com

ABSTRAK

Garut (Maranta arundinaceae) dan ganyong (Canna edulis Kerr) merupakan sumber karbohidrat dan berpotensi sebagai bahan pangan dan bahan baku industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat fisikokimia dan amilografi tujuh aksesi garut dan 10 aksesi ganyong yang ditanam di rumah kaca Balitkabi dan Kebun Percobaan Kendalpayak. Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap dan diulang tiga kali. Pengamatan meliputi kadar air umbi segar, sifat fisiko kimia (rendemen pati, derajat putih, kadar air, kadar abu, pati, dan amilosa), dan sifat amilografi pati. Terdapat perbedaan yang nyata antaraksesi garut dan ganyong pada semua sifat fisik dan kimia pati. Pada pati garut, aksesi Probolinggo mempunyai nilai rendemen pati tertinggi (14,70%). Derajat putih pati berkisar antara 80,5−85,6%, kadar amilosa 45,1−47,0% bk. Aksesi Lumajang merupakan satu-satunya yang memiliki viskositas puncak dari semua aksesi garut yang diamati (1510,4 cp). Ini berarti gel yang terbentuk akan menurun viskositasnya dengan perlakuan fisik. Pada ganyong yang diamati, diperoleh rendemen pati yang rendah (3,0−7,8%), yang dipengaruhi oleh tingginya kadar air umbi ganyong. Derajat putih untuk pati ganyong diperoleh dari ganyong Merah Lumajang (68,7%). Pati ganyong berwarna gelap akibat oleh terjadinya oksidasi senyawa polifenol oleh enzim polifenolase. Kadar pati ganyong yang diamati berkisar antara 76,6−82,1% bk. Variasi kadar amilosa relatif sempit (53,2−56,9% bk). Aksesi Merah Magetan memiliki suhu gelatinisasi tertinggi (76,1 oC) namun viskositas puncaknya tidak terdeteksi, yang berarti pati sangat potensial sebagai bahan pengental produk pangan berbahan baku karbohidrat.

Kata kunci: garut, ganyong, plasma nutfah, pati, fisikokimia, amilografi

ABSTRACT

The study on physicochemical and amilography properties of arrowroot (Maranta arundinaceae) and (Canna edulis Kerr). Arrowroot and Canna edulis are source of carbo-hydrate so that they are potential for food and industrial raw materials. This study aimed to identify the physicochemical and amilography properties of seven arrowroot accessions and ten canna edulis accessions grown in the glass houses and at Kendalpayak Experimental Station. The trial was arranged in completely randomized design with three replications. Observations included moisture content of fresh tubers, the physicochemical properties (yield recovery, whiteness, moisture, ash, starch, and amylose content), and amilography properties. There were significant differences between accessions of both species on all physical and chemical properties of starch. For the arrowroot starch, Probolinggo accession showed the highest level

(2)

the peak viscosity was not detected, which means that the starch was very potential as thickeners for food products made from carbohydrates.

Key words: arrowroot, Canna edulis, starch, physicochemical, amilography

PENDAHULUAN

Garut (Maranta arundinaceae) potensial dikembangkan karena memiliki hasil dan mutu pati yang tinggi, relatif toleran terhadap naungan, dan berguna untuk bahan pangan dan industri (Widowati et al. 2001). Dukungan pemerintah terhadap pengembangan tanaman garut sebagai alternatif pengganti tepung terigu sudah dilakukan sejak tahun 1998, yang ditandai oleh peluncuran program pengembangan tanaman garut sebagai alternatif bahan baku tepung dan industri (Widowati et al. 2001).

Ganyong (Canna edulis Kerr) merupakan tanaman alternatif yang menghasilkan karbohidrat (Kusbiantoro dan Rufaidah 2002) yang dapat diambil patinya dan dapat digu-nakan dalam pembuatan kue, mie/sohun, dan makanan bayi karena sifat patinya yang mudah dicerna (Dwiyitno dan Rufaidah 2002). Tepung ganyong telah diproduksi oleh Australia dan telah diperdagangkan di tingkat internasional dengan nama Queensland arrowroot (Flach dan Rumawas 1996 dalam Widowati et al. 2001).

Sejauh ini penelitian terhadap sifat fisik, kimia, dan amilografi umbi-umbian potensial koleksi plasma nutfah Balitkabi belum banyak dilakukan. Pengamatan sifat fisik, kimia, dan sensoris hanya dilakukan pada koleksi plasma nutfah ubikayu dan ubijalar (Antarlina dan Harnowo 1992, Ginting dan Noerwijati 2008).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sifat fisiko kimia dan amilografi tujuh aksesi garut dan 10 aksesi ganyong koleksi plasma nutfah Balitkabi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan Balitkabi, Ma-lang, pada bulan Maret hingga Oktober 2011. Bahan percobaan berupa tujuh aksesi garut asal Blitar, Malang, Lumajang, Banyuwangi, Probolinggo, Probolinggo putih, dan Gunung kidul dan sepuluh aksesi ganyong asal Gunung Kidul, Malang, Merah Magetan, Merah Lumajang, Merah Malang, Kuning Malang, Kediri, Blitar, Hijau Banyuwangi, dan Boyolali, yang ditanam di rumah kaca Balitkabi dan Kebun Percobaan Kendalpayak.

Pembuatan pati mengacu pada penelitian Utomo dan Antarlina (1997) (Gambar 1). Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Pengamatan sifat kimia dan fisik pati meliputi kadar air dengan metode oven (AOAC 1990), kadar pati dengan hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan metode spektrofotometer, analisis gula dengan metode Nelson-Somogyi (Sudarmadji et al. 1997), kadar amilosa (Juliano 1971), dan derajat putih menggunakan Kett Whitness Tester dengan MgO sebagai standar (85,6%), dan amilografi (Rapid Visco Analyzer RVA).

(3)

Gambar 1. Tahapan pengolahan umbi menjadi pati (Utomo dan Antarlina 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN Garut

Sifat fisikokimia pati

Sifat kimia dan fisik pati garut disajikan pada Tabel 1. Ketujuh aksesi garut memiliki kadar air 73,1−80,1%. Kadar air umbi segar ini tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan kadar air umbi garut (69,2%.) pada penelitian Utomo dan Antarlina (1997). Hal ini karena pada saat pemanenan ketujuh aksesi garut ini curah hujan cukup tinggi.

(4)

pati. Semakin rendah tingkat kelarutannya, semakin mudah pati diendapkan. Di samping itu, umur, jenis/klon, dan lingkungan tumbuh tanaman serta cara atau metode pengolahan pati juga menentukan rendemen pati yang dihasilkan.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia pati 7 aksesi garut, Lab. Balitkabi, 2011.

Aksesi Kadar air

ubi segar (%) Rendemen pati (%) Derajat putiha (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar pati (% bk) Kadar amilosa (% bk) Blitar 76,7 c 10,7 cd 84,2 c 6,5 f 0,44 a 90,3 c 45,2 ef Malang 78,2 b 6,6 e 80,5 e 6,6 e 0,35 b 83,7 d 45,4 d Lumajang 73,1 e 12,3 bc 83,6 d 8,7 c 0,28 c 68,5 e 46,6 b Banyuwangi 74,2 de 10,3 d 85,6 a 6,1 g 0,38 b 91,2 b 45,1 f Probolinggo 74,7 d 14,7 a 84,8 b 9,1 a 0,13 d 92,0 a 47,0 a Probolinggo putih 75,2 d 12,7 b 85,4 a 8,2 d 0,29 c 92,1 a 45,3 de Gunung kidul 80,13 a 13,85 ab 84,93 b 8,99 b 0,24 c 91,09 b 46,33 c BNT 5% 1,29 1,74 0,28 0,06 0,06 0,50 0,16 KK (%) 0,96 8,44 0,18 0,42 4,56 0,32 0,20

bk = basis kering; a MgO sebagai standar (85,6%).

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.

Derajat putih pati berbeda nyata antaraksesi garut dengan kisaran 80,5−85,6% (Tabel 1). Nilai derajat putih ini relatif lebih tinggi dari penelitian Utomo dan Antarlina (1997) rata-rata 81,4%. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis/klon dan juga pada saat proses pencucian pati.

Kadar air pati tujuh aksesi garut berbeda nyata dengan nilai tertinggi pati aksesi Probo-linggo (9,1%) dan terendah pada aksesi Banyuwangi (6,1%). Menurut Ginting et al. (2005), perbedaan kadar air pati ini disebabkan oleh kemampuan granula pati dalam menyerap dan menyimpan air. Hal yang penting adalah kadar air pati 13% agar aman disimpan (Radley 1976 dalam Moorthy 2002). Kadar abu garut berbeda nyata antaraksesi, berkisar antara 0,13−0,44% (Tabel 1). Menurut Ginting et al. (2005), selain jenis/klon dan cara ekstraksi, kandungan mineral dan tingkat kesadahan air yang digunakan pada saat ekstraksi memberikan kontribusi pada nilai kadar abu pati. Secara umum, kadar air dan kadar abu pati dari tujuh aksesi garut telah memenuhi standar mutu untuk kadar air dan kadar abu pati ubikayu, masing-masing maksimum 15% dan 0,60% (BSN 1994). Standar pati ubikayu ini digunakan sebagai pembanding karena belum ada standar pati untuk ubi-ubian lain.

Kadar pati ketujuh aksesi garut yang diamati berbeda nyata dan tertinggi pada aksesi Probolinggo putih (92,1% bk) dan terendah pada aksesi Lumajang (68,5% bk) (Tabel 1). Kadar pati dipengaruhi oleh jenis/klon, umur panen optimum masing-masing umbi dan musim pada saat umbi dipanen. Umbi yang dipanen pada musim hujan relatif lebih rendah kadar patinya karena kadar airnya tinggi. Semakin cepat atau semakin lama tana-man dipanen dari umur panen optimumnya, semakin rendah kadar pati umbinya (Ginting dan Noerwijati 2008), karena kadar pati optimal dimiliki oleh umbi-umbian dengan umur optimal, jika dipanen terlalu dini maka kadar air lebih tinggi dan jika dipanen lewat umur optimal maka kadar seratnya lebih tinggi.

Kadar amilosa berbeda nyata antaraksesi dengan kisaran 45,1−47,0% bk (Tabel 1). Kadar amilosa pati dari tujuh aksesi garut lebih tinggi dibanding hasil penelitian Utomo

(5)

dan Antarlina (1997) yang nilainya 32,15% bk. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan jenis/klon, umur panen, iklim, dan lingkungan tumbuh. Kadar amilosa berpengaruh terha-dap kemudahan pembentukan gel, di mana pati dengan kadar amilosa yang tinggi akan membentuk gel yang kokoh (Suryani 2001 dalam Ginting et al. 2005).

Sifat amilografi pati

Berdasarkan sifat amilografi pati garut dari ketujuh aksesi, waktu dan suhu gelatinisasi tertinggi ditunjukkan oleh pati dari aksesi Probolinggo putih dan terendah dari aksesi Lumajang (Tabel 2), kedua aksesi menghasilkan kadar pati tertinggi (92,1% bk) dan terendah (68,5% bk) (Tabel 1). Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Ginting et al. (2005) yang menyatakan bahwa waktu dan suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa yang terkandung di dalam pati, sedangkan menurut Ishiguro dan Yamakawa (2000) dalam Ginting et al. (2005) tidak terdapat korelasi positif antara kadar amilosa dengan suhu dan waktu gelatinisasi pada pati ubijalar. Menurut Noda et al. (2001), lingkungan tumbuh seperti peningkatan suhu tanah pada waktu perkembangan umbi berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi pati.

Tabel 2. Sifat amilografi pati dari tujuh aksesi garut, Lab. Balitkabi, 2011.

Aksesi Waktu

gelatinisasi (menit)

Suhu

gelatinisasi (0C) Viskositas puncak (Cp) Viskositas dingin (500C) (Cp) Blitar - - - - Malang 12 75,0 - 1.785,6 Lumajang 11 72,8 1.510,4 2.278,4 Banyuwangi 14 76,8 - 1.324,8 Probolinggo 13 74,1 - 1.849,6 Probolinggo putih 15 77,4 - 608,0 Gunung kidul 14 75,1 - 1.478,4

Keterangan: untuk aksesi Gunung Kidul, tidak dianalisis amilografinya Cp: Centipoise

Suhu gelatinisasi merupakan parameter penting bagi pati, walaupun demikian tidak terdapat variasi yang berarti untuk seluruh aksesi (Tabel 2). Aksesi Lumajang merupakan satu-satunya yang memiliki viskositas puncak dari semua aksesi yang diamati. Ini berarti gel yang terbentuk akan menurun viskositasnya dengan perlakuan fisik. Sifat tersebut menunjukkan bahwa pati yang dihasilkan sesuai digunakan sebagai bahan pengental produk-produk olahan pangan berpati.

Ganyong

(6)

dipengaruhi oleh tingginya kadar air umbi ganyong saat panen, yang dapat disebabkan oleh umur panen yang belum optimum, iklim pada saat tanam dan panen, serta lingkungan tumbuh yang kurang memadai bagi pertumbuhan umbi. Rendemen pati secara langsung tidak berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan, namun ber-dampak terhadap aspek ekonomi, sebab pati dengan rendemen tinggi akan lebih menguntungkan.

Tabel 3. Sifat fisik dan kimia pati dari 10 aksesi ganyong, Lab. Balitkabi, 2011.

Aksesi Kadar air

ubi segar (%) Rende-men pati (%) Derajat putiha (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar pati (% bk) Kadar amilosa (% bk) Gunung kidul 72,7 f 4,8 d 60,2 e 9,2 b 0,81 a 77,0 de 53,1 e Malang 85,9 b 3,0 e 60,0 e 6,7 j 0,47 e 78,5 bcde 54,6 d Merah Magetan 86,2 b 3,2 e 57,8 f 10,2 a 0,85 a 77,0 de 53,2 e Merah Lumajang 92,2 a 5,2 d 68,7 a 8,8 c 0,48 e 82,1 a 55,2 c Merah Malang 78,5 e 6,4 bc 56,8 g 8,4 f 0,49 e 78,8 bcd 55,8 b Kuning Malang 70,1 g 7,4 ab 57,7 f 7,6 g 0,74 b 76,6 e 55,4 bc Kediri 79,5 de 7,8 a 55,2 h 7,0 i 0,6 c 78,2 cde 54,4 d Blitar 80,6 d 3,4 e 62,4 b 7,1 h 0,7 b 80,2 ab 54,4 d Hijau-Banyuwangi 82,8 c 5,5 cd 61,6 c 8,6 e 0,5 de 79,3 bc 55,6 bc Boyolali 86,6 b 5,8 cd 60,6 d 8,7 d 0,6 cd 76,6 e 56,9 a BNT 5% 1,87 1,13 0,29 0,08 0,05 2,04 0,48 KK (%) 1,34 12,49 0,28 0,48 2,64 1,51 0,51

bk = basis kering; a MgO sebagai standar (85,6%)

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 0,05.

Derajat putih pati ganyong berbeda nyata antaraksesi dengan nilai tertinggi aksesi Merah Lumajang (68,7%) dan terendah pada aksesi Kediri (55,2%) (Tabel 3). Dibanding-kan dengan pati garut, pati ganyong berwarna lebih gelap karena terbentuknya warna coklat pada saat pembuatan pati, terutama pemarutan umbi akibat oksidasi senyawa polifenol oleh enzim polifenolase yang secara alami terdapat pada umbi ganyong. Untuk menghambat aktivitas enzim polifenolase, perlu ditambahkan garam sulfit atau klorida pada air rendaman pada saat pemarutan umbi (Widowati 1997 dalam Ginting et al. 2005).

Kadar air pati berbeda nyata antaraksesi dengan nilai tertinggi pada aksesi Merah Magetan (10,2%) dan terendah pada aksesi Malang (6,7%) (Tabel 3). Kadar air pati ganyong yang diamati ini hampir sama dengan kadar air pati hasil pengamatan Utomo dan Antarlina (1997) rata-rata 10,8%. Kadar abu berbeda nyata antaraksesi dengan kisar-an relatif sempit, yaitu 0,47−0,85%. Sama dengkisar-an pati garut, cara ekstraksi, kkisar-andungkisar-an mineral dan tingkat kesadahan air yang digunakan pada saat ekstraksi, berpengaruh terhadap kadar abu. Tetapi kadar air dan kadar abu pati 10 aksesi ganyong masih meme-nuhi standar mutu untuk kadar air dan kadar abu pati ubikayu, masing-masing maksimum 15% dan 0,60% (BSN 1994).

Kisaran kadar pati ganyong yang diuji berkisar antara 76,6−82,1% bk, dengan kadar pati tertinggi terdapat pada aksesi Merah Magetan (Tabel 3). Dibandingkan dengan penelitian Utomo dan Antarlina (1997), nilai kadar pati ini relatif lebih tinggi. Kadar pati

(7)

dapat dipengaruhi oleh tingkat kemurnian pati pada saat diproses, karena umbi ganyong cukup banyak serat dan banyak terdapat kotoran di sela ruas. Semakin banyak campuran, seperti serat, pasir/kotoran yang terikut, semakin rendah kadar patinya per satuan berat.

Kisaran kadar amilosa relatif sempit (53,2−56,9% bk), tertinggi pada aksesi Boyolali (Tabel 3). Kadar amilosa pati ganyong ini sedikit lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian Utomo dan Antarlina (1997) rata-rata 44,1% bk. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan varietas, umur panen, dan lingkungan tumbuh. Dibandingkan dengan pati garut, pati ganyong memiliki kadar amilosa yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat amilografi pati ganyong.

Sifat amilografi pati. Berdasarkan sifat amilografi pati ganyong dari 10 aksesi yang diamati, waktu dan suhu gelatinisasi relatif sama (Tabel 4). Menurut Utomo dan Antarlina (1997), kandungan amilosa yang cukup tinggi pada pati ganyong menyebabkan pendek-nya waktu gelatinisasi dan rendahpendek-nya suhu yang diperlukan untuk mulai membentuk gel.

Tabel 4. Sifat amilografi pati ganyong, Lab. Balitkabi, 2011.

Aksesi Waktu gelatinisasi

(menit) Suhu gelatinisasi (oC) Viskositas puncak (Cp) Viskositas dingin (50 oC) (Cp) Gunung kidul 13 73,3 3.340,8 4.083,2 Malang 13 74,8 2.944,0 3.660,8 Merah Magetan 14 76,1 - 3.091,2 Merah Lumajang 13 72,2 2.316,8 3.289,6 Merah Malang 13 75,3 2.848,0 3.385,6 Kuning Malang 14 75,4 2.310,0 3.545,6 Kediri 14 75,9 2.746,0 3.552,0 Blitar 14 75,2 3.193,6 3.539,2 Hijau-Banyuwangi 14 75,1 2.272,0 3.001,6 Boyolali 13 72,9 2.508,8 3.635,2

Suhu gelatinisasi merupakan parameter penting bagi pati, walaupun demikian tidak terdapat variasi yang berarti untuk seluruh assesi (Tabel 4). Aksesi Merah Magetan memi-liki suhu gelatinisasi yang tertinggi (76,1 oC) namun viskositas puncaknya tidak terdeteksi,

yang berarti bahwa pati ini sangat potensial sebagai bahan pengental bagi produk pangan yang bahan bakunya banyak mengandung karbohidrat.

KESIMPULAN

1. Aksesi garut dan ganyong koleksi plasma nutfah Balitkabi memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, di atas 90% untuk garut dan di atas 75% untuk ganyong, sehingga dapat digunakan untuk mensubsitusi terigu dan beras.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Antarlina, S.S. dan D. Harnowo. 1992. Identifikasi Teknologi Pengolahan Ubikayu. Laporan Teknis Balitkabi. Tidak diterbitkan. 16p.

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. AOAC Int. Whashington D.C.

BSN. 1994. Standar Nasional Indonesia untuk Tapioka. SNI 01-3451-1994. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 22p.

Dwiyitno dan V.W. Rufaidah. 2002. Potensi ganyong dan produknya sebagai bahan pangan alternatif. hlm 13−18. Dalam Wijanarko, S.B., Padaga, M.C., Hidayat, N., dan Yuwono, S.S. (Ed.), Prosiding Seminar Nasional PATPI di Malang, tanggal 30−31 Juli 2002.

Ginting, E. dan K. Noerwijati. 2008. Identifikasi 15 klon plasmanutfah ubikayu untuk bahan pangan dan bahan baku industri. Agritek 16(3):418−424.

Ginting, E., Y. Widodo, St. A. Rahayuningsih, dan M. Yusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubi jalar. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 24 (1): 8−16.

Juliano, B. O. 1971. A Simplified Assumy for Miled Rice Amylose. Cereal Sci. Today 16:334−340. Kusbiantoro B dan V.W. Rufaidah. 2002. Pemanfaatan umbi ganyong sebagai bahan baku dalam

industri pangan. hlm. 199−207. Dalam D.M. Arsyad, J. Soejitno, A. Kasno, Sudaryono, A.A. Rahmianna, Suharsono, J.S. Utomo (Ed.). Kinerja Teknologi Untuk Meningkatkan Produkti-vitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Moorthy, S.N. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: A Review. Starch 54:559−592.

Noda T., T. Kobayashi, and I. Suda. 2001. Effect of soil temperature on starch properties of sweetpotatoes. Carbohydrate Polymers 44:239−246.

Sudarmadji, S.B., Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. PT. Liberty. Yogyakarta.

Utomo, J.S. dan S.S. Antarlina. 1997. Kajian sifat fisiko-kimia pati umbi-umbian selain ubikayu. Hlm. 241−248. Dalam S. Budijanto, F. Zakaria, R. Dewanti-Hariyadi, dan B. Satiawiharja (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar 16−17 Juli 1997. PATPI-Menpangan RI.

Widowati S, Hadiatmi, S.T. Soekarto, dan N. Damayanti. 2001. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung ganyong (Canna edulis, Kerr) dan kesesuaiannya untuk produk pangan. hlm. 109−120. Dalam B. Widianarko, B. Wdiloka, V.P. Bintara, A.M. Legowo, G. Adjisoetopo, R. Pratiwi, dan Nurwantoro (Ed.). Himpunan Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan. Cabang Semarang.

Gambar

Gambar 1. Tahapan pengolahan umbi menjadi pati (Utomo dan Antarlina 1997).
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia pati 7 aksesi garut, Lab. Balitkabi, 2011.
Tabel 2. Sifat amilografi pati dari tujuh aksesi garut, Lab. Balitkabi, 2011.
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia pati dari 10 aksesi ganyong, Lab. Balitkabi, 2011.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini peneliti bertindak sebagai observer; (5) melaksanakan tes akhir pada setiap siklus untuk mengetahui peningkatan kemampuan matematika siswa

Media VCD Upin Ipin dan VCD Fiqih Anak sesuai dengan tahapan pola berpikir anak usia dini tentang perkembangan nilai-nilai moral dan agama melalui contoh perilaku yang

Persentase jumlah ikan dengan ukuran panjang yang lebih kecil dari panjang saat pertama kali memijah ( length at first maturity ) untuk jenis ikan yang tertangkap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penambahan konsentrasi kunyit ( Curcuma longa ) 1%, 1,5%, 2% dan 2,5% selama 7 hari fermentasi sebagai flavouring agent

Berlainan dengan Farah, penulisan ini pula mengangkat konsep filem nasional Lez (1999) untuk meneliti kelayakan filem Sepet (2005) sebagai sebuah filem nasional Malaysia.. Tesis

viskositas dapat dijelaskan bahwa dengan penggunaan suhu dan lama pemeraman tersebut maka semakin meningkat pula aktifitas fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme

50.000.-(lima puluh ribu rupiah) dan tidak ada saksi yang menyatakan bahwa terdakwa melakukan jual beli Narkotika; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka

kembali diperintah oleh seorang penguasa yang masih ka.fir (Armando Cortesao: 188). Penguasa yang masih kafir ini dalam berita Portugis tidak diterangkan secarajelas.