• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Heterosis dan Variasi Genotipik Hibrida Padi di Tiga Lingkungan dengan Sifat Biofisik Tanah Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ekspresi Heterosis dan Variasi Genotipik Hibrida Padi di Tiga Lingkungan dengan Sifat Biofisik Tanah Berbeda"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Ekspresi Heterosis dan Variasi Genotipik Hibrida Padi

di Tiga Lingkungan dengan Sifat Biofisik Tanah Berbeda

Mohamad Yamin S. dan Satoto Balai Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi Subang, Jawa Barat

(Spraque 1985). Hal ini dimungkinkan karena sifat dominan tanaman muncul jika dua atau lebih galur murni disilangkan. Tingkat heterosis sangat menentu-kan keberhasilan perakitan varietas hibrida pada tanaman yang menyerbuk sendiri maupun menyerbuk silang (Fehr 1987).

Teknologi yang memanfaatkan gejala heterosis mampu meningkatkan potensi hasil padi sebesar 15-20%. Heterosis pada padi dilaporkan pertama kali oleh Jones (dalam Virmani et al. 1982). Saat itu dilaporkan bahwa komponen yang dapat mengalami heterosis adalah jumlah anakan dan hasil. Selanjutnya Davis dan Rutger (1976) dan Virmani et al. (1981) menyatakan adanya gejala heterosis pada berbagai karakter agronomis. Pada kondisi lingkungan yang cocok, heterosis dapat meningkatkan hasil padi 20-30% (Kim and Rutger 1988, Yuan and Virmani 1988).

Di Cina, pemanfaatan gejala heterosis pada padi hibrida yang dirakit berdasarkan sistem pemulihan kesuburan pada genotipe mandul jantan sitoplasmik memberikan hasil yang baik dan telah berkembang pesat (Lin and Yuan 1980). Hal ini terbukti dengan makin meluasnya penanaman padi hibrida. Pada awal pengembangan tahun 1976, luas areal tanam padi hibrida di Cina hanya 0,5 ha, kemudian meningkat tajam menjadi 8,2 juta ha pada tahun 1984 (Yuan 1985). Pada tahun 2000 luas areal pertanaman padi hibrida di Cina mencapai lebih 50% dari total pertanaman padi seluas 32 juta ha.

Tampaknya ada dua faktor yang berperan dalam peningkatan produksi padi nasional Cina, yaitu genotipe dan lingkungan. Produksi tanaman merupakan kinerja interaksi antara gen dan lingkungan. Bila hasil tinggi yang diinginkan, maka kemampuan gen (hibrida) harus prima dan kondisi lingkungan harus mendukung (Soepardi 2002).

Kemampuan gen tanaman tidak terbatas. Ke-mampuan varietas atau hibrida yang memanfaatkan gejala heterosis adalah kemampuan tanaman ber-ekspresi dalam keadaan lingkungan baku. Jika faktor lingkungan dapat dimanipulasi, ekspresi gen pada lingkungan tersebut meningkat. Oleh karena itu perlu dicari faktor lingkungan yang harus dimanipulasi agar ABSTRACT. Expression of Heterosis and Genotypic Variation

in Hybrid Rices on Three Environments with Different Soil Biophysics. During the dry season of 2003, 14 hybrid rices were grown in three locations, i.e, Pusakanegara Research Stations, Kuningan Research Station, and Tegalgondo Seed Institute, to determine the presence of heterosis and genotypic variations. The experiment was done in randomized complete block design with three replications using IR64 as the check variety. Heterosis values of F1 were computed based on the commercial cultivar (standard heterosis). Results of the trial indicated that heterosis expression on the hybrid rices were highly affected by the environment factors. The heterosis values of yield, number of filled grain per panicle, and 1000 grain weight indicated the presence of a positive heterosis among the hybrids. A negative heterosis, however, was found on number of panicle per hill and number of unfilled grain per panicle. The heterosis values of hybrids H4 and H6 were the best among the other hybrids in the three trial sites, ranging from 18 to 40%. the higher yield of the hybrid rices were contributed to by the favorable biophysics environments, and the number of filled grain per panicle, which were relatively higher (20-60%) than the check variety IR64. In general, the broad sense heritability, the genotypic variance in all traits were low, therefore expression of the hybrid characters were more affected by the environment factors.

Keywords: Heterosis expression, rice hybrids, genotypic variation, biophysic environments.

ABSTRAK. Empatbelas hibrida harapan dan satu varietas padi inbrida (IR64) sebagai pembanding ditanam di tiga lokasi, yaitu Kebun Percobaan (KP) Pusakanegara, KP Kuningan, dan Balai Benih Induk Tegalgondo pada Musim Kemarau (MK) 2003. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi tingkat heterosis dan variasi genotipik n14 hibrida di tiga lingkungan tumbuh yang memiliki sifat biofisik tanah berbeda. Penelitian ditata dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Nilai heterosis F1 dihitung berdasarkan varietas po-puler, yang dalam penelitian ini digunakan IR64 sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemunculan heterosis hibrida sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Nilai heterosis positif untuk parameter hasil, jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir, tetapi negatif untuk jumlah malai per rumpun dan persentase gabah hampa. Hibrida H4 dan H6 memberikan nilai heterosis standar paling baik di tiga lokasi, dengan rata-rata 18-40%. Tingginya hasil yang dicapai hibrida selain ditentukan oleh faktor lingkungan biofisik yang mendukung, juga ditunjang oleh jumlah gabah isi per malai yang rata-rata 20-60% lebih tinggi dari varietas IR64. Sifat hasil dan komponen hasil mempunyai variasi genotipik yang relatif sempit dan nilai heritabilitas yang rendah, sehingga ekspresi karakter hibrida lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Kata kunci: Padi, hibrida, heterosis, variasi genotipik.

T

ampilnya sifat hibrida tanaman merupakan dampak dari pemanfaatan gejala heterosis atau hibrid vigor yang terekspresi akibat heterosigositi

(2)

gen dapat berekspresi optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ekspresi heterosis dan variasi genotipik pada karakter hasil dan komponen hasil hibrida padi di tiga lingkungan tumbuh yang berbeda.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada MK 2003 di tiga lokasi yang merupakan daerah pengembangan padi hibrida, yaitu Pusakanegara dan Kuningan mewakili daerah pe-ngembangan di Jawa Barat, sementara Tegalgondo mewakili daerah pengembangan di Jawa Tengah. Dalam penelitian ini digunakan tiga set hibrida harapan yang terdiri atas 14 hibrida dan varietas inbrida IR64 sebagai pembanding. Ke-14 hibrida tersebut adalah H4, H5, H6, H9, H13, H14, H17, H18, H19, H21, H22, H24, H36, dan Maro.

Benih hibrida yang digunakan adalah turunan F1 hasil persilangan antara tetua jantan dan tetua betina. Dua set hibrida masing-masing ditanam di Pusakanegara dan Kuningan Jawa Barat, dan satu set lagi ditanam di Balai Benih Induk Tegalgondo, Jawa Tengah.

Kondisi biofisik lokasi penelitian yang meliputi iklim, sifat fisik, dan kimia tanah dicantumkan pada Tabel 1.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Bibit ditanam pada umur 21 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, satu bibit per lubang. Ukuran petak percobaan adalah 2,5 m x 4 m. Tanaman dipupuk dengan urea, TSP dan KCl masing-masing dengan takaran 300, 100 dan 100 kg/ha. Penyiangan dilakukan dua kali, yaitu pada umur 21 dan 60 hari setelah tanam (HST). Insektisida diaplikasikan pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam, kemudian diulangi dengan frekuensi sesuai dengan perkembang-an dperkembang-an populasi hama di lapperkembang-ang.

Parameter yang diamati adalah hasil, komponen hasil yang terdiri atas jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir, jumlah gabah hampa per malai, dan nilai heterosis standar. Nilai heterosis standar yang digunakan dalam perhitungan didasarkan kepada kriteria yang dikemukakan oleh Mc. Whirter (1979), yaitu perbanding-an nilai rata-rata F1 dengperbanding-an nilai rata-rata kultivar komersial (KK) dengan rumus sebagai berikut: F1 - KK

Heterosis standar = x 100% KK

Variasi genotipik, fenotipik, dan heritabilitas dihitung berdasarkan formula Baehaki (1982) dengan

meng-gunakan komponen varians pada sidik ragam (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 ditentukan varians genetik (σ2

g)

dan varians fenotipik (σ 2

p) dari suatu karakter, yaitu:

σ 2 g : KTg – Kte/r σ 2 p : σ 2 g + σ 2 e

Heritabilitas dalam arti luas diduga melalui analisis varians (Allard 1966), yaitu:

H2 : σ 2

g / σ 2p

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa meskipun tipe iklim dan jenis tanah relatif sama pada semua lokasi pengujian, tetapi terdapat beberapa perbedaan kondisi biofisik antarlokasi. Tingkat kesuburan tanah di Tabel 1. Kondisi lingkungan biofisik masing-masing lokasi pengujian

padi hibrida.

Uraian Pusakanegara Kuningan Tegalgondo

Tipe iklim C1 C2 C2

Jenis tanah Aluvial Latosol Grumusol Rata-rata curah

hujan tahunan 5110 3870 4413

Kondisi fisik dan kimia tanah Tekstur: Liat (%) 67,61 57,00 52,00 Debu (%) 28,83 33,00 31,00 Pasir (%) 3,56 10,00 17,00 pH H2O (1:2:5) 4,81 5,90 6,10 pH KCl (1:2:5) 4,00 4,00 5,40 KTK (me/100 g) 18,23 22,78 26,71 K (me/100 g) 9,25 0,22 0,26 Na (me/100 g) 0,44 0,54 0,67 Ca (me/100 g) 10,92 4,82 5,71 Mg (me/100 g) 3,52 4,68 5,10 C-organik (%) 1,4 1,88 1,96 N-total (%) 0,11 0,17 0,21 P-(me/100 g) 8,35 18,00 20,01

Sumber: Lab. Tanah dan Tanaman, Balitpa Sukamandi.

Tabel 2. Analisis varians rancangan acak kelompok.

Sumber variasi Derajat Kuadrat Kuadrat tengah F hitung bebas tengah harapan

Ulangan r-1 KTr σ 2 e + gσ 2r KTr/KTg Genotipe g-1 KTg σ 2 e + rσ 2g KTg/KTe Galat (r-1) (g-1) KTe σ 2 e -Total rg-1 - -

(3)

-Kuningan dan Tegalgondo relatif lebih baik dibanding-kan dengan Pusadibanding-kanegara. Hal ini tercermin dari sifat kimia tanah kedua lokasi, seperti pH, KTK dan kandungan C-organik, N-total dan P-tersedia yang lebih tinggi. Kondisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi hibrida untuk berekspresi secara optimal atau dengan adanya perbedaan kondisi biofisik lingkungan pengujian diharapkan memberikan respon yang berbeda terhadap hibrida yang diuji.

Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi hibrida di ketiga lokasi pengujian relatif berbeda. Pada Tabel 3 terlihat perbedaan hasil antarhibrida dan varietas yang diuji, berkisar antara 5,92-7,52 t/ha. Jika dicermati penampilan hibrida di tiga kondisi biofisik yang berbeda terlihat bahwa ekspresi hibrida di Pusakanegara tidak sebaik di Kuningan dan Tegalgondo. Hasil tertinggi dicapai oleh hibrida H6 dengan rata-rata 6,90 t/ha dan hasil terendah diberikan oleh hibrida H14 dengan rata-rata 5,20 t/ha.

Di Kuningan dan Tegalgondo, hibrida H4 mampu memberikan hasil masing-masing 9,06 t dan 8,01 t/ha. Indikator ini menunjukkan bahwa faktor biofisik ling-kungan tumbuh memberikan kontribusi besar terhadap penampilan hibrida. Tampaknya tidak semua hibrida yang diuji memiliki stabilitas yang konsisten terhadap ekspresi heterosis. Pada Tabel 3 terlihat bahwa tidak semua hibrida yang diuji memberikan nilai heterosis hasil positif. Dari 14 hibrida yang diuji, hanya H14 yang mem-berikan nilai heterosis negatif di semua lokasi. Ini me-nunjukkan H14 tidak memunculkan penampilan yang baik meskipun pada kondisi lingkungan mendukung. Hal ini dapat dipahami bahwa H14 memiliki daun relatif sempit dan lebih pendek dari hibrida yang lain, sehingga fotosintesis tempat berlangsungnya proses source dan

sink tidak berjalan normal.

Semua hibrida yang diuji di Kuningan dan Tegal-gondo relatif lebih baik dibandingkan dengan Pusaka-negara. Hal ini terbukti dari hasil yang tinggi dengan nilai heterosis standar yang relatif tinggi, kecuali hibrida H14 (Tabel 3). Penelitian di IRRI pada MT 1980/81 menunjukkan tingkat heterosis standar rata-rata 34% (Virmani et al. 1982), sedangkan penelitian di Davis, California, menunjukkan kisaran heterosis standar 16-63% dengan rata-rata 41% (Rutger and Shinjo 1980).

Nilai heterosis standar adalah tolok ukur terpenting dalam perakitan varietas padi hibrida. Dalam pengujian ini varietas IR64 dijadikan sebagai standar perhitungan nilai heterosis. IR64 adalah varietas pembanding atau tetua yang berproduksi paling tinggi, di samping sebagai varietas yang populer di Indonesia hingga saat ini. Jika dilihat dari nilai heterosis standar untuk hasil, hibrida H4 menduduki tingkat teratas, kemudian disusul oleh H9

(Tabel 3).

Rata-rata heterosis semua hibrida untuk hasil di tiga lokasi berturut-turut adalah 12,9% di Pusakanegara, 22,1% di Kuningan, dan 22,1% di Tegalondo. Ternyata hibrida yang diuji di Kuningan dan Tegalgondo memberikan nilai hiterosis standar lebih dari 20%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kim dan Rutger (1988) serta Yuan dan Virmani (1988), yang melaporkan bahwa pada kondisi lingkungan yang cocok, heterosis hasil dapat mencapai 10-30%. Pada kondisi spesifik, heterosis hasil bahkan dapat mencapai di atas 100% (Singh 1988). Perbedaan nilai heterosis-heterosis tersebut kemungkin-an disebabkkemungkin-an oleh perbedakemungkin-an genotipe mkemungkin-andul jkemungkin-antkemungkin-an yang digunakan.

Keunggulan hasil padi hibrida tersebut terutama ditentukan oleh jumlah gabah isi per malai. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, bahwa keunggulan hasil hibrida ditentukan oleh jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir gabah (Suprihatno dan Satoto 1986, Kim and Rutger 1988). Jumlah gabah isi per malai ke-14 hibrida relatif lebih banyak dari varietas IR64 (Tabel 3). Meskipun jumlah gabah hampa ke-14 hibrida lebih banyak dari inbrida IR64, tetapi karena nilai heterosis negatif dapat diimbangi oleh nilai heterosis positif untuk jumlah gabah isi per malai, maka nilai heterosis hasil tetap positif.

Perbedaan karakteristik biofisik sifat kimia dan fisika tanah antarketiga lokasi pengujian berdampak terhadap kemampuan ekspresi hibrida yang diuji. Pusakanegara dengan sifat kimia tanah yang dicerminkan oleh pH rendah, kandungan C-organik, N-total, P-tersedia dan KTK yang rendah tidak mampu mendukung hibrida untuk berekspresi secara optimal. Hal ini terbukti dari ke-14 hibrida yang diuji memberikan hasil, komponen hasil, dan nilai heterosis yang lebih rendah dibandingkan dengan hibrida di Kuningan dan Tegalgondo. Interaksi ini membuktikan adanya korelasi positif antara kemampuan gen untuk berekspresi dengan faktor lingkungan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soepardi (2002) yang menyatakan bahwa hasil tanaman adalah ekspresi dari kinerja interaksi antara gen dan lingkungan. Bila hasil tinggi yang diinginkan, maka kemampuan gen harus prima dan kondisi lingkungan harus mendukung. Kemampuan gen tidak terbatas, seperti hibrida. Tetapi kenyataannya, dari 14 hibrida yang diuji tidak semua tampil prima, meskipun faktor lingkungan mendukung. Hal ini terbukti di dua lokasi, yaitu Kuningan dan Tegalgondo.

Jika dicermati lebih lanjut, sifat kimia dan fisik tanah di kedua lokasi tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan di Pusakanegara, tetapi kenyataannya tidak semua hibrida yang diuji menunjukkan hasil dengan nilai

(4)

Tabel 3

. Nilai heterosis st

andar hasil dan komponen hasil 14 hibrida dan IR64 di tiga lingkungan berbeda.

PSK KNG TGD PSK KNG TGD PSK KNG TGD PSK KNG TGD PSK KNG TGD Hibrida A H S A HS A H S B HS B H S B HS C H S C HS C H S D HS D H S D HS E H S E HS E H S H 4 6,17 18,43 9,06 40,24 8,01 40,35 16,3 -5,7 22,3 -1,7 20,0 -4,3 22,78 -6,7 25,83 -1,4 26,86 3, 2 122,1 19,23 180,33 50,0 176,73 63,7 105,0 210,6 46,3 309,7 36,0 304,4 H 5 5,86 12,48 8,68 34,52 6,89 20,46 14,8 -14,5 23,0 1, 3 20,7 -0,9 22,61 -7,4 24,68 -5,8 25,03 -3,8 138,3 35.05 160,40 33,4 136,20 24,4 121,8 260,3 62,9 456,6 42,5 377,5 H 6 6,89 33,97 8,63 33,59 6,95 21,91 16,9 -1,2 23,4 3, 8 20,9 0, 0 22,68 -6,6 23,04 -12,1 23,17 -10,9 139,4 36,13 178,13 48,1 177,02 61,6 136,1 302,6 37,0 227,6 25,3 180,9 H 9 6,02 15,94 8,91 37,42 7,79 40,00 15,2 -1 1, 1 24,1 7, 3 21,1 0, 8 23,66 -3,1 25,74 -1,7 25,74 -1,1 139,9 36,62 177,87 47,9 162,31 47,9 116,4 244,3 30,4 169,0 29,4 230,3 H 13 5,49 5,37 7,55 16,37 7,90 38,59 15,7 -5,5 22,7 0, 0 20,3 -2,6 24,78 1, 5 27,06 3, 3 25,0 -3,9 140,0 36,72 142,0 18,1 154,73 45,8 124,3 267,7 31,6 179,6 21,6 142,7 H 14 5,19 -0,83 6,44 -0,31 5,27 -8,24 13,1 -19,6 18,7 -17,6 18,4 -14,6 22,98 -5,9 25,24 -3,7 24,17 -7,8 122,0 19,14 144,07 16,5 148,50 35,7 126,7 274,8 33,1 192,9 47,5 433,7 H 17 5,26 20,15 7,56 17,02 6,28 10,17 16,2 -2,3 20,8 -9,2 20,3 -2,6 22,74 -6,8 24,71 -0,5 23,87 -8,3 122,6 19,23 165,33 39,2 172,07 57,7 90,2 166,8 35,1 210,6 29,4 239,3 H 18 6,01 15,35 7,49 15,49 6,69 17,37 16,2 -5,8 21,0 -7,4 20,1 -2,2 22,78 -6,7 23,79 -9,2 33,81 -8,5 121,0 18,16 161,67 34,1 146,00 33,9 129,3 282,5 33,8 199,1 19,3 116,8 H 19 5,83 12,28 7,81 20,89 6,64 16,49 15,3 -10,4 20,7 -8,8 20,4 -2,6 22,79 -6,7 23,70 -9,5 23,17 -8,4 120,6 17,71 152,0 25,6 144,93 32,3 110,3 226,3 40,2 263,6 26,3 195,5 H 21 5,80 11,32 7,14 10,53 6,33 11,05 14,8 -13,9 19,3 -14,9 20,3 -2,6 20,80 -14,8 26,23 0, 1 25,74 -1,2 143,7 40,33 158,2 31,7 161,83 47,7 126,1 270,0 38,3 245,4 37,0 315,7 H 22 5,82 11,71 7,10 10,71 6,77 18,77 14,6 -1 1, 7 19,5 -14,1 19,7 -13,9 25,08 2, 7 26,46 0, 9 26,27 0, 9 92,1 -10,05 140,30 16,7 144,47 31,9 145,9 331,6 40,2 263,3 38,6 333,7 H 24 5,75 9,59 7,67 18,73 6,80 19,29 14,8 -13,2 18,4 -18,9 20,8 -0,43 23,88 -2,2 25,59 -2,3 24,61 -5,4 140,4 37,10 154,13 28,3 161,53 47,4 110,1 225,7 39,7 254,4 37,0 315,7 H 36 5,73 9,89 7,60 17,64 7,56 32,63 14,6 -14,6 19,1 -15,8 20,7 -0,8 21,74 -10,7 27,29 4, 2 25,08 -3,6 89,9 -3,41 160,07 33,1 171,53 56,6 120,0 255,0 40,5 263,3 29,4 239,3 Maro 5,48 5, 8 8,78 35,91 7,44 30,52 15,2 -1 1, 1 22,3 -1,7 20,9 0, 0 22,09 -9,5 27,19 3, 8 26,02 0, 0 124,8 21,87 168,67 40,0 162,60 48,4 91,5 170,7 51,7 363,6 33,1 271,9 IR64 5,21 -6,46 -5,70 -17,1 -22,7 -20,9 -24,42 -2620 -26,02 -102,4 -120,2 -109,53 -33,8 -11 ,3 -8, 9 -LSD 5% 1,34 -1,39 -1,80 -5, 9 -6, 2 -4, 9 -3, 4 -3, 7 -4, 0 -9, 4 -11 ,4 -10,7 -9, 4 -8, 7 -8, 2 -C V ( % ) 13,0 -10,90 -12,70 -11 ,0 -12,4 -10,1 -12,1 -13,5 -14,1 -13,7 -12,3 -11 ,3 -12,7 -10,3 -11 ,6 -Rata-rata 5,93 12,96 7,60 22,05 6,91 22,10 14,57 -10,04 19,80 -6,98 18,85 -3,34 21,25 -5,92 176,10 -2,42 23,69 -4,20 110,72 23,13 140,42 33,05 138,35 45,36 100,56 249,21 34,77 257,05 28,30 264,10 A : Hasil (t/ha) B : Jumlah malai/rumpun C : Bobot 1000 butir D :

Jumlah gabah isi per malai

E

:

Jumlah gabah hampa per malai

P S K : Pusakanegara K N G : Kuningan T G D : Tegalgondo H S : Heterosis standar

(5)

heterosis tinggi. Untuk ini perlu dikaji hibrida yang tidak memunculkan heterosis secara optimal, apakah benih F1 yang digunakan tidak baik atau hasil persilangan untuk mendapatkan benih F1 tidak sempurna. Dugaan sementara, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan genotipe mandul jantan dan genotipe restorer yang digunakan pada masing-masing hibrida. Dari 14 hibrida yang diuji, H4 dan H6 konsisten menunjukkan hasil yang relatif tinggi di ketiga lokasi dengan nilai heterosis 18-40%.

Tanah di Kuningan dan Tegalgondo memilki C/N rasio yang relatif tinggi dibandingkan dengan Pusakanegara, dan ditopang oleh nilai KTK relatif tinggi, di samping unsur-unsur lain yang juga relatif lebih baik, serta tekstur tanah dengan perbandingan antara debu, liat, pasir yang proporsional. Kondisi tanah yang demikian sesuai bagi tanaman untuk berproduksi optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Soepardi (2002) yang menyatakan kondisi lingkungan yang kondusif akan mendorong tanaman untuk berekspresi secara optimal.

Variasi genotipik dan fenotipik ke-14 hibrida yang diuji di tiga lingkungan biofisik menunjukkan penampil-an ypenampil-ang berbeda dalam hasil dpenampil-an komponen hasil. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa variabilitas semua karakter di Pusakanegara umumnya rendah dan jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah hampa per malai nilainya bahkan nol. Ini berarti bahwa pada kedua karakter tersebut tidak terdapat variasi. Dengan demikian variasi fenotipik lebih banyak disebabkan oleh variasi ling-kungan. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar F1 hibrida yang diuji berasal dari tetua betina yang sama. Di Kuningan dan Tegalgondo, sifat biofisik tanah relatif lebih baik dari Pusakanegara. Dengan kondisi lingkungan yang menunjang, karakter hasil dan komponen hasil ke-14 hibrida yang diuji menunjukkan variasi, genotipik, dan fenotipik yang relatif lebih baik

dibandingkan dengan di Pusakanegara. Meskipun demikian pemunculan karakter-karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibanding-kan dengan faktor genetik hibrida.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa variabilitas genotipik untuk karakter hasil dan komponen hasil sangat di-pengaruhi oleh faktor lingkungan. Tiap lokasi mem-punyai nilai tinggi untuk karakter-karakter tertentu. Kenyataan ini memberikan pengertian bahwa suatu karakter akan tampil dengan baik hanya pada lingkungan tumbuh yang optimal.

Nilai duga heritabilitas dalam arti luas disajikan dalam Tabel 4. Semua karakter memberikan nilai duga heritabilitas yang kecil. Hal ini menunjukkan ekspresi karakter-karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik. Nilai heritabilitas yang rendah menunjukkan pengaruh lingkungan terhadap ekspresi suatu karakter cukup besar. Hal ini terbukti dari 14 hibrida yang diuji, dimana ekspresi heterosisnya sangat dipengaruhi oleh ling-kungan tumbuh.

KESIMPULAN

1. Ekspresi heterosis hibrida sangat dipengaruhi faktor lingkungan. Nilai heterosis positif untuk parameter hasil, jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir, tetapi negatif untuk parameter jumlah malai per rumpun dan persentase gabah hampa per malai. 2. Hibrida H4 dan H6 memberikan nilai heterosis standar paling baik di tiga lokasi pengujian dengan kisaran 18-40%.

3. Hasil tinggi yang dicapai hibrida, selain disebabkan oleh faktor lingkungan biofisik yang mendukung juga ditunjang oleh jumlah gabah isi per malai yang relatif banyak, 20-60% lebih banyak dari varietas Tabel 4. Variasi genotipik, fenotipik, lingkungan biofisik dan heritabilitas dalam arti luas dari hasil dan komponen hasil padi hibrida di tiga

lokasi, MK 2003.

Varians genotipik Varians fenotipik Heritabilitas Karakter

L1 L2 L3 L1 L2 L3 L1 L2 L3

Hasil 0,08 0,32 0,27 0,36 0,74 0,61 0,27 0,77 0,57

Jumlah malai/ rumpun 0,00* 0,11 0,08 2,41 4,16 3,11 0,00* 0,51 0,32

Jumlah gabah isi/malai 22,41 64,34 56,17 51,72 67,01 60,09 0,00* 0,82 0,78

Bobot 1000 butir 0,77 2,31 1,87 1,41 1,71 1,67 0,52 0,94 0,81

Persentase gabah hampa/malai 0,00* 437,21 314,01 394,01 61,17 87,01 0,00* 0,18 0,09 *) : Estimasi negatif, sehingga nilai yang paling dapat diterima adalah 0 (nol)

L1 : Pusakanegara L2 : Kuningan L3 : Tegalgondo

(6)

inbrida IR64.

4. Sifat hasil dan komponen hasil mempunyai variasi genotipik yang relatif sempit dan nilai heritabilitas yang rendah, sehingga ekspresi karakter-karakter hibrida lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W. 1960. Principles of plant breeding. John Wiley and Sons Inc. New York.

Baehaki, A. 1982. Pengertian nested and cross classified variabel, serta mencari dan penulisan komponen varietas dalam suatu rancangan percobaan dengan cara sederhana. Bagian statistik, Fak. Pertanian Univ. Padjadjaran, Bandung. Tidak dipublikasikan.

Davis, M.D. and J.N. Rutger. 1976. Yield of F1, F2 and F3 by hybrid of rice (O. Sativa L.). Euphytica 25:587-959.

Fehr, W.R. 1987. Principles of cultivar development. Vol. 1. Theory and technique. Mc. Millan. Publishing Co. New York. Kim, CH. and J.N. Rutger. 1988. Heterosis in rice. In: Hybrid rice.

Proc of Intl. Symp. on hybrid rice. Intl. Rice. Res. Inst., Los Banos, Philippines.

Lin, S.C. and L.P. Yuan. 1980. Hybrid rice breeding in China. In: Innovative approaches to rice breeding. Intl Rice. Res. Inst., Los Banos, Philippines.

Mc. Whirter, K.S. 1979. Breeding of cross pollinated crops agri-culture varieties in cross pollinating plants species. In: R.

Knight (ed.). Plant breeding. Australian-Chancellors Comitee-AAUCS.

Rutger, J.N. and Shinjyo. 1980. Male strerility in rice and its potential use in breeding. In: Innovative approaches to rice breeding. p.53-66.

Sigh, R.B. 1988. Prospect for hybrid rice in the Asia Pacific region.

In: Hybrid rice. Proc. of the Intl. Symp. on Hybrid Rice. IRRI,

Los Banos, Philippines.

Satoto, B. Suprihatno, dan B. Sutaryo. 1991. Heterosis dan variasi genotipik berbagai karakter hibrida padi. Media Penelitian Sukamandi 15:6-11.

Suprihatno, B. 1988. Hybrid rice, its prospect and problems in Indonesia. Indn. Agric. Res. Dev. J. 8 (3 dan 4):15-58. Suprihatno, B. dan Satoto. 1996. Vigor hibrida untuk hasil dan

komponen hasil beberapa kombinasi F1 hibrida. Media Penelitian Sukamandi 3: 5-12.

Soepardi, G. 2002. Efek sinergi gen dan lingkungan menuju pertanian tangguh. Kompas, 19 Agustus 2002. p30. Spraque, G.F. 1985. Corn and improvement. Acad press Inc. Publ.

New York.

Virmani, S.S., R.C. Aquino, G.S. Kush, and S. Yoshida. 1985. Heterosis breeding in rice. Paper presented at the 12th Annual Scientific Meeting of the Crop Sci. Soc. Sapilang. LA. Union. Philippines. April 22-24, 1981.

Virmani, S.S., R.C. Aquino, and G.S. Kush. 1982. Heterosis breeding in rice. Theor. Appl. Genet. 63:373–380.

Yuan, L.P. 1985. Hybrid rice in China. A paper presented at the Intl. Rice. Res. Conf. June, 1-5, 1985.

Yuan, L.P. and S.S. Virmani. 1988. Status of hybrid rice research and development. In: Hybrid rice. Proc. of the Intl. Symp. of Hybrid Rice.

Gambar

Tabel 1. Kondisi lingkungan biofisik masing-masing lokasi pengujian padi hibrida.
Tabel 3. Nilai heterosis standar hasil dan komponen hasil 14 hibrida dan IR64 di tiga lingkungan berbeda
Tabel 4. Variasi genotipik, fenotipik, lingkungan biofisik dan heritabilitas dalam arti luas dari hasil dan komponen hasil padi hibrida di tiga lokasi, MK 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Semua pekerjaan instalasi sistem perpipaan air bersih tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan gambar dan spesifikasi teknisnya, serta memenuhi semua persyaratan

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tentu harus diperhatikan segi-segi kemanusiaannya, sehingga tidak hanya berorientasi pada pencapaian hasil yang besar dengan

Atau dilakukan secara terbatas, yaitu dilakukan perubahan atas proporsi/komposisi dana yang dialokasikan dalam masing-masing efek yang membentuk portofolio tersebut..

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui taktik self presentation apa saja yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui tweet-tweet yang

Responden yang menyatakan bahwa talent manajemen dapat diterapkan di UT dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : sebagai penunjang daftar urut kepegawaian (BUK), mengelola

Untuk mendapatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang baik di pre nursery pada medium subsoil ultisol adalah dengan pemberian kompos TKKS dan cocopeat dengan dosis

Pada bagian ini akan diuraikan data hasil penelitian dalam tahapan siklus- siklus penelitian hasil belajar peserta didik pada pembelajaran ilmu pengetahuan sosial

Menurut pengakuan beberapa napi yang pernah mengandung di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Pekanbaru saat mengandung tidak ada perlakuan khusus terhadap narapidana