• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

8

Landasan Teori

2.1 Konsep Ijime

Istilah ijime berasal dari kata kerja ijimeru (苛める) yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki.

Sugimoto (2003: 137) menjelaskan bahwa ijime adalah sebuah tindakan yang dilakukan secara bersama dalam sebuah kelompok siswa yang bertujuan untuk mempermalukan atau menyiksa pada siswa tertentu secara psikologi atau mental, secara verbal atau secara fisik.

(Morita, 2001) menjelaskan bahwa ijime di Jepang sering disamakan dengan bullying yang terjadi di Barat. Ijime dan bullying memiliki makna yang serupa yaitu sebagai tindakan menyiksa atau membuat seseorang menjadi menderita. Tetapi bullying lebih meyerang kepada fisik korban atau lebih menggunakan kekerasan. Sedangkan ijime di Jepang tidak hanya menyiksa fisik tetapi juga menyiksa mental korban.

Tindakan ijime lebih sering terjadi di dalam lingkungan sekolah karena intensitas bertemu yang lebih sering. Menurut Morita dan Koyinaga (1994: 314) ijime biasanya dilakukan oleh sekelompok anak sekolah, didukung, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh teman-temannya yang lain. Bagi kebanyakan siswa, hubungan pertemanan adalah sebuah area yang terdapat di dalam kehidupan sekolah yang tidak secara langsung diatur oleh guru. Biasanya anak yang menjadi korban ijime akan kehilangan sedikit ruangan untuk bernafas di dalam lingkungan sekolah.

Denmark (2005: 184) mengatakan bahwa ijime lebih sering terjadi di sekolah-sekolah atau di kelas-kelas yang dimana para guru tidak memiliki kewibawaan, siswa-siswa yang kurang rasa kebersamaan, dan siswa-siswa yang tidak memegang komitmen pada kelompoknya sendiri.

Karakteristik ijime yang dilakukan di sekolah menurut Rigby dalam Astuti (2008: 8) umumnya mempunyai tiga karakteristik yang terintegritas sebagai berikut.

1. Ada prilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk menyakiti korbannya. 2. Tindakan itu dilakukan secara tidak seimbang sehingga menimbulkan

perasaan tertekan korban.

(2)

Tindakan ijime ini semakin lama semakin berkembang dan dapat berubah menjadi tindakan kriminal anak-anak di sekolah. Karena tindakan ijime dilakukan dengan kekerasan yang dapat berakibat fatal terhadap korbannya.

Morita (1994: 314) juga menyebutkan karakteristik ijime, yaitu sebagai berikut: 1. Ijime tidak terlihat oleh guru atau siapa pun

2. Korban bisa berubah posisi menjadi pelaku 3. Siapa pun bisa menjadi korban

4. Terdapat banyak pelaku dan beberapa korban yang pasti 5. Sangat sedikit anak yang menghentikan peristiwa ijime ini 6. Para pelaku sering kali menunjukan perilaku yang tindak pantas

Menurut Miyamoto (1994) korban ijime adalah anak-anak yang lemah, cacat, atau bahkan yang pandai di kelas atau berbakat di bidang lainnya, sehingga mereka dicemburui oleh teman sekelasnya. Bahkan ada juga kecenderungan jika anak lain mencoba membantu, berteman atau berbicara dengan anak yang di-ijime, maka saat itupun ia akan menjadi sasaran tindakan ijime.

Yang melakukan tindakan ijime tidak hanya anak-anak yang memiliki latar belakang berbeda, tetapi anak-anak dengan latar belakang baik dan yang tidak pernah diperlakukan tidak baik pun bisa melakukan tindakan ijime.

Taki (2001) menyebutkan:

Using a case study method, I can find many possible factors to explain the causes by relevant case. Some are derived from conflicts among peers or against teachers. At the same time, others are from their situations in family or school life. It is too difficult to identify only one factor as a cause of bullying. Yet, it is very easy to find such factors as the cause of bullying even among ordinary children with no experience of bullying.

Terjemahan :

Dengan menggunakan metode studi kasus, saya menemukan faktor-faktor yang memungkinkan yang dapat menjelaskan penyebab dari kasus yang bersangkutan. Beberapa faktor adalah karena konflik antar teman sebaya atau dengan guru. Pada saat yang bersamaan, yang lainnya datang dari kefrustasian dalam kehidupan keluarga atau sekolah. Sangat sulit untuk mengidentifikasi penyebab dari penindasan ini hanya dengan satu faktor. Namun, sangat mudah menemukan faktor-faktor seperti ini sebagai penindasan bahkan diantara anak-anak yang tidak memiliki pengalaman dengan penindasan.

(3)

Pernyataan di atas telah menjelaskan bahwa setiap anak dapat melakukan tindakan ijime. Tidak hanya anak yang memiliki latar belakang pendidikan atau ekonomi yang kurang, tetapi anak yang biasa saja dalam artian anak yang memiliki latar belakang keluarga dan pendidikan yang baik dan juga lingkungan yang baik pun dapat melakukan tindakan ijime.

Tindakan ijime sekarang ini, dimulai dengan satu kelompok kecil di dalam kelas yang berusaha melibatkan teman sekelas lainnya untuk bergabung melakukan tindakan ijime terhadap seorang teman yang juga berada didalam kelompoknya. Walaupun hanya sebagai penonton, jika kelompok ijimekko (pelaku ijime) sedang melakukan tindakan ijime, maka teman sekelas lainnya secara tidak langsung ikut terlibat dalam melakukan tindakan ijime. Karena jika mereka tidak melakukannya, maka nantinya ia pun akan menjadi korban ijime. (Suryajaya, 2009)

2.2 Penyebab Terjadinya Ijime

Taki (1992: 321) mengatakan bahwa ijime dapat terjadi di sekolah manapun dan di antara siapapun, yang melakukan tindakan ijime pun bisa berasal dari berbagai macam tipe keluarga, kelas sosial dan latar belakang budaya.

Sependapat dengan Taki, Macklem (2003: 37) menjelaskan:

People who bully do so for many reasons. They may set out deliberately to bully and feel pleasure in bullying. It may give them the sense of power. People who bully may not necessarily lack self-esteem or be insecure. Many have average or above-average self-esteem. Their temperaments are more aggressive and they lack empathy. This can caused by poor parenting and a lack of good role models or be a personality trait that needs fostering in a positive direction.

Terjemahan:

Orang melakukan tindak penindasan karena berbagai macam alasan. Mereka melakukannya secara terang-terangan dan merasakan kenikmatan untuk melakukan tindakan bullying. Hal ini akan memberi kesan bahwa mereka kuat. Orang yang menindas tidak selalu karena kurangnya rasa harga diri atau karena merasa tidak aman. Banyak orang yang masih memiliki rasa penghargaan diri ratarata atau diatasnya. Tempramen mereka lebih agresif dan mereka memiliki rasa empati yang kurang. Ini bisa disebabkan oleh cara mendidik yang salah dan kurangnya contoh yang baik dari orang dewasa.

(4)

Menurut Nakane (1984: 1-8), Jepang memiliki struktur masyarakat yang berbeda dengan negara lain yaitu struktur masyarakat kelompok yang biasa disebut sebagai shuudan shugi. Struktur masyarakat berkelompok adalah sebuah struktur yang lebih mengutamakan seseorang sebagai bagian dari satu kelompok masyarakat dibandingkan dengan seseorang sebagai sebuah personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang di sekitarnya sesuai dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam satu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi seseorang demi mendapatkan identitas diri.

Sebagian anak yang menjadi pelaku atau korban bullying adalah berasal dari keluarga broken home. (Astuti, 2008: 7) Biasanya mereka tidak memberitahukan kejadian yang dialaminya kepada orangtua mereka karena kurangnya intensitas waktu untuk bertemu. Sehingga pelaku bullying sering melakukan tindakan bullying karena kurangnya perhatian dari orang tua mereka. Taki (2001) menjelaskan bahwa stress merupakan faktor utama penyebab terjadinya masalah tingkah laku dan menyebabkan ijime.

Ada juga teori penyebab ijime yang diutarakan oleh para ahli dari seluruh dunia (Naito, 2009: 15-18) : 1. ゆとりのない受験競争や詰め込み教育が子どもの心をむしばんで いる。 2. 勉学「身を立てる」という目的意識が希薄化し、学校で勉強する 意欲が低下し、だらだらして、授業が成立しづらくなった。 3. 学校の過剰な管理。 4. 学校秩序のゆるみ。規範意識の希薄化。 5. 何をやっても許されるという欲望の自然主義。あるいは、青少年 の「おれさま」化。個が突出して強すぎる。 6. いつも他人の目を気にして、自分でやりたいようにできない、個 の脆弱化。 7. 家族の人間関係の希薄化(あるいは愛の欠如)。 8. 少子化・核家族化などによる家族の濃密化(あるいは愛の過剰)。 9. 学校や地域社会の共同性の解体と、都市化に伴う市民社会や消費 社会の論理の侵入。 10. 学校や地域の共同体的しめつけと、市民社会の論理の排除。 11. 子どもの生活のすべてを覆い尽くす、学校の過剰な重み。学校に 囲い込まれた人間関係の濃密化。過剰な同質性への圧力。

(5)

12. 青少年の対人関係の希薄化。 13. 「近ごろ」の若い人は幼児化した。精神的に未熟になった。欲求 不満耐性が欠如し、我慢をすることができなくなった。 14. 仲間内の集団力学や強者のやりたい放題には、はいつくばって我 慢するか、大人びたやり方で、顔色をうかがって、うまくたちま わる。子ども社会が大人と変わらない狡猾さにみちた「世間」と 化して、「純真な子どもらしさ」が消滅した。 15. マス・メヂイアや電子ゲームの露骨な暴力措写や、嗜虐を売り物 にするお笑い番組の流行(ヴアーチャルに暴力を学習したから)。 16. 暴力や死が社会から隔離されて子どもの目に触れなくなったり、 周囲が甘やかして暴力を体験できなくなったりしたため、「けん かのしかた」や「地者の痛み」がわからなくなった(暴力を学習 していないから)。 17. 親や教師や他の子どもたちから痛めつけられて、暴力を学習した (リアルに暴力を学習したから)。 18. 「ガキ大将」によるリーダーシップや年齢階梯制(年齢によって 上下の身分がある)地域集団の消滅(「ガキ大将」がいなくなっ たから) 19. 子ども集団に自生する非民主的な身分関係。心理操作や人心掌握 にたけた攻撃的で支配的なリーダーへの追随(「ガキ大将」がい るから)。 20. 日本の「文化」が崩壊したから。 21. 日本の「文化」が残存しているから。

Dari dua puluh satu penyebab diatas, Naito (2009, 15-18) membaginya ke dalam tiga kelompok besar :

1. 人間関係が希薄であり、かつ濃密である。(⑪⑫) 2. 若い人たちは幼児的であり、かつ、計算高く抑制のきいた「小さ な大人」である。(2‘若い人たちは欲求不満耐性がない、と同 時に、集団力学の趨勢をうかがいながら耐え続けている。)(⑬ ⑭) 3. 秩序が過重であり、かつ、解体している。(③④、⑨⑩) Terjemahan :

1. Persaingan ujian dan pendidikan yang keras sehingga membuat perasaan anak-anak menjadi terganggu atau rentan.

2. Dalam studi atau pelajaran, mulai menghilangnya kesadaran atau tujuan untuk pembentukan diri, menurunnya keinginan atau niat untuk belajar di sekolah, bermalas-malasan, dan sulit untuk mengikuti pelajaran.

3. Sistem pengelolaan pendidikan yang berlebihan.

(6)

5. Sifat alami dari manusia yang memiliki hasrat atau keinginan untuk diperbolehkan dalam segala hal yang dilakukannya. Pada masa remaja muncul istilah (おれさま) yang mengandung makna selalu meninggi-ninggikan, mengagungkan dirinya sendiri, arogan, terlalu menonjolkan dirinya sendiri.

6. Selalu memperhatikan pandangan orang lain, tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya, melemahnya rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri.

7. Melemahnya hubungan dengan orang tua ( kurangnya kasih sayang). 8. Eratnya hubungan dengan keluarga akibat adanya tingkat kelahiran yang

rendah (shoshika) dan tinggal dengan keluarga inti ( kelebihan kasih sayang).

9. Hilangnya rasa solidaritas atau kebersamaan di lingkungan sekolah dan masyarakat, berubahnya pemikiran masyarakat menjadi seperti pemikiran masyarakat kota dan masyarakat konsumtif seiring dengan adanya urbanisasi.

10. Eratnya hubungan kebersamaan di lingkungan sekolah dan masyarakat, hilangnya pemikiran masyarakat kota.

11. Beratnya kehidupan anak-anak yang hanya diisi dengan sekolah dan belajar yang berlebihan. Eratnya hubungan anak-anak dengan anak-anak yang ada disekolah. Tekanan yang berlebihan akan adanya kebersamaan di diri setiap orang.

12. Melemahnya hubungan interpersonal remaja.

13. Para remaja sekarang ini memiliki sifat yang kekanak-kanakan. Secara

psikologis mereka belum dewasa. Kurangnya kesabaran atau

pengendalian diri jika keinginannya tidak terpenuhi.

14. Adanya dinamika kelompok dimana seseorang menginginkan sesuatu ia harus bersabar atau mengalah atau menggunakan cara orang dewasa (licik). Anak-anak sekarang tidak jauh berbeda dengan orang dewasa yang hidup penuh dengan kelicikan dan hilangnya kepolosan seorang anak. (mempengaruhi orang lain)

15. Adegan kekerasan yang secara gamblang diperlihatkan di media massa dan di berbagai permainan atau game eletronik, trend program komedi (belajar kekerasan secara virtual)

16. Karena anak-anak dijauhkan dari masyarakat yang penuh dengan kekerasan atau kematian dan mereka hanya diberikan hal-hal yang membuat mereka bahagia, tidak pernah mengalami kekerasan sehingga mereka tidak memahami bagaimana cara berjuang dan rasa sakit orang lain (karena tidak diajari apa itu kekerasan)

17. Anak-anak mengetahui kekerasan karena pernah menjadi korban kekerasan dari orang tua, guru dan teman.

18. Tidak adanya sistem kepemimpinan dan sistem senioritas pada gakitaisho di dalam kelompok.

19. Dalam kelompok anak-anak itu akan muncul dengan sendirinya hubungan berdasarkan posisi yang tidak demokratis, mereka akan mengikuti pemimpinnya yang secara dominan merebut hati dan mengendalikan para anggotanya (karena adanya gakitaisho). Gakitaisho adalah satu orang anak yang menjadi pemimpin dalam kelompoknya.

(7)

20. Runtuhnya budaya Jepang.

21. Budaya Jepang yang masih tersisa.

Dari dua puluh satu penyebab di atas, Naito (2009: 15-18) membaginya ke dalam tiga kelompok besar :

1. Melemahnya atau menguatnya interpersonal (11,12)

2. Sifat dari anak muda atau remaja yang kekanak-kanakan atau justru seperti orang dewasa yang dapat berfikir licik. Anak muda tidak dapat bersabar akan keinginannya yang tidak terpenuhi atau pada saat yang bersamaan mereka terus bersabar sambil tetap mengikuti kecenderungan dinamika kelompoknya (13,14)

3. Peraturan yang berlebihan atau hilangnya peraturan (3,4,9,10).

Sependapat dengan Naito, faktor penyebab tindakan ijime menurut Astuti (2008: 53-54) adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh keluarga pada ijime anak.

Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah atau ibu, kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, perceraian, atau ketidakharmonisan orang tua, dan ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab terjadinya tindakan bullying.

2. Karakter anak sebagai pelaku ijime. Pelaku ijime umumnya adalah anak yang selalu berperilaku:

a. Agresif, baik secara fisik maupun verbal. Anak yang ingin populer didalam kelompoknya, anak yang tiba-tiba sering membuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategori ini.

b. Pendendam atau iri hati. Anak yang pendendam atau iri hati sulit diidentifikasi perilakunya, karena ia belum tentu anak yang agresif. Perilakunya juga tidak terlihat secara fisikal atau mental. Tetapi dalam penelitian Astuti (2008) terdapat kasus anak yang menaruh dendam pada korbannya, sehingga ia melakukan tindakan ijime. c. Adanya tradisi senioritas (senpai-kohai)

2.3 Bentuk Tindakan Ijime

Murakami (1993: 149) mengklasifikasikan bentuk tindakan ijime ke dalam dua kelompok, yaitu:

1. Penganiayaan fisik, penganiayaan fisik adalah bentuk tindakan ijime yang melibatkan fisik untuk diperolok. Keberadaan korban ijime dianggap sangat

(8)

menganggu kenyamanan pelaku ijime, sehingga mereka sering mengganggu atau menyerang fisik demi kesenangan mereka. Penganiayaan fisik ini dilakukan secara terus menerus. Contoh dari bentuk penganiayaan fisik, yaitu menyiram air kotor ke sekujur badan korban, menampar, menjambak rambut, atau bahkan melakukan pelecehan seksual.

2. Penganiayaan mental.

Murakami mengatakan bahwa tujuh puluh persen bentuk tindakan ijime yang terjadi di sekolah Jepang adalah bentuk tindakan penganiayaan mental. Contoh dari bentuk penganiayaan mental, yaitu menghina, mengancam, memberikan nama julukan dengan tujuan mengolok-olok korban, tidak mengikutsertakan korban ke dalam kelompok serta menjadikan korban sebagai objek bulan-bulanan secara terus menerus di depan banyak orang yang menyebabkan korban ijime merasa malu dan timbul perasaan rendah diri. Beberapa nama julukan yang biasa digunakan antara lain, shine (mati kamu!) , busu onna ( wanita jelek!), dan uzai (penganggu!).

William (2005) mengatakan bahwa, ijime bisa diartikan juga dengan school bullying. Tindakan ijime bisa terjadi secara langsung pada fisik atau emosional dan juga dengan menggunakan media elektronik atau secara tidak langsung. Berikut adalah tipe-tipe dari ijime atau school bullying:

1. Secara fisik: Mendorong, menonjok, menyerang, menampar dan menyiksa.

2. Secara emosional: Menjauhi orang tertentu dalam sebuah group, mengabaikan, meledek seseorang, menyebarkan rumor buruk tentang seseorang dan mempermalukan seseorang.

3. Media Elektronik: Tindakan bullying juga bia terjadi dengan menggunakan media elektronik. bullying bentuk ini biasanya juga disebut dengan cyber-bullying. Beberapa contoh cyber-bullying yaitu, mengirimkan SMS atau email dengan kata-kata kasar, memajang foto atau tulisan tentang korban pada blog atau website, dan menggunakan identitas orang lain untuk menyebarkan rumor tentang korban.

(9)

Bentuk-bentuk tindakan ijime menurut Sullivan (2010: 11-13) yaitu,

1. Fisik : menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci, atau mengintimidasi korban diruangan atau dengan mengitari, memlintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusakan barang korban, penggunaan senjata dan perbuatan kriminal.

2. Non-fisik : terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal.

a. Verbal : panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam atau mengintimidasi, menghasut, berkata kasar pada korban, berkata menekan, dan menyebarkan kejelekan korban.

b. Non-verbal : gerakan (tangan, kaki, anggota badan yang lain) kasar atau mengancam, menatap, muka mengancam,

menggeram, hentakan mengancam, atau menakuti,

memanipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak

mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang dan sembunyi-sembunyi.

2.4 Dampak Tindakan Ijime Terhadap Korban

Tindakan ijime yang dilakukan dalam bentuk tindakan ijime fisik maupun mental yang dilakukan secara terus menerus, dapat berakibat fatal terhadap korbannya. Taki (1998: 1-11) mengatakan bahwa, secara umum stress merupakan dampak psikologi utama yang terjadi karena tindakan ijime. Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit. Stress merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Stress yang ringan sangat berguna untuk memacu seseorang berpikir dan berusaha lebih cepat.

Pearce dalam Astuti (2008: 11) mengatakan bahwa dampak dari tindakan ijime yang dilakukan pelaku dapat mengakibatkan korban merasa tertekan. Kondisi ini menyebabkan korban mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri yang menurun, trauma, malu, merasa sendiri dan takut untuk bersekolah.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan atau mengembangkan variabel lain selain dari variabel yang digunakan pada penelitian ini yang diduga mempengaruhi

Pengadaan alat peraga Montessori di Sekolah Dasar nampaknya masih belum menjadi harapan karena ketersediaan alat peraga di Sekolah Dasar sendiri masih perlu mendapat

Penulisan hukum ini membahas tentang apakah pengajuan kasasi penuntut umum terhadap putusan bebas perkara perkosaan dengan alasan adanya kesalahan penerapan hukum

Pada peningkatan lama perendaman pada kayu jengkol, kupang, tarap dan asam pelipisan menggunakan konsentrasi 5%, 10%, 15% untuk pengawet permetrin, parachem

Dari beberapa kendala telah terjadi maka Proyek Pembangunan Underpass di simpang Dewa Ruci Kuta Bali merupakan proyek yang memiliki risiko cukup tinggi.. Proyek

Pada pertemuan siklus kedua ini terjadi pula pada hasil penilaian dari pembelajaran yang dilaksanakan, dan hasilnya juga sesuai dengan yang diharapkan oleh

Dari uraian diatas dapat simpulkan bahwa pada Perancangan Corporate Identity Koleksi Womenswear Spring/Summer 2015 pada Brand Fashion Alexalexa ini dibuat untuk memperkenalkan