• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genetic Differentiation of Meliaceae based on Second Internal Transribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (Mat-K) Regions

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Genetic Differentiation of Meliaceae based on Second Internal Transribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (Mat-K) Regions"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

i

DIFERENSIASI GENETIK

MELIACEAE

PADA REGION

Second Internal Transcribed Spacer

(ITS2)

dan

Maturase-K

(

mat-K

)

MIRA NOVIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

dan

Maturase-K

(

mat-K

)

MIRA NOVIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

iii MIRA NOVIANTI. Diferensiasi Genetik Meliaceae pada Region Second Internal Transcribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (mat-K). Di bawah bimbingan ISKANDAR Z SIREGAR

Anggota famili Meliaceae seperti mahoni daun besar (Swietenia macrophylla), mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni), mindi (Melia azedarach), mimba (Azadirachta indica), dan khaya (Khaya anthotheca) termasuk ke dalam jenis penting baik secara ekonomi maupun ekologi. Pada umumnya anggota Meliaceae dimanfaatkan untuk penghasil kayu, buah, atau kandungan bahan kimianya, sehingga permintaan terhadap jenis ini sangat tinggi yang menyebabkan penurunan populasi alami. Untuk itu diperlukan upaya pelestarian jenis yang sebaiknya berbasis scientific, yang salah satunya adalah melalui pemanfaatan penanda genetik (DNA).

Penanda DNA dapat digunakan untuk melihat adanya variasi antar (diferensiasi) dan di dalam jenis dengan akurat melalui deteksi perubahan urutan basa nukleotida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik dan jarak kekerabatan dari lima jenis Meliaceae, sehingga pembagian taksonominya menjadi lebih jelas. DNA sekuen untuk kedua wilayah diekstraksi dengan metode CTAB, diikuti dengan proses PCR dan sekuen (http://base-asia.com). Pengamatan ada tidaknya pola pita polimorfik dilakukan dengan enzim restriksi secara in silico. Analisis data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak BioEdit, ClustalW2 EMBL-EBI, TreeViewX, PopGene, NTSYs dan pDRAW32. Hasil perhitungan jarak genetik pada sekuens DNA pada wilayah ITS2 menunjukkan bahwa jenis yang memiliki jarak genetik yang paling jauh adalah antara S. mahagoni dengan S. macrophylla dan jenis dengan jarak genetik terdekat adalah antara A. indica dengan M. azedarach. Hasil ini sesuai dengan analisis yang dilakukan pada wilayah gen mat-K.

(4)

iv MIRA NOVIANTI. Genetic Differentiation of Meliaceae based on Second Internal Transribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (Mat-K) Regions. Supervised by ISKANDAR Z SIREGAR.

Members of Meliaceae (Swietenia macrophylla, Swietenia mahogany, Melia azedarach, Azadirachta indica, dan Khaya anthotheca) play significant roles both economically and ecologically. The species are used for timber and non-timber purposes like fruits, chemicals and herbal products and demands are therefore high. In their natural stands, the populations are depleting and conservation of the species is urgently called. To formulate the sound stratgy for species conservation, further information at molecular levels, i.e. DNA sequences, are required. DNA markers can be used to assess intraspecific genetic differentiation based on particular gene regions or DNA fragments. The aim of this study was to determine genetic differentiation of five important species of Meliaceae following current taxonomy classification.

Two DNA sequences, i.e ITS2 and mat-K, were used in the analysis. ITS2 sequences were revealed following DNA extraction (CTAB), PCR amplification and sequencing (http://base-asia.com), while mat-K sequences were obtained from the genbank database (http://ncbi.nlm.nih.gov/genbank). Differentiation analysis was performed using following softwares, namely BioEdit, ClustalW2 EMBL-EBI, TreeViewX, PopGene, NTSYs and pDRAW32. Results showed that the aligned sequences based on ITS2 and mat-K regions were also in agreement with previous findings showing that K. anthoteca, S. mahogany and S. macrophylla were grouped in one cluster, while the another consisted of A. indica and M. azedarach. Average nucleotide diversities at ITS2 and mat-K were 0.27398 and 0.18441, respectively.

(5)

v Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Diferensiasi Genetik Meliaceae pada Region Second Internal Transcribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (Mat-K) adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

(6)

vi Judul Skripsi : Diferensiasi Genetik Meliaceae pada Region Second Internal

Transcribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (mat-K) Nama : Mira Novianti

NIM : E44080023

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof Dr Ir Iskandar Z Siregar, MForSc NIP 19660320 199002 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

(7)

vii Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012, penulis memilih judul Diferensiasi Genetik Meliaceae pada Region Second Internal Transcribed Spacer (ITS2) dan Maturase-K (mat-K)”.

Keragaman genetik memiliki peranan sangat penting dalam program pemuliaan pohon. Pengetahuan keragaman genetik ditunjang melalui pengetahuan biologi molekuler. Selanjutnya pengetahuan ini dapat digunakan untuk program konservasi dan pemanfaatannya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis butuhkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2012

(8)

viii Puji dan syukur bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof Dr Ir Iskandar Z Siregar, MForSc atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.

2. Resti Meilani, Shut, MSi selaku dosen penguji dan Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku ketua sidang yang telah memberikan sarannya untuk penulisan skripsi ini.

3. Ibunda Juswaidar, Ayahanda Hasymi Kamaruddin, saudaraku Ulfa Umami, dan keluarga besar yang telah mendoakan, menyemangati, dan membantu penulis.

4. Senior-senior dan teman satu bimbingan di Laboratorium Analisis Genetika, Bagian Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB (Laswi Irmayanti, Shut; Azizah, Shut; Elviana, Shut; Fifi Gus Dwiyanti, Shut; dan Argha AC Nugraha). 5. Adinda beserta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan bantuan bagi

penulis.

6. Essy Harnelly, PhD; Kokom Komariah, SE, MM; Arida Susilowati, Shut, MSi; Rima HS Siburian, Shut, MSi; Dr Utut Widyastuti , Dr Ir T M Oemijati R, MS yang telah memberikan saran dan motivasi bagi penulis.

7. Teman-teman penulis (Mar’ahthul Ishlah, Felix Julian Aji P, Alm Syahrul Isnaini, Osmond Vito Eliazar, SP; Intan Fajar Kemala, Evi Rumindah Sinaga).

8. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Silvikultur Angkatan 45.

Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Bogor, November 2012

(9)

ix Penulis lahir di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 22 November 1989 sebagai putri dari Hasymi Kamaruddin dan Juswaidar. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2008, penulis lulus dari SMAN 1 Sungayang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

(10)

x

2.5 Second Internal Transcribed Spacer (ITS2) ... 6

2.6 Maturase K (mat-K) ... 7

3.3.2 Analisis Fragmen ITS2 secara In Silico ... 13

3.3.3 Analisis Fragmen mat-K ... 13

4.2.1 Analisis Runutan Nukleotida ... 17

(11)
(12)

xii

1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik ... 9

2 Primer untuk amplifikasi DNA ... 12

3 Komposisi PCR ... 12

4 Tahapan proses PCR ... 12

5 Spesies pada wilayah mat-K... 13

6 Rataan komposisi nukleotida ... 17

7 Spesies enzim yang hanya memotong pada satu jenis ... 19

(13)

xiii

1 Ilustrasi PCR ... 5

2 Gen tiga genom pada tanaman sebagai kandidat untuk barcoding ... 6

3 Diagram ITS ... 7

4 Wilayah mat-K ... 8

5 Alur penelitian ... 11

6 Pola band DNA ... 15

7 Hasil amplifikasi ITS2 ... 16

8 Runutan nukleotida ITS2 ... 18

9 Dendrogram in silico ITS2 ... 20

10 Dendrogram in silico mat-K ... 20

11 Dendrogram ITS2... 21

12 Dendrogram ITS... 21

13 Dendrogram mat-K... 22

(14)

xiv

1 Electropherogram enzim restriksi secara in silico pada ITS2 ... 29

2 Electropherogram enzim restriksi secara in silico pada mat-K ... 31

3 Runutan sekuen mat-K ... 33

4 Polimorfik ITS2 ... 35

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meliaceae merupakan suku yang secara umum terdiri dari pohon pada

(16)

dianggap paling baik untuk melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini berkembang setelah diciptakannya mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu genom organisme. Kekerabatan dan keragaman genetik dari spesies yang digunakan dapat dilihat melalui hasil sekuen yang diperoleh.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menduga variasi dan diferensiasi genetik antar spesies (interspecific variation) lima spesies pohon anggota Meliaceae yaitu S. macrophylla, S. mahagoni, M. azedarach, A. indica, dan K. anthotheca.

1.3Manfaat Penelitian

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Spesies

Azadirachta indica memiliki nama lokal mimba atau nimbi. Tanaman

mimba dapat beradaptasi di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman mimba dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah dengan ketinggian sekitar 800 m dpl. Di Indonesia, tanaman mimba banyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada umumnya, tanaman mimba ditanam sebagai tanaman peneduh jalan (Rukmana dan Oesman 2002).

Melia azedarach memiliki nama lokal mindi atau mindi berbuah kecil. Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian sampai dengan 1200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum Himalaya pada

ketinggian 1800−2200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5oC, suhu maksimum 39oC, dengan curah hujan rata-rata per tahun 600−2000 mm (Ahmed dan Idris 1997 dalam Dephut 2001). Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia (Mabberley 1984 dalam Dephut 2001). Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Whitmore dan Tantra 1986).

Swietenia mahagoni memiliki nama lokal mahoni daun kecil. Spesies ini

secara alami dijumpai pada iklim dengan curah hujan tahunan 580−800 mm.

Hasil pertanamannya lebih rendah dibandingkan dengan S. macrophylla tetapi pada tapak yang kering tumbuh sangat baik dan kualitas kayunyapun lebih baik. Secara komersial spesies ini tidak berarti apabila tersedia dalam skala kecil. Akan berpotensi bila ditanam dalam skala besar, khususnya di daerah kering, terutama untuk memperoleh kayu berkualitas tinggi. Spesies ini juga digunakan pada agroforestry untuk meningkatkan kualitas tanah dan tanaman hias (Dephut 2001).

Swietenia macrophylla memiliki nama lokal mahoni daun lebar. Tanaman

ini tumbuh pada ketinggian 0-1.500 m dpl, suhu tahunan 11−36oC dan curah

hujan tahunan 1.524−5.085 mm (BPT 1986). Tanaman ini mempunyai peranan

(18)

prioritas untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri dan reboisasi hutan produksi.

Khaya anthotheca memiliki nama lokal khaya. Penyebaran alami di daerah

Afrika tropis, di daerah tersebut spesies ini merupakan spesies kayu perdagangan utama, dengan nama perdagangan internasional mahoni Afrika dan di Indonesia mempunyai nama perdagangan mahoni Uganda (Burhaman 2004). Kayu spesies ini mudah dikerjakan, mudah dikupas tanpa direbus terlebih dahulu serta perekatannya baik dan secara umum memenuhi persyaratan. Kayunya dapat dipergunakan untuk keperluan bahan baku kayu lapis, bahan baku pembalutan mebel dan perkakas rumah tangga lainnya (Burhaman 2004).

2.2 Keragaman Genetik Tanaman Hutan

Keragaman genetik adalah suatu tingkatan biodiversitas yang merujuk pada jumlah total karakteristik genetik dalam genetika keseluruhan spesies. Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat dievaluasi pada dua tingkatan, yaitu keragaman dalam spesies (intra-species) dan keragaman antar spesies (inter-species) (Finkeldey 2005).

Secara umum ada dua sebab utama yang menyebabkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan (enviromental variation) dan perbedaan susunan genetik yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya (genetic variation). Adanya keragaman dalam suatu spesies perlu diketahui terlebih dahulu sebelum memulai pemuliaan pohon, karena adanya keragaman genetik merupakan prasyarat mutlak dalam pemuliaan, yaitu memungkinkan seleksi dan untuk mencegah dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu (Soerianegara dan Djamhuri 1979). 2.3 PCR (polymerase chain reactions)

Tahapan dalam proses PCR meliputi denaturasi pada suhu tinggi, penempelan DNA pada cetakan (tahap annealing), serta pemanjangan primer dengan melakukan reaksi polimerisasi nukleotida untuk membentuk rantai DNA baru (tahap extention) (Saiki et al. 1998 dalam Mahfira 2010). Tahapan dari PCR adalah sebagai berikut:

(1) Tahap peleburan atau denaturasi

(19)

denaturasi, dua rantai DNA akan terpisah dan masing-masing rantai DNA akan digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. DNA yang memiliki struktur kompleks dapat didenaturasi pada suhu 100oC selama beberapa menit namun kemampuan aktivitas enzim Taq DNA polymerase menjadi turun.

(2) Tahap penempelan atau annealing

Penempelan primer pada DNA cetakan disebut annealing. Besarnya suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G dan C dalam primer serta

konsentrasi garam dalam buffer.

(3) Tahap pemanjangan atau extention

Reaksi polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq DNA polymerase (extention)

dimulai dari ujung 5’α-fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidoksil (H). Suhu extention yang digunakan berkisar antara 70-74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq DNA polymerase bekerja optimum. Lamanya tahap extention

1−2 menit. Waktu extention yang terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Saiki et al. 1998). Secara terperinci tahapan PCR disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi siklus PCR, (1) denaturasi, (2) annealing, (3) extention, (4) siklus ke-1 selesai (Rice 2009)

2.4 Sequencing DNA

Sequencing DNA adalah proses penentuan urutan dari basa A, T, G, dan C

(20)

menghasilkan serangkaian fragmen yang panjangnya berbeda satu sama lain oleh satu basa. Fragmen kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran dan basis di akhir diidentifikasi menciptakan urutan asli DNA (Twyman 2003 dalam Elviana 2010).

Aplikasi utama dari sequencing DNA dalam studi sistematik adalah: i) evolusi gen, termasuk studi dari proses yang menghasilkan level variasi sequence (urutan basa), studi asal-muasal alel baru atu lokus baru, serta investigasi pemusatan (convergence) dan seleksi, ii) studi intraspesifik populasi, termasuk pelacakan organisme dan genealogi alel dalam spesies dan variasi geografik, aliran gen (gen flow), hibridasi, serta konservasi genetika, dan iii) studi interspesifik populasi, seperti rekonstruksi filogenetik untuk mengevaluasi pola dan proses evolusi makro (Hillis et al. 1996b dalam Elviana 2010).

2.5 Second Internal Transcribed Spacer (ITS2)

Daerah pada ITS2 dipilih untuk kandidat DNA barcode karena sekuen dari ITS2 berpotensi untuk penanda filogenetik dan secara luas digunakan untuk rekonstruksi filogenetik pada kedua genus dan pada tingkat spesies (Chen 2010). Secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa posisi ITS2 termasuk dari kandidat untuk barcoding namun masih dalam proses penelitian.

Gambar 2 Gen dari tiga genom pada tanaman sebagai kandidat untuk barcoding (Chen 2010)

(21)

pada keturunan biparental memiliki tingkat penggandaan yang tinggi daripada keturunan dari induk betina (Muir et al. 2001 dalam Koch et al. 2008).

ITS terus menjadi daerah yang lazim digunakan untuk rekonstruksi filogenetik, angka publikasi sekuen ITS meningkat tiga kali lipat semenjak tahun 2003 (Koch et al. 2008) daerah ITS terdiri dari ITS1 dan ITS2 yang terletak di antara ekson 5.8S dan ujung ITS1 dibatasi oleh ekson 18S, sedangkan ujung ITS2 dibatasi oleh ekson 26S, daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki tingkat conserved yang tinggi (Koch et al. 2008)

Tingkat penggandaan yang tinggi merupakan sebuah alasan bagi aplikasi ITS yang luas dalam sistem molekular (Rogers dan Bendich 1987 dalam Koch et al. 2008). Seleksi dari daerah kandidat barcoding pada daerah conserved dapat

diselesaikan melalui wilayah ITS. Jika dibandingkan dengan gen 5.8S, ITS1 dan ITS2 lebih tersedia pada sekuen utama. Selain itu ITS2 lebih conserved daripada ITS1 dan dapat memenuhi untuk perunutan pada tingkat genus (Hershkovitz dan Lewis 1996 dalam Koch et al. 2008). Daerah ITS secara terperinci disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram daerah internal transcribed spacer (Koch 2008)

2.6 Maturase-K (mat-K)

Mat-K dapat mengamplifikasi gen pada DNA kloroplas (cpDNA). Gen

(22)

Gambar 4 Wilayah MaturaseK (mat-K) (Wicke 2009)

Wilayah coding mat-K menunjukkan hasil yang sangat bagus dilihat dari pembagian yang hampir sama pada substitusi nukleotida di posisi kodon satu, kedua dan ketiga. Dengan demikian, gen mat-K menyusun lebih cepat secara kontras di gen plastid lainnya, walaupun turunan dasar dan fungsi yang terbatas (Hilu dan Liang 1997 dalam Wicke dan Quandt 2009).

(23)

BAB III

BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis Genetik, Bagian Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sequencing DNA, contoh dikirim ke PT. Genetika Science di Singapura (http://base-asia.com)

.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Koleksi Contoh Uji Daun

Contoh daun terdiri dari S.macrophylla, S.mahagoni, A. indica, M. azedarach, dan M. excelsa yang digunakan untuk analisis PCR dan sequencing DNA. Contoh daun berasal dari tiga lokasi yaitu sekitar kampus Fakultas Kehutanan IPB (S.macrophylla, S.mahagoni, K. anthotheca, dan M. azedarach), dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor (A. indica).

3.2.2 Analisis Genetik

Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetik dengan penanda PCR terbagi dalam beberapa tahap pekerjaan, yaitu tahapan ekstraksi DNA, uji kualitas DNA, visualisasi DNA serta analisis data. Alat dan bahan yang digunakan pada teknik PCR disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik

Analisis Tahapan Kerja

Ekstraksi Uji kualitas DNA PCR

PCR 1x, DNA ekstraksi, Blue juice

(24)

3.3 Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik PCR. Secara umum prosedur penelitian teknik PCR disajikan pada Gambar 5. Tahap penelitian terdiri dari tiga tahap analisis yaitu analisis sekuen ITS2, analisis fragmen ITS2 dan analisis fragmen mat-K secara in silico.

3.3.1 Analisis Sekuen ITS2 Ekstraksi DNA

Kegiatan ekstraksi dan isolasi DNA dari daun dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide) yang dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Contoh daun (2x2 cm2) digerus di dalam pestel bersih, lalu dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL dan

ditambahkan 500−700 larutan penyangga ekstrak dan 100 µL PVP 2%. Hasil

gerusan kemudian dikocok dengan vortex agar menjadi homogen, selanjutnya diinkubasi dalam waterbath selama 60 menit pada suhu 650C. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µL dan fenol 10 µL, lalu dikocok sampai homogen. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan fase air dan fase bahan organik (supernatan) pada kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit.

(25)

Sampel daun

DNA hasil ekstraksi kemudian uji kualitas dengan menggunakan teknik elektroforesis agarose 1% (w/v). Gel ini dibuat dengan melarutkan agarose sebanyak 0,33 g ke dalam 33 µL larutan TAE (tris HCl-acetic acid-EDTA). Kemudian campuran dipanaskan di dalam microwave sampai mendidih. Larutan gel kemudian dituangkan ke dalam cetakan gel. Cetakan gel tersebut telah dipasang sisir/comb yang berfungsi untuk membuat sumur gel. Setelah gel membeku, sisir dicabut dan gel beserta cetakannya diletakkan di dalam bak elektroforesis yang telah berisi larutan penyangga TAE. DNA hasil ekstraksi diambil sebanyak 3 µL dan ditambah 2 µL blue juice 10X, selanjutnya dilakukan proses elektroforesis dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 V selama 1 jam.

(26)

µL EtBr dan 190 mL aquades selama 15 menit. Kemudian profil DNA hasil ekstraksi dideteksi dengan menggunakan UV transilluminator.

Proses Amplifikasi DNA dengan Teknik PCR (polymerase chain reaction) DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan menggunakan primer ITS2. Menurut Marder (2001), primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai replikasi tanpa terjadi penempelan primer terlebih dahulu terhadap DNA target. Adapun urutan nukleotida dari primer tersebut terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA

Gen Posisi gen Sekuen primer (5'-3') PCR terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk PCR

No Komponen Volume (µL)

Proses PCR dilakukan melalui tiga tahapan yaitu denaturation, annealing, dan extention. Pada proses ini suhu yang dipakai berbeda-beda tergantung pada teknik, bahan kimia dan primer yang digunakan. Pengaturan suhu untuk PCR terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tahapan-tahapan dalam proses PCR

Tahapan Suhu (°C) Waktu (menit) Jumlah Siklus

Pre-denaturation 95 3

-Denaturation 95 1

-Annealing 48 1 36

Extention 72 1 1

(27)

-Hasil PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis gel agarose 2% (w/v) dalam larutan buffer TAE 1x. Setelah running selesai dilakukan distaining dalam larutan Ethidium Bromide (EtBr).

Sequencing DNA

Proses sequencing dilakukan setelah DNA hasil amplifikasi diukur kualitasnya dengan cara dielektroforesis pada gel agarose 2%. DNA hasil amplifikasi tersebut kemudian dikirim ke PT. Genetika Science Indonesia di Singapura bersama primer yang telah digunakan dalam proses amplifikasi. Kemudian dianalisis dengan program ClustalW2 EMBL-EBI (http://ebi.ac.uk/Tools/msa/clustal-w2), software BioEdit dan TreeViewX (Hall 2007) serta analisis keanekaragaman menggunakan software DNAsp versi 3.5 (Rozas dan Rozas 1999) digunakan untuk mencari nilai keragaman nukleotida. 3.3.2 Analisis Fragmen ITS2 secara In Silico

Sekuen DNA dimasukkan pada program pDRAW32 yang dikembangkan oleh AcaClone Software (http://www.acaclone.com). Masing-masing sekuen DNA kemudian dipotong menggunakan 18 enzim restriksi. Setelah dipotong kemudian ditampilkan dengan elektroforesis gel agarose 2 %.

3.3.3 Analisis Fragmen matK Data MiningMeliaceae

Data mining tidak dilakukan melalui prosedur kerja pada laboratorium. Data ini diambil dari database GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.g-ov/genbank/) untuk lima spesies yang sama pada region ITS2, ukuran sekuen yang digunakan berbeda pada kedua region, untuk eksplorasi marker pad mat-K digunakan sekuen DNA dengan pangjang ± 800 bp, secara terperinci dapat dilihat seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Spesies yang digunakan untuk region mat-K (GenBank 2012)

(28)

Sequence DNA

Runutan DNA dari data mining dirunutkan dengan menggunakan program perangkat lunak. Perangkat lunak yang digunakan adalah ClustalW2, software BioEdit, TreeViewX.

Analisis Fragmen matK secara in silico

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA

4.1.1 Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan perlu diatasi. Kualitas dan kuantitas hasil dari ekstraksi DNA tergantung dari spesies tanaman yang digunakan dan mempengaruhi analisis lanjut seperti pada proses PCR maupun pemotongan DNA dengan enzim restriksi.

Gambar 6 Pola band DNA A) K. anthotheca , B) S. macrophylla , C) S. mahagoni , D) A. indica , E) M. azedarach; 1) sumur DNA, 2) band DNA

Hasil ekstraksi DNA yang disajikan pada Gambar 6 ada beberapa band yang tidak muncul dan kurang jelas. Pola tersebut dapat disebabkan tidak adanya atau kurang mencukupinya DNA yang terisolasi untuk uji elektroforesis, selain itu kemungkinan masih adanya DNA di dalam tube karena campuran tidak homogen, jumlah ekstrak yang sedikit atau terbuang pada saat pencucian. Hal lain yang bisa terjadi adalah terkontaminasinya DNA atau memiliki tingkat kemurnian yang rendah.

Kondisi DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi sangat diupayakan agar dapat melakukan analisis genetika molekuler. Ekstraksi

A B C D E

(30)

DNA pada jaringan tanaman dengan kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh, untuk itu diberi perlakuan pengenceran DNA yang berbeda-beda, dilihat dari segi kualitasnya. Pengenceran ini bertujuan untuk memudahkan saat melakukan PCR primer dapat teramplifikasi pada band DNA dengan baik. Jika DNA terlalu banyak kotoran, maka hasil PCR tidak bagus karena primer tidak dapat teramplifikasi.

4.1.2 Analisis Hasil PCR

PCR merupakan salah satu teknik analisis DNA yang dapat digunakan untuk mempelajari proses evolusi tanaman (Elviana 2010). Kesesuaian dalam menggunakan primer sangat tergantung pada teramplifikasinya DNA dengan baik sehingga mengasilkan pola band yang bagus. Primer universal yang berhasil teramplifikasi untuk beberapa spesies dalam famili Meliaceae di antaranya terdiri dari S. macrophylla, S. mahagony, M. azedarach, A. indica, dan K. anthotheca adalah second internal transcribed spacer (ITS2). Menurut Chen (2010), region untuk ITS2 cukup pendek yakni ada pada selang 160-320bp. Panjang fragmen hasil amplifikasi primer ITS2 adalah 307 bp seperti yang disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR ITS2 (1,2,7,8: M. az; 3,4: S.mc; 5,6: S. mg; 9,10: A. in; 11,12: K. an)

Hasil dari amplifikasi secara umum tidak memperlihatkan band yang sangat jelas, ada beberapa band yang kurang jelas, sehingga menimbulkan keraguan saat menganalisis band. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya tingkat kemurnian DNA yang rendah, dan campuran bahan yang kurang tepat. Konsentrasi DNA sampel, ukuran panjang primer, komposisi

(31)

basa primer, konsentrasi ion Mg dan suhu hibridasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto 2003 dalam Elviana 2010).

4.2 Analisis Sekuen DNA

4.2.1 Analisis Runutan Nukleotida

Analisis sekuen DNA dilakukan pada lima individu dari famili Meliaceae. Hasil sekuen dari lima individu dialignment dengan menggunakan ClustalW2 EMBL-EBI kemudian nukleotida dirunutkan melalui program BioEdit dan program TreeView X untuk menampilkan Guide Tree. Hasil runutan nukleotida sepanjang 307 bp menunjukkan hasil alignment sepanjang 307 bp nukleotida paling banyak ditemukan adalah nukleotida T (31,28%), diikuti A (29,5%) dan G (19,7%) dan yang paling sedikit C (19,4%). Komposisi dari nukleotida yang terdapat pada masing-masing sekuen disajikan secara terperinci pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan komposisi nukleotida dari lima spesies

(32)

region mat-K sebab dipengaruhi oleh panjang bp yang dimiliki mat-K lebih besar

jika dibandingkan dengan region ITS2. Jika dibandingkan dengan persentase keragaman berdasarkan nukleotida pada spesies Shorea laevis dari famili Dipterocarpaceae pada region yang sama yaitu mat-K sepanjag 844 bp diperoleh

hasil untuk nukleotida T (35,2%), diikuti A (32,6%), G (17,8%) dan C (14,5%) (Elviana 2010) dapat dilihat komposisi nukleotidanya tidak memiliki selisih komposisi yang cukup jauh. Komposisi nukleotida dari manusia juga dapat dilihat yaitu nukleotida A (30,9%), nukleotida T (29,4%), nukleotida G (19,9%) dan nukleotida C (19,8%) dengan DNA normal dari spesies yang berbeda menunjukkan adanya keteraturan yaitu di antaranya komposisi basa dari DNA suatu organisme adalah tetap pada semua selnya dan mempunyai karakterisitik tertentu, selain itu jumlah adenin dengan timin selalu sama dalam DNA suatu organisme, hal yang sama juga terjadi pada jumlah guanin dan sitosin (OCW 2009). Perunutan DNA dari spesies yang digunakan secara terperinci disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Runutan nukleotida dari lima species(mc_4 : S. macrophylla, ma_I : M. azedarach, mg_32 : S. mahagoni, K3 : K. anthotheca, mb_3 : A. indica) yang di alignment dari EBL-EBI. Tanda bintang menunjukkan nukleotida yang sama

(33)

berbeda disebabkan oleh perbedaan genetik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Runutan hasil sekuen dari lima spesies bila dibandingkan dengan kombinasi data sekuen dari GenBank yaitu runutan DNA menggunakan primer mat-K dengan species yang sama dari famili Meliaceae diantaranya S. macrophylla

(Muellner et al. 2002), S. mahagoni (Clayton et al. 2007), K. anthotheca (Muellner et al.

2002), M. azedarach (Abbott et al. 2009), dan A. indica (Muellner et al. 2002), secara teperinci disajikan pada Lampiran 3.

4.2.2 Keragaman antar spesies

Keragaman situs restriksi secara In Silico

Hasil sekuen diberi perlakuan pemotongan fragmen dengan 18 spesies enzim melalui program pDRAW32. Hasil pemotongan kemudian diinterpretasikan pada pada 3% gel agarose, marker Promega 100 bp DNA ladder seperti yang disajikan pada Lampiran 1 berdasarkan wilayah ITS2 dan mat-K dapat dilihat pada Lampiran 2, dari analisis menggunakan primer ITS2 dan mat-K yang dipotong dengan 18 enzim secara in silico terjadi banyak pemotongan. Hasil pemotongan tersebut menunjukkan variasi DNA (polimorfisme) pada setiap spesies, pola pemotongan yang dihasilkan berbeda untuk masing-masing spesies. Setiap spesies dipotong oleh enzim yang berbeda dan memiliki enzim tertentu yang hanya memotong pada satu spesies, dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 7.

Tabel 7 Spesies enzim yang hanya memotong pada satu spesies berdasarkan dua region

Region Kode Spesies Enzim

mat-K M. az M. azedarach BamHI, BfaI, EcoRI, HaeIII, HinfI, MseI,

RsaI, SspI, TaqI

A. in A.indica BstUI, HpaII

S. mg S. mahagoni AluI, HindIII, HpaII, PstI S. mc S. macrophylla EcoRI, HpaII

K. an K. anthotheca HaeIII

(34)

berbeda, untuk spesies pada region ITS2 secara terperinci disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Dendrogram hasil in silico dari lima species berdasarkan ITS2 (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach)

Hasil dari Gambar 9 dapat dilihat S. macrophylla dan S. mahagoni berada dalam satu kelompok, kelompok tersebut bergabung dengan K. anthotheca, kelompok tersebut memiliki kerabat yang agak berjauhan dengan M. azedarach dan A. indica. Pada region mat-K menunjukkan ada dua kelompok yang terbesar bahwa kekerabatan antara K. anthotheca dan S. mahagoni memiliki kekerabatan yang dekat dan kelompok kedua antara S. macrophylla, A. indica, dan M. azedarach dan A. indica secara terperinci disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Dendrogram hasil enzim restriksi dari sekuen DNA GenBank, S. mg : S. mahagoni (Muellner et al. 2002); M. az : M. azedarach (Abbott et al. 2009); A. in : A. indica (Muellner et al. 2003); S. mc : S. macrophylla (Muellner et al. 2002); K. an : K. anthotheca (Muellner et al. 2002)

Hubungan kekerabatan antara beberapa individu dalam suatu famili dapat diukur dari kesamaan sifat dengan asumsi bahwa karakter yang berbeda disebabkan oleh perbedaan susunan genetik yang dibawa oleh masing-masing individu. Hasil yang berbeda pada dendrogram disebabkan DNA yang digunakan

(35)

berbeda dari segi primer, sehingga DNA yang dihasilkan juga berbeda, untuk ITS2 merupakan wilayah nukleus sedangkan mat-K merupakan wilayah cpDNA. Keragaman nukleotida

Salah satu pengelompokan dari kelima individu pada region ITS2 berdasarkan perbedaan runutan nukleotida melalui analisis dendrogram yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan jarak kekerabatan yang terdiri tiga klaster yaitu A. indica dan M. azedarach, disusul K. anthotheca dan S. mahagoni dan terakhir S. macrophylla.

Gambar 11 Dendrogram dari lima species berdasarkan ITS2 (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach)

Jika dibandingkan dengan daerah ITS berdasarkan hasil penelitian Muellner (2011), jarak genetiknya menunjukkan hasil yang sesuai dengan region ITS2. K. anthotheca dan S. macrophylla satu klaster serta A. indica dan M. azedarach

berada dalam satu klaster, seperti yang disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Dendrogram region ITS (Muellner 2011)

(36)

Dendrogram berdasarkan hasil runutan pada sekuen mat-K menunjukkan tiga klaster. Klaster M. azedarach dan A. indica berdekatan dengan K. anthotheca kemudian klaster tersebut berdekatan dengan S. macrophylla disusul dengan S. mahagoni, seperti yang disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Dendrogram berdasarkan sekuens matK dari lima species (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach) (GenBank2012)

Jika dibandingkan dengan region mat-K pada hasil penelitian Muellner (2003) menunjukkan M. azedarach masih satu klaster dengan A. indica, begitu juga untuk Khaya dan Swietenia sp. Region ini pada klaster Khaya dan Swietenia sp. dikombinasikan dengan Carapa guianensis sehingga terdapat tiga spesies dalam satu klaster, dapat dilihat secara terperinci pada Gambar 14.

Gambar 14 Jarak genetik berdasarkan region mat-K (Muellner 2003)

A.in

M.az

K.an

S.mc

S.mg

0.0 0.1

(37)

Hasil analisis jarak genetik menunjukkan bahwa untuk region ITS2 memiliki jarak genetik yang relatif tinggi dibandingkan region mat-K yakni antara 0,1067-0,5887. Spesies dengan jarak genetik yang kecil, yaitu spesies yang secara genetik sama, bersatu pertama kali (Finkeldey 2005). Jika jarak genetik yang dihasilkan relatif tinggi disebabkan objek penelitian yang digunakan adalah antar spesies dalam satu famili, namun sebetulnya sudah mendekati kekerabatan yang dekat.

Keragaman substitusi nukleotida

Estimasi diferensiasi antara spesies disajikan pada Tabel 8 untuk region ITS2 dengan nilai yang berada pada kanan atas diagonal. Pada wilayah ini perbedaan yang besar terdapat antara spesies S. macrophylla dengan M. azedarach yaitu sebesar 0,532, sedangkan perbedaan yang terkecil terdapat di

antara M. azedarach dan A. indica sebesar 0,095. Estimasi perbedaan antara spesies di region mat-K disajikan pada tabel yang sama dengan nilai yang berada di kiri bawah diagonal. Perbedaan yang paling besar berada pada spesies Swietenia sp. sebesar 0,808 sedangkan perbedaan yang terkecil terdapat di antara

spesies M. azedarach dan A. indica yaitu sebesar 0,040.

Tabel 8 Rata-rata substitusi nukleotida per sites antar spesies pada wilayah ITS2 (kanan atas diagonal) dan mat-K (kiri bawah diagonal)

Spesies A. in K. an M. az S. mc S. mg

A. in 0,000 0,404 0,095 0,515 0,516

K. an 0,065 0,000 0,043 0,212 0,167

M. az 0,040 0,063 0,000 0,532 0,520

S. mc 0,067 0,006 0,064 0,000 0,247

S. mg 0,760 0,804 0,753 0,808 0,000

Hasil dari Tabel 8. untuk melihat kekerabatan antara M. azedarach dan A. indica bisa menggunakan ITS2 dan mat-K. Pada Swietenia sp. dan Khaya sp. diperlukan primer yang lebih spesifik untuk melihat kekerabatannya. Klasterisasi spesies secara ringkas disajikan pada Tabel 9.

(38)

Tabel 9 Klaster spesies berdasarkan ITS2 dan mat-K

Klaster ITS2 Mat-K

1 M. azedarach dan A. indica A. indica dan M. Azedarach

2 S. mahagoni dan K. anthotheca K. anthotheca dan (A. indica dan M. azedarach)

(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: i) aplikasi enzim restriksi dapat mendeteksi adanya keragaman untuk semua spesies pada sebagian dari dua wilayah gen. ii) berdasarkan variasi nukleotida, keragaman antar spesies dengan memiliki klaster yang sama yakni antara M. azedarach dan A. indica. Pada kedua wilayah DNA, terdapat tiga kelompok kekerabatan famili Meliaceae. Perbedaan yang terkecil berdasarkan komposisi nukleotida terdapat di antara spesies M. azedarach dan A. indica yaitu sebesar 0,040.

5.2 Saran

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed S, Idris S. 1997. Melia azedarach L. (Meliaceae) auxiliary plants, plants resources of South-East Asia. Prosea 11:187-190.

[BTP] Balai Teknologi Perbenihan. 1986. Petunjuk Teknis Penangan dan Pengujian Mutu Benih mahoni. Bogor (ID): BTP.

Burhaman. 2004. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid 2. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Chen S, Yao H, Han J, Liu C, Song J, Sji L, Zhu Y, Ma X, Gao T, Pang X et al. 2010. Validation of the ITS2 region as a novel DNA barcode for identifying medicinal plant species. Plos One 5(1):1-8.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Mindi (Melia azedarach L.). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Elviana 2010. Keragaman genetik kloroplas (cpDNA) bangkirai (Shorea laevis Ridl.) di Kalimantan berdasarkan penanda PCR-RFLP dan sekuens sebagian wilayah trnl-f [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Goettingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-University-Goettingen. Terjemahan dari: An Introduction to Tropical Forest Genetics.

Hall T. 2007. Populations genetics, alignment tools [terhubung berkala] http://www.mbio.ncsu.edu/Bio_Edit/bio_edit. html [25 April 2012].

Koch MA, Calonje M, Gong W .2008. Non-coding nuclear DNA markers in phylogenetics reconstruction. Plant Syst Evol. 282:257-280.

Mahfira UO. 2010. Variasi kloroplas Shorea laevis Ridl. di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Muellner AN, Samuel R, Johnson SA, Cheek M, Pennington TD. 2003. Molecular phylogenetics of Meliaceae (Sapindales) based on nuclear and plastid DNA sequences. American Journal of Botany 90(3):471-480.

Muellner AN, Schaefer H, Lahaye R. 2011. DNA barcoding-evaluation of candidate DNA barcoding loci for economically important timber species of the mahogany family (Meliaceae). Molecular Ecology Resources 11:450-460.

(41)

OCW. 2009. Asam nukleat (nucleic acid) [terhubung berkala] http://.ocw.usu.ac.id/.../bbc115_slide_asam_nukleat_atau_nucleic_acid.pdf [10 Okt 2012].

Putri KP, Yulianti B. 2003. Info Benih Pemilihan Spesies Eksotik Sebagai Alternatif. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Rice G. 2009. Polymerase chain reaction (PCR) [terhubung berkala] Sciences and Forest Ecology Georg-August University of Gottingen.

Suryanto D. 2001. Selection and characterization of bacterial isolates for monocyclic aromatic degradation [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Djamhuri E. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor: Departemen Manajemen Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Whitmore TC, Tantra IGM. Tree Flora of Indonesia. Bogor (ID): Sumatra check list. FRDC.

Wicke S, Quandt D. 2009. Universal primers for the amplification of the plastid trnK/matK region in land plants. Anales Jard Bot Madrid 66(2):285-288.

(42)
(43)

Lampiran 1 Elektroferogram enzim restriksi secara in silico pada ITS2. Ploting hasil analisis in silico menggunakan 18 enzim restiksi (HindIII, HinfI, PstI, AluI, BamHI, BfaI, BstUI, DraI, EcoRI, HaeIII, HhaI, HpaI, HpaII, KpnI, Sau3AI, MseI, RsaI, SspI, TaqI) terhadap 5 sekuen DNA yang berbeda spesies pada 3% gelagarose, marker Promega 100bp DNA step ladder

S. macrophylla ;294 bp

M. azedarach :307 bp

S. mahagoni ;302 bp

b a

(44)

Lanjutan Lampiran 1

A. indica ;307 bp

K. anthotheca ; 305 bp

d

(45)

Lampiran 2 Elektroferogram enzim restriksi secara In Silico pada mat-K Ploting hasil analisis in silico menggunakan 18 enzim restiksi (HindIII, HinfI, PstI, AluI, BamHI, BfaI, BstUI, DraI, EcoRI, HaeIII, HhaI, HpaI, HpaII, KpnI, Sau3AI, MseI, RsaI, SspI, TaqI) terhadap 5 sekuen DNA yang berbeda spesies pada 3% gel agarose, marker Promega 100bp DNA step ladder

S. mahagoni (Clayton et al. 2007); 918 bp

M. azedarach (Abbott et al. 2009); 827bp

A. indica (Muellner et al. 2002b) ;863 bp

1

2

(46)

Lanjutan Lampiran 2

S. macrophylla (Muellner et al. 2002); 857 bp

K. anthotheca (Muellner et al. 2002); 857 bp

4

(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meliaceae merupakan suku yang secara umum terdiri dari pohon pada

(53)

dianggap paling baik untuk melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini berkembang setelah diciptakannya mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu genom organisme. Kekerabatan dan keragaman genetik dari spesies yang digunakan dapat dilihat melalui hasil sekuen yang diperoleh.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menduga variasi dan diferensiasi genetik antar spesies (interspecific variation) lima spesies pohon anggota Meliaceae yaitu S. macrophylla, S. mahagoni, M. azedarach, A. indica, dan K. anthotheca.

1.3Manfaat Penelitian

(54)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Spesies

Azadirachta indica memiliki nama lokal mimba atau nimbi. Tanaman

mimba dapat beradaptasi di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman mimba dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah dengan ketinggian sekitar 800 m dpl. Di Indonesia, tanaman mimba banyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada umumnya, tanaman mimba ditanam sebagai tanaman peneduh jalan (Rukmana dan Oesman 2002).

Melia azedarach memiliki nama lokal mindi atau mindi berbuah kecil. Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian sampai dengan 1200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum Himalaya pada

ketinggian 1800−2200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5oC, suhu maksimum 39oC, dengan curah hujan rata-rata per tahun 600−2000 mm (Ahmed dan Idris 1997 dalam Dephut 2001). Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia (Mabberley 1984 dalam Dephut 2001). Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Whitmore dan Tantra 1986).

Swietenia mahagoni memiliki nama lokal mahoni daun kecil. Spesies ini

secara alami dijumpai pada iklim dengan curah hujan tahunan 580−800 mm.

Hasil pertanamannya lebih rendah dibandingkan dengan S. macrophylla tetapi pada tapak yang kering tumbuh sangat baik dan kualitas kayunyapun lebih baik. Secara komersial spesies ini tidak berarti apabila tersedia dalam skala kecil. Akan berpotensi bila ditanam dalam skala besar, khususnya di daerah kering, terutama untuk memperoleh kayu berkualitas tinggi. Spesies ini juga digunakan pada agroforestry untuk meningkatkan kualitas tanah dan tanaman hias (Dephut 2001).

Swietenia macrophylla memiliki nama lokal mahoni daun lebar. Tanaman

ini tumbuh pada ketinggian 0-1.500 m dpl, suhu tahunan 11−36oC dan curah

hujan tahunan 1.524−5.085 mm (BPT 1986). Tanaman ini mempunyai peranan

(55)

prioritas untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri dan reboisasi hutan produksi.

Khaya anthotheca memiliki nama lokal khaya. Penyebaran alami di daerah

Afrika tropis, di daerah tersebut spesies ini merupakan spesies kayu perdagangan utama, dengan nama perdagangan internasional mahoni Afrika dan di Indonesia mempunyai nama perdagangan mahoni Uganda (Burhaman 2004). Kayu spesies ini mudah dikerjakan, mudah dikupas tanpa direbus terlebih dahulu serta perekatannya baik dan secara umum memenuhi persyaratan. Kayunya dapat dipergunakan untuk keperluan bahan baku kayu lapis, bahan baku pembalutan mebel dan perkakas rumah tangga lainnya (Burhaman 2004).

2.2 Keragaman Genetik Tanaman Hutan

Keragaman genetik adalah suatu tingkatan biodiversitas yang merujuk pada jumlah total karakteristik genetik dalam genetika keseluruhan spesies. Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat dievaluasi pada dua tingkatan, yaitu keragaman dalam spesies (intra-species) dan keragaman antar spesies (inter-species) (Finkeldey 2005).

Secara umum ada dua sebab utama yang menyebabkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan (enviromental variation) dan perbedaan susunan genetik yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya (genetic variation). Adanya keragaman dalam suatu spesies perlu diketahui terlebih dahulu sebelum memulai pemuliaan pohon, karena adanya keragaman genetik merupakan prasyarat mutlak dalam pemuliaan, yaitu memungkinkan seleksi dan untuk mencegah dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu (Soerianegara dan Djamhuri 1979). 2.3 PCR (polymerase chain reactions)

Tahapan dalam proses PCR meliputi denaturasi pada suhu tinggi, penempelan DNA pada cetakan (tahap annealing), serta pemanjangan primer dengan melakukan reaksi polimerisasi nukleotida untuk membentuk rantai DNA baru (tahap extention) (Saiki et al. 1998 dalam Mahfira 2010). Tahapan dari PCR adalah sebagai berikut:

(1) Tahap peleburan atau denaturasi

(56)

denaturasi, dua rantai DNA akan terpisah dan masing-masing rantai DNA akan digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. DNA yang memiliki struktur kompleks dapat didenaturasi pada suhu 100oC selama beberapa menit namun kemampuan aktivitas enzim Taq DNA polymerase menjadi turun.

(2) Tahap penempelan atau annealing

Penempelan primer pada DNA cetakan disebut annealing. Besarnya suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G dan C dalam primer serta

konsentrasi garam dalam buffer.

(3) Tahap pemanjangan atau extention

Reaksi polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq DNA polymerase (extention)

dimulai dari ujung 5’α-fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidoksil (H). Suhu extention yang digunakan berkisar antara 70-74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq DNA polymerase bekerja optimum. Lamanya tahap extention

1−2 menit. Waktu extention yang terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Saiki et al. 1998). Secara terperinci tahapan PCR disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi siklus PCR, (1) denaturasi, (2) annealing, (3) extention, (4) siklus ke-1 selesai (Rice 2009)

2.4 Sequencing DNA

Sequencing DNA adalah proses penentuan urutan dari basa A, T, G, dan C

(57)

menghasilkan serangkaian fragmen yang panjangnya berbeda satu sama lain oleh satu basa. Fragmen kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran dan basis di akhir diidentifikasi menciptakan urutan asli DNA (Twyman 2003 dalam Elviana 2010).

Aplikasi utama dari sequencing DNA dalam studi sistematik adalah: i) evolusi gen, termasuk studi dari proses yang menghasilkan level variasi sequence (urutan basa), studi asal-muasal alel baru atu lokus baru, serta investigasi pemusatan (convergence) dan seleksi, ii) studi intraspesifik populasi, termasuk pelacakan organisme dan genealogi alel dalam spesies dan variasi geografik, aliran gen (gen flow), hibridasi, serta konservasi genetika, dan iii) studi interspesifik populasi, seperti rekonstruksi filogenetik untuk mengevaluasi pola dan proses evolusi makro (Hillis et al. 1996b dalam Elviana 2010).

2.5 Second Internal Transcribed Spacer (ITS2)

Daerah pada ITS2 dipilih untuk kandidat DNA barcode karena sekuen dari ITS2 berpotensi untuk penanda filogenetik dan secara luas digunakan untuk rekonstruksi filogenetik pada kedua genus dan pada tingkat spesies (Chen 2010). Secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa posisi ITS2 termasuk dari kandidat untuk barcoding namun masih dalam proses penelitian.

Gambar 2 Gen dari tiga genom pada tanaman sebagai kandidat untuk barcoding (Chen 2010)

(58)

pada keturunan biparental memiliki tingkat penggandaan yang tinggi daripada keturunan dari induk betina (Muir et al. 2001 dalam Koch et al. 2008).

ITS terus menjadi daerah yang lazim digunakan untuk rekonstruksi filogenetik, angka publikasi sekuen ITS meningkat tiga kali lipat semenjak tahun 2003 (Koch et al. 2008) daerah ITS terdiri dari ITS1 dan ITS2 yang terletak di antara ekson 5.8S dan ujung ITS1 dibatasi oleh ekson 18S, sedangkan ujung ITS2 dibatasi oleh ekson 26S, daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki tingkat conserved yang tinggi (Koch et al. 2008)

Tingkat penggandaan yang tinggi merupakan sebuah alasan bagi aplikasi ITS yang luas dalam sistem molekular (Rogers dan Bendich 1987 dalam Koch et al. 2008). Seleksi dari daerah kandidat barcoding pada daerah conserved dapat

diselesaikan melalui wilayah ITS. Jika dibandingkan dengan gen 5.8S, ITS1 dan ITS2 lebih tersedia pada sekuen utama. Selain itu ITS2 lebih conserved daripada ITS1 dan dapat memenuhi untuk perunutan pada tingkat genus (Hershkovitz dan Lewis 1996 dalam Koch et al. 2008). Daerah ITS secara terperinci disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram daerah internal transcribed spacer (Koch 2008)

2.6 Maturase-K (mat-K)

Mat-K dapat mengamplifikasi gen pada DNA kloroplas (cpDNA). Gen

(59)

Gambar 4 Wilayah MaturaseK (mat-K) (Wicke 2009)

Wilayah coding mat-K menunjukkan hasil yang sangat bagus dilihat dari pembagian yang hampir sama pada substitusi nukleotida di posisi kodon satu, kedua dan ketiga. Dengan demikian, gen mat-K menyusun lebih cepat secara kontras di gen plastid lainnya, walaupun turunan dasar dan fungsi yang terbatas (Hilu dan Liang 1997 dalam Wicke dan Quandt 2009).

(60)

BAB III

BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis Genetik, Bagian Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sequencing DNA, contoh dikirim ke PT. Genetika Science di Singapura (http://base-asia.com)

.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Koleksi Contoh Uji Daun

Contoh daun terdiri dari S.macrophylla, S.mahagoni, A. indica, M. azedarach, dan M. excelsa yang digunakan untuk analisis PCR dan sequencing DNA. Contoh daun berasal dari tiga lokasi yaitu sekitar kampus Fakultas Kehutanan IPB (S.macrophylla, S.mahagoni, K. anthotheca, dan M. azedarach), dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor (A. indica).

3.2.2 Analisis Genetik

Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetik dengan penanda PCR terbagi dalam beberapa tahap pekerjaan, yaitu tahapan ekstraksi DNA, uji kualitas DNA, visualisasi DNA serta analisis data. Alat dan bahan yang digunakan pada teknik PCR disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik

Analisis Tahapan Kerja

Ekstraksi Uji kualitas DNA PCR

PCR 1x, DNA ekstraksi, Blue juice

(61)

3.3 Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik PCR. Secara umum prosedur penelitian teknik PCR disajikan pada Gambar 5. Tahap penelitian terdiri dari tiga tahap analisis yaitu analisis sekuen ITS2, analisis fragmen ITS2 dan analisis fragmen mat-K secara in silico.

3.3.1 Analisis Sekuen ITS2 Ekstraksi DNA

Kegiatan ekstraksi dan isolasi DNA dari daun dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide) yang dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Contoh daun (2x2 cm2) digerus di dalam pestel bersih, lalu dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL dan

ditambahkan 500−700 larutan penyangga ekstrak dan 100 µL PVP 2%. Hasil

gerusan kemudian dikocok dengan vortex agar menjadi homogen, selanjutnya diinkubasi dalam waterbath selama 60 menit pada suhu 650C. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µL dan fenol 10 µL, lalu dikocok sampai homogen. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan fase air dan fase bahan organik (supernatan) pada kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit.

(62)

Sampel daun

DNA hasil ekstraksi kemudian uji kualitas dengan menggunakan teknik elektroforesis agarose 1% (w/v). Gel ini dibuat dengan melarutkan agarose sebanyak 0,33 g ke dalam 33 µL larutan TAE (tris HCl-acetic acid-EDTA). Kemudian campuran dipanaskan di dalam microwave sampai mendidih. Larutan gel kemudian dituangkan ke dalam cetakan gel. Cetakan gel tersebut telah dipasang sisir/comb yang berfungsi untuk membuat sumur gel. Setelah gel membeku, sisir dicabut dan gel beserta cetakannya diletakkan di dalam bak elektroforesis yang telah berisi larutan penyangga TAE. DNA hasil ekstraksi diambil sebanyak 3 µL dan ditambah 2 µL blue juice 10X, selanjutnya dilakukan proses elektroforesis dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 V selama 1 jam.

(63)

µL EtBr dan 190 mL aquades selama 15 menit. Kemudian profil DNA hasil ekstraksi dideteksi dengan menggunakan UV transilluminator.

Proses Amplifikasi DNA dengan Teknik PCR (polymerase chain reaction) DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan menggunakan primer ITS2. Menurut Marder (2001), primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai replikasi tanpa terjadi penempelan primer terlebih dahulu terhadap DNA target. Adapun urutan nukleotida dari primer tersebut terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA

Gen Posisi gen Sekuen primer (5'-3') PCR terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk PCR

No Komponen Volume (µL)

Proses PCR dilakukan melalui tiga tahapan yaitu denaturation, annealing, dan extention. Pada proses ini suhu yang dipakai berbeda-beda tergantung pada teknik, bahan kimia dan primer yang digunakan. Pengaturan suhu untuk PCR terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tahapan-tahapan dalam proses PCR

Tahapan Suhu (°C) Waktu (menit) Jumlah Siklus

Pre-denaturation 95 3

-Denaturation 95 1

-Annealing 48 1 36

Extention 72 1 1

(64)

-Hasil PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis gel agarose 2% (w/v) dalam larutan buffer TAE 1x. Setelah running selesai dilakukan distaining dalam larutan Ethidium Bromide (EtBr).

Sequencing DNA

Proses sequencing dilakukan setelah DNA hasil amplifikasi diukur kualitasnya dengan cara dielektroforesis pada gel agarose 2%. DNA hasil amplifikasi tersebut kemudian dikirim ke PT. Genetika Science Indonesia di Singapura bersama primer yang telah digunakan dalam proses amplifikasi. Kemudian dianalisis dengan program ClustalW2 EMBL-EBI (http://ebi.ac.uk/Tools/msa/clustal-w2), software BioEdit dan TreeViewX (Hall 2007) serta analisis keanekaragaman menggunakan software DNAsp versi 3.5 (Rozas dan Rozas 1999) digunakan untuk mencari nilai keragaman nukleotida. 3.3.2 Analisis Fragmen ITS2 secara In Silico

Sekuen DNA dimasukkan pada program pDRAW32 yang dikembangkan oleh AcaClone Software (http://www.acaclone.com). Masing-masing sekuen DNA kemudian dipotong menggunakan 18 enzim restriksi. Setelah dipotong kemudian ditampilkan dengan elektroforesis gel agarose 2 %.

3.3.3 Analisis Fragmen matK Data MiningMeliaceae

Data mining tidak dilakukan melalui prosedur kerja pada laboratorium. Data ini diambil dari database GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.g-ov/genbank/) untuk lima spesies yang sama pada region ITS2, ukuran sekuen yang digunakan berbeda pada kedua region, untuk eksplorasi marker pad mat-K digunakan sekuen DNA dengan pangjang ± 800 bp, secara terperinci dapat dilihat seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Spesies yang digunakan untuk region mat-K (GenBank 2012)

(65)

Sequence DNA

Runutan DNA dari data mining dirunutkan dengan menggunakan program perangkat lunak. Perangkat lunak yang digunakan adalah ClustalW2, software BioEdit, TreeViewX.

Analisis Fragmen matK secara in silico

(66)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA

4.1.1 Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan perlu diatasi. Kualitas dan kuantitas hasil dari ekstraksi DNA tergantung dari spesies tanaman yang digunakan dan mempengaruhi analisis lanjut seperti pada proses PCR maupun pemotongan DNA dengan enzim restriksi.

Gambar 6 Pola band DNA A) K. anthotheca , B) S. macrophylla , C) S. mahagoni , D) A. indica , E) M. azedarach; 1) sumur DNA, 2) band DNA

Hasil ekstraksi DNA yang disajikan pada Gambar 6 ada beberapa band yang tidak muncul dan kurang jelas. Pola tersebut dapat disebabkan tidak adanya atau kurang mencukupinya DNA yang terisolasi untuk uji elektroforesis, selain itu kemungkinan masih adanya DNA di dalam tube karena campuran tidak homogen, jumlah ekstrak yang sedikit atau terbuang pada saat pencucian. Hal lain yang bisa terjadi adalah terkontaminasinya DNA atau memiliki tingkat kemurnian yang rendah.

Kondisi DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi sangat diupayakan agar dapat melakukan analisis genetika molekuler. Ekstraksi

A B C D E

(67)

DNA pada jaringan tanaman dengan kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh, untuk itu diberi perlakuan pengenceran DNA yang berbeda-beda, dilihat dari segi kualitasnya. Pengenceran ini bertujuan untuk memudahkan saat melakukan PCR primer dapat teramplifikasi pada band DNA dengan baik. Jika DNA terlalu banyak kotoran, maka hasil PCR tidak bagus karena primer tidak dapat teramplifikasi.

4.1.2 Analisis Hasil PCR

PCR merupakan salah satu teknik analisis DNA yang dapat digunakan untuk mempelajari proses evolusi tanaman (Elviana 2010). Kesesuaian dalam menggunakan primer sangat tergantung pada teramplifikasinya DNA dengan baik sehingga mengasilkan pola band yang bagus. Primer universal yang berhasil teramplifikasi untuk beberapa spesies dalam famili Meliaceae di antaranya terdiri dari S. macrophylla, S. mahagony, M. azedarach, A. indica, dan K. anthotheca adalah second internal transcribed spacer (ITS2). Menurut Chen (2010), region untuk ITS2 cukup pendek yakni ada pada selang 160-320bp. Panjang fragmen hasil amplifikasi primer ITS2 adalah 307 bp seperti yang disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR ITS2 (1,2,7,8: M. az; 3,4: S.mc; 5,6: S. mg; 9,10: A. in; 11,12: K. an)

Hasil dari amplifikasi secara umum tidak memperlihatkan band yang sangat jelas, ada beberapa band yang kurang jelas, sehingga menimbulkan keraguan saat menganalisis band. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya tingkat kemurnian DNA yang rendah, dan campuran bahan yang kurang tepat. Konsentrasi DNA sampel, ukuran panjang primer, komposisi

(68)

basa primer, konsentrasi ion Mg dan suhu hibridasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto 2003 dalam Elviana 2010).

4.2 Analisis Sekuen DNA

4.2.1 Analisis Runutan Nukleotida

Analisis sekuen DNA dilakukan pada lima individu dari famili Meliaceae. Hasil sekuen dari lima individu dialignment dengan menggunakan ClustalW2 EMBL-EBI kemudian nukleotida dirunutkan melalui program BioEdit dan program TreeView X untuk menampilkan Guide Tree. Hasil runutan nukleotida sepanjang 307 bp menunjukkan hasil alignment sepanjang 307 bp nukleotida paling banyak ditemukan adalah nukleotida T (31,28%), diikuti A (29,5%) dan G (19,7%) dan yang paling sedikit C (19,4%). Komposisi dari nukleotida yang terdapat pada masing-masing sekuen disajikan secara terperinci pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan komposisi nukleotida dari lima spesies

(69)

region mat-K sebab dipengaruhi oleh panjang bp yang dimiliki mat-K lebih besar

jika dibandingkan dengan region ITS2. Jika dibandingkan dengan persentase keragaman berdasarkan nukleotida pada spesies Shorea laevis dari famili Dipterocarpaceae pada region yang sama yaitu mat-K sepanjag 844 bp diperoleh

hasil untuk nukleotida T (35,2%), diikuti A (32,6%), G (17,8%) dan C (14,5%) (Elviana 2010) dapat dilihat komposisi nukleotidanya tidak memiliki selisih komposisi yang cukup jauh. Komposisi nukleotida dari manusia juga dapat dilihat yaitu nukleotida A (30,9%), nukleotida T (29,4%), nukleotida G (19,9%) dan nukleotida C (19,8%) dengan DNA normal dari spesies yang berbeda menunjukkan adanya keteraturan yaitu di antaranya komposisi basa dari DNA suatu organisme adalah tetap pada semua selnya dan mempunyai karakterisitik tertentu, selain itu jumlah adenin dengan timin selalu sama dalam DNA suatu organisme, hal yang sama juga terjadi pada jumlah guanin dan sitosin (OCW 2009). Perunutan DNA dari spesies yang digunakan secara terperinci disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Runutan nukleotida dari lima species(mc_4 : S. macrophylla, ma_I : M. azedarach, mg_32 : S. mahagoni, K3 : K. anthotheca, mb_3 : A. indica) yang di alignment dari EBL-EBI. Tanda bintang menunjukkan nukleotida yang sama

Gambar

Gambar 1    Ilustrasi siklus PCR, (1)  denaturasi, (2) annealing, (3) extention, (4) siklus ke-1
Gambar 4  Wilayah MaturaseK (mat-K) (Wicke 2009)
Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik
Gambar 5  Bagan alur penelitian di laboratorium (S. mc = S. macrophylla; S. mg = S.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu pohon soni ( Dillenia serrata ) yang merupakan salah satu jenis tumbuhan endemik di Sulawesi ini juga perlu mendapat perhatian, karena banyak manfaatnya baik

Pendidikan termasuk pendidikan kejuruan (SMK) memiliki peran strategis dalam perkembangan suatu bangsa. Perkembangan pendidikan kejuruan harus sesuai dengan

Figur Ahok juga erat dikaitkan sebagai sumber masalah dalam berita berjudul “SBP: Masalah Bukan Ahok Semata, Tapi Soal Cina Yang Jajah Indonesia!” yang berisi pernyataan aktivis

Adapun kriteria eksklusi: mahasiswa yang sedang terkena sanksi akademik (cuti, administrasi) pada saat penelitian dilakukan, mahasiswa yang tidak mengikuti proses

karya jurnalistik tentang Kegiatan Konservasi Alam & Pariwisata Alam  Partisipasi dalam diskusi  Kemampuan menjelaskan tahapan dan cara peliputan Kegiatan

Berkenaan dengan doa-doa di dalam Al Quran, Hadhrat Masih Mau’ud as telah membimbing kita dan hal penting yang perlu kita perhatikan adalah bahwa doa-doa yang diajarkan kepada

Jepang dengan desain yang merefleksikan gays.. Ruang-ruang konferensi yang lain layoutnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Sebuah area pameran di lantai empat

2-Aug PT Taspen Jakarta 53 53 2-Sep AKBID 40 40. PT Biofarma 1 7-Sep PT Krakatau Steel