• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan yang setinggi-tingginya. Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan yang setinggi-tingginya. Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Prinsip Dasar Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan 3 (tiga) komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tertentu akan menghasilkan kesehatan kerja yang optimal (Suma’mur, 1996).

2.1.1. Kapasitas Kerja

Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam suatu medan kerja tertentu. Kapasitas kerja seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik dan psikis yang baik diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan bagaimana mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung kepada keterampilan, keserasian, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran-ukuran tubuh (Depkes RI, 1994).

Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja merupakan modal awal seseorang untuk melakukan pekerjaan yang perlu diperhatikan. Semakin tinggi keterampilan kerja yang dimiliki, semakin efisien badan dan jiwa bekerja, sehingga beban kerja menjadi relatif sedikit. Tidak heran, apabila angka sakit dan mangkir kerja sangat kurang pada mereka yang memiliki keterampilan tinggi, lebih-lebih bila mereka

(2)

memiliki cukup motivasi dan dedikasi. Suatu contoh sederhana tentang kurangnya beban kerja bagi seorang ahli adalah seorang montir mobil yang dengan mudah membuka ban kenderaan bermotor.

Kesegaran jasmani dan rohani adalah penunjang penting produktivitas seseorang dalam kerjanya. Kesegaran tersebut dimulai sejak memasuki pekerjaan dan terus dipelihara selama bekerja, bahkan sampai setelah berhenti bekerja. Kesegaran jasmani dan rohani tidak saja pencerminan kesehatan fisik dan mental, tetapi juga gambaran keserasian penyesuaian seseorang dengan pekerjaannya, yang banyak dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan, dan pengetahuan yang dimilikinya. Seorang pejabat tinggi yang menempati kedudukannya oleh karena dorongan relasi atau politik dan bukan atas kemampuannya akan tidak produktif (Suma’mur, 1996).

2.1.2. Beban Kerja

Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban yang dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang pekerja berat, seperti pekerja-pekerja bongkar dan muat di pelabuhan, memikul lebih banyak beban fisik dari pada beban mental atau sosial. Sebaliknya seorang pengusaha, mungkin tanggung jawabnya merupakan beban mental yang relatif jauh lebih besar. Adapun petugas sosial, mereka lebih menghadapi beban-beban sosial (Suma’mur, 1996).

Beban kerja meliputi jenis pekerjaan fisik yang cukup berat, misalnya mencangkul, menyabit, membabat dan lain-lain. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, atau mental, atau sosial. Namun sebagai

(3)

persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu (Depkes RI, 1994).

Ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Atau pemilihan tenaga kerja tersehat untuk pekerjaan yang tersehat pula. Derajat tepat suatu penempatan meliputi kecocokan pengalaman, keterampilan, motivasi dan lain-lain. Dalam usaha menetukan beban kerja maksimal, beban fisik lebih mudah dirumuskan yaitu 50 kg sebagai beban kerja tertinggi yang diperkenankan berdasarkan rekomendasi ILO.

Jumlah denyutan jantung merupakan petunjuk besar-kecilnya beban kerja. Pada pekerjaan sangat ringan denyut jantung adalah kurang dari 75, pekerjaan ringan diantara 75-100, agak berat 100-125, berat 125-150, sangat berat 150-175 dan luar biasa berat lebih dari 175/menit. Beban kerja ini menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja sesuai dengan kapasitas kerjanya. Makin besar beban, makin pendek waktu seseorang dapat bekerja tanpa kelelahan atau gangguan (Suma’mur, 1996). 2.1.3. Beban Tambahan Akibat Lingkungan Kerja

Sebagai tambahan kepada beban kerja yang langsung akibat pekerjaan sebenarnya, suatu pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu lingkungan atau situasi, yang berakibat beban tambahan terhadap jasmani dan rohani tenaga kerja. Beban tambahan berasal dari lingkungan pekerjaan seperti suhu udara dingin atau panas, kebisingan, hujan serta keserasian pekerjaan dengan alat-alat yang digunakan (Depkes RI, 1994).

(4)

2.1.4. Fisiologi (Faal) Kerja

Ilmu tentang faal yang dikhususkan untuk manusia yang bekerja disebut ilmu faal kerja. Secara faal, bekerja adalah hasil kerja-sama dalam koordinasi yang sebaik-baiknya dari dria (mata, telinga, peraba, perasa, dan lain-lain), otak dan susunan syaraf-syaraf di pusat dan di perifer serta otot-ototnya. Selanjutnya, untuk pertukaran zat yang diperlukan dan yang harus dibuang masih diperlukan peredaran darah ke dan dari otot-otot. Dalam hal ini, jantung, paru-paru, hati, usus, dan lain-lainnya menunjang kelancaran proses pekerjaan. Mula-mula koordinasi indera, susunan syaraf, otot, dan alat-alat lain berjalan secara sukar dan masih harus disertai upaya-upaya yang diperlukan. Kenyataan ini terlihat pada seorang tenaga kerja baru yang sedang menjalani latihan. Lambat laun gerakan menjadi suatu refleks, sehingga bekerja menjadi automatis. Semakin cepat sifat refleks dan automatis tersebut yang disertai semakin baik koordinasi serta hasil kerja, semakin tinggi pulalah keterampilan seseorang (Suma’mur, 1996).

Otot-otot adalah salah satu organ yang terpenting terutama untuk pekerjaan fisik. Otot bekerja dengan jalan kontraksi dan melemas. Kekuatan ditentukan oleh jumlah yang besar serat-seratnya, daya kontraksi, dan cepatnya berkontraksi. Sebelum kontraksi (mengerut), darah di antara serat-serat otot atau di luar pembuluh-pembuluh ototnya terjepit, sehingga peredaran darah, jadi juga pertukaran zat terganggu dan hal demikian menjadi sebab kelelahan otot. Maka dari itu, kerutan yang selalu diselingi pelemasan, disebut kontraksi dinamis, sangat tepat bagi bekerjanya otot-otot. Pekerjaan demikian misalnya mengayuh pedal, sepeda, memutar roda, memukul lonceng, mencangkul, dan lain-lain. Kerja terus-menerus

(5)

dari suatu otot, sekalipun bersifat dinamik, selalu diikuti dengan kelelahan, yang perlu istirahat untuk pemulihan. Atas dasar kenyataan itu, waktu istirahat dalam kerja atau sesudah kerja sangat penting. Kelelahan otot secara fisik antara lain akibat zat-zat sisa metabolisme seperti asam laktat, Co2, dan sebagainya. Namun kelelahan, sesuai dengan mekanisme kerja, tidak saja ditentukan oleh keadaan ototnya sendiri, melainkan terdapat komponen mental psikologis yang sering-sering juga besar pengaruhnya. Otot-otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan dari padanya, bertambah panjangnya waktu laten kontraksi dan waktu melemas, berkurangnya koordinasi, serta otot gemetar (tremor).

Otot dan tulang merupakan faktor-faktor terpenting bagi ukuran-ukuran tubuh, ukuran ini menetukan pula kemampuan fisik tenaga kerja. Peralatan kerja dan mesin perlu serasi dengan ukuran-ukuran demikian untuk hasil kerja sebesar-besarnya. Maka berkembanglah ilmu yang disebut antropometri, yaitu ilmu tentang ukuran-ukuran tubuh baik dalam keadaan statis ataupun dinamis.

Yang sangat penting bagi pekerjaan adalah ukuran-ukuran :

1. Berdiri : tinggi badan berdiri, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, depa dan panjang lengan.

2. Duduk : tinggi duduk, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan tangan, tinggi lutut, jarak lekuk-lutut garis punggung, jarak lekuk-lutut telapak kaki.

Untuk bekerja perlu energi hasil pembakaran. Semakin berat pekerjaan, semakin besar tenaga yang diperlukan. Dalam hubungan ini jumlah kalori juga merupakan petunjuk besarnya beban pekerjaan. Selain faktor beban kerja dan

(6)

peralatan didalam tubuh, faktor waktu dan lingkungan juga berpengaruh kepada faal/fisiologi kerja (Suma’mur, 1996).

2.2. Waktu (Jam) kerja

Yang dimaksud dengan jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat. Waktu istirahat merupakan hal yang mutlak yang perlu diberikan pada para pekerja, agar dapat mempertahankan kemampuan atau kapasitas kerja, dalam melakukan pekerjaan fisik maupun mental. Dianjurkan bahwa jam istirahat 20-39% dari jumlah jam kerja atau paling sedikitnya adalah 15% dari jumlah jam kerja per minggu (Depkes RI, 1994).

Waktu kerja bagi seseorang menentukan effisiensi dan produktivitasnya. Segi-segi terpenting bagi persoalan waktu kerja meliputi :

1. Lamanya seseorang mampu bekerja secara baik. 2. Hubungan diantara waktu bekerja dan istirahat.

3. Waktu bekerja sehari menurut periode yang meliputi siang (pagi, siang, sore) dan malam.

Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam. Memperpanjang jam kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai effisiensi yang tinggi, bahkan ada penurunan produktivitas serta kecendrungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu, terlihat kecendrungan tumbuhnya hal-hal negative. Makin panjang waktu kerja, makin besar kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diingini. Jumlah 40 jam seminggu ini dapat dibuat 5 atau 6 hari kerja. Jika diteliti suatu pekerjaan yang biasa, tidak terlalu ringan atau

(7)

berat, produktivitas mulai menurun setelah 4 jam bekerja. Maka, istirahat setengah jam setelah 4 jam kerja terus-menerus sangat penting artinya (Suma’mur, 1996). 2.2.1 Peraturan dan Perundangan Waktu (Jam) Kerja

Undang-undang No.12/1948 pasal 10 mengatakan bahwa buruh :

1. Tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Apabila pekerjaan itu dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, maka waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu (Prinst, 1994).

2. Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus-menerus harus diadakan waktu istirahat sekurang-kurangnya setengah jam lamanya.

3. Tiap minggu harus diadakan sekurang-kurangnya satu hari istirahat (Effendi, 1984)

Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari raya yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, kecuali jika pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari raya. Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 juncto Keputusan Presiden Nomor 148 Tahun 1968 juncto Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983, yang menentukan hari libur resmi sebagai berikut :

1. Tahun Baru 1 Januari

2. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 3. Mi’raj Nabi Muhamad SAW

4. Idul Fitri (selama 2 hari) 5. Idul Adha

(8)

7. Maulid Nabi Muhammad SAW 8. Wafat Isa Al Masih

9. Kenaikan Isa Al Masih 10. Natal

11. Hari Raya Nyepi

12. Hari Waisak (Budiono, 1995) 2.3. Lingkungan Kerja

Penyakit akibat dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemaparan terhadap lingkungan kerja. Juga masih terdapat pendapat yang kurang tepat bahwa dengan mendiagnosis secara benar penyakit-penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja, sudah membuat situasi terkendali. Walaupun merupakan langkah yang penting namun hal ini belum dapat memecahkan masalah yang sebenarnya. Pendekatan tersebut masih membiarkan lingkungan kerja yang tidak sehat tetap tidak berubah, dengan demikian potensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan yang tidak diinginkan juga tidak berubah. Hanya dengan diagnosis dari lingkungan kerja, yang dalam hal ini disetarakan berturut-turut dengan pengenalan, evaluasi dan pengendalian efektif dari bahaya-bahaya kesehatan yang ada dapat membuat lingkungan kerja yang sebelumnya tidak sehat menjadi sehat (Depkes RI, 1994).

2.3.1. Pengenalan Lingkungan Kerja

Pengenalan dari berbagai bahaya dan resiko kesehatan di lingkungan kerja biasanya dilakukan pada waktu survey pendahuluan dengan cara mengenal dan melihat (walk-trhough survey) yang merupakan salah satu langkah awal yang perlu

(9)

dilakukan dalam upaya program kesehatan kerja. Salah satu bahaya dan resiko tersebut dapat dengan mudah dikenal seperti masalah kebisingan. Untuk dapat mengenal bahaya dan resiko lingkungan kerja dengan baik dan tepat, sebelum dilakukan survey pendahuluan perlu didapatkan segala informasi mengenai proses dan cara kerja yang digunakan, bahan baku dan bahan tambahan lainnya yang digunakan, hasil akhir, hasil sampingan serta limbah yang dihasilkan. Hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah efek-efek kesehatan dari semua bahaya-bahaya dilingkungan kerja termasuk jumlah pekerja yang potensial terpapar sehingga langkah yang akan ditempuh, evaluasi serta pengendaliannya dapat dilakukan sesuai dengan prioritas kenyataan yang ada (Depkes RI, 1994).

2.3.2. Evaluasi Lingkungan Kerja

Evaluasi ini akan menguatkan dugaan adanya zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja, menetapkan karakteristik-karakteristiknya serta memberikan gambaran cakupan besar dan luasnya masalah. Tingkat pemaparan dari zat/bahan yang berbahaya dari lingkungan kerja yanag terkenali selama survey pendahuluan harus ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hanya setelah didapatkan gambaran yang lengkap dan menyeluruh dari pemaparan, untuk kemudian dibandingkan dengan standar kesehatan kerja yang berlaku, mana penilaian dari bahaya-bahaya/resiko yang sebenarnya terdapat dilingkungan kerja telah tercapai (Depkes RI, 1994).

2.3.3. Pengendalian Lingkungan Kerja

Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemaparan terhadap zat/bahan yang terdapat dilingkungan kerja.

(10)

Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi, hal ini hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan dikalangan para pekerja (Depkes RI, 1994).

Interaksi antara manusia pekerja dan lingkungan kerjanya tersebut diatas dapat dilihat pada diagram berikut ini :

Diagram 2.1. Interaksi manusia pekerja dengan lingkungan (tidak ada tindakan koreksi terhadap lingkungan kerja yang berbahaya)

Sumber : Depkes RI, 1994 LingkunganKerja (tidak sehat) Penyakit Akibat Kerja Diagnosis Pengobatan dan Penyembuhan Pekerja Sehat

(11)

Diagram 2.2. Interaksi manusia pekerja dengan lingkungan (terdapat tindakan koreksi terhadap lingkungan kerja yang berbahaya)

Sumber : Depkes RI, 1994

Faktor lingkungan kerja meliputi faktor kimia, faktor fisika, faktor biologi, faktor ergonomi dan faktor psikologi.

1. Faktor kimia

Faktor kimia dapat disebabkan karena bahan baku produksi, proses produksi dan hasil produksi suatu kegiatan usaha.

2. Faktor fisika

Sebagai contoh adalah kebisingan.

Kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki oleh manusia. Dampak kebisingan antara lain dampak fsiologis, gangguan komunikasi, gangguan LingkunganKerja (tidak sehat) Penyakit Akibat Kerja Diagnosis Pengenalan dan Evaluasi Masalah Upaya Pengendalian dan Pencegahan Pengobatan dan Penyembuhan Pekerja (Sehat) Lingkungan Kerja (Sehat)

(12)

tidur dan gangguan perilaku. Kebisingan bagi manusia akan menimbulkan gangguan perasaan, gangguan komunikasi, hilangnya pendengaran sementara atau menetap sehingga resiko mendapatkan kecelakaan kerja meningkat (Suma’mur, 1996).

3. Faktor biologi

Faktor biologi dapat berupa bakteri, jamur dan mikroorganisme lain yang dibutuhkan atau dihasilkan dari bahan baku, proses produksi dan proses penyimpanan hasil produksi.

4. Faktor ergonomi

Tempat kerja yang kurang ergonomis, tidak sesuai dengan fisiologi dan anatomi manusia.

5. Faktor psikososial

Beban kerja yang berat, jam kerja yang melebihi ambang batas, monotoni pekerjaan, dan lain-lain (RS, Persahabatan, 2002).

2.4. Gangguan Kesehatan

Penyakit akibat dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat diakibatkan oleh pemaparan terhadap lingkungan pekerjaannya. Pemaparan terus menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang melebihi 40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit. Apabila tidak ada perlindungan bagi tenaga kerja tersebut atau tidak ada pencegahan terhadap kemungkinan pemaparan terhadap faktor-faktor lingkungan yang melebihi nilai batas, hal ini dapat berakibat timbulnya penyakit atau kecelakaan akibat kerja (RS, Persahabatan, 2002).

(13)

Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan juga dapat mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan. Beberapa contoh perilaku dan sikap tersebut adalah :

1. Merokok, terlebih lagi bekerja sambil merokok 2. Pola makan yang tidak teratur dan seimbang

3. Ceroboh dan tidak mematuhi aturan kerja yang berlaku, misalnya menolak anjuran penggunaan alat pelindungan diri, bercanda dengan teman kerja pada saat bekerja.

4. Menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras.

Untuk itu didalam ilmu kesehatan kerja, dikenal suatu pendekatan perlindungan dengan penetapan Nilai Ambang Batas (NAB).

2.4.1. Gangguan Kesehatan Akibat Kerja atau Penyakit Akibat Kerja

Penyakit golongan ini terjadi akibat pengaruh lingkungan pekerjaan, baik ditempat kerja maupun hasil sisa buangan industri yang dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya, misalnya lingkungan panas, debu, kebisingan, dan lain-lain. Pengaruh lingkungan kerja ini tidak hanya dapat diderita oleh pekerja, tapi dapat pula menimpa keluarga pekerja tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena berada di kawasan perusahaan atau terkontaminasi dengan racun/zat kimia yang tidak sengaja terbawa pulang oleh pekerja tersebut (Depkes RI, 1994).

Ada dua elemen pokok dalam mengidentifikasi gangguan kesehatan akibat kerja atau penyakit akibat kerja:

(14)

2. Adanya fakta bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada masyarakat umum (RS, Persahabatan, 2002).

Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya dipengaruhi oleh bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja, tetapi juga faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya (Depkes RI, 1992), seperti pada diagram berikut ini :

Diagram 2.3. Status kesehatan masyarakat pekerja serta faktor yang mempengaaruhinya

Sumber : Depkes RI, 1992 Lingkungan Individu Lingkungan Kerja Pelayanan Kesehatan Kerja Faktor Genetik Status Kesehatan Masyarakat Pekerja Perilaku Kerja

(15)

2.5. Sektor Informal

Sektor informal adalah ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri :

1. Tidak menggunakan pola kegiatan yang diatur oleh sistem-sistem manajemen profesional, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang tetapkan oleh Pemerintah.

2. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil. 3. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

4. Tidak selalu menggunakan keahlian dan keterampilan formal sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan.

5. Umumnya tiap-tiap satuan mempekerjakan tenaga dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.

6. Tidak menggunakan sistem manajemen sumber daya waktu, sumber daya manusia, permodalan, secara modern dan informal (Yustika, 2000).

2.5.1. Sektor kelautan dan perikanan

Indonesia sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan yang cukup besar, sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor yang mencakup perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan yang merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang di masa depan. Kenyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya kelautan yang besar yaitu 75% wilayah Indonesia adalah

(16)

lautan dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional (M. Arif, 2005).

Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam bidang penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal jika sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan (Mulyadi S, 2005).

2.5.2. Sistem Pengawetan/Pengolahan Ikan

Ikan adalah satu di antara bahan makanan protein yang paling mudah mengalami pembusukan (perishable). Oleh karena itu, sangat diperlukan tindakan yang tepat dan cermat di dalam pencegahan pembusukan tersebut, mulai dari saat penangkapan sampai tiba di tangan konsumen. Tindakan yang dimaksud adalah berupa pengawetan dan pengolahan seperti pengasinan, pengeringan, perebusan, pembekuan, dan pengasapan (Mulyadi S, 2005).

1. Pengasingan dan Pengeringan

Caranya pengasingan dan pengeringan dikerjakan oleh sebagai berikut: ikan-ikan yang baru ditangkap, disortir lebih dahulu atas jenis-jenis ikan-ikan yang dibelah untuk dibuang isi perutnya atau tidak. Ikan yang dibelah adalah ikan-ikan yang besar seperti bawal, pari, mayung, dan cincaro, sedangkan ikan yang tidak dibelah biasanya ikan tambahan, kembung, gulama, dan lain-lain. Sesudah disortir ikan-ikan

(17)

tersebut dimasukkan ke dalam tong yang dapat berisikan ± 500 kg ikan yang terlebih dahulu diisi dengan air yang bercampur garam sebanyak 150 kg/tong. Sesudah tong diisi penuh dengan ikan, lalu ditutup dengan goni dan dikimpit dengan batu bata. Setelah 24 jam dibiarkan demikian, ikan-ikan dibongkar untuk dijemur di atas sebuah pelataran/bilah (bambu yang dijalin-jalin dijadikan tikar) di atas patok-patok yang diatur dengan tinggi 0,7 meter di atas tanah.

Di atas bilah inilah ikan-ikan dituangkan dan diserakkan setelah hari panas, ikan-ikan dibalik setiap 1 jam. Lama penjemuran tergantung kepada banyaknya garam atau perbandingannya dengan ikan. Perbandingan garam dengan ikan adalah sebagai berikut :

1 : 5 lamanya dijemur ± 18 jam (± 2 hari) 1 : 4 lamanya dijemur ± 12 jam (± 1,5 hari) 1 : 3 lamanya dijemur ± 10 jam (± 1 hari)

Sementara itu, jika tanpa garam, lama pengeringan 24-30 jam (± 3 hari). Setelah ikan-ikan kering, dimasukkan pada keranjang yang pengisiannya dipres sampai padat. Isi keranjang ada yang berisi 60 kg dan 100 kg ikan asin kering. Kemudian ikan siap untuk dikirim ke grosir (Mulyadi S, 2005).

2. Pengasinan dan Perebusan

Pengolahan ini biasanya digabungkan dengan pengasinan biasa dan dilakukan sebagai pelengkap usaha pengasinan. Cara pengasinan dan perebusan yang lazim adalah ikan-ikan disusun berlapis-lapis di dalam keranjang. Pada setiap lapisan dibubuhkan garam dengan perbandingan 1 : 4 atau 1 : 5 dengan berat ikan. Lalu dimasukkan ke dalam air mendidih (keranjang berisi ikan) selama ± 1 jam, dan

(18)

sesudah itu keranjang berisi ikan itu diangkat dan ditiriskan airnya. Kemudian keranjang ini ditutup dan diikat baik-baik, kemudian siap untuk dikirim ke grosir-grosir dan tempat penjualan ikan (Mulyadi S, 2005).

3. Pengasinan, Perebusan, dan Pengeringan

Salah satu cara pengolahan ikan teri ialah dengan cara pengasinan, perebusan, dan pengeringan/penjemuran. Hal ini dilakukan karena lebih menguntungkan dibandingkan dengan penjualan basah. Umumnya, pengusaha perebusan teri ini mengolah ikan-ikan yang dibeli langsung dari nelayan bagan di stasiun bagan atau diantar sendiri oleh nelayan ke tempat pengolahan jika hasil tangkapan banyak (M. Arif, 2005).

Cara pengolahan yang dilakukan adalah ikan teri basah/segar dimasukkan ke dalam tong pemasak yang sudah berisi air mendidih yang terlebih dahulu dimasukkan garam sebanyak 4 kg per tong perebusan. Banyaknya ikan sekali rebus berkisar antara 1,5-2 kaleng (27-35 kg) jika perbandingan garam dengan teri adalah 1 : 15-1 : 9. Setelah ± 10 menit direbus, ikan-ikan ditapiatangguk dari tong dan dituangkan ke dalam tong kayu yang berisi tapisan-tapisan untuk meniriskan airnya. Kemudian ikan tersebut dijemur di panas matahari di atas sebuah tikar sampai kering yang memakan waktu 6-8 jam. Ikan-ikan yang telah kering lalu diayak untuk pemisahan abu/kotoran-kotorannya. Ikan-ikan teri yang sudah diayak lalu dimasukkan ke dalam keranjang (isi keranjang ± 42 kg ikan) dan siap untuk dijual (Mulyadi S, 2005).

(19)

4. Pendinginan dengan Es Biasa (Pendinginan Fisis)

Pengawetan ikan dengan es (dalam bentuk bongkah-bongkah hancuran es) disebut dengan pendinginan fisis, memegang peranan yang penting di dalam pengadaan ikan segar terhadap konsumen. Karena ikan segar ini disukai segala lapisan masyarakat/konsumen, pedagang ikan dan pengusaha-pengusaha ikan selalu berusaha untuk menjual ikannya ke pasaran dalam bentuk ikan segar, terkecuali untuk ikan-ikan kecil. Jenis-jenis ikan yang biasa di es adalah ikan-ikan kelas Ι dan Π, yaitu bawal, tenggiri, kakap segala jenis, bandeng, belanak, udang, udang putih, gerapuh, selayang, selar segala jenis, sekapas, salam, cincamin, mayung, puput, dan ikan buih. Pengesan ikan dengan es biasa (pendinginan fisis) adalah cara pengawetan ikan segar yang umum dilakukan oleh nelayan-nelayan sebelum/sesudah ikan didaratkan oleh pengumpul dan pengecer ikan basah.

Di perahu/di kapal penangkap, ikan-ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam peti-peti. Sebelumnya didasar peti/perahu dibuat lapisan hancuran/bongkahan-bongkahan es sehingga ikan tidak bersentuhan langsung dengan dasar peti/perahu. Kemudian di atas lapisan ikan ditaruh lagi lapisan hancuran-hancuran es, demikian seterusnya, sehingga lapisan ikan diselang selingi dengan lapisan es, lalu ditutup untuk mengurangi panas matahari/udara luar. Jika perjalanan pulang jauh, esnya ditambah supaya suhu ikan tetap dingin. Banyaknya es yang digunakan adalah 1 : 3-1 : 4 dengan berat ikan. Segera sesudah penangkapan selesai, ikan-ikan yanng telah diberi es sedapat mungkin dijual kepada pengumpul ikan basah, pengecer, dan lain-lain. Sesudah ikan-ikan didaratkan lalu ditampung oleh pengumpul ikan basah ataupun pengecer-pengecer yang langsung membeli di tepi pantai. Oleh pengumpul

(20)

ikan-ikan basah dan pengecer-pengecer ini, ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam peti/tong kayu yang telah dilapisi terlebih dahulu dngan hancuran es setebal ±7 cm, lalu dimasukkan ikan-ikan, diselingi dengan lapisan es. Di atas sekali dari lapisan-lapisan ini dilapisi lagi dengan es. Dengan demikian, pengumpul ikan-ikan basah dapat menjualnya ke luar daerah atau ke pusat-pusat konsumen (Mulyadi S, 2005). 2.6. Kerangka Konsep - Umur - Status perkawinan - Masa kerja Gangguan kesehatan Karakteristik pekerja pengemasan ikan

Gambar

Diagram 2.1. Interaksi manusia pekerja dengan lingkungan (tidak ada tindakan  koreksi terhadap lingkungan kerja yang berbahaya)
Diagram 2.2. Interaksi manusia pekerja dengan lingkungan (terdapat tindakan  koreksi terhadap lingkungan kerja yang berbahaya)
Diagram 2.3. Status kesehatan masyarakat pekerja serta faktor yang  mempengaaruhinya

Referensi

Dokumen terkait

Pada tindakan I kegiatan yang akan dilaksanakn oleh peserta didik adalah menuliskan hal yang diketahui berkaitan dengan isi puisi, menuliskan pertanyaan pemandu,

Friedlander Pneumonia dengan konsolidasi alveolus yang luas konsolidasi alveolus yang luas pada lobus superior kanan (dikutip dari pada lobus superior kanan (dikutip dari

1) Masih banyaknya kebutuhan rumah yang belum dapat terpenuhi oleh pengembang maupun masyarakat, hal ini dapat diketahui dari masih banyaknya jumlah rumah tidak layak

Sampai sekarang belum banyak penelitian yang memfokuskan kepada masalah ketidaksesuaian antara jumlah derajat trombositopenia dengan munculnya antibody terhadap dengue, namun

Anda mungkin memiliki keterampilan atau keahlian untuk melaksanakan tugas- tugas yang dituntut oleh pekerjaan yang ditawarkan, tetapi pimpinan perusahaan juga ingin mengetahui

Kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas, seperti pembacaan sajak Choiril

Inovasi atau kreativitas dalam desain, teknologi maupun performa rumah sehingga dapat memenuhi tolok ukur yang ada dalam kriteria GREENSHIP Home dengan

Namun terdapat satu facet, yakni facet fringe benefit, yang berkorelasi positif dan signifikan dengan Work Locus of Control, artinya semakin rendah skor subyek pada