BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Mengenal Kabupaten Mandailing Natal
Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua
bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi Kecamatan Panyabungan,
Batang Natal dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi Kecamatan Kotanopan dan
Muarasipongi. Meskipun terdapat pembagian wilayah Mandailing secara
tradisional menjadi dua bagian, orang Mandailing yang bermukim di Mandailing
Godang dan Mandailing Julu boleh dikatakan masih tetap memiliki adat istiadat
yang sama. Pada masa sebelum Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945,
wilayah Mandailing Godang berada di bawah kekuasaan raja-raja yang bermarga
Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai oleh raja-raja yang
bermarga Lubis.
2.1.2 Letak dan Kondisi Geografis9
Kabupaten Mandailing Natal merupakan pemecahan dari Kabupaten
Tapanuli Selatan. Wilayah Administrasi Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari
atas 8 Kecamatan yakni : Kecamatan Batahan yang terdiri dari 12 desa, Pada Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10’ -
98050’ Lintang Utara 98050’ – 100010’ Bujur Timur. Wilayah administrasi
Mandailing Natal dibagi atas 17 Kecamatan dan 375 desa / kelurahan yang
ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-undang No. 12
Tahun 1998 pada tanggal 23 November 1998.
Kecamatan Batang Natal yang melikupi 40 desa, Kecamatan Kota Nopan dengan
85 desa, Kecamatan Muara Sipongi dengan 16 desa, Kecamatan Penyabungan
dengan 61 desa, Kecamatan Natal dengan 19 desa, Kecamatan Muara Batang
Gadis dengan 10 desa, dan Kecamatan Siabu yang melingkupi 30 desa.
Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak paling selatan dari
propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Mandailing berbatasan dengan :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Tapanuli Selatan.
2. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat
3. Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat
4. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia
Pada tanggal 29 Juli 2003 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda
No. 7 dan 8 mengenai pemekaran kecamatan dan desa. Dengan dikeluarkannya
Perda No. 7 dan 8 tersebut, maka Kabupaten Mandailing Natal kini telah memiliki
17 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 322 dan Kelurahan sebanyak 7
kelurahan. Nama-nama kecamatan hasil pemekaran tersebut terdiri atas ;
(1)Kecamatan Batahan; (2) Kecamatan Batang Natal; (3) Kecamatan Lingga
Bayu; (4) Kecamatan Kotanopan; (5) Kecamatan Ulu Pungkut; (6) Kecamatan
Tambangan; (7) Kecamatan Lembar Sorik Merapi; (8) Kecamatan Muara Sipongi;
(9) Kecamatan Penyabungan Kota; (10) Kecamatan Penyabungan Selatan;
(11)Kecamatan Penyabungan Barat; (12) Kecamatan Penyabungan Utara; (13)
Kecamatan Penyabungan Timur; (14) Kecamatan Natal; (15) Kecamatan Muara
Batang Gadis; (16) Kecamatan Siabu dan; (17) Kecamatan Bukit Malintang.
atau 9,24 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang terluas
adalah Kecamatan Muara Batang Gadis yakni 143.502 Ha (21,67 %) dan terkecil
yaitu Kecamatan Muara Sipongi sebesar 22.930 Ha (3,46 %).
Karena penelitian ini terletak di Desa Rumbio Kecamatan Penyabungan
Utara maka akan lebih baik jika saya mengulas beberapa nama-nama desa di
Kecamatan Penyabungan Utara yaitu :Kelurahan/Desa Beringin/Baringin Jaya • Kelurahan/Desa Huta Dame
• Kelurahan/Desa Jambur Padang Matinggi • Kelurahan/Desa Kampung Baru
• Kelurahan/Desa Mompang Jae • Kelurahan/Desa Mompang Julu • Kelurahan/Desa Rumbio • Kelurahan/Desa Simanondong • Kelurahan/Desa Sopo Sorik • Kelurahan/Desa Sukaramai
• Kelurahan/Desa Tanjung Mompang • Kelurahan/Desa Tor Banua Raja
2.3 DESA RUMBIO 10
Secara Geografis Desa Rumbio berjarak 1,5 KM dari Ibu Kota Kecamatan
Panyabungan Utara serta 7 KM dari Ibu Kota Kabupaten Mandailing Natal atau
berada di daerah dataran rendah, serta dikelilingi oleh empat aliran sungai yaitu
Sungai Aek Bara dan sungai Sialapayung di sebelah Timur bermuara di sungai
10
Aek Godang (Batang Gadis disebelah selatan atau perbatasan dengan Kecamatan
Hutabargot), dan sungai Bulu Poring disebelah Barat. Luas Desa Rumbio secara
keseluruhan adalah mencakup lebih dari 450 Ha meliputi wilayah Perkampungan
seluas 20 Ha, Luas Persawahan 250 Ha luas Lahan Hijau di DAS Sungai Batang
Gadis 150 Ha dan ditambah dengan Lahan Milik Masyarakat Desa seluas 15 Ha.
Kondisi wilayah desa Rumbio karena berada diwilayah dataran rendah
sehingga tidak memiliki perbukitan, dan kondisi tanahnya cukup subur karena
dialiri 4 (empat) aliran sungai yang cukup besar dan banyak ditemukan tanah
Alluvial (tanah humus),sehingga baik untuk pengembangan usaha pertanian
(sawah) dan tanaman horticultura lainnya dan baik juga untuk Budi daya ikan air
tawar atau Kolam Ikan serta Cocok untuk pengembangan Ternak, Kambing, Sapi
dan Kerbau karena tersedianya lahan Hijau yang subur.
Desa Rumbio berpenduduk lebih dari 2000 jiwa dengan jumlah KK (Kepala
Keluarga) sebanyak 430 KK. Berada di dalam wilayah Kecamatan Panyabungan
Utara dan Kabupaten Mandailing Natal– Sumatera Utara, serta berada di dataran
rendah dengan dikelililingi 4 aliran sungai yaitu Sungai Aek Bara, Sungai Siala
Payung, Sungai Bulu Poring dan Sungai Batang Gadis. Di Desa ini, secara sosial
hampir 100 % berdomisili orang Mandailing, hanya sedikit campuran pendatang
yaitu suku Jawa.
Secara epitimologi, desa Rumbio berasal dari kata (Rumbia) dalam bahasa
latinya Metroxylon sagu disinyalir dulunya di desa ini ditemukan banyak pohon
dan buah Rumbia. Penduduk asli Rumbio pada awalnya adalah Marga Rangkuti
Lelo dan Japaras ke desa ini maka terjadilah pembaharuan dengan berpindahnya
Marga Rangkuti dan Hasibuan ke Perkampungan yang sekarang ini dan ini terjadi
kira-kira tahun 1850. kemudian masuk Marga Nasution pada tahun 1876. dan
sekarang ini ada 5 kahanggi yang ada dalam sosial masyarakat desa yaitu : Marga
Hasibuan, Rangkuti, Nasution, Pulungan dan Pardomuan (campuran Lubis dan
lain-lain). Dan kesemuanya melambangkan ciri khas adat dan Budaya
Mandailing dengan system Dalihan Na tolu, dimana didalamnya ada yang disebut
: (Mora, Kahanggidan Anak Boru).
Dalam kehidupan sosial masyarakat desa masih kuat menjunjung Budaya
dan Adat Istiadat yang secara turun temurun masih dilakukan oleh lapisan
masyarakat. Sebagai contoh adanya pantangan nikah dengan satu Marga, dalam
setiap acara pesta (baca Siriaon) masih kuat berperannya Kahanggi,Anak boru,
dan Mora begitu juga jika terjadi kemalangan (baca Siluluton) tetap berperannya
Dalihan Natolu sekaligus seluruh lapisan masyarakat.
Begitu juga dalam kegiatan sosial keagamaan masih sering masyarakat
melaksanakan acara makan bersama seluruh lapisan masyarakat dengan
memotong Lembu 1-2 ekor dan memasak bersama dengan seluruh kahanggi yang
ada tanpa terkecuali. Selain sosial masyaakat desa masih ada yang organisasi yang
tetap eksis sampai sekarang yaitu Peranan Naposo dan Nauli Bulung yang secara
aktif terus melaksanakan aksi sosialnya. Desa Rumbio dibatasi oleh beberapa desa
disekitarnya seperti :
• Sebelah Timur berbatasan dengan lahan Persawahan Masyarakat Desa Mompang Julu dan Gunung Barani Kec. Panyabungan Kota.
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Mompang Jae.
• Sebelah Barat berbatasan dengan Lahan Perkebunan masyarakat DesaTorbanuaraja dan Bulu Mario.
• Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kumpulan setia Kecamatan Hutabargot.
Sebagai Desa yang berbatasan langsung dengan wilayah dua Kecamatan
yaitu : Sebelah Timur yang berbatasan dengan Desa Gunung Barani dan Desa
Manyabar dengan posisi menyisiri DAS Batang Gadis dan di Sebelah Selatan
berbatasan langsung dengan Wilayah Desa Kumpulan Setia yaitu (Desa Saba
Opur dan Mondan) Kecamatan Hutabargot yang harus menyeberangi Sungai
Batang Gadis dengan memakai perahu ganda (Getek). Sehingga posisi Desa
Rumbio sangat membutuhkan prasarana jembatan penghubung yang melintasi
Sungai Batang Gadis sehingga arus Transportasi menuju ke dua kecamatan akan
sangat mudah.
.
Foto1
Lokasi Sungai Batang Gadis yang menghubungkan ke dua Kecamatan. Posisi Gambar ketika debit air sungai cukub besar (meluap)
Foto 2
Alat Transportasi Tradisional Perahu Ganda (Getek) menuju ke arah Perbatasan Kecamatan Hutabargot
2.3.1. Letak Geografis Desa Rumbio
Berdasarkan potensi dan Geografis Desa yang sangat strategis untuk
menghubungkan kedalam dua wilayah Kecamatan sangat dibutuhkan Jembatan
Penghubung agar transportasi dapat berjalan dengan lancar. Dan dengan
kehadiran Jembatan di Sungai yang melewati Desa Rumbio ini diharapkan laju
perputaran ekonomi masyarakat akan naik secara signifikan.Berdasarkan hal
tersebut maka masyarakat desa Rumbio, dan desa-desa yang ada di dua kecamatan
selama ini sangat mendambakan akan hadirnya Jembatan Penghubung, yang jika
Pemerintah dapat membangunnya ini adalah Mukjizat bagi warga masyarakat
yang tinggal di 3 (tiga) kecamatan.
2.3.2. Demografi Desa Rumbio A. Kekayaan Alam
Di desa Rumbio terdapat Potensi kehidupan yang cukup baik. Posisi Desa
mengelilingi desa, sehingga tanahnya begitu subur banyak terdapat tanah Alluvial
(tanah humus) sehingga sangat cocok untuk Pertanian, Hortikultura, Palawija,
Perikanan, Peternakan dan Perkebunan serta Agrowisata desa yang menunjang
karena adanya pantai dari sungai di desa. Luas desa seluruhnya mencapai 470 Ha
dengan kondisi lahan Pertanian padi sawah mencapai 250 Ha, Perkebunan
Hortikultura dan Pala wija 100 Ha, Perkampungan 20 Ha serta lapangan Hijau
penggembalaan di DAS batang gadis 100 Ha.
Sehingga dengan kondisi tanah yang subur maka rata-rata sumber
kehidupan masyarakat adalah Bercocok tanam Padi-Sawah, sekaligus berkebun
Pala wija dan Hortikultura dan sebahagian masyarakat juga memiliki Ternak sapi
dan Kambing juga kerbau, disamping itu dengan kondisi Sungai yang ada juga
sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang Perikanan. Dengan potensi
Perikanan juga tidak kalah karena keadaan geografis yang menunjang serta
adanya aliran sungai yang mengelilingi desa, maka potensi ini siap
dikembangkan. Namun keberadaan sektor perikanan masih lemah karena pasar
masih dikuasai dari jaringan perikanan Sumatera Barat.
Foto 3
Lahan Pertanian dan Lahan Perkebunan Jagung dan Kelapa
Dengan adanya lahan Pertanian terutama Padi Sawah yang cukup luas
Desa Rumbio dapat dijadikan sebagai penyuplai ketahanan Pangan di
Mandailing Natal. Namun keberadaannya dan disetiap hasil panen masyarakat
selalu tidak maksimal. Hal ini membutuhkan perhatian khusus bagi masyarakat
petani. Disamping Tanaman Padi-Sawah, Di Desa Rumbio juga menjadi produsen
tanaman pangan lainnya seperti, Jagung yang setiap periodenya dapat menanam
lebih dari 70 ha. Hal ini menjadi tambahan bagi pendapatan perkapita setiap
Rumah Tangga di Masyarakat. Desa Rumbio juga dari tahun ke tahun menjadi
Produsen kelapa dan Pisang, dapat dikatakan setiap hari jumlah kelapa yang
keluar dari desa Rumbio dapat mencapai Ribuan kelapa. Serta lahan milik
masyarakat untuk tanaman Kelapa ini dapat mencapai 100 Ha. Potensi peternakan
menjadi Sentra peternakan di Kabupaten Mandailing Natal, dan peternakan ini
pada umumnya berada di DAS Batang Gadis. Peternakan yang biasa di
kembang-biakkan adalah ternak hewan berkaki 4 seperti Lembu, Sapi, dan Kambing.
Fotor 4
Lahan Potensial Desa Rumbio untuk bertenak. Potensi Perikanan
Keadaan alam yang sangat mendukung desa rumbio berpotensi menjadikan
desa tersebut sebagai lahan perikanan, hal ini sangat di dukung dengan 4 aliran
sungai yang mengelilingi desa rumbio.
Foto 5
Potensi Pariwisata
Keadaan alam yang sangat indah seperti Daerah Aliran Sungai Batang Gadis
menjadi Potensi Panorama Alam yang juga cukup baik bila dikembangkan dalam
kegiatan
Usaha Sosio Tourism/ Agrowisata.
Foto 6
Anak Sungai Batang Gadis
Etnik adalah sekumpulan orang atau individu yang mempunyai budaya dan
sosial yang unik serta menurunkannya kepada generasi mereka yang berikutnya
seperti halnya etnik yang berasal dari Mandailing akan secara turun temurun di
manapun ia bertempat tinggal. Etnik ini menurut garis keturunan ayah (patrilineal)
yang terdiri dari marga-marga : Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara,
Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lain-lain. Marga-marga ini tidak
serentak mendiami wilayah Desa Rumbio. Ada beberapa marga yang datang
kemudian dan mendiami wilayah Mandailing yang kemudian dianggap sebagai
warga Rumbio dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang.
oleh karena itu agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan
upacara-upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris
sebahagian besar di antara mereka banyak memakai hukum Islam. Di Mandailing
ada falsafah yang menyebutkan Hombar do adat dohotibadat. Artinya adat dan
istiadat tidak dapat dipisahkan, adat tidak bolehbertentangan dengan agama Islam.
Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksanaan
agama, adat itu harus dikesampingkan.
2.4. Awal Mula Masuknya Agama Islam ke Mandailing
Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia dan karena itulah
mereka selalu banyak bertindak dan bahkan mau memberikan suatu keputusan di
dalam Negara republik Indonesia. Perkembangan agama ini sangat pesat dan
penyebaran yang dilakukan mereka untuk menyebarkan agama ini dengan cara
perdagangan, perkawinan, dan juga pendekatan dengan petinggi-petinggi tiap
daerah itu. Penyebaran islam di Indonesia dengan menggunakan tiga teori yaitu
teori Gujarat, Makkah dan juga Persia.
Penyebaran islam ke Indonesia tersebut langsung diterima oleh masyarakat,
yang dimasuki oleh para pedagang yang dari Arab tersebut. Masuknya Islam ke
Mandailing tidak dapat dilepaskan dengan Perang Paderi (1821-1838). Masuknya
pasukan Paderi dari Sumatera Barat telah mendorong perubahan sosial dalam
tatanan masyarakat Mandailing. Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang
Mandailing yang belajar Islam di Bonjol.
Tetapi ketika pasukan Paderi masuk, mereka melakukan peng-Islam-an lagi
Mandailing Tuanku Tambusai,(Pakih Saleh) dan Tuanku Rao, membalas dengan
melakukan penyiksaan bagi mereka yang menolak tata hidup yang dibawa Paderi.
Selain dipengaruhi ideologi “jihad” yang mereka ambil dari Arab, kelompok
Paderi ini juga membawa nilai-nilai kemerdekaan dan anti kolonialisme. Selama
Perang Paderi, Tuanku Tambusai, setelah pulang dari Mekah mengajarkan Islam
di wilayah Padang Lawas, Padang Bolak, Sipirok, dan Mandailing. Pada Tahun
1995, Tuanku Tambusai diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Tuanku Rao
mengganti namanya menjadi Pakih Muhammad. Ia merupakan Imam Besar di
Rao, diyakini merupakan keturunan Lubis dari Hutagodang.
Selama satu dekade, Paderi mendominasi wilayah Mandailing melalui
kekuasaan qadi. Kekuasaan qadi merupakan bentuk yang sangat efektif untuk
menunjukkan bentuk pemerintahan Islam ketika itu. Qadi bukan sekedar
membawa pengaruh nilai-nilai islam, tetapi juga memiliki pengaruh
sosial-ekonomi dan politik. Dengan gelar haji, mereka identik dengan seseorang yang
memiliki pengetahuan agama yang luas dan mampu membawa nilai-nilai
persaudaraan Islam (ummah) di Mandailing dengan dunia Arab secara luas.
Mereka juga membawa budaya Islam ke Mandailing.
Setelah masuknya agama islam ke Mandailing termasuk desa Rumbio
banyak perubahan yang terjadi pada upacar adat maupun ritual-ritualnya. Hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran agama islam banayak di tinggalkan. Maka di
Mandailing diubah menjadi Ombar adat dohot ugamo. (adat dan agama seiring
sejalan). Konsep ini yang menjadi cikal bakal konsep Islam Mandailing sampai
2.4.1.Pengaruh Agama Islam Terhadap Adat Istiadat di Desa Rumbio
Sebelum masuknya islam ke Mandailing, adat budaya Mandailing di
pengaruhi oleh kepercayaan animisme yang menyembah roh-roh halus. Dengan
masuknya agama islam ke Mandailing termasuk desa Rumbio tentu
mempengaruhi adat istiadat seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian,
upah-upah, gondang sambilan, dan sebagainya.
“Desa Rumbio pada zaman dahulu mengenal kepercayaan
animisme yaitu Si Pale Begu. Masa sebelum masuknya Islam ke Mandailing disebut dengan masa kegelapan (na itom na robi)11
Contohnya menjadikan kepala kerbau secara utuh dalam upah-upah tidak
digunakan lagi dikarenakan bagi sebagian orang mengikatkanya seoalah-olah
kepala kerbau sebagai persembahan (sesajen
. Maka dari itu setiapa kegiatan yang dilakukan masyarakat Rumbio merupakan persembahan-persembahan untuk si begu, ujar Tobang Hj Asni.”
12
Soekanto dalam bukunya mengatakan bahwa dalam masa pre Hindu yang
terdapat di Indonesia adalah adat-adat melayu polinesia. Lamabat laun datang ). Dan juga setelah kedatangan
islam biasanya acara mangupa dalam ritual mengayunkan anak disatukan dengan
aqiqah. Acaranya diatur sedemikan rupa agar tidak bertentangan satu sama lain.
Karena itu selain mengundang pengetua-pengetua adat, diudang juga
pemuka-pemuka agama. Sebagaimana dengan ritual lainya semua yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam hampir semua telah ditinggalkan.
11Hasil wawancara dengan Tobang Hj, seseorang yang dituakan dalam hal melakukan ritual ritual adat.
12
Sesajen berarti sajian atau hidangan berupa makanan atau bunga-bungaan dan sebagainya yang disajikan kepada orang (Makhluk) halus atau roh. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagian besar masyarakat kita pada umumnya
kultur hindu dan kemudian kultur Islam dan kultur kristen, yang masing-masing
mempengaruhi kultur aslinya. Pengaruh ini begitu besar, sihingga ada banyak
penyelidik-penyelidik hukum adat yang tersesat (in dwaling verkeet) dan
berpendapat bahwa yang terpenting dalam adat istiadat indonesia bukan adat-adat
melayu polensia yang dasarnya hukum adat indonesia, akan tetapi adat hindu atau
adat Islam maupun kristen. (soekanto 1958;50).
Dari manapun asal adat istiadat tersebut sudah dipengaruhi oleh teori
Receptio in Complexu. Di Mandailing pengaruh yang paling besar adalah agama
Islam. Teori receptio in complexu ini dikemukakan olehMr. W.C. van den Berg,
Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada
Pemerintah kolonial Belanda. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama
bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”13
Menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama
tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama
yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang
dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan”
dari hukum agama yang telah diterima secara keseluruhan(“in complexu
gerecipieerd”) itu. Dengan berlandas pada teori yang dikemukakannya itu, maka
.
13
H. Pandapotan Nasution, SH, Adat budaya Mandailing dalam tantangan zaman (cetakan pertama:FORKALA Prov.Sum. Utara 2005), hal 466
van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai hukum yang terdiri hukum
agama dan penyimpangan-penyimpangannya.
2.5. DALIHAN NA TOLU
Di dalam paradaton (adat) hubungan antara satu sama lain didasarkan
kepada lembaga adat dalihan na tolu sesuai dengan sistem kekerabatan di
Mandailing yang sifatnya patrilineal (menurut garis keturunan dari bapak), maka
perkawinan sifatnya eksogami, artinya perkawinan dilakukan antar marga. Dari
perkawinan antar marga timbullah tiga unsur yang satu sama lain saling terkait,
saling memberi, saling menerima, saling mendengar, bersikap serta bertindak
secara serasi, selaras, dan seimbang. Di dalam pelaksanaan kepemimpinan adat
dan pada upacara-upacara adat ketiga unsur ini memegang peran penting.
“Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu
pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya
dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagainnya atau
unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan
bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu.
Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat
fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi
agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup.
Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial budaya itu akan
mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi
beda jenis” (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78). Pendekatan
Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40)14
2.5.1. Pengertian Dalihan Na Tolu
Dengan mengacu
pada pendekatan fungsional itu, maka stabilitas dan integrasi sistem sosial budaya
sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem.
Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah
kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial budaya yang
bernama dalihan na tolu yang unsur-unsurnya terdiri dari mora, kahanggi, dan
anak boru, semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga
saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap
terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu
menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh
unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.
Dalihan Na Tolu secra harfiah diartikan sebagai tungku yang penyangganya
terdiri dari tiga, agar tungku tersebut seimbang. Secara etimologi berarti
merupakan suatu tumpuan yang komponennya terdiri dari tiga unsur. Dalihan Na
Tolu pada masyarakat Mandailing mengandung tiga arti, tiga kelompok
masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara-upacara adat lembaga
dalihan na tolu ini memegang peran yang penting dalam menetapkan
keputusan-keputusan. Tiga unsur yang terdapat pada dalihan na tolu terdiri dari kelompok:
a. Suhut dan kahangginya
b. Anak boru
c. Mora
14
Mora
Suhut dan Kahanggi Anak Boru
Ketiga unsur ini mempunyai fungsi dan kedudukan yang berbeda satu
sama lain. Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh kedudukannya,
apakah pada saat itu yang besangkutan berkedudukan sebagai kahanggi, anak
boru atau mora. Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai kahanggi, anak boru atau mora maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai
dengan situasi, kondisi, dan tempat.
Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan, dan
warga-warganya berinteraksi didalamnya berdasarkan sistem simbolik yang
menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu kerabat
karena hubungan darah, hubungan kawin, dan karena hubungan keturunan. Dalam
usahanya menganalisis segala macam sistem kekerabatan Levis strauss
berpangkal pada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga
inti adalah :
1. Hubungan antara seseorang individu E dengan saudara-saudara
sekandungnya yang berupa hubungan darah.
2. Hubungan antara E dengan istrinya berupa hubungan karena kawin,
yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya dengan
3. Hubungan yang lain yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan
anak-anak mereka, yang merupakan hubungan keturunan.
Dalam kenyataan kehidupan kekerabatan ada hubungan positif dan
hubungan negatif. Dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap
bersahabat, mesra, dan cinta-mencintai, sedangkan apa yang dianggapnya
hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi , dan
menghormati. (levis strauss)
Sebagaimana ketiga unsur yang ada di dalihan na tolu hubungan antara
kahanggi, anak boru aupun mora harus saling berhubungan satu sama lain.
Karena jika disetiap acara adat tidak melihat ketiga unsur itu dianggap tidak
beradat. Karena itu, keluarga dan semua keturunannya tidak berhak memperolah
perlakuan adat. Mora,kahanggi, dan anak boru membentuk relasi hubungan segi
tiga. Ketiga unsur pembentuknya saling terkait seperti hubungan jala-jala. Konsep
Dalihan na Tolu ini menjadi landasan sistem sosial adat dan budaya Mandailing.
1. Unsur Dalihan Na Tolu
A. Suhut dan kahanggi
Yang dimaksud dengan suhut dan kahanggi adalah suatu kelompok keluarga
yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama dalam satu huta
(kampung) yang merupak bonabulu (pendiri kampung). Suhut berkedu
dukan sebagai tuan rumah di dalam pelaksanaan upacar-upacara adat. Suhut
dan kahanggi terdiri dari :
Suhut adalah mereka yang merupakan tuan rumah dalam pelaksanaan upacara
adat. Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala
sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut
b. Hombar suhut Hombar suhut
Hombar suhut Hombar suhut adalah keluaraga dan kahanggi semarga dengan suhut, tetapi tidak satu nenek. Hombar suhut ini tidak hanya berasal dari huta
yang saama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai hubungan keluarga
dan semarga dengan suhut.
c. Kahanggi pareban
Kahanggi pareban adalah kelompok pertama dan yang ketiga sama-sama
mengambil istri dari keluarga yang sama. Dalam status adat kahanggi pareban ini
dianggap sebagai saudara markahnggi berdasarkan perkawinan. Didalam suatu
huta dikenal dengan apa yang disebut dengan namora-namora di huta. Yang
dimaksud dengan namora adalah kerabat-kerabat, kahanggi, dan raja huta
B. Anak boru
Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau mengambil istri dari
kelompok suhut. Anak boru sebagaimana halnya dengan suhut, terbagi atas: • Anak boru bona bulu
Anak boru bona bulu yaitu anak boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak pertama kalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang
pertama kali mengambil boru dari keluraga kelompok suhut. Anak boru ini
bertempat tinggal dengan suhut di huta tersebut. Anak boru ini dalam paradaton
terhadapsuhut akan menjadi keudukan anak boru terhadap moranya. Jika
dipandang dari sudut suhut, maka pendampingnya adalah anak boru. • Anak boru busir ni pisang
Anak boru busir ni pisang yaitu anak boru yang karena orang tuanya mengambil
istri dari kelompok suhut. Oleh sebab itu anak-ankanya akan tampil sebagai anak
baru busir ni pisang. Dengan demikian secara turun temurun berhak mangambil
istri dari kelompok suhut ini. • Anak boru sibuat boru
Anak boru sibuat boru yaitu anak boru yang mengambil istri dari suhut. Dengan
demikian ia berkedudukan sebagai anak boru. Lama kelamaan anak boru ini
(turunanya) akan menjadi anak boru busir ni pisang (anak boru pada tingkat
kedua).
C. Mora kelompok
Mora adalah tingkat keluarga yang oleh suhut mengambil boru (istri) dari
kelompok ini. Mora terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
Mora mata niari
Mora mata ni ari adalahkelompok keluarga yang secara turun-temurun menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertama kalinya telah mengambil baru dari
kelompok ini. Dalaam upacar adat mora mata ni ari dapat hadir sebagai harajaon
Mora ulu bondar
Mora ulu bondar adalah mora tempat kelompok suhut mengambil boru. Mora ini
itu secar turun-temurun kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok
mora ini
Mora pambuatan boru
Mara pambuatan boru yaitu kelompok keluarga tempat suhut mengambil istri, mora sebagai kelompok keluarga yang baru pertama kalinya memberi boru
kepada keluaga suhut. Suhut yang mengambil boru secara langsung ini menggap
keluaga mora ini sebagai mora pambuat boru.
Apabila dalihan na tolu ini dikembangkan, mora tentu mempunyai mora,
maka jika dipandang dari sudut suhut, maka kedudukanya adalah mora ni mora.
Demikian juga dengan anak boru tentu mempunyai anak boru dan jika dipandag
dari sudut suhut, kedudukanya disebut pisang raut.
2.5.2. Mekanisme kerja lembaga Dalihan Na Tolu
Koentjarningrat (1979) menyatakan bahwa lembaga sosial adalah sistem
sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk
berinteraksi menurut pola-pola atau sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan
khusus dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa lembaga dalihan na tolu berperan
dalam upacara-upaca adat. Kedudukan suhut/kahanggi, anak boru, dan mora
dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Meskipun kedudukannya dapat
berubah mereka tetap saling menghormati, saling memberi, saling menerima, dan
saling mendengarkan satu sama lain. Bagaimana hubunga ketiga unsur dalihan na
Bagi lembaga dalihan na tolu tanggung jawab untuk mensuksekan suatu
pekerjaan adalah merupakan hak dan kewajiban. Cara kerja dalihan na tolu
merupakan suatu sistem yang saling terkait, saling berhubung maupun saling
mendukung. Di dalam pelaksanaan upacara-upacara adat ketiga unsur dalihan na
tolu, harus tetap mardomu ni tahi (selalu mengadakan musyawarah mufakat).
Musyawarah maupun mufakat akan tercapai jika unsur rasa kesatuan, rasa
tanggung jawab, dan rasa saling memiliki tetap terpelihara. Berhasilnya suatu
pekerjaan di tentukan oleh :
1) Adanya rasa persatuan dan kesatuan
Rasa persatuan dan kesatuan adalah merupakan salah satu faktor yang harus di
junjung tinggi dalam lembaga dalihan na tolu. seluruh proses pelaksanaan di
dalam upacra-upacara adat yang memrlukan adanya musyawarah untuk mufakat,
dapat tercapai jika rasa kesatuan dan persatuan ini tetap terjalin. Setiap unsur dari
dalihan na tolu ini yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora harus tetap
menyadari hak dan kewajibanya. Rasa persatuan dan kesatuan di dalam
masyarakat hukum bukanlah hal yang baru, sudah ada sejak dulu. Rasa persatuan
dan kesatuan yang dimiliki masyarakat Mandailing merupakan flasafah dasar
yang bersal dari adanya nilai-nilai holong dohot domu.
Holong artinya cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang ini sudah
terpatri di dalam lubuk hati setiap manusaia sejak ia dilahirkan. Dari rasa cinta
dan kasih sayang akan menimbulakan rasa persatuan dan kesatuan (domu) yang
juga bermakna rukun dan damai yang didasarkan pada kasih sayang, sehingga
dohotdomu tadi maka ketiga unsur kahanggi, anak boru, mora dapat di persatukan
di dalam suatu lembaga yang disebut dalihan na tolu.
rasa persatuan dan kesatuan ini bukan saja didsarkan atas adanya ikatan
teritorial, tetapi juga yang geneologi yang walau dimanapun ia berada rasa
persatuan dan kesatuan. Holong dohot domu (kasih dan rukun) sebagai falsafah
hidup masyarakat adat Mandailing adalah merupakan pedoman hidup yang
sekaligus merupakan cita-cita hidup yang ingin dicapai. Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa domu adalah perwujudan dari holong yang sudah dibawa sejak
lahir yang sudah merupakan surat tumbaga holong. Surat tumbaga holong
merupakan makna ajaran abadi dari nenek moyang dalam masyarakat Mandailing.
Dengan kata lain falsafah hidup masyarakat ini dapat dijadikan sebagai :
a. Dasar hidup untuk bermasayarakat
b. Cita-cita/tujuan yang dicapai
c. Jiwa dan kpribadian
d. Pegangan hidup
Dengan berpedoman pada keempat unsur tersebut maka akan tercapailah
ketentraman dan kebahagian lahir dan batin dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara.
2) Adanya rasa memiliki
Sejalan dengan rasa kesatuan dan persatuan yang dalam melakukan setiap
pekerjaan harus dimusyawarahkan bersama, dikerjakan bersama, makahasilnya
adalah hasil dari usaha bersama. Dengan demikian jika hasilnya ataus usaha
bersama yang harus dinikmati bersama. Persaan memiliki kemudian akan
menimbulkan dorongan kepada masing-masing untuk memelihara miliknya
tersebut. Para ahli pembangunan menyebutkan bahwa berhasilnya pembangunan
harus didukung oleh15
a. Social support yaitu memberi dorongan kepada masyarakat untuk ikut
berbagi kebahagian kampungnya (hutanya). Hal ini digambarkan dengan
semboyan : :
1. Baen ma huta marjalangan na so marongit
2. Baen ma huta marguluan na so marlinta
3. Baen ma huta martalaga no so ra hiang
4. Bahat ni sabur sabi, anso adong salongon
Semboyan ini merupakan anjuran bagi setiap anggota masyarakat untuk
mengusahakan agar kampungnya aman, tanpa ada pencurian dan pemerasaan.
Berbuatlah untuk kemakmuran kampung, agar kesejahteraan keluarga tetap
terjaga, jika menabur benih akan menuai hasilnya.
b. Social participacion maksudnya jika sudah ada dorongan untuk berbuat,
maka akan timbul rasa ikut berpartisipasi secra bersama-sama
menciptakan kesejahteraan bersama. Di dalam masyarakat adat ada di
gambar semboyan seperti :
1. Tampokna do rantosna, rim ni tahi do gogna
2. Mago pahat mago kuhuran, di toru ni jabi-jabi
15
H. Pandapotan Nasution, SH, Adat budaya Mandailing dalam tantangan zaman, cetakan pertama (FORKALA Prov.Sum. Utara 2005), hal 90-94
3. Mago adat, tulus aturan anggo dung mardomu tahi.
Yang artinya, bahwa jika semua turut merasakan partisipasi yang
dilandasi rasa persatuan dan kesatuan, maka akan tercapai musyawarah untuk
mufakat. Dan jika pekerjaan tersebut dimusyawarahkan, maka segala kesulitan
akan dapat diatasi, karena musyawarah untuk mufakat tersebut sangat dijunjung
tinggi.
c. Sosial control, dijelaskan bahwa pekerjaan yang disarankan sebagai milik
bersama akan menimbulakan tanggung jawab untuk mengawasinya.
Adanaya rasa saling mengawasi diri sediri dan diri orang orang lain.
a. Tarida urat ditutupan, masopak dangka di rautan.
b. Unduk-unduk di toru bulu, ise na tunduk inda tola dibunu.
Yang artinya, kesalahan orang lain malu bersama harus diperbaiki bersama.
Jika orang sudah mengaku bersalah janngan lansung diberi hukuman, tetapi harus
dianggap merupakan pengalam yang berharga.
1) Adanya rasa tanggung jawab
Rasa tanggung jawab bersama ini yang terutama yang harus dilaksanakan
oleh unsur lembaga dalihan na tolu. dengan sendirinya muncul sebagai akibat
adanya rasa persatuan dan kesatuan serta rasa saling memiliki. Rasa
tanggungjawab tersebut ditimbulkan oleh rasa, bahwa beban oang lain adalah
beban bersama, kesusahan orang lain adalah kesusahan bersama, kegagalan orang
lain adalah kegagalan bersama, keberhasilan orang lain adalah keberhasilan
bersama. Rasa tanggung jawab tersebut tidak hanya dalam bentuk moril saja tetapi
patik-patik ni paradaton (patokan, ketentuan, dan norma adat). Yang selalu
dipeggang teguh oleh masyarakat adat itu sendiri. Masyarakat mandailing
memiliki prinsip yang harus dipegang teguh agar tercapai sebuah kebahagian dan
ketentraman. Prinsip tersebut ialah :
Songon siala sampagul
Rap tuginjang rap tu tori
Muda malamun saulak lalu
Sa bara sa bustak
Sa lumpat sa indege
Yang artinya, sebagai anggota masyarakat prinsip rasa saling bertanggung
jawab itu harus diumpamakan sebagai buah kincung (siala) yang bersatu padu,
sama-sama ranum, sama-sama masak. Juga seprti ternak peliharaan harus satu
kandang dan satu tempat dalam pemberian makanan. Pahit manisnya harus
sama-sama dirasakan. Kesulitan harus dialami harus sama-sama-sama-sama diatasi. Perbedaan
pendapat selalu tetap ada, namun dengan rasa kesatuan dan persatuan yang
melahirkan rasa tanggung jawab bersama ini, akan tetap terbina dan dijunjung
tinggi.
Rasa tanggungjawab ini akan menimbulkan persepsi, bahwa harus selalu
menyatukan pendapat. Pendapat yang berbeda akan menghasilkan keadaan yang
bertentangan dengan apa yang diharapkan semua pihak, tetapi tidak semua pihak
diminta pertanggungjawaban. Maka sebab itu pendapat yang yang dihasilakan
dari musyawarah untuk mufakat harus tetap dijunjung tinggi. Perbedaan pendapat
boleh jika untuk kebaikan, tetapi jangan menjadi perselisihan.
Bapak kepala desa mengatakan “bahwasanya Masyarakat di desa Rumbio masih menerapkan rasa tanggung jawab yang terdapat didalam daliahan na tolu tetapai hanya
dalam prosesi adat saja, misalnya Horja (acara pernikahan), Mengayunkan anak, maupaun adanya
keluarga yang mendapat musibah saja, dikarenakan sistem raja sudah tidak ada lagi di desa Rumbio16
16 Hasil wawancara dengan kepala Desa Rumbio
.
Jika pembanguan yang dilakukan dirasakan adalah kepentingan bersama,
miliknya bersama, maka setiap orang harus dapat memberi dukungan, ikut
berpartisipasi serta saling mengawasi di dalam pelaksanaan dan sama-sama
menikmati hasilnya. Di dalam masyarakat adat Mandailing ketiga ini juga di