• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, oleh karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, oleh karena"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, oleh karena itu pencarian makna kebahagiaan yang sesungguhnya kemudian menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab, hal ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia ke depannya. Froh (2004) mengungkapkan bahwa pada mulanya penelitian mengenai topik yang berhubungan dengan kebahagiaan dalam dunia psikologi hanya berfokus pada hal- hal yang menyangkut kesejahteraan seseorang yang bersifat individual, tentang hal- hal yang dapat membuat orang tidak bahagia dan mengapa mereka tidak bahagia. Dengan semakin berkembangnya aliran psikologi positif yang diprakarsai oleh Seligman, penelitian dewasa ini cenderung berfokus pada hal-hal yang lebih mengandung optimisme. Jadi, penelitian- penelitian yang dilakukan menjadi lebih banyak membahas tentang cara seseorang untuk dapat mencapai kebahagiaan dan mengkaji lebih dalam tentang makna hidup.

Seligman & Csikszentmihalyi (2000) menjelaskan bahwa psikologi positif ialah studi ilmiah yang mempelajari fungsi positif manusia (positive human functioning) yang berkembang dalam berbagai macam tingkat dan meliputi berbagai macam dimensi seperti biologis, personal, relasi, institusi, budaya, dan global dalam kehidupan manusia. Prinsip utamanya adalah menekankan pada perlunya tiap individu untuk berfokus pada kekuatan dan kebaikan dari dalam diri mereka. Artinya, manusia yang mampu mengembangkan fungsinya secara positif cenderung lebih berpotensi untuk mengalami kebahagiaan dalam hidup.

(2)

Beberapa penelitian psikologi positif yang meneliti tentang well-being menjabarkan well-being tidak hanya sebagai kebahagiaan, tapi juga kepuasan hidup. Hal ini sejalan seperti yang diungkapkan McGregor & Little (1998) yang menjelaskan bahwa kebahagiaan berhubungan dengan well-being (kesejahteraan) yang mengarah pada kepuasan hidup, perasaan positif, dan terbebas dari perasaan-perasaan negatif. Jadi, psikologi positif bukan mengajarkan cara untuk mencapai kebahagiaan dengan mencari dan memperbaiki apa yang salah pada diri manusia, namun lebih cenderung mencoba mencari sisi positif dari setiap kejadian dan menjadikannya sebagai hal baik yang memiliki makna tertentu di baliknya sehingga patut disyukuri.

Seiring berjalannya waktu, psikologi positif semakin berkembang dan dapat membantu untuk mengembangkan pilihan sikap hidup individu agar dapat mengambil hal- hal positif dari setiap kejadian yang terjadi di dalam kehidupannya. Dengan demikian, individu tersebut selalu dapat mengambil pelajaran dan menyaring makna dari setiap kejadian yang telah dijalaninya dan menciptakan kebahagiaan serta rasa syukur atas apa yang telah terjadi di dalam kehidupannya. Kebahagiaan yang tercipta di dalam kehidupan seseorang akan dapat menggambarkan kesejahteraan yang dirasakannya.

Telah banyak definisi kesejahteraan atau well-being yang diungkapkan para ahli. Salah satunya yaitu Diener (2000) yang menjelaskan well-being sebagai perasaan yang berkaitan erat dengan kesejahteraan, termasuk di dalamnya kebahagiaan, harga diri, dan kepuasan dalam hidup. Oleh sebab itu, selama beberapa dekade ini, para ahli berusaha untuk merumuskan arti dan konsep well-being. Terdapat dua jenis well-being, yaitu subjective well-being (SWB) dan psychological well-being (PWB). Subjective well-being merupakan

(3)

kesejahteraan subyektif yaitu kebahagiaan yang bergantung pada masing-masing individu yang terdiri dari afek positif, rasa puas terhadap kehidupan, dan rendahnya afek negatif. Psychological well-being terdiri dari personal growth, purpose in life, self-acceptance, dan lain sebagainya (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002).

Psychological well-being (kesejahteraan psikologis) merupakan salah satu jenis well-being (Wood, Joseph, & Maltby, 2009). Kesejahteraan psikologis lebih berfokus pada kebergunaan bagi sesama. Para sosiolog juga menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki kaitan yang sangat erat dengan kepuasan hidup seseorang yang menjadi kunci bagi kebahagiaan seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Dapat diartikan bahwa dengan berguna bagi orang lain, maka kehidupan satu individu akan lebih bermakna dan menjadikan kehidupannya lebih bahagia. Rasa bahagia yang timbul karena merasa telah membantu sesama akan menimbulkan efek positif bagi kehidupannya.

Kesejahteraan merupakan suatu topik bahasan yang luas. Bahkan masalah kesejahteraan warga negara pun menjadi poin yang telah diatur oleh Undang- Undang. Dalam upaya pencapaian kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah sebagai penyelenggara suatu negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak dasar dengan cara memberikan pelayanan sosial. Undang- undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 (1) telah mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Hal ini didukung dengan adanya Undang- undang nomor 18 tahun 2014 yang mengatur secara lebih mendetail tentang pelaksanaan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia. Bagi fakir miskin serta anak terlantar seperti yang dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik

(4)

Indonesia Tahun 1945, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang tergolong miskin dan tidak mampu.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negara yang memiliki ketidakmampuan dalam pemenuhan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Sosial membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas sebagai kepanjangan tangan dari Dinas Sosial yang melakukan pelayanan di bidang sosial secara umum. Namun, pada kenyataannya ketersediaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ada di Yogyakarta belum mampu untuk menampung seluruh kebutuhan perlindungan sosial di masyarakat. UPT yang ada di Yogyakarta selalu penuh sehingga pelayanannya terhadap masyarakat pun menjadi kurang optimal. Di balik permasalahan tersebut, muncul panti- panti sosial swasta yang turut serta membantu penanganan perlindungan secara sosial. Panti- panti tersebut memiliki sistem masing- masing dalam membangun dan menghidupi pantinya. Dari panti- panti di Yogyakarta tersebut, ada satu panti yang berbeda dari panti- panti yang lain.

Panti Sosial Hafara yang dibentuk pada tahun 2005 oleh Chabib Wibowo kemudian hadir menjadi salah satu panti sosial mandiri yang aktif memberikan upaya pelayanan secara sosial. Pada mulanya Panti Hafara merupakan suatu wadah sosial yang hanya mampu menampung sejumlah kelayan yang ditemukan oleh Chabib Wibowo di sekitarnya. Para kelayan tersebut kemudian ditampung di kediamannya dan dianggap sebagai keluarga. Selanjutnya,

(5)

diupayakan pula kesembuhan dan pemberdayaannya agar mereka kemudian dapat hidup secara mandiri dan memperoleh kesejahteraannya. Di balik keterbatasannya, semakin lama Hafara justru menjelma menjadi panti sosial yang semakin besar dan dapat menampung puluhan kelayan. Keunikan Panti Hafara justru terlihat saat panti ini menjadi panti sosial yang dapat diandalkan dalam memberikan pertolongan bagi masyarakat yang membutuhkan di saat UPT yang dibentuk pemerintah untuk menghadirkan perlindungan sosial dari negara justru sudah tidak mampu untuk melayani masyarakat secara maksimal karena berbagai macam keterbatasan yang dihadapi. Panti Hafara yang sumber keuangannya tidak se-rutin UPT justru lebih dapat diandalkan pada saat masyarakat membutuhkan bantuan dan perlindungan sosial.

Walaupun berdiri sebagai panti swasta, Panti Sosial Hafara tetap bersinergi dengan Dinas Sosial dan mendapatkan bantuan dana pada program-program tertentu dari Dinas Sosial Provinsi. Berbeda dengan UPT yang telah mendapat anggaran dana dari pemerintah secara rutin dan sistematis, Panti Hafara justru harus berjuang mencari sumber dana bagi keberlangsungan kegiatan panti secara mandiri. Sumber dana yang tidak pasti dan jumlah yang tidak tentu yang berhasil dikumpulkan per-bulannya berbanding terbalik dengan pengeluaran bulanan yang sudah hampir bisa dipastikan jumlahnya setiap bulan. Bahkan terkadang ada pengeluaran- pengeluaran yang tidak terduga yang membutuhkan pendanaan lebih besar dari biasanya.

Dari hasil pre-eliminary study yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 18 Februari 2017, didapatkan informasi mengenai subsidi dari pemerintah yang dijelaskan secara langsung oleh salah satu pengelola Panti Sosial Hafara dengan inisial Ds dalam kutipan berikut:

(6)

“Adanya subsidi tahunan. Turunnya akhir tahun. Padahal kan kita hidup dari awal tahun. Biasanya akhir tahun kita mengajukan, misalnya akhir 2015 diminta mengajukan. Biasanya turunnya bulan Oktober tahun berikutnya, yaitu Oktober 2016. Karena kami swasta kami harus tetap berjalan. Makanya ada usaha lele, batako, dan lainnya.”

Saat diminta untuk menjelaskan lebih detail mengenai dana yang diterima dari pemerintah melalui program- program yang diadakan oleh Dinas Sosial, Ds menjelaskan:

“Setiap tahun kami diminta untuk mengajukan proposal dana untuk anak-anak. Jadi untuk pendidikan anak-anak. Untuk makan dulu sempat ada, tapi sekarang tidak ada. Mungkin pergantian menteri atau apa, jadi programnya tiap tahun berbeda. Jadi kami harus menyesuaikan program dari pemerintah. Sebenarnya Rp 1.100.000,-, tetapi untuk operasional kegiatan orangtua, kegiatan anak, dan yang benar- benar kita terjunkan ke anak hanya Rp 700.000,-. Menurut petunjuk pelaksanaannya itu untuk sekolah bisa, untuk pembuatan identitas mereka bisa. Misalnya pembuatan KK, akte, terutama tahun ini pembuatan identitas anak itu akte, karena sekolah sudah mengharuskan anak- anak punya akte.”

Dengan kebutuhan dan kegiatan yang serupa UPT yang mendapatkan pembiayaan penuh, Panti Hafara harus berjuang keras untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Total terdapat 40 orang yang membantu berjalannya kegiatan Panti Sosial Hafara. Beberapa dari 40 orang tersebut bekerja secara sukarela. Sukarela yang dimaksud adalah mereka tidak mendapatkan gaji tetap sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) selama melaksanakan pekerjaan di dalam Panti Hafara ini. Ds menjelaskan:

“Kita tidak ada gaji Mbak, kecuali petugas profesional ya. Kita modelnya transport. Jadi kalau ada agenda keluar, ada tukar uang bensin. Tapi sisanya sukarela. Setiap sukarelawan sudah ada koordinatornya. Ada tiga shift sukarelawan di sini, pagi-siang-malam. Dan itu disesuaikan jadwal utamanya. Di luar panti mereka aktif di pekerjaan masing- masing tapi masih membantu di sini. Akhir tahun 2015 kami buka lowongan relawan, dan banyak yang tertarik untuk membantu di sini.”

(7)

Dari sukarelawan tersebut, terdapat tiga pengelola yang mengabdikan dirinya lebih dari lima tahun, bahkan sepuluh tahun. Dalam kurun waktu tersebut, para sukarelawan tidak mendapatkan gaji sesuai UMR. Ketiadaan gaji bagi para pengelolanya menjadi ciri khusus dari Panti Hafara ini. Ciri khusus tersebut membuat Panti Sosial Hafara menjadi nampak begitu unik di balik kehidupan sekarang ini yang bersifat materialistis. Apa yang dilakukan oleh para pengelola di Komunitas Panti Sosial Hafara lakukan secara khusus dapat dipahami sebagai pencapaian kesejahteraan psikologis suatu individu, sebab tidak ada keuntungan riil yang mereka dapatkan dalam pelayanan di Hafara.

Dalam penelitiannya, Dunn, Halonen, & Smith (2008) menjabarkan bahwa pada dasarnya satu individu justru akan lebih bahagia di saat menghabiskan uang untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, justru para sukarelawan bersedia melakukan berbagai hal dalam memenuhi tugasnya di Panti Sosial Hafara tanpa gaji. Bekerja setiap hari secara profesional tanpa gaji yang sesuai standar, tapi justru merasakan kebahagiaan dari hal tersebut dan tetap bertahan selama ini. Fenomena yang sungguh unik, langka, serta menarik untuk digali lebih dalam.

Berbagai cara telah dilakukan oleh para ahli psikologi untuk menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kesejahteraan psikologis. Pada mulanya para ahli psikologi sosial mempelajari mengenai faktor- faktor yang berperan dalam mempengaruhi pendapat maupun pertimbangan satu individu mengenai kesejahteraan, misalnya penilaian tentang status mood pada suatu waktu atau pendapat serta penilaian satu individu mengenai kesejahteraan yang mungkin dapat didasarkan pada frekuensi dan intensitas dari perasaan positif yang dialaminya. Bidang- bidang psikologi lainnya seperti bidang psikologi perkembangan, psikologi klinis, dan bidang kesehatan mental pun turut serta

(8)

memberikan gambaran perspektif- perspektif lain dalam usahanya untuk lebih memahami makna kesejahteraan (Ryff, 1995).

National Wellness Institute (Hermon & Hazler, 1999) mengungkapkan kesejahteraan sebagai suatu proses aktif dan berkelanjutan yang dapat terwujud dalam usaha satu individu untuk menyadari area di dalam kehidupannya, mengenali area kehidupannya, dan mampu membuat suatu pilihan yang membuatnya bisa mencapai kesejahteraan yang lebih baik lagi. Pada dasarnya, tujuan dari kesejahteraan adalah untuk memaksimalkan kesehatan individu dan menciptakan kebiasaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan individu tersebut di sepanjang rentang kehidupannya.

Diener, Suh, & Oishi (1997) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis dikonsepkan secara bervariasi berdasarkan budaya dan era yang beragam. Kesejahteraan manusia di setiap budaya di belahan dunia akan menampakkan perbedaan yang bisa jadi berseberangan. Makna kesejahteraan di dunia Barat akan berbeda dengan makna kesejahteraan di dunia Timur. Begitu pula dengan makna kesejahteraan di masa dulu dan di masa sekarang yang tentu saja akan menunjukkan perbedaan seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia yang semakin beragam.

Suryomentaram (Prihartanti, 2004) mengungkapkan bahwa titik sentral dalam kesejahteraan psikologis terletak pada makna atau sikap “tatag” atau tabah, yang berarti selalu berani, tidak memiliki rasa takut atau khawatir yang berlebihan, bersedia menerima kenyataan apapun wujudnya (menerima kenyataan dengan apa adanya). Sikap bersedia menerima sesuatu apa adanya berarti akan memunculkan sikap “tatag” atau tabah sehingga akan muncul perasaan yang membuat individu akan merasa bahagia. Dengan tidak bersedia

(9)

menerima maka akan muncul rasa tidak “tatag” dan individu akan merasa sengsara. Rasa bahagia dapat diartikan sebagai sikap menerima dengan senang hati walaupun kenyataan yang dijalani itu pahit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu tidak berada di luar diri, akan tetapi berasal dari dalam diri kita sendiri dengan memunculkan sikap “tatag” atau tabah dari dalam diri. Sikap “tatag” ini akan dimiliki oleh individu yang mampu berfikir reflektif dalam mawas diri.

Menurut Ryff & Keyes (1995), kesejahteraan psikologis merupakan evaluasi positif pada diri seseorang di masa yang lalu, mengalami pertumbuhan secara terus menerus menjadi satu pribadi yang sesuai tujuannya. Individu tersebut juga percaya bahwa sebuah kehidupan memiliki tujuan yang bermakna, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupannya dengan efektif, dan memiliki perasaan tentang eksistensi dirinya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi dimana satu individu memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatur lingkungan sekitarnya, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, memiliki tujuan hidup sehingga memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri, serta dapat mengembangkan potensi diri yang dimilikinya.

Istilah kesejahteraan psikologis tidak dapat lepas dari bahasan mengenai kualitas hidup, kepuasan hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan baik secara fisik maupun psikologis. Kepuasan hidup merupakan kepuasan terhadap kehidupan yang dijalaninya secara menyeluruh dan bersifat subyektif dan tergantung pada bagaimana individu itu memandang hidupnya sendiri (Bee, 2006). Kualitas hidup pengelola Panti Hafara dapat terlihat dari keberhasilan

(10)

mereka untuk berusaha memberikan kehidupan yang lebih berkualitas bagi manusia lain. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan individu lain didasari oleh pandangannya terhadap kehidupan yang dijalani.

Harter, Schimdt, & Keyes (2003) mengungkapkan bahwa pekerjaan merupakan bagian yang dapat mempengaruhi kesejahteraan individu secara signifikan. Individu yang telah bekerja akan banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan hal- hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Hampir seperempat waktunya dia gunakan untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini sejalan seperti yang dijalankan oleh para pengelola Panti Hafara yang saat ini melayani para kelayan.

Citra diri yang sejati nampak ketika satu individu melakukan kegiatan yang paling kongruen atau sesuai dengan kaidah nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar- benar terlibat di dalamnya (Ryan & Deci, 2001). Apakah yang sebenarnya mereka dapatkan dengan melayani para kelayan? Jika tujuan mereka sekedar materi, tentu hasilnya akan cenderung mengecewakan. Para pengelola Panti Hafara yang keseluruhan kegiatannya bertujuan untuk mengembangkan Panti Hafara agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada kelayan menunjukkan nilai- nilai yang dianut.

Manusia akan merasa hidupnya lebih bermakna pada saat dia telah merasa berguna bagi orang lain. Setelah dia merasa mampu menjadi sosok yang berguna bagi sesama, maka sesungguhnya disitulah dia merasa begitu “hidup”. Hal ini didukung oleh penelitian Ryff & Keyes (1995) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi usia satu individu, maka dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan penguasaan lingkungan juga semakin tinggi. Kesejahteraan psikologis akan lebih mampu dirasakan bagi

(11)

individu yang pernah menjalani rentetan kehidupan yang panjang dan penuh makna. Artinya, pemaknaan dalam kehidupan satu individu akan dialami pada saat berada pada usia dewasanya, sebab rentetan kehidupan yang dia jalani telah panjang.

Dari 40 pengelola yang ada, 30 orang terdiri dari tenaga- tenaga profesional yang memang mendapatkan insentif sesuai dengan beban kerjanya. Mereka bekerja untuk Hafara. Sedangkan yang sepuluh orang merupakan pengelola Panti sosial Hafara yang tidak mendapatkan gaji. Walaupun mengerjakan tugas (kewajiban) sebagai pengelola Panti Sosial Hafara yang bekerja secara profesional dengan job description dan jadwal kerja yang pasti, mereka yang menjadi sukarelawa tidak mendapat hak mereka sebagai orang yang bekerja. Kesepuluh orang ini hanya mendapatkan ongkos ganti bensin dan fee sekedarnya apabila mengerjakan tugas untuk Panti.

Dari sepuluh pengelola Panti Hafara yang ada, terdapat tiga orang yang merupakan pengelola yang tergolong senior karena telah bergabung menjadi pengelola Panti Sosial Hafara selama lebih dari lima tahun. Ketiga pengelola ini bergabung dengan Panti Hafara pada usia dewasa awal. Menurut Erikson (1963), masa dewasa awal dimulai pada saat usia 18 tahun sampai kira- kira 40 tahun. Dalam tahapan perkembangan ini seharusnya mereka sedang dalam tahap untuk menyeimbangkan nilai- nilai positif yang mereka miliki secara universal. Pada usia ini lah individu akan mulai memiliki pilihan pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Namun, dengan menjadi pengelola Panti Hafara dalam bidang sosial, pengelola Panti Hafara ini kemudian memilih pekerjaan yang tidak menggambarkan tugas perkembangannya.

(12)

Pengelola Panti Hafara yang telah mengabdi dan bertahan selama lebih dari lima tahun tanpa menerima gaji dari kerja profesional mereka menunjukkan bahwa kesejahteraan belum tentu diperoleh karena materi. Akan tetapi, gap yang begitu tinggi antara hak dan kewajiban mereka menjadi fenomena dan permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dengan demikian, penggalian makna kesejahteraan psikologis menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Terutama makna kesejahteraan psikologis para pengelola panti Hafara yang berada pada usia yang produktif. Bagaimana mereka mencapai dan memaknai kebahagiaan mereka dan kesejahteraan diri mereka secara psikologis menjadi poin yang menarik untuk dibahas secara lebih mendalam.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian penjelasan di atas dan juga didasari fakta permasalahan yang ada di lapangan, kesejahteraan psikologis komunitas Panti Hafara menarik untuk diteliti. Adanya gap yang tinggi antara hak yang seharusnya didapatkan pengelola Panti Hafara sebagai pekerja profesional dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, membuat Panti Hafara memiliki keunikan yang begitu khas. Oleh karena fenomena keunikan yang terlihat begitu menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi, penelitian ini memiliki dua pertanyaan utama untuk menggali makna kesejahteraan psikologis pada pengelola Panti Hafara, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengelola Panti Sosial Hafara mencapai kesejahteraan psikologis?

2. Bagaimanakah pengelola Panti Sosial Hafara memaknai kesejahteraan psikologis dalam menjalani kehidupan di Panti Sosial Hafara?

(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu kesejahteraan psikologis dari para pengelola Panti Sosial Hafara. Secara lebih jelasnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Memperoleh pemahaman tentang bagaimana pengelola Panti Hafara mencapai kesejahteraan psikologis.

2. Memperoleh pemahaman cara pengelola Panti Hafara memaknai kesejahteraan psikologis dalam menjalani kehidupan di Panti Hafara.

Sejalan dengan tujuan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya yang berkaitan dengan topik psychological well-being (kesejahteraan psikologis). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dalam memberikan informasi sekaligus bahan studi untuk penelitian selanjutnya, tentu saja dengan pengembangan yang lebih mendalam lagi.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan dapat menambah pengetahuan, gambaran sekaligus masukan bagi para pengelola untuk lebih memaknai pekerjaan di bidangnya. Selain itu, pihak- pihak yang terkait pun dapat memetik manfaat melalui penjabaran yang ada dalam penelitian sehingga akan lebih fokus lagi memperhatikan nasib para pelaku di bidang kesejahteraan sosial.

(14)

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang bertujuan untuk mencari makna tentang psychological well-being (kesejahteraan psikologis) pada pengelola Panti Hafara ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Perwitasari (2012) yang berjudul “Pengaruh Konseling Kebermaknaan Hidup Terhadap Kesejahteraan Psikologi Difabel”. Penelitian ini sama- sama membahas mengenai kesejahteraan psikologis yang memiliki hubungan yang erat dengan penggalian makna hidup. Rasa syukur yang ditampakkan oleh penyandang difabel membuat hidup mereka lebih bermakna. Hal ini serupa seperti yang ditampakkan oleh pengelola Panti Hafara yang menyalurkan rasa syukur melalui sebuah pengorbanan demi kesejahteraan mereka secara psikologis.

Penelitian ini juga memiliki kemiripan pada penelitian yang dilakukan oleh Mabruri (2007) yang berjudul “Hubungan Antara Kepribadian Tangguh (Hardiness) Dan Religiusitas Dengan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Pada Korban Bencana Alam di Yogyakarta”. Apa yang dialami oleh responden penelitian ini bisa menggambarkan apa yang terjadi pada para pengelola sehingga kemudian bergabung dengan Hafara. Responden penelitian pada penggalian makna kesejahteraan psikologis pada pengelola Panti Hafara merupakan pribadi- pribadi tangguh yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan kemudian membantu sesama sebagai wujud rasa syukurnya. Persamaan kedua penelitian ini sama- sama merasakan kebahagiaan dengan berbekal pribadi tangguh yang mampu bangkit setelah terpuruk. Namun, perbedaan kedua penelitian ini justru nampak pada religiusitas. Di saat penelitian Mabruri (2007) menunjukkan bahwa religiusitas tidak memiliki pengaruh pada kesejahteraan

(15)

psikologis responden penelitian, penelitian tentang makna kesejahteraan psikologis pada pengelola Panti Hafara ini justru berawal dari hal- hal yang bersifat menolong karena percaya pertolongan Tuhan.

Di sisi lain, peneliti justru memiliki ketertarikan yang tinggi untuk menggali lebih dalam mengenai bagaimanakah makna yang dirasakan oleh pengelola Panti Hafara tentang kesejahteraan psikologis yang mereka rasakan di saat mengabdi pada Panti Hafara selama lebih dari lima tahun ini. Lalu apakah makna yang mereka rasakan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka selama di Panti sosial Hafara, sedangkan terdapat gap yang begitu tinggi antara kewajiban dan hak yang mereka dapatkan selama mengabdi?

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya merupakan suatu proses pembelajaraan bahasa yang mempelajari komposisi bahasa indonesia yakni dimulai dari

KAITAN GLASGOW COMA SCORE AWAL DAN JARAK WAKTU SETELAH CEDERA KEPALA SAMPAI DILAKUKAN OPERASI PADA PASIEN PERDARAHAN SUBDURAL AKUT DENGAN GLASGOW OUTCOME SCALE.. PENELITI

Bapak Ahmad Syawqi, S.Ag S.IP, M.Pd.I, selaku Kepala Perpustakaan Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari, beserta seluruh stafnya yang telah memberikan pelayanan

Pemasang iklan biasanya lebih tertarik untuk mengetahui apakah audien yang menonton suatu program siaran itu pembeli yang potensial (prospek) bagi barang atau

Obat anastesi disemprotkan dengan sebuah alat berbentuk tabung melengkung yang berfungsi sebagai penyemprot obat anastesi lidokain 0,5 sampai 1 ml perkali semprotan dengan

Tahun Anggaran : 2013 NO.. Garuda Baturaja) - By Pass II (Jl. Garuda Baturaja) Satuan Kerja : Pengembangan LLAJ Sumatera Selatan. Tahun Anggaran

Sistem transportasi laut perikanan tangkap tidak lepas dari pengkajian dan keterkaitan dari tiga kawasan dan wilayah, yaitu: Hinterland, Port, dan Fishing ground yang

Pada penelitian ini menyatakan bahwa ada perbedaan antara assurance pasien dinas dengan assurance pasien umum , hal ini disebabkan karena faktor-faktor pendukung yang ada