• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan sosial untuk memberikan pelayanan hak-hak dasar yaitu peningkatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kebijakan sosial untuk memberikan pelayanan hak-hak dasar yaitu peningkatan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulisan ini hendak menjelaskan bagaimana perubahan proses kebijakan di era desentralisasi setelah melampaui beberapa tahapan era reformasi yang mempengaruhi tatanan kebijakan pemerintah terutama dalam pengelolaan kebijakan sosial untuk memberikan pelayanan hak-hak dasar yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kebijakan pendidikan. Kebijakan sosial dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan Kebijakan Program Banjar Cerdas (PBC) tersebut sebagai bagian dari langkah politik walikota Banjar sebagai kepala daerah yang akhirnya menuai dukungan luas dari mayoritas warga. Sehingga Walikota Banjar Herman Sutrisno dapat memenangkan kembali pertarungan Pemilihan kepala daerah dengan mencalonkan istrinya sebagai Walikota Banjar Periode 2013-2018.

Kajian Kebijakan Sosial dalam era desentralisasi di Kota Banjar sudah pernah ditulis dalam tesis Kebijakan Sosial di Kota Banjar, sebuah studi kasus tentang pola kebijakan sosial dan populisme baru di tingkat lokal di Indonesia (Asep Mulyana, 2011). Pelembagaan kebijakan sosial yang mendorong kesejahteraan rakyat dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia mendorong lahirnya rezim kesejahteraan ditingkat lokal. Kebijakan yang saat ini diterapkan di Kota Banjar sebenarnya sudah dilakukan di daerah lain di Indonesia seperti jembrana, Blitar dan Jakarta.

(2)

Maka bisa dikatakan kalau pemerintahan Kota Banjar mampu menangkap kesempatan yang diberikan rezim desentralisme untuk memajukan kesejahteraan daerahnya melalui kebijakan sosial. Namun demikian kebijakan sosial ini tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak ada kontrol dari semua pihak baik dari DPRD selaku badan legislatif maupun masyarakat yang memberikan mandat kekuasaan. Maka dengan pelaksanaan asas akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan disemua tingkatan. Akuntabilitas menuntut setiap kegiatan program dan hasil akhir dari kegiatan program penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip akuntabilitas ini sangat relevan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Karena dengan prinsip ini diharapkan fungsi pemerintahan daerah dapat dilaksanakan secara optimal, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, pengelolaan dan pelaksanaan kekuasaan sangat relevan dengan pola-pola governance (suyanto, 2002). Selain itu kuatnya wewenang kepala daerah saat ini dalam menentukan kebijakan sosial menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan kekuasaan didaerah. Keadaan ini akan menghambat pelaksanaan akuntabilitas publik (public accountability) pemerintahan daerah dan perwujudan good governance secara keseluruhan. Terwujudnya good governance selain menciptakan mekanisme check and balances dalam hubungan kekuasaan antara DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat. Hal ini juga akan melahirkan pemerintahan yang akan bertanggungjawab (akuntabel).

(3)

Maka adanya pertanggungjawaban kepada publik (public accountability) sangat penting dalam negara demokrasi. Dengan demikian akuntabilitas publik di pemerintahan daerah sangat menentukan makna otonomi daerah bagi masyarakat setempat sebagai upaya mewujudkan good governance dan merealisasikan pemerintahan yang demokratis.

Ada beberapa pijakan penting sebagai alasan pemilihan topik dalam kajian ini adalah; pertama, akuntabilitas publik sangat penting dalam rangka otonomi daerah sebagai bagian dari prinsip untuk mewujudkan good governance serta merealisasikan pemerintahan demokratis. Kedua, anggaran merupakan persoalan sangat mendasar, sehingga politik keuangan daerah merupakan proses dominan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonominya, hal ini juga merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 serta dikaitkan dengan desentralisasi fiskal yang dihadapi oleh setiap pemerintah daerah saat ini. Ketiga, pentingnya kajian akuntabilitas agar bisa melakukan pengujian dan penilaian terhadap program yang dijalankan apakah sesuai berdasarkan kinerja yang akan dicapai atau manajemen program dan penganggaran berbasis kepada kepentingan politik (conflict of interest). Sehingga sudah menjadi bentuk yang nyata dalam implementasi bukan hanya dijadikan blueprint .

Problematika dalam politik lokal yang terjadi saat ini menggambarkan adanya dua corak politik yaitu Predatorik (vedi, 2004) dan konflik-kompetitif (Pratikno, 2008). Hal ini terjadi seiring perubahan sistem demokratisasi lokal yang terjadi didaerah. Diantaranya adalah adanya pemilihan kepala daerah langsung.

(4)

Bisa jadi aktor yang mendominasi kebijakan di ranah eksekutif berbeda, bukan dari partai penguasa, dengan aktor yang mendominasi di ranah legislatif. Mengingat kepala daerah terpilih dari jumlah suara terbanyak bukan lagi dari pemilihan yang dilakukan di lembaga legislatif. Maka dengan pola konfigurasi kekuasaan tersebut dimungkinkan setiap aktor melakukan kontestasi masing-masing khususnya dalam politik anggaran.

Kedua fakta yang memperlihatkan dominasi aktor baik eksekutif maupun legislatif tidak bisa dikupas tuntas dalam melihat kekuatan lokal tanpa melihat proses formulasi hingga pendistribusian alokasi anggaran sampai kepada publik. Untuk melihat apakah corak Predatoris atau konflik-kompetitif dalam politik penganggaran daerah di era desentralisasi ini maka dengan studi akuntabilitas publik diharapkan bisa diketahui bagaimana akuntabiltas kebijakan pendidikan gratis di Kota Banjar Periode 2013 bisa dirumuskan dan dialokasikan serta apa implikasi anggaran kebijakan PBC terhadap kepentingan publik.

Studi akuntabilitas publik dalam kebijakan dilihat dari distribusi anggaran daerah pada bidang pendidikan merupakan kajian menarik. Karena anggaran didorong bukan hanya harus dilakukan secara demokratis dari proses penyusunanya, tetapi juga harus didorong lebih pro rakyat miskin dan pro terhadap perbaikan indikator-indikator pembangunan manusia misalnya pendidikan dan kesehatan. Untuk itu diperlukan adanya akuntabilitas publik dimana publik bisa terlibat dalam monitoring dan evaluasi. Dalam ruang ini publik diikutkan dalam menilai kebijakan yang sedang dilaksanakan. Dengan pelibatan ini publik bisa mengetahui hasil, dampak atau implikasi dari kebijakan

(5)

yang sedang dilaksanakan. Bagian yang penting yang diharapkan dalam akuntabilitas publik adalah kebutuhan review (tinjau ulang) serta reform (perbaikan) atas kebijakan dalam hal ini pendidikan gratis melalui Kebijakan Program Banjar Cerdas.

Pemerintah Kota Banjar yang dipimpin Wali Kota Dr dr H Herman Sutrisno MM mulai mei 2013 melakukan program kebijakan pembebasan biaya sekolah mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA/SMK sederajat khusus berlaku bagi siswa yang berasal dari Kota Banjar dan siswa yang orang tuanya PNS di Kota Banjar ( Pikiran Rakyat, 2013). Kebijakan ini dilaksanakan dengan istilah Program Banjar Cerdas (PBC) yang modelnya hampir sama dengan program Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang digelontorkan dari APBN. Hanya saja PBC ini untuk membiaya kebutuhan biaya sekolah tingkat menengah atas, SMA dan yang sederajat.

Dalam perumusan anggaran pada dasarnya merupakan hal yang netral. Anggaran daerah dipahami merupakan bagian dari estimasi keuangan yang didalamnya kita bisa mengetahui pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan pihak legislatif. Itulah yang menjadi konsep dasar yang bisa dipakai untuk memahami anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam hal ini kebijakan mengenai PBC. Tetapi pada akhirnya akan bernilai politis karena dalam prosesnya melibatkan DPRD dan pihak eksekutif dalam memutuskan kebijakan tersebut.

(6)

Tidak berlebihan analisa mengarah pada kebijakan populis ini bukan hanya sekedar bernilai sebagai program yang pro publik tetapi bermuatan politis. Karena kalau kita lihat kebijakan ini digulirkan bersamaan dengan pemilukada yang dilaksanakan bulan agustus 2013. Tentu ini sangat menguntungkan kandidat yang diusung oleh Walikota incumbent . Dan inilah yang membuat penyusunan pada akhirnya merupakan produk dari pertarungan kepentingan.

B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan Bagaimana Akuntabiltas Kebijakan Pendidikan Gratis melalui kebijakan Program Banjar Cerdas (PBC) di Kota Banjar Periode

2013-2014 ? Adapun pertanyaan turunannya adalah:

1. Bagaimana Anggaran Kebijakan “Program Banjar Cerdas” dirumuskan dan dialokasikan?

2. Apa implikasi anggaran kebijakan “Program Banjar Cerdas” terhadap kepentingan publik ?

Penelitian ini mengemban misi utama untuk mendapatkan jawaban. Pertama, mampu menjelaskan Akuntabilitas dalam Kebijakan pendidikan gratis “Program Banjar Cerdas” yang diimplementasikan di Kota Banjar. Kedua, mampu menguraikan Politik Keuangan Daerah yang terjadi setelah era desentralisasi dalam proses anggaran kebijakan pendidikan gratis melalui PBC di Kota Banjar.

(7)

C. Literatur Review

C.1 Pola Kebijakan Sosial dan Populisme di Kota Banjar

Penelitian pada pemerintah Kota Banjar sudah pernah dilakukan oleh Asep Mulyana (2011) dengan mengambil kajian Kebijakan Sosial di Kota Banjar Pasca Pemekaran merupakan sebuah studi kasus tentang pola kebijakan sosial dan populisme baru di tingkat lokal di Indonesia. Penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah kota Banjar pertama, memiliki watak inklusi yaitu dengan melibatkan masyarakat miskin yang sebelumnya mengalami eksklusi. Kedua, perumusan kebijakan berwatak teknokratik-antipolitik yaitu proses perumusan kebijakan yang difasilitasi dalam musrenbang disusun diluar arena politik (parlemen lokal) dan tidak melahirkan partisipasi genuine. Ketiga, kebijakan sosial di Kota Banjar mengonfirmasi lahirnya populisme baru dalam kerangka kerja Roberts (1995). Populisme baru membedakan dengan populisme lama ditandai oleh: 1) elit populis yang memiliki pola kepemimpinan personalistik dan paternalistik, meskipun tidak selalu kharismatik; 2) proses mobilisasi politik top-down yang mensubordinasi organ-organ menengah untuk membangun hubungan langsung dengan masa; 3) adanya proyek ekonomi yang memanfaatkan metode redistribusi klienistik untuk membangun basis material bagi dukungan rakyat.

Kebijakan sosial dalam kajian ini menitikberatkan pada tiga sektor yaitu pendidikan, kesehatan dan penguatan ekonomi. Kebijakan sosial pada sektor pendidikan di Kota Banjar bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, utamanya masyarakat miskin, dalam pendidikan formal, baik jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan

(8)

tinggi. Berangkat dari banyaknya keluarga miskin yang kekurangan biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kebijakannya diimplementasikan pada program beasiswa bagi kaum miskin dan beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin yang terancam DO (Drop Out) karena kekurangan biaya. Kini program tersebut dikembangkan menjadi lebih luas dengan diluncurkannya pendidikan gratis bagi siswa yang berdomisili di Kota Banjar dari tingkat SD hingga SMA dengan Kebijakan Program Banjar Cerdas (PBC).

Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam ruang ekonomi yang semakin kompetitif. Penekanan pada meningkatnya kapabilitas masyarakat mendorong pemkot Banjar untuk meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan formal pada semua level. Tentu ini berimbas pada peningkatan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kebijakan sosial pada sektor kesehatan diarahkan pada peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan kesehatan dasar, dalam hal ini puskesmas. Pembebasan biaya kesehatan di puskesmas bahkan diperluas bukan hanya untuk kelompok masyarakat miskin, tetapi untuk semua warga Kota Banjar. Kebijakan ini berangkat dari inisiatif dan pemikiran kepala daerah dalam hal ini Walikota Banjar bahwa kesehatan warga yang buruk dapat menyebabkan warga miskin menjadi semakin miskin dan warga yang diatas garis kemiskinan menjadi jatuh miskin.

(9)

Kebijakan sosial yang ditempuh Pemkot Banjar kemudian mendorong munculnya figur populis di tingkat lokal (Asep Mulyana, 2011). Namun populisme yang muncul bukan dalam kategori populisme lama yang identik dengan penekanan pada peran negara minimal dan integrasi ke pasar international. Populisme yang muncul adalah populisme baru yang merujuk pada fenomena kemunculan figur pemimpin politik yang mengintegrasikan watak populis dalam kerangka paradigma neoliberal.

C.2. Studi Akuntabilitas di Era Otonomi Daerah

Diantara prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) adalah tuntutan terhadap akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat. Pada dasarnya kajian mengenai prinsip-prinsip good governance sudah banyak ditulis dan dijadikan standar dalam penyusunan, implementasi maupun evaluasi anggaran. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pusat studi pengembangan kawasan (Eko Prasojo, 2009), beberapa problem kebijakan dalam melakukan penganggaran yang terjadi didaerah, antara lain dalam penyusunan APBD belum menunjukan terpenuhinya asas-asas transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. APBD belum menjadi dokumen publik yang dapat dilihat oleh masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah dan kebijakan yang dijalankan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau belum.

Diantara tulisan mengenai akuntabilitas yaitu Akuntabilitas Anggaran DPRD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Bantul sebagai

(10)

studi deskriptif tentang Akuntabilitas Anggaran DPRD Kabupaten Bantul hasil pemilu tahun 1999 (Wijang Subekti, 2003). Dalam pembahasanya pelaksanaan akuntabilitas publik mengenai anggaran DPRD Kabupaten Bantul menggunakan kerangka UU 22/1999 tentang otonomi daerah. Pengelolaan anggaran DPRD belum dapat terlaksana dengan baik, yakni efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Dari proses perencanaan pelaksanaan, pelaporan dan pengawasan masih belum memenuhi kriteria ideal pelaksanaan akuntabilitas publik tersebut. Hal itu akan membenarkan anggapan ketiadaan akuntabilitas politik pada DPRD umumnya (Syaukani, 2002).

Kajian ini memusatkan akuntabilitas terhadap kebijakan yang direncanakan oleh DPRD. Karena pertanggungjawaban publik (Public accountability) sangat penting dalam negara demokrasi sebagai salahsatu prinsip good governance. Pentingnya akuntabilitas DPRD berkait salahsatu fungsinya, yakni fungsi popular control, yang memfasilitasi pengawasan masyarakat terhadap pemerintah dalam arti eksekutif. Diantara fungsinya adalah pertama, memastikan pembuat keputusan memperhatikan kepentingan dan pendapat publik (responsivness) kedua, memfasilitasi pemimpin politik mempertanggung-jawabkan tindakan mereka secara publik (acountability) dan ketiga, memfasilitasi pergantian pemimpin secara damai (Birch, 1987). Maka sudah seharusnya DPRD melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas-tugas formal pemerintahan daerah , termasuk dalam pengelolaan anggaran DPRD.

(11)

Seiring dengan perubahan aturan dengan terbitnya paket Undang-Undang Keuangan Negara yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Perubahan mendasar dengan telah diterbitkannya paket keuangan negara tersebut adalah adanya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran. Secara umum seperti yang disampaikan Rizal Djalil (2014) secara umum terdapat enam pergeseran dalam pengelolaan anggaran daerah, yaitu:

a. Dari vertical accountability menjadi horizontal accountabilty. Sebelum reformasi keuangan daerah, pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran daerah lebih ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi . maka dengan adanya reformasi, pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat melalui DPRD (pasal 31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003).

b. Dari traditional budget menjadi performance budget.

Proses penyusunan anggaran dengan sistem traditional menggunakan pendekatan inkramental dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban setiap input yang dialokasikan. Reformasi keuangan daerah menuntut penyusunan anggaran menggunakan pendekatan pertanggungjawaban tidak sekedar pada input, tetapi juga pada output dan outcome. (Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003)

(12)

c. Lebih menerapkan konsep value for money

Penerapan konsep value for money lebih dikenal dengan konsep 3E (Ekonomis, Efisien dan Efektif). Artinya dalam mencapai maupun menggunakan dana, pemda dituntut selalu menerapkan prinsip 3E tersebut. (Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003)

d. Penerapan konsep pusat pertanggungjawaban

Penerapan pusat pertanggungjawaban dilakukan dengan

1) Memperlakukan Dinas pendapatan sebagai pusat pendapatan (revenue center), karena pusat pendapatan adalah unit dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan. (Pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005)

2) Bagian keuangan sebagai pusat biaya (expense center), maksudnya unit organisasi dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari kemampuannya mengefisienkan pengeluaran (Pasal 54 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005)

3) BUMD sebagai pusat laba (Profit Center), yaitu unit dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan investasi yang ditanamkan dalam unit organisasi tersebut. (Pasal 177 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004). Tentu perlu diingat juga bahwa keberadaan suatu BUMD

(13)

adakalanya mengemban misi sosial dalam penyediaan barang publik dengan tingkat layanan/kualitas tertentu dengan harga yang ditentukan sehingga memberikan suatu argumen pemberian subsidi bagi pengoperasian suatu BUMD dalam menjalankan operasinya.

Maka dengan ragam tulisan mengenai akuntabilitas diatas tulisan ini akan coba menggali akuntabilitas program kebijakan yang digulirkan oleh kepala daerah dalam hal ini Walikota Banjar pada sektor pendidikan gratis dengan Kebijakan Program Banjar Cerdas (PBC) tahun anggaran 2013.

C.3. Kondisi Politik dan Akuntabilitas Publik

Beberapa penelitian mengungkapkan pengaruh politik terhadap akuntabilitas keuangan pada pemerintah daerah seperti yang dilakukan Nritomo dan Iqbal Kautsar (Iqbal Kautsar, 2015), tentang pengaruh dinasti politik terhadap akuntabilitas keuangan dan kinerja pemerintah daerah. Sampel yang menjadi penelitian pada beberapa daerah yang dipimpin oleh politik dinasti dibandingkan dengan daerah non dinasti selama periode tahun 2010-2013. Data penelitian dari realisasi anggaran dan neraca pemerintah daerah dari kementrian keuangan RI. Opini audit atas laporan keuangan Pemda dari Badan pemeriksa keuangan RI skor evaluasi kinerja penyelenggara pemerintah daerah dari kementrian dalam negeri.

Hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dinasti politik berpengaruh negatif terhadap pelayanan publik. Daerah yang terindikasi dinasti politik mengalokasikan anggaran yang lebih rendah pada sektor pendidikan,

(14)

kesehatan, dan infrastruktur dibandingkan dengan daerah non dinasti politik. Sedangkan pada kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah adanya dinasti politik berpengaruh positif. Daerah dinasti politik mendapatkan skor evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih bagus daripada daerah non dinasti. Hal ini disebabkan, proses evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah melibatkan aspek pengambilan kebijakan.

Karena banyak dinasti politik melibatkan keluarga besar dalam tingkat pejabat eksekutif dan legislatif yang bisa membuat keputusan lebih efektif tentu dalam arti yang semu. Yakni mempercepat dan mempermudah proses bagi-bagi kekuasaan dan anggaran, selain itu dalam Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) lebih banyak menonjolkan aspek-aspek administratif dan data yang normatif.

Sedangkan pada proses akuntabilitas keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah. Ukuran kinerja pemda yang digunakan dalam hipotesis ini adalah kinerja belanja pelayanan publik dan penyelenggaraan pemda yang mendapatkan hasil signifikan pada model regresi (model penelitian kuantitatif). Hal ini memberikan gambaran bahwa keterkaitan antara kinerja pemerintah daerah dalam kondisi politik yang tidak begitu demokratis sekalipun (karena adanya dinasti politik) tidak mempengaruhi proses akuntabilitas yang berjalan dengan baik.

(15)

D.

Kerangka Teori

Teori-teori yang akan dielaborasi dibawah ini adalah untuk memberikan penjelasan berupa teori dan konsep yang mengkerangkai pemikiran mengenai akuntabilitas publik dalam politik keuangan daerah di era desentralisasi di Indonesia dengan studi kasus pada kebijakan pendidikan gratis “Program Banjar Cerdas” sebagai dasar pijakan dalam mengkaji bagaimana formulasi dan alokasi penganggaran dalam merealisasikan kebijakan PBC. Maka perlu kiranya kita mengetahui teori dan konsep otonomi daerah, governance desentralisasi pengelolaan keuangan daerah dan akuntabilitas publik dalam penganggaran (Buget Accountability).

D.1. Desentralisasi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Demokratisasi di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta adanya komitmen nasional untuk mewujudkan good governance telah menjadi faktor penting yang mendorong pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide desentralisasi sebagai konsekuensi logis demokratisasi untuk membangun good governance. Sebagaimana disampaikan oleh Soni Yuwono (2007), disini otonomi daerah tidak bisa lepas dari 3 konsep yaitu desentralisasi, demokratisasi, dan good governance. Ketiga tersebut saling terkait erat sehingga dalam pelaksanaannya diharapkan akan diperlakukan atau mendapat penekanan yang sama pula.

Pada masa lalu, prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi nasional guna memantapkan stabilitas

(16)

pembangunan nasional. Maka tidak heran apabila pelaksanaan otonomi daerah dipandang sebagai suatu kewajiban dimana penyelenggaraanya lebih menitikberatkan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah kepada pemerintah pusat guna mendukung dan menyukseskan pelaksanaan pembangunan nasional. Akibatnya, pemerintah daerah cenderung lebih mematuhi intruksi dan arahan pemerintah pusat daripada mendengarkan aspirasi masyarakat daerah. Terkait dengan asas penyelenggaraannya, otonomi daerah berasaskan pada desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pada praktiknya dimasa lalu, asas dekonsentrasi terkadang dipandang sebagai bentuk halus dari pelaksanaan sentralisasi (umar, 1999). Hal ini diperkuat dengan ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pusat.

Seiring meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang bersih, penyelenggaraan otonomi yang semula dipandang sebagai suatu kewajiban sekarang sudah bergeser menjadi hak daerah. Maksudnya dengan hak disini adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat daerah untuk merencanakan mengatur dan mengelola kepentingan sendiri terkait dengan potensi dan sumber daya daerah. Hal ini seiring dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu lebih menekankan kepada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memerhatikan potensi dan keragaman daerah. Otonomi daerah dilaksanakan melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan pengelolaan keuangan pusat dan daerah.

(17)

Politik otonomi daerah pasca reformasi bergulir terus dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , dengan mempertegas politik otonomi daerah yang menitikberatkan substansi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangannya. Maka tertulis kewenangan yang mesti dilakukan oleh daerah ditetapkan ada 16 urusan wajib. Selain urusan wajib, baik propinsi maupun Kabupaten Kota juga memiliki urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan berpotensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Menurut Rizal Djalil (2014) konsekuensi dari pemberian otonomi daerah yang luas adalah pergeseran pembiayaan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah dan DPR membuat kebijakan politik keuangan daerah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Pemerintah menunjukan i’tikad baik pemerintah pusat dan DPR untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Jika melihat kembali sejarah pembentukan Undang-Undang mengenai pemerintah daerah. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintah daerah masih menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Sedangkan governance dalam otonomi daerah menggambarkan pola pengelolaan kepentingan publik (masyarakat) melalui mekanisme pembuatan

(18)

kebijakan publik yang demokratis dengan melibatkan berbagai aktor pemerintah dan masyarakat. Konsep yang ditawarkan Jan Kooiman (1993), governance dapat digambarkan sebagai pola atau struktur yang terbentuk dalam suatu sistem sosial politik sebagai akibat lazim dari interaksi semua aktor sosial politik yang terlibat. Pola tersebut bersipat tidak nampak denga aturan main yang ada sebagai kerangka kerja (frame work) aktivitas para aktor dalam mengaktualisasikan kepentingan dan tujuan.

Adapun berdasarkan definisi Wold Bank dan UNDP, governance mempunyai tiga sektor yaitu ekonomi, politik dan administrasi. Political governance merujuk pada proses-proses formulasi keputusan kebijakan public. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi aktivitas ekonomi dan interaksi antara penyelenggara ekonomi didalam negeri. Dalam hal ini governance mempunyai implikasi pada keadilan (equity), kesejahteraan (poverty) dan kualitas hidup (quality of life).

Good governance mengandung dua orientasi. Pertama,orientasi ideal yang mengarahkan negara pada pencapaian tujuan nasional, dengan acuan utama demokratisasi kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan HAM, otonomi, devolusi kekuasaan dan jaminan kebebasan dan penguatan civil society. Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan nasional tersebut. Ini berkaitan dengan ukuran-ukuran tingkat kompetisi pemerintahan, tingkat efektifitas dan efisiensi fungsi struktur serta mekanisme politik dan adminitrasi pemerintahan yang dijalankan.

(19)

Konsep desentralisasi dipahami dalam perspektif pemencaran kekuasaan negara, dapat bersifat vertical atau horizontal. Ada beberapa definisi desentralisasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan dua definisi desentralisasi; pertama, dekonsentrasi wilayah administrasi (deconcentration

area offices of administration), sebagai penyerahan wewenang dan

tanggungjawab administrasi bidang tertentu kepada pejabat-pejabat pusat didaerah. Kedua, devolusi (devolution), merupakan penyerahan sebagian kekuasaan pemerintahan disertai wewenang penuh mengambil keputusan, baik politis maupun administratif kepada badan-badan politik di daerah (Kaho, 19).

Desentralisasi pada hakekatnya merupkan proses pelimpahan urusan dan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan sejumlah urusan dari pemerintah pusat kepada daerah (desentralisasi politik-administrasi) haruslah diikuti oleh penyerahan/ pelimpahan kewenangan dalam hal pembiayaan (desentralisasi fiskal) untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan mengacu pada prinsip desentralisasi fiskal yaitu money follows function (uang mengikuti fungsi). Desentralisasi fiskal diantaranya bertujuan memampukan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan memberikan ruang kewenangan dan tanggungjawab yang besar bagi pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola berbagai potensi serta sumberdaya yang ada didaerah maupun yang berasal dari pemerintah pusat untuk kepentingan pembangunan.

Sedangkan, konsep pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan meliputi perencanaan pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

(20)

pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007). Sebagaimana tertera dalam Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pasa 1 dan 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelengaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apalagi anggaran yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sektor publik yaitu bidang pendidikan.

D.2 Akuntabiltas Publik dalam Penganggaran

Akuntabilitas atau accountability diartikan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana the oxford Advance Leaner’s Dictionary (dalam LAN dan BPKP, 2000:21) menjelaskan bahwa akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas adalah kapasitas pemerintah atau penyedia pelayanan mempertanggung-jawabkan kebijakannya, kegiatannya, dan pengalokasian anggaran.

Menurut Bastian (2010) istilah akuntabilitas dapat dimaknai sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban, atau untuk menjawab, dan menerangkan kinerja serta tindakan seseorang atau badan hukum sebagai

(21)

pimpinan kolektif atau organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan dan pertanggungjawaban. Pengelolaan keuangan yang baik menjadikan setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan secara financial. Oleh sebab itu, pengelolaan keuangan yang baik akan menciptakan akuntabilitas publik. Sehingga akuntabilitas publik merupakan kewajiban-kewajiban dari individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumberdaya publik untuk kepentingan kesejahteraan ataupun peningkatan kualitas hidup masyarakat luas.

Akuntabilitas merupakan salahsatu konsep kepemerintahan yang luas yang lebih dikenal dengan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik adalah salahsatu prinsip dasar dalam proses penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance). Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana manajemen pemerintahan yang transparan, demokratis dan adanya kebebasan mengemukakan pendapat. Akuntabilitas mencakup dua komponen hak dan kewajiban yaitu kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak masyarakat (slide perkuliahan PKD, 2014). Maka ketika kebijakan PBC digulirkan harus mampu memenuhi kewajiban pemerintah menyediakan pendidikan gratis bagi masyarakat sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak yang juga sudah dijamin dalam UUD 1945 bisa dipenuhi.

Menurut JD Stewart yang disampaikan Rizal Djalil (2014) bahwa akuntabilitas bisa dilihat dari sudut pandang fungsional dengan mengidentifikasikan akuntabilitas publik terdiri dari lima tingkatan:

(22)

a. Policy Accountability, yakni akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat;

b. Program Accountability, yakni akuntabiitas atas pencapaian tujuan/hasil dan efektivitas yang dicapai;

c. Performance Accountabilty, yakni akuntabilitas terhadap pencapaian kegiatan yang efisien;

d. Process Accountabilty, yakni akuntabilitas atas penggunaan prosess, prosedur, atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan;

e. Probity and legality Accountability, yakni akuntabilitas atas legalitas dan kejujuran penggunaan dana sesuai anggaran yang disetujui atau ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.

Indonesia sudah melakukan perubahan mendasar dalam beberapa bidang setelah era reformasi bergulir, termasuk didalamnya politik, ekonomi dan fiscal. Dari perubahan tersebut proses desentralisasi yang sedang berjalan merupakan bidang yang penuh tantangan . akibat keseluruhan dari desentralisasi besar-besaran in, perpindahan kekuasaan dan tanggungjawab atas sumber daya publik dari pusat ke daerah dengan beragam kapasitas yang dimiliki. Desentralisasi fiscal merupakan kunci utama dari perubahan ini. Karena saat ini pemerintah kabupaten/kota dan propinsi mengendalikan sekitar sepertiga pengeluaran publik.

Integritas internal dalam dan konsistensi dalam alokasi anggaran untuk kepentingan publik menjadi penting, melihat lemahnya kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola sumber daya public dalam jumlah besar secara efisien dan efektif, yang kemungkinan memiliki pengaruh buruk dalam penyediaan

(23)

layanan umum. Meminjam kerangka kerja pengukuran bank dunia untuk pemerintah daerah (S2 PLOD, 2008) dengan melihat dinamika proses manajemen keuangan dan akuntabilitas ditingkat daerah: apa yang sudah berjalan dengan baik dan apa yang belum berjalan dengan baik dalam melihat kebijakan anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan melalui kebijakan “Program Banjar cerdas”. Analisa ini dapat memberikan umpan balik terhadap rancangan kebijakan yang yang yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Pengembangan kerangka kerja pengukuran pengelolaan keuangan daerah untuk pemerintah di Indonesia dilakukan didalam konteks tantangan pembangunan yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Target capaian hasil pembangunan seperti perbaikan kesehatan dan pendidikan memperluas konteks pengukuran hasil-hasil pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka kerja. Sama pentingnya dengan mengidentifikasi apakah sistem pengelolaan keuangan daerah sudah berjalan dengan baik dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung hasil-hasil pembangunan. Pengelolaan keuangan daerah digunakan lebih luas untuk memasukan seluruh elemen yang terkait/relevan dengan akuntabilitas pemerintah yang lebih baik kepada para pemangku kebijakan (steakholder) dan yang membantu mengidentifikasi resiko amanah (Fiduciary Risk). Termasuk pertanyaan untuk menilai apakah barang dan jasa telah diadakan secara kompetitif, pengeluaran pemerintah telah dipertanggungjawabkan dan apakah telah dipergunakan sesuai dengan tujuan semula.

Analisis mengenai kekuatan dan kelemahan dari aktifitas pengelolaan keuangan daerah dapat dilaksanakan pada tingkat hasil (outcome) pengelolaan

(24)

keuangan daerah. Hal ini akan memfasilitasi analisis yang lebih komprehensif mengenai hasil (outcome) mana yang belum sepenuhnya terealisasi. Sebagaimana dalam melihat kebijakan PBC di Kota Banjar. Antara output anggaran yang dikeluarkan melalui kebijakan PBC maka adakah peningkatan kualitas pendidikan baik untuk siswa maupun sarana prasarana sekolah yang disediakan. Sehingga sekolah mampu meluluskan siswa dengan tingkat kualitas pendidikan lebih baik dilihat dari hasil UN ataupun keterampilan yang dimiliki.

D.3 Siklus Kebijakan dan Model Akuntabilitas

Sebagai kerangka penelitian penulis mempadu-padankan siklus kebijakan yang dicetuskan oleh David Easton (1984) dengan 5 model akuntabilitas JD Stewart. Easton menguraikan kebijakan sebagai hasil dari masukan (input) yang terdiri dari dua hal yaitu tuntutan masyarakat dan dukungan penuh publik. Selanjutnya digulirkan pada tahap sistem dan proses politik untuk menghasilkan sebuah output yang bisa dirasakan oleh masyarakat sebagai keputusan atau kebijakan.

Siklus kebijakan Easton memudahkan penulis dalam mengurai akuntabilitas kebijakan model JD Stewart. Tahapannya jelas diuraikan sebagai kerangka 5 model akuntabilitas. Tahapan pertama hak publik mendapatkan pendidikan gratis di Kota Banjar sebagai input karena ada tuntutan dan dukungan dari masyarakat untuk menganalisis akuntabilitas maka memakai Policy Accountability (akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat).

Siklus berikutnya yaitu pada tahapan proses perumusan dan legislasi oleh pihak eksekutif dan legislatif sebagai proses politik yang akan menghasilkan

(25)

sebuah kebijakan baru. Pada tahapan ini menggunakan dua model akuntabilitas yaitu pertama, Process Accountabilty, yakni akuntabilitas atas penggunaan prosess, prosedur, atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan. Kedua, Probity and legality Accountability, yakni akuntabilitas atas legalitas dan kejujuran penggunaan dana sesuai anggaran yang disetujui atau ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.

Tahapan terakhir yaitu pada output kebijakan, dimana sudah menjadi keputusan berupa program pendidikan yaitu Program Banjar Cerdas (PBC). Dimana alat analisisnya dua model akuntabilitas yaitu; pertama, Program Accountability, yakni akuntabiitas atas pencapaian tujuan/hasil dan efektivitas yang dicapai. Kedua, Performance Accountabilty, yakni akuntabilitas terhadap pencapaian kegiatan yang efisien.

Berikut skema kerangka teori untuk memudahkan pembaca melihat alur berfikir dalam menelaah penelitian ini

Gambar 1.1

Alur Berfikir dalam Kerangka Teori

Proses Perumusan dan Legislasi oleh eksekutif dan legislatif (sistem dan proses politik)

Process Accountability, Probity and legality Accountability (melihat bagiamana anggaran publik dirumuskan dan dialokasikan sesuai prosedur

Policy Accountability

(akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat)

Kebijakan Pendidikan Gratis PBC (output) Hak publik mendapatkan alokasi Pendidikan Gratis (Input)

Program and Performance Accountability (akuntabiitas atas

pencapaian tujuan/hasil dan efektivitas yang dicapai)

(26)

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menekankan pada proses dalam melihat realita dalam politik lokal yang terjadi di Kota Banjar. jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif (qualitative approach). Menurut Sarantakos (1993) metode merupakan instrumen untuk peneliti sosial dengan memilih elemen dasar dalam metodologinya, seperti persepsi terhadap realiti, definisi tentang ilmu, persepsi tentang perilaku manusia,tujuan penelitian. Sedangkan metodologi kualitatif bertujuan untuk menggali lebih dalam sebuah fenomena yang ada dalam hal ini adalah studi akuntabilitas program pada sector pendidikan yang bisa mempengaruhi proses penganggaran atau melegitimasi sebuah kebijakan. Penelitian dengan menggunkan metodologi kualitatif bukan hanya menggambarkan apa yang tampak melainkan meneliti yang fenomena itu bisa terjadi secara rinci dan teliti.

Metode yang digunakan kali ini dengan studi kasus dari kebijakan Pemerintah kota Banjar dalam program pendidikan gratis dengan menggunakan kartu banjar cerdas. Melihat bagaimana proses anggaran dijadikan sebuah arena dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan dan langsung berhubungan dengan publik yang melibatkan berbagai aktor. Karena itu studi kasus bersifat naturalistik atau alamiah. Menurut Yin, suatu inkuri empiris yang menyelediki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, apabila batas – batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas, dan dimana menggunakan multisumber bukti yang dimanfaatkan (Yin, 1996). Tujuan dari

(27)

studi kasus sendiri mempelajari secara intensif tentang latar belakang menggunakan multisumber bukti dimanfaatkan.

Studi kasus juga mengharuskan adanya bounded (batasan) untuk menggali lebih mendalam satu penelitian yang hendak digali. Dalam hal ini kami mengambil data tentang kebijakan pendidikan gratis melalui program Walikota Banjar “Program Banjar Cerdas” yang dilaksanakan pada periode 2013. Penelitian ini, penulis berusaha memotret peristiwa yang menjadi pusat perhatiannya kemudian dilukiskan sebagaimana adanya. Masalah yang diteliti adalah masalah yang terjadi pada saat penelitian dilaksanakan, sehingga pemanfaatan temuan penelitian ini berlaku pada saat itu dan belum tentu relevan jika digunakan dimasa yang akan datang. Karena itu penelitian deskriptif tidak selamanya menuntut hipotesis.

E.1 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) memberikan definisi akuntabilitas dengan mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. Azas akuntabilitas menetapkan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Ciri-ciri pemerintahan yang akuntabel menurut Rizal Dzalil (2014) :

(28)

a) Mampu menyajikan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka, cepat, dan tepat kepada masyarakat.

b) Mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat. c) Mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan

publik secara proporsional.

d) Mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan

e) Adanya sarana bagi publik untuk menilai kinerja (Performance) pemerintah.

Akuntabilitas publik adalah kesesuaian kinerja lembaga dan pejabat publik dengan preferensi kepentingan publik berdasar kebijakan yang telah diputuskan, melalui kewajiban untuk memberikan penjelasan dan informasi secara lengkap dan periodik tentang program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan tunduk kepada penilaian publik.

Tabel 1.1

Instrumen Pengukur Akuntabilitas ENDS-To

facilitate/enhance

MEANS-Tools

Legitimacy of decision makers

Constitutions, electoral system for governments and decision-making bodies, bureaucratic systems of representation, Royal Prerogative, legislation, letter of appointment, formal delegation of authority, standing orders

Moral Conduct Societal values, concept of social justice and public interest, professional values, training/induction programs

Responsivness Public participation and consultation, debates, advisory bodies, public meetings, freedom of speech

Opennes Parliamentary queston times, public information services, freedom of information laws, public hearings, annual reports

(29)

ENDS-To

facilitate/enhance

MEANS-Tools

Optimal resource utilization

Budgets, financial procedures, parliamentary public accounts committee, auditing, public enquiries and participation, formal planning systems

Improving Efficiency and effectiveness

Information systems, value for money audits, setting objectives and standars, program guidelines, appraisal, feedback from public

Sebagai bahan konsep yang bisa menguraikan akuntabilitas kebijakan PBC Kota Banjar secara operasional dengan mengidentifikasi sesuai indikator yang dikeluarkan oleh David Hulme dan Mark Turner (1997), seperti yang tertera dalam tabel diatas.

Berdasarkan tabel diatas diketahui akuntabilitas mempunyai hubungan dengan beberapa masalah/pertanyaan berikut ini:

1. Masalah Legitimasi , apakah para elit yang berkuasa melakukan proses kebijakan sesuai dengan prosedur hukum yang sudah ditentukan

2. Bagaimana kualitas moral dan tingkah laku elit

3. Apakah mereka responsive dan sensitive atas aspirasi masyarakat luas 4. Bagaimana dengan masalah keterbukaan/transparansi

5. Bagaimana dengan masalah penggunaan sumber-sumber secara optimal 6. Bagaimana dengan masalah efesiensi dan efektivitas

Meningkatkan akuntabilitas publik dalam menganalisa kebijakan PBC di Kota Banjar dengan cara memperbaiki dan meningkatkan kapasitas

(30)

pemerintahaan serta ketaatan pada aturan main ataupun mekanisme normatif yang sudah ditentukan. Perbaikan prosedur administrasi, audit, dan melakukan evaluasi dengan indiktor tertentu untuk melihat efektifnya sebuah kebijakan. Keterlibatan institusi independen diluar struktur pemerintahan menjadi salahsatu factor penting untuk melakukan check and balance secara eksternal sehingga akuntabilitas secara sosial keterlibatan warga, partisipasi masyarakat sebagai pelengkap akuntabilitas formal. Dengan demikian anggaran yang dikeluarkan untuk program pendidikan gratis melalui Kebijakan PBC harus memenuhi aspek-aspek tersebut.

Maka lebih terperinci penulis menguraikan indikator akuntabilitas publik secara operasional dari dimensi tiga dimensi yaitu; proses penyusunan perencanaan, perumusan anggaran dan dimensi implementasi anggaran kebijakan.

A. Proses dalam penyusunan perencanaan yang diukur dari :

a) Tingkat partisipasi dan kesetaraan hubungan dan posisi para aktor dari lingkungan legislative DPRD, eksekutif maupun dari elemen-elemen masyarakat yang berasal dari organisasi sosial yang berkaitan dengan perencanaan kegiatan program Banjar Cerdas ini.

b) Tingkat keterbukaan proses, mencakup tersedianya dokumen perencanaan kebijakan Program Banjar Cerdas (PBC), publikasi proses dan dokumen perencanaan, dan akses masyrakat (individu, media massa, organisasi sosial masyarakat) atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perencanaan kebijakan PBC.

(31)

c) Tingkat kesesuaian rencana program dan kegiatan dengan arah dan kebijakan dan kebijakan umum target dan anggaran yang ditetapkan.

B. Perumusan anggaran, yang diukur dari :

a) Tingkat kesesuaian dengan ketentuan serta kejujuran dalam pertimbangan berdasar aspirasi publik

b) Tingkat kecendrungan menguntungkan pemerintah, Politisi atau masyarakat.

c) Tingkat pertimbangan politis maupun ekonomis.

d) Tingkat kejelasan rumusan sehingga tidak menimbulkan interpretasi ganda.

e) Tingkat relevansi dan manfaat dengan kepentingan public C. Implementasi Anggaran, yang meliputi pelaksanaan, pelaporan dan

pengawasan anggaran

1) Pelaksanaan yang diukur dari :

a) Tingkat keterbukaan pengelolaan mencakup tersedianya dokumen pelaksanaan anggaran dan pembiayaan kepada sekolah serta akses masyarakat (individu, media massa, organisasi sosial masyarakat) atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan program PBC.

b) Value for money, yang mencakup ekonomi, efisiensi, dan efektivitas:

(32)

 Ekonomi menggambarkan hubungan nilai uang dengan masukan, sehingga praktek pembiayaan pada sekolah dengan kualitas yang diinginkan sehingga fasilitas pendidikan bisa terpenuhi. Ukuran yang dipergunakan adalah tingkat belanja yang dikeluarkan pemerintah daerah tidak melebihi anggaran yang ditetapkan, dan tingkat belanja yang dikeluarkan tidak lebih besar dari anggaran pemerintah daerah lain.

 Efisiensi berkaitan dengan produktivitas, yaitu rasio yang membandingkan output (keluaran) yang dihasilkan dengan input (masukan) yang dipergunakan. Ukuran yang dipergunakan adalah tingkat penghematan biaya dalam pencapaian tujuan pemerintah daerah dan dengan peningkatan output yang dihasilkan.

 Efektivitas menggambarkan kaitan antara keluaran dengan tujuan yang harus dicapai. Ukuran efektivitas anggaran apabila hasil kegiatan dapat diwujudkan dalam batas anggaran yang tersedia dan mencapai tujuan dan sasaran kebijakan.

2) Pelaporan pertanggung-jawaban, yang diukur dari:

a) Subjek penanggung-jawab laporan anggaran kebijakn Program Banjar Cerdas (PBC) adalah pengawasan dilakukan steakholders

b) Tingkat intensitas komunikasi dengan steakholders, baik secara langsung maupun melalui media masa

(33)

c) Konsekuensi laporan pertanggung-jawaban anggaran kebijakan PBC.

3) Pengawasan, yang diukur dari:

a) Jenis pengawasan yang dilakukan terhadap anggaran dan kebijakan PBC sehingga bisa terealisasi dengan baik oleh steakholders

b) Tingkat intensitas komunikasi dengan steakholders, baik secara langsung maupun melalui media

c) Frekuensi kritik masyarakat terhadap proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan PBC

d) Tingkat responsivitas dan kepatuhan terhadap kritik masyarakat dalam proses penyusunan dan temuan hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan kebijakan PBC.

E.2 Sumber Data

Berangkat dari pentingnya data dan tindakan informan sesuai dengan purposive sample, maka penelitian ini menitik beratkan pada informan yang dipandang mengetahui secara pasti tentang alur penganggaran pada kebijakan pendidikan gratis ini. Diantaranya yang sudah dilakukan pendataan untuk menjadi informan adalah:

a. Walikota Banjar periode 2008-2013 Dr.dr H Herman Soetrisno. MM b. Anggota Legislatif DPRD Kota Banjar periode 2009-2014 khususnya

seluruh anggota komisi bidang pendidikan c. Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjar

(34)

e. Aktifis advokasi anggaran di Kota Banjar

Penelitian ini menggunakan dua data berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil temuan lapangan berupa hasil intervew dengan responsden dan hasil pengamatan di lapangan. Dalam melakukan input data primer, terlebih dahulu kami akan membuat identifikasi terhadap sumber pengumpulan data. Kategorisasi sumber pengumpulan data dibagi atas pelaksanaan ketika perumusan kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah selanjutnya disetujui oleh anggota DPRD Kota Banjar.

Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan sebagai elaborasi atas data primer dan sebagai acuan dalam melihat setting yang terjadi dalam permasalahan penganggaran. Data sekunder kami akan peroleh dari berbagai sumber seperti kliping media yang membahas tentang kontestasi anggaran di pada kebijakan PBC periode 2013 di Kota Banjar. Ataupun kami mencari data yang relevan dari aktivis, lembaga swadaya masyarakat yang concern pada analisis anggaran di Kota Banjar provinsi Jawa Barat.

Maka dengan kedua sumber data diharapkan akan diperoleh kontruksi jawaban atas rumusan masalah yang peneliti paparkan. Bagaimana akuntabiltas kebijakan pendidikan gratis di kota banjar periode 2013 dengan pertanyaan turunannya adalah bagaimana anggaran kebijakan “Program Banjar Cerdas” dirumuskan dan dialokasikan serta apa implikasi anggaran kebijakan “Program Banjar Cerdas” terhadap kepentingan publik. Dengan menggunakan alat analisis teori JD Stewart yaitu; Policy Accountability, Program Accountability,

(35)

Performance Accountabilty, Process Accountabilty dan Probity and legality Accountability akan terjawab apabila peneliti bisa menunjukan data primer maupun sekunder yang komperhensif dan menyeluruh.

E.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini memerlukan data melalui teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara secara mendalam merupakan pengumpulan data melalui interaksi secara mendalam kepada semua aktor yang terlibat dalam proses penganggaran baik yang formal maupun yang informal sesuai dengan pedoman wawancara (interview guide).

b. Observasi yaitu pengumpulan data melalui pengamatan secara mendalam dari dokumen yang berkaitan dengan APBD bidang pendidikan Kota Banjar provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 khusunya pada Kebijakan “Program Banjar Cerdas”

E.4 Teknik Analisis Data

Proses analisis data akan dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan dan dokumentasi, data tersebut dibaca, dipelajari dan ditelaah. Adapun langkah-langkah analisis data yang akan ditempuh:

(36)

Riset ini melihat secara teoritis bagaiamana proses penganggaran dilakukan pada saat ini. Terlebih sudah banya perubahan mekanisme ketika desentralisasi ini digulirkan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat koherensi antara teori dan kebutuhan data dilapangan. Sehingga hasil analisanya bisa dipertanggungjawabkan.

b. Reduksi Data

Proses merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema atau polanya, data dari lapangan sebagai bahan mentah, disingkat, disusun lebih sistematis.

c. Display Data

Agar dapat melihat bagian-bagian tertentu dari penelitian, diusahakan membuat berbagai macam network dan chart, dengan demikian diharapkan proses analisis melalui alat analisis dari teori JD Stewart yang diuraikan melalui indikator-indikator secara operasional bisa dijalankan untuk menjawab rumusan masalah.

d. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi

Kesimpulan bermula dari kajian yang sifatnya tentatif, bias dan belum bisa meyakinkan, akan tetapi seiring bertambahnya data, maka kesimpulan akan semakin nyata dan meyakinkan. Jadi kesimpulan itu harus senantiasa di verifikasi atas pola keteraturan dan penyimpangan yang ada pada fenomena kebijakan yang timbul setelah dilakukan pendalaman analisis.

(37)

Membuat prediksi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul adalah sebuah keniscyaan dalam penelitian (Moleong, 2004:247).

E.5 Triangulasi Data

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Digunakan untuk cross check data yang telah disampaikan oleh informan (Moleong, 2004: 330). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pertama, triangulasi sumber yaitu mengumpulkan hasil wawancara dengan stekholders yang terlibat melakukan formulasi dalam menentukan anggaran serta kepala sekolah sebagai penerima anggaran yang akan direalisasikan kepada setiap siswanya melalui kebijakan PBC.

F.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan digunakan untuk mempermudah pembahasan yang terdiri dari atas lima bab yaitu: Bab 1 Pendahuluan, sebagai kerangka acuan yang memberi arah dan fokus penelitian meliputi latar belakang, pertanyaan dan tujuan penelitian, kerangka teori serta metodologi penelitian. Bab II menggambarkan profil secara umum yaitu sejarah terbentuknya Kota Banjar, letak georafis, profil kemasyarakatan dan profil politik Kota Banjar. Bab III menguraikan setting politik keuangan daerah pada kebijakan PBC. Menggambarkan dinamika keuangan daerah Kota Banjar, kebijakan pendidikan gratis yang terjadi dengan pelaksanaan kebijakan Program Banjar Cerdas.

Bab IV membahas bagaimana akuntabilitas dalam proses penyusunan kebijakan dan anggaran Mekanisme Perencanaan Kebijakan PBC. Selain itu,

(38)

membahas juga perencanaan anggaran Program Banjar Cerdas berdasarkan landasan hukum, proses Penyusunan akuntabilitas Proses Penyusunan, Penggunaan Anggaran Sektor Pendidikan PBC, dan Mata Anggaran Sektor Pendidikan Tahun 2013. Bab. V akuntabilitas dalam implementasi kebijakan PBC dengan melihat pelaksanaan, pelaporan hingga pengawasan. Bab VI menyimpulkan hasil penelitian dan merefleksikan teori untuk pengembangan bidang akademis sebagai sumbangsih untuk perbaikan keilmuan kedepan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan hasil uji kadar lengas tanah pada beberapa kondisi (Tabel 1), kadar lengas tanah pada saat pembentukan lorong dan persamaan empirik laju penurunan lengas tanah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh bagi hasil deposito, tingkat suku bunga BI, tingkat inflasi, dan jumlah kantor cabang terhadap jumlah deposito mudharabah di

Rumah Sakit, yaitu Sub komite rekam medis Rumah Sakit Santa Clara Madiun, dengan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Santa Clara Madiun Nomor : RSSC/05.S2/SK..., untuk

xvii Berdasarkan hasil evaluasi pencapaian MDGs Tahun 2011-2014 di Kabupaten Luwu Utara, maka dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut ini: (1) Penyusunan peta

Jadi secara umum pasien memiliki dorongan atau keinginan untuk membicarakan pengalaman buruknya kepada orang lain, hal tersebut sesuai dengan penelitian Richins (1983)

Pelaksanaan proyek Pekerjaan Lanjutan Pembangunan Apron Baru Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru dari pengamatan awal penulis sebelumnya memiliki risiko dalam

Dengan area yang cukup luas, SMK Muhammadiyah 1 Palembang memiliki lapangan yang dapat dipakai untuk kegiatan upacara setiap hari senin, dan untuk kegiatan lainnya seperti

Para petani yang pada waktu lalu menanam jarak pagar merasa apa yang sudah dilakukannya sebagai hal yang aneh, karena mereka sendiri juga tidak menyadari apa yang