• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN UPAH MINIMUM PENYADAP GETAH PINUS DI BKPH LENGKONG, KPH SUKABUMI E. INDRI DEWI DARMAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN UPAH MINIMUM PENYADAP GETAH PINUS DI BKPH LENGKONG, KPH SUKABUMI E. INDRI DEWI DARMAWATI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN UPAH MINIMUM PENYADAP GETAH PINUS

DI BKPH LENGKONG, KPH SUKABUMI

E. INDRI DEWI DARMAWATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Upah Minimum Penyadap Getah Pinus di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2017

E. Indri Dewi Darmawati

(4)

ABSTRAK

E. INDRI DEWI DARMAWATI. Penentuan Upah Minimum Penyadap Getah Pinus di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO.

Perum perhutani ikut serta meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan, salah satunya dengan menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai penyadap getah pinus. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus, menghitung upah minimum penyadap getah pinus dan mengetahui persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan penyadapan getah pinus. Penelitian ini dilakukan di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten dengan jumlah responden 30 orang penyadap getah pinus dan 30 orang masyarakat sekitar hutan non penyadap getah pinus. Dari hasil penelitian diketahui bahwa upah minimum yang harus diterima oleh penyadap yaitu sebesar Rp11 820 per jam. Persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di perhutani berada pada tingkat persepsi baik dan sangat baik. Berdasarkan UMK Kabupaten Sukabumi, pendapatan penyadap yang dihasilkan dari kegiatan menyadap getah pinus di perhutani termasuk kategori belum sejahtera.

Kata kunci: getah pinus, kesejahteraan, penyadap, persepsi, upah minimum

ABSTRACT

E. INDRI DEWI DARMAWATI. Determination of the Minimum Wage Pine Tappers at BKPH Lengkong, KPH Sukabumi. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO.

Perum perhutani is contributing to improve the people standard of living around the forest, one of them by making the community around the year as pine tappers. This research aimed to obtain information about the level of welfare of pine tappers, to calculate the minimum wage of pine tappers and to know the perception of the pine tappers to the pine tappers wage system. The research was conducted at BKPH Lengkong, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Divisi Regional West Java and Banten with the number of respondents were 30 people pine tappers and 30 forest communities non pine tappers. The research result showed that the minimum wage that must be received by the pine tappers about Rp11 820 per hour. Perception of tapper to the wage system in forestry were at the perception level of good and very good. Based on UMK Sukabumi, the income of tappers that was received from pine resin tapping in Perhutani was not include in welfare category.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

PENENTUAN UPAH MINIMUM PENYADAP GETAH PINUS

DI BKPH LENGKONG, KPH SUKABUMI

E. INDRI DEWI DARMAWATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2016 ini ialah Kesejahteraan dengan judul Penentuan Upah Minimum Penyadap Getah Pinus di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pembimbing, yang telah memberikan nasihat, bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis ucapkan terima kasih kepada para penyadap dan masyarakat sekitar BKPH Lengkong dan kepada para Mandor Sadap serta para pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah (Anda), ibu (Evi Novianti), adik (D. Silpi Anjani, Guntur Sukma Zaelani, dan Dalisha Lulu Mumtazah) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat di TPB IPB dan MNH 49 IPB yang telah membantu dan mendukung sampai terselesaikannya skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2017

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Ketenagakerjaan dan Pengupahan 2

Kebutuhan Hidup 3

Penyadapan getah Pinus 3

Konsep Persepsi 5

Masyarakat Desa Sekitar Hutan 5

METODE 6

Waktu dan Lokasi Penelitian 6

Alat dan Bahan 6

Penentuan Responden 7

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 9

Karakteristik Responden 9

Pendapatan Pokok Masyarakat Sekitar 10

Persepsi Penyadap terhadap Sistem Pengupahan di Perhutani 12

Kesejahteraan Penyadap 13

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 19

(10)

DAFTAR TABEL

1. Jenis dan metode pengumpulan data 7

2. Perhitungan pendapatan masyarakat sekitar hutan 8

3. Tingkat persepsi berdasarkan skala Likert 8

4. Pembagian wilayah pengelolaan administratif kehutanan KPH Sukabumi 9 5. Karakteristik responden berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan 10 6. Hasil perhitungan pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan 10 7. Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan 12 8. Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan 13 9. Sumber pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus 14 10. Jenis pengeluaran rumah tangga penyadap getah pinus 15 11. Perbandingan pendapatan penyadap getah, pendapatan pokok 16

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perhitungan Pendapatan Pokok Masyarakat Sekitar Hutan 19 2. Perhitungan Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus 20 3. Perhitungan Pengeluaran Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus 21

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 adalah hasil hutan baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Kelebihan HHBK dari segi pemanfaatannya dibandingkan hasil hutan kayu yaitu HHBK tidak menimbulkan kerusakan besar terhadap ekosistem hutan karena sebagian besar pemanenannya tidak dilakukan dengan menebang pohon. HHBK sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu pohon penghasil HHBK adalah pinus. Pinus merupakan jenis pohon yang baik untuk dikelola dan diusahakan karena tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk hasil hutan bukan kayu. Salah satu produk HHBK dari pohon pinus adalah getah pinus yang merupakan produk utama Perum Perhutani.

Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas mengelola hutan di pulau Jawa, selain berusaha untuk memperoleh hasil produksi hutan yang menguntungkan bagi perusahaan, perhutani juga berperan aktif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Usaha yang selama ini telah dilaksanakan yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan-kegiatan kehutanan. Salah satu usaha yang diupayakan perhutani yaitu mempekerjakan masyarakat sekitar hutan menjadi tenaga penyadap getah pinus.

Penyadapan getah pinus merupakan lapangan pekerjaan yang cukup membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, karena berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Namun, masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak memilih bekerja sebagai penyadap getah pinus karena pendapatan yang dihasilkan belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian Panjaitan (2015) di BKPH Lengkong KPH Sukabumi bahwa kontribusi pendapatan penyadap getah pinus sebesar 67.15% terhadap total pendapatan rumah tangganya, sedangkan persentase tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus berdasarkan kriteria UMR Sukabumi penyadap masih tergolong miskin (tidak sejahtera). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai besar upah minimum yang harus diperoleh penyadap getah pinus sehingga penyadap sejahtera. Kemudian informasi ini disosialiasikan kepada masyarakat sekitar sebagai perbandingan untuk menentukan jenis pekerjaan yang akan mereka pilih guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penyadap getah pinus. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah

1. Menghitung upah minimum penyadap getah pinus

2. Mengetahui persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan penyadapan getah pinus di Perum Perhutani

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai upah minimum yang seharusnya diberikan Perum Perhutani sehingga kesejahteraan penyadap tercapai, dan informasi tentang persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan penyadapan getah pinus, serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketenagakerjaan dan Pengupahan

Tenaga kerja Menurut UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Orang yang bekerja biasanya mendapatkan imbalan berupa Upah. Menurut Sumarsono (2009) upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan dan dinyatakan dan dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik untuk karyawan itu sendiri maupun keluarganya.

Upah minimum

Upah minimum menurut Peraturan Pemerintah No. 78/PP/2015 tentang Pengupahan Bab V Pasal 41 ayat (2) menyebutkan bahwa: Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur. Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 46 (1) serta upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-07/Men/2013 tentang Upah Minimum menyebutkan bahwa Upah Minimum Provinsi selanjutnya disingkat UMP adalah upah yang minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu provinsi. Kemudian Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota. Pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari: huruf a bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima); huruf b bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu).

Ketentuan upah minimum

Dalam menentukan upah minimum terdapat empat pihak yang saling berkaitan, yaitu pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja, Dewan

(13)

3

Pengupahan Nasional yang merupakan lembaga independen terdiri dari pakar praktisi dan lain sebagainya yang bertugas memberi masukan kepada pemerintah, Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) sebagai penyalur aspirasi pekerja dan wakil pengusaha melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Mereka bertugas mengevaluasi tingkat upah minimum yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat upah tersebut sudah saatnya dinaikkan atau belum (Tjiptoherrijanto 2000).

Secara empiris ada tiga komponen yang dapat mempengaruhi besarnya upah minimum (Sumarsono 2009) :

1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM),

2. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau tingkat inflasi, dan 3. Pertumbuhan ekonomi daerah

Kebutuhan Hidup

Kebutuhan hidup layak adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik untuk kebutuhan 1 bulan (Permenakertrans 2016). Sedangkan menurut Tjandraningsih dan Herawati (2009), Kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya, sehingga menjadi lebih produktif. Upah layak mengacu pada upah untuk seorang pekerja dengan jam kerja standar yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dan memberikan kemampuan menabung.

Pinus dan Penyadapan Getah Pinus

Pinus (Pinus merkusii) dikenal dengan nama lokal tusam, merupakan jenis yang tumbuh secara alami hidup di Indonesia, yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya, tanaman pinus dibudidayakan di pulau Jawa (dalam hal ini di kawasan hutan produksi wilayah Perum Perhutani). Pinus mempunyai sifat pionir yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alangalang. Di Indonesia, pinus dapat tumbuh pada ketinggian 200 – 2000 meter dpl, tetapi pertumbuhan optimumnya tampak pada ketinggian 400 – 1500 meter dpl. Perhutani, berkedudukan dan diberi wewenang mengusahakan kawasan hutan di Pulau Jawa, menanam pinus dalam skala yang cukup luas, yaitu 483 272 ha, merupakan kawasan hutan produksi kedua terbesar setelah jati (Corryanti dan Rahmawati 2015).

Getah pinus diperoleh dari pohon pinus melalui penyadapan. Produk utama yang dihasilkan dari getah pinus setalah melalui proses penyulingan yaitu produk destilat (terpentin) dan residu (gondorukem) (Wahyudi 2013). Pinus dapat disadap bila telah mencapai umur tertentu atau disebut masak sadap, yakni mulai umur 11 tahun sampai 30 tahun atau Kelas Umur III sampai VI (Perhutani 2014). Menurut Sukardayati (2014) cara penyadapan yang digunakan dibedakan berdasarkan alat sadap yang dipakai, yaitu mujitech, bor dan kadukul. Dari ketiga sistem diatas yang biasa digunakan di Indonesia adalah sistem koakan (quarre system) karena merupakan cara yang sederhana, murah dan mudah dikerjakan.

Getah pinus sebagai hasil dari proses metabolisme pohon, produksinya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon

(14)

4

itu sendiri. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan (1996) menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor biologis pohon 1) Jenis pohon

Produksi getah berbeda menurut jenis pohon, misalnya Pinus caribaea menghasilkan getah yang lebih benyak dengan kerak yang menempel pada pohon lebih sedikit dibandingkan Pinus palustris.

2) Umur tegakan

Umur dan bonita tegakan mempunyai pengaruh nyata terhadap produksi getah Pinus. Perum Perhutani baru melaksanakan penyadapan setelah pohon berumur 10 tahun (kelas umur III) dan produksi getah pada kelas umur VVI telah mengalami penurunan.

3) Diameter dan tinggi pohon

Bidang dasar atau diamater pohon , tinggi pohon, dan jarak antar pohon (populasi) berpengaruh terhadap produksi getah Pinus merkusii. Dari ketiga peubah tersebut diameter pohon memiliki pengaruh yang paling besar.

2. Faktor tempat tumbuh 1) Ketinggian tempat

Tinggi tempat tumbuh dari permukaan laut mempengaruhi produksi getah Pinus merkusii. Produksi getah pada elevasi rendah (sampai dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut) lebih besar dari pada produksi getah pada elevasi sedang (500-1000 meter di atas permukaan laut) dan elevasi tinggi (di atas 1000 meter di atas permukaan laut). Tinggi tempat tumbuh mempengaruhi suhu dan intensitas cahaya karena semakin tinggi tempat dari permukaan laut suhu semakin rendah demikian juga intensitas cahaya. Hal ini akan mempengaruhi laju metabolisme dan asimilasi pohon yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi getah.

2) Iklim

Musim panas akan menghasilkan getah yang lebih banyak karena suhu dan intensitas cahaya lebih tinggi, tetapi panas yang terus menerus menyebabkan getah cepat kering dan aliran getah akan terhenti. Cuaca yang dingin dapat memperlambat aliran getah, karena saluran getah dapat tersumbat oleh getah yang membeku.

3. Faktor perlakuan terhadap pohon 1) Metode sadapan

Penyadapan tanpa menggunakan larutan asam lebih baik dari pada penggunan larutan asam dalam penyadapan sistem quarre. Penggunaan larutan asam hanya dapat memperpanjang waktu pembaruan koakan dari tiga hari menjadi enam hari dan bukan untuk meningkatkan produksi. Kerusakan pada pemakaian larutan asam dapat terlihat jelas dalam penyadapan bentuk koakan pada kayu yang mengering dan kulit yang merekah terpisah antara kayu dan kulitnya. 2) Arah sadapan

Koakan yang menghadap ke Timur akan menghasilkan getah yang lebih banyak karen mendapatkan cahaya yang lebih cepat dan lebih lama. Karena suhu yang tinggi dan intensitas cahaya yang lebih banyak sehingga getah yang dihasilkan tidak cepat mengental.

3) Penjarangan pohon

Penjarangan adalah perlakuan silvikultur terhadap tegakan hutan yang dibangun untuk menghasilkan kondisi pohon dalam pertumbuhan yang baik. Pada kondisi pohon yang baik akan dihasilkan kayu maupun getah Pinus yang

(15)

5

optimal. Sehingga dalam penjarangan yang diperhatikan adalah kondisi tegakannya bukan hasil dari kegiatan penjarangan.

Pohon yang ditebang saat penjarangan adalah : (a) pohon yang terserang hama dan penyakit, (b) bentuknya jelek, (c) kondisinya tertekan, (d) pertumbuhannya abnormal, (e) jaraknya terlalu rapat dengan pohon lain dan (f) tanaman selain tanaman pokok yang mengganggu tanaman pokok. Pada umumnya penjarangan dilakukan setiap 5 tahun sekali.

Sedangkan Soetomo (1971) diacu dalam Iriyanto (2007) menyebutkan bahwa produktivitas penyadapan getah pinus oleh seorang penyadap dipengaruhi oleh: 1. Musim hujan yang terus menerus menyebabkan suhu udara rendah sehingga

getah cepat beku.

2. Adanya mata pencaharian lain. Pekerjaan lain dengan upah yang lebih tinggi menyebabkan penyadap memilih pekerjaan tersebut sehingga penyadapan terganggu.

3. Jarak dari desa ke blok sadapan dan interval pembaruan luka. 4. Situasi pasaran gondorukem.

5. Intensitas pengawasan.

Konsep Persepsi

Persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi seseorang dapat ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhannya (Leavitt 1978).

Berdasarkan Tampang (1999) diacu dalam Baskoro (2008) persepsi dipengaruhi oleh variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan yang lainnya yaitu;(1) pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami, (2) indoktinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami. (3) sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan dan lain lain serta sikap lain yang khas dimiliki seseorang termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya.

Selain faktor kebutuhan di atas, Leavitt (1978) juga menyatakan bahwa cara individu melihat dunia adalah berasal dari kelompoknya serta keanggotaannya dalam masyarakat. Artinya, terdapat pengaruh lingkungan terhadap cara individu melihat dunia yang dapat dikatakan sebagai tekanan-tekanan sosial.

Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Masyarakat adalah kelompok atau himpunan orang-orang yang hidup bersama dan terjalin satu sama lainnya sehingga menghasilkan kebudayaan. Sedangkan pengertian dari desa merupakan himpunan penduduk yang cenderung homogen dengan sifat kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi serta bermata pencaharian utama dari sektor pertanian. Sehingga masyarakat desa adalah himpunan penduduk agraris cenderung homogen yang menempati wilayah tertentu dan memiliki kebudayaan dengan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi. Masyarakat desa umumnya bermata pencaharian dari sektor pertanian

(16)

6

sehingga pekerjaan-pekerjaan disamping pertanian hanya merupakan sambilan saja, sehingga di saat masa panen atau masa menanam padi tiba maka pekerjaan-pekerjaan sambilan tersebut ditinggalkan Soekanto (1982) dalam Junianto (2007).

Kesejahteraan

Kesejahteraan terdiri dari kebutuhan dasar yang bersifat material (kebendaan) maupun bukan material, yang mencakup aspek gizi dan kesehatan, pengetahuan,dan kekayaan materi (Cahyat et al. 2007). Dengan kata lain aspek kesejahteraan meliputi aspek kesehatan, aspek pendidikan, dan aspek ekonomi. Salah satu upaya pemerintah dalam mencapai kesejahteraan dalam aspek kesahatan, yaitu dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas, merata serta terjangkau, yaitu dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin; menyediakan sumber daya kesehatan yang kompeten dan mendistribusikan tenaga kesehatan secara merata ke seluruh wilayah, meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan melalui pembangunan puskesmas, rumah sakit, polindes dan posyandu serta menyediakan obat-obatan yang terjangkau oleh masyarakat (Riyadi

et al. 2015).

Salah satu upaya pemerintah dalam mencapai kesejahteraan dalam aspek pendidikan adalah pemerintah wwajib membiayai dan menyelenggarakan wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, hal ini sesuai dengan undang – undang No 20 Tahun 2003. Sedangkan pemerintah juga ikut serta dalam penetapan standar upah minimum dengan tujuan terjaminnya kesejahteraan pekerja. Akan tetapi perbedaan tingkat upah akan terjadi, karena pekerjaan yang berbeda akan memerlukan tingkat pendidikan dan keterampilan yang berbeda dan selain itu setiap orang memiliki produktivitas yang berbeda (Simanjuntak 1985). Menurut BPS (2015) bahwa suatu keluarga dikatakan sejahtera apabila seluruh kebutuhan hidup, baik jasmani maupun rohani dari keluarga tersebut dapat dipenuhi, sesuai dengan tingkat hidup dari masing-masing keluarga itu sendiri. Salah satu variabel yang kuat dalam menggambarkan kesejahteraan adalah tingkat pendapatan rumahtangga, dimana pendapatan itu dipengaruhi oleh upah dan produktivitas. Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini hanya fokus mengkaji kesejahteraan berdasarkan aspek ekonomi.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di BKPH Lengkong KPH Sukabumi, Divisi Regional Jawa Barat dan Banten, Perum Perhutani pada bulan Agustus 2016.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, perekam suara untuk wawancara di lapang, kamera untuk dokumentasi serta laptop yang dilengkapi dengan Microsoft Word, dan Microsoft Excel untuk pengolahan data.

(17)

7

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner sebagai interview

guide.

Penentuan Responden

Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel untuk tujuan

tertentu (Riduwan 2011). Jumlah responden ditentukan sebanyak 30 orang penyadap getah pinus yang tersebar di BKPH Lengkong dan 30 masyarakat desa sekitar Hutan. Kriteria responden penyadap adalah penyadap yang melakukan penyadapan pinus dan merupakan penduduk lokal serta merupakan pekerja lepas atau borongan. Sedangkan kriteria responden masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang tidak bekerja sebagai penyadap getah pinus.

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara terhadap responden penyadap getah pinus dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan. Jenis dan metode pengumpulan data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

Variabel Indikator Jenis Data Metode Pengumpulan

Data Pendapatan

masyarakat sekitar hutan

Identifikasi jenis dan pendapatan masyarakat sekitar hutan

Primer Observasi dan

wawancara Persepsi Penyadap

terhadap Sistem Pengupahan

a. Upah harian yang berlaku Primer dan

sekunder

Wawancara dan studi pustaka

b. Upah Minimum

Kabupaten/Kota (UMK)

Sekunder Studi pustaka

Kesejahteraan Penyadap a. Pendapatan dan pengeluaran penyadapan Primer Observasi, wawancara, perhitungan dan analisis b. Kesesuaian pendapatan dengan kebutuhan hidup

Primer Perhitungan dan

analisis Analisis data karakterisktik responden

Karakteristik individu adalah ciri-ciri kondisi sosial responden pada daerah contoh yang kemudian dibagi menjadi usia, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif.

Analisis pendapatan masyarakat sekitar hutan

Analisis pendapatan dilakukan dengan menghitung waktu kerja dikalikan dengan upah kemudian dikurangi dengan biaya operasional. Kemudian pendapatan bersih tersebut ditotalkan dari setiap bidang pekerjaan sehingga nilai rata-rata (w) yang merupakan nilai yang minimal harus diperoleh penyadap getah pinus. Berikut adalah rumus yang digunakan dalam perhitungan pendapatan masyarakat sekitar hutan:

(18)

8

Pendapatan = Penerimaan-Biaya operasional Rata-rata Pendapatan =S + T + U

n Keterangan:

n = Jumlah bidang pekerjaan masyarakat desa sekitar hutan

Tabel 2 Perhitungan pendapatan masyarakat sekitar hutan Bidang Pekerjaan Curahan Waktu (Jam/hari) Penerimaan (Rp/jam) Biaya Operasional (Rp/hari) Pendapatan (Rp/hari) A D I N S B E J O T C F K P U Total G L Q V Rata-rata H M R W

Analisis persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di Perhutani

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial (Riduwan 2011). Menurut Prasetyo B & Jannah (2005) penentuan banyaknya kategori dapat diseuaikan dengan kebutuhan yang ada. Kategori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS) secara berturut memiliki nilai skor 5, 4, 3, 2, 1. Berdasarkan hasil kuesioner dilakukan perkalian antara nilai skor dengan jumlah responden yang menjawab kemudian dibagi dengan jumlah total responden, setelah itu dilakukan penjumlahan nilai skor untuk mengetahui total skor pada setiap pertanyaan responden. Penentuan tingkat persepsi menggunakan Skala Likert dikategorikan menjadi lima kategori seperti pada Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3 Tingkat persepsi berdasarkan skala Likert No Interval nilai pernyataan Tingkat persepsi

1 4.2 – 5.0 Sangat baik

2 3.4 – 4.2 Baik

3 2.6 – 3.4 Sedang

4 1.8 – 2.6 Buruk

5 1.0 – 1.8 Sangat buruk

Analisis kesejahteraan penyadap

Analisis kesejahteraan penyadap getah pinus diukur melaui pendekatan UMK Sukabumi yang berlaku saat penelitian ini dilakukan, kemudian akan dibandingkan dengan kubutuhan layak hidup dan pendapatan pokok penyadap getah pinus di BKPH Lengkong KPH Sukabumi.

(19)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

BKPH Lengkong merupakan BKPH terluas di KPH Sukabumi (Tabel 4), yaitu seluas 15 143.21 Ha, yang terdiri dari 4 RPH yaitu RPH Hanjuang Barat seluas 4628.67 Ha, Hanjuang Tengah seluas 2624.09 Ha, Hanjuang Timur seluas 3121.41 Ha dan RPH Hanjuang Selatan seluas 4769.04 Ha. BKPH Lengkong secara geografis terletak pada 7°5'12" LS – 7°7' 50.6" LS dan 106°40'34" BT – 106°41'31" BT dengan ketinggian sekitar 600 mdpl. Tipe iklim BKPH Lengkong berdasarkan kriteria Schmidt dan Ferguson adalah tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3204 mm per tahun atau sebesar 267 mm per bulan. Sebagian besar wilayah BKPH Lengkong memiliki kelas lereng agak curam berkisar 15-25%.

Tabel 4 Pembagian wilayah pengelolaan administratif kehutanan KPH Sukabumi

BKPH Luas (ha) Jampangkulon 12 548.98 Lengkong 15 143.21 Bojong Lopang 6 603.72 Sagaranten 8 093.63 Pelabuhan Ratu 8 383 Cikawung 7 722.53 Total 58 495.53 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 responden masyarakat sekitar hutan dan 30 responden penyadap getah pinus meliputi umur, tingkat pendidikan, dan jumlah keluarga disajikan pada Tabel 5. Responden masyarakat sekitar hutan dan penyadap getah pinus memiliki umur yang berada pada umur produktif. Menurut Tjiptoherjianto (2001) di dalam analisis demografi, kelompok umur dengan usia 15 – 64 tahun tergolong dalam kelompok umur produktif. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar masyarakat sekitar hutan berada pada kelompok umur 18 – 40 tahun dengan persentase sebesar 56.67 %. Sedangkan responden penyadap getah getah pinus sebagian besar berada pada kelompok umur 41 – 60 tahun dengan persentase 46.67 %. Umur responden tersebut dikelompokkan menurut Hurlock (1980) yang membagi masa dewasa menjadi tiga kelompok yaitu masa dewasa dini (18-40 tahun), masa dewasa madya(41-60 tahun), dan masa dewasa lanjut (> 60 tahun).

Tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan dan penyadap getah pinus masih tergolong rendah. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tingkat pendidikan dibedakan menjadi pendidikan dasar/rendah (SD – SMP/MTs), Pendidikan Menengah (SMA/SMK), dan pendidikan Tinggi (D3/S1). Berdasarkan Tabel 5 sebagian besar pendidikan responden adalah lulusan sekolah dasar dengan persentase 93.33% sedangkan sisanya sebesar 6.67% adalah lulusan SMP. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan prioritas utama baik bagi penyadap getah pinus maupun masyarakat sekitar hutan di BKPH Lengkong.

(20)

10

Jumlah keluarga yang dimaksudkan pada penelitian ini mencakup keluarga inti (anak dan istri/suami) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal di rumah responden maupun tidak tetapi kebutuhannya dibiayai oleh responden. Sebesar 40 % masyarakat sekitar hutan memiliki jumlah keluarga 3 dan 4 orang. Sedangkan sebagian besar penyadap getah pinus memiliki jumlah keluarga 3 orang dengan persentase sebesar 43.33%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata ukuran keluarga yang dimiliki oleh responden adalah keluarga kecil. Menurut BPS (1997) dalam Shinta (2008) kategori besar keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5 – 7 orang) dan besar (>7 orang).

Tabel 5 Karakteristik responden berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga

Karakteristik Kategori Masyarakat sekitar hutan Penyadap getah pinus

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Umur (Tahun) 18 – 40 17 56.67 13 43.33 41 – 60 11 36.67 14 46.67 > 60 2 6.67 3 10.00 Tingkat Pendidikan SD 28 93.33 28 93.33 SMP 2 6.67 2 6.67 Jumlah Keluarga 2 4 13.33 4 13.33 3 12 40.00 13 43.33 4 12 40.00 7 23.33 5 2 6.67 5 16.67 6 0 0.00 1 3.33

Pendapatan Pokok Masyarakat Sekitar

Perum Perhutani BKPH Lengkong berperan serta dalam mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan sebagai penyadap getah pinus. Namun, masyarakat yang tinggal disekitar hutan tersebut sebagian besar bekerja sebagai non penyadap getah pinus. Masyarakat beralasan tidak ikut serta melakukan penyadapan getah karena upah yang diterima tidak begitu tinggi, sehingga diduga tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, akses sulit dijangkau, sarana dan prasarana kurang mendukung serta ada jenis pekerjaan lain yang lebih mudah dilakukan. Berikut ini adalah tabel jenis pekerjaan dan pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan.

Tabel 6 Hasil perhitungan pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan

No Jenis Pekerjaan Curahan Waktu (Jam/Hari) Penerimaan (Rp/Hari) Biaya Operasional (Rp/Hari) Pendapatan (Rp/Hari) Pendapatan (Rp/Jam) a b c d e = c - d f = e/b 1 Buruh tani 5 75 500 12 000 63 500 12 700 2 Operator Chainsaw 7 150 000 25 000 125 000 17 857 3 Helper 7 75 000 15 000 60 000 8 571 4 Petani 5 63 409 13 636 49 773 9 605 5 Lainnya 7 86 000 15 500 70 500 10 368 Rata-rata 6 89 982 16 227 73 755 11 820

(21)

11

Tabel 6 menunjukkan pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan sebesar Rp11 820 per jam. Pendapatan tersebut merupakan upah minimum yang harus diterima oleh masyarakat sekitar hutan yang bekerja sebagai penyadap getah pinus di Perum Perhutani BKPH Lengkong. Upah minimum tersebut merupakan biaya dari waktu yang dikorbankan oleh penyadap getah pinus (Semaoen & Kiptiyah 2011).

Sistem Pengupahan di Perhutani

Sistem pengupahan di BKPH Lengkong menggunakan Cash Management

System (CMS) yaitu upah diberikan langsung secara tunai kepada penyadap. Getah

pinus yang disadap oleh para penyadap langsung disetor kepada mandor getah di Tempat Pengumpulan Getah (TPG). Mandor sadap memeriksa kondisi getah yang dikirim penyadap (kandungan/kadar kotoran dan air), lalu getah ditimbang dan dicatat beratnya, selanjutnya getah dituang ke dalam drum plastik, dan kemudian dilakukan penentuan mutu getah dengan cara sortasi (didasarkan pada kadar air, kadar kotoran dan warna). Getah pinus diterima sesuai dengan berat getah dan mutu hasil sortasi mandor penerimaan dan langsung dibayar kepada penyadap secara kontan (Perhutani 2014). Upah yang diperoleh penyadap dihitung berdasarkan berat getah pinus dalam satuan kilogram per jangka waktu tertentu dikalikan dengan tarif upah getah pinus per kilogram.

Berdasarkan buku pedomanan tarif upah Perum Perhutani KPH Sukabumi, upah pemungutan sadap getah pinus adalah Rp3500/kg dengan intensifikasi untuk mutu super premium, mutu premium, dan mutu I masing-masing adalah Rp1000/kg, Rp700/kg, dan Rp150/kg (Perhutani 2016). Getah dengan kualitas premium sangat jarang diperoleh para penyadap, sebab getah premium biasanya getah bersih, tidak ada kotoran dan warnanya terlihat jernih. Getah bersih dapat dihasilkan dari tempat penampung getah dimana kotoran atau serangga yang tertampung hanya sedikit, dan alat yang digunakan harus lebih bagus.

Perum Perhutani menetapkan upah getah pinus berdasarkan kualitas saja, namun di lapangan para Mandor di BKPH Lengkong memberikan upah kepada penyadap berdasarkan mutu dan jarak sadap. Rata-rata getah pinus yang diperoleh penyadap di BKPH Lengkong pada tahun 2016 adalah getah pinus dengan mutu I yaitu 891 424 kg (97.21 %) dari total getah yang dihasilkan yaitu 916 975 kg. Sisanya 23 679 kg (2.5 %) getah mutu II dan 1872 kg (0.2 %) mutu premium. Rata-rata upah bersih yang diterima oleh penyadap adalah Rp3000/kg. Upah yang diperoleh para penyadap menurut penyadap terlalu kecil. Para penyadap berharap harga getah dapat dinaikan.

Kenaikan upah bagi para penyadap akan mendorong kegairahan bekerja dan peningkatan produktivitas kerja. Sedangkan bagi Perhutani, upah merupakan salah satu biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat laba yang dihasilkan. Berdasarkan rencana kegiatan sadapan getah pinus BKPH Lengkong tahun 2016 besarnya upah yang dikeluarkan perhutani terhadap total biaya kebutuhan sadapan adalah sebesar 84% (Perhutani 2016). Kenaikan upah tersebut harus diimbangi dengan upaya peningkatan produktivitas dari para penyadap dan peningkatan kualitas dari getah pinus yang dihasilkan. Peningkatan produktivitas kerja penyadap dapat dilakukan dengan cara menambah luas areal sadapan, meningkatkan kemampuaan penyadap dalam memanen pohon per hari maupun dengan menambah

(22)

12

jumlah jam kerja dalam sehari dan jumlah hari kerja dalam sebulan. Sehingga dengan adanya peningkatan produktivitas pendapatan rumahtangga penyadap pun dapat meningkat, dengan demikian harapannya upah minimum kabupaten dapat tercapai serta sekaligus dapat memaksimalkan produk hutan (getah pinus). Sedangkan peningkatan kualitas getah dapat dilakukan dengan memperhatikan kebersihan getah tersebut. Seperti telah dijelaskan diawal bahwa perhutani menerapkan sistem intensifikasi terhadap mutu getah yang dihasilkan. Semakin bagus mutu getahnya maka intensifikasinya semakin tinggi. Sehingga pendapatannya pun semakin tinggi.

Persepsi Penyadap terhadap Sistem Pengupahan di Perhutani

Sistem pengupahan, pendapatan kegiatan menyadap, dan perbaikan sistem pengupahan merupakan indikator pertanyaan persepsi terhadap sistem pengupahan di Perhutani. Selanjutnya dari indikator tersebut dibuat skoring untuk mengetahui tingkat persepsi penyadap getah pinus terhadap lima kategori berdasar skala Likert yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk.Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan di perum perhutani BKPH Lengkong berada pada persepsi baik dan sangat baik (Tabel 7). Penyadap menganggap telah memahami dengan baik sistem pengupahan yang berlaku di perum perhutani yang meliputi jumlah pembayaran, waktu pembayaran serta proses pembayaran. Berdasarkan pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan menyadap, para penyadap cukup bergantung dengan hasil kegiatan menyadap getah pinus dengan rata-rata nilai tanggapan (3.47) berada pada tingkat persepsi baik, tapi tidak menjadikan kegiatan tersebut sebagai satu-satunya sumber pedapatan, karena pendapatan dari hasil menyadap getah pinus tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan penyadap. Sedangkan persepsi penyadap tentang perbaikan sistem pengupahan penyadap pinus sangat berharap akan adanya perbaikan dari sistem pengupahan dengan nilai tanggapan yang dihasilkan adalah 4.53 yang berada pada tingkat persepsi sangat baik. Perbaikan sistem pengupahan yang dimaksud penyadap adalah adanya kenaikan tarif upah dan peningkatan pengadaan sarana untuk penyadapan.

Tabel 7 Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan

Persepsi penyadap getah pinus terhadap Nilai

Tanggapan Tingkat Persepsi

Sistem Pengupahan 3.93 Baik

Pendapatan kegiatan menyadap 3.47 Baik

perbaikan sistem pengupahan 4.53 Sangat Baik

Berkaitan dengan penelitian ini, faktor personal atau faktor internal yang berhubungan dengan persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di Perhutani, yaitu: umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga yang disajikan pada Tabel 8. Persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di perhutani berdasarkan umur dari penyadap tersebut secara umum berada pada tingkat persepsi baik dengan skor nilai tanggapan 3.67 – 4.05. Hal ini disebabkan oleh pengalaman bekerja yang lama sehingga penyadap sudah memahami dengan baik sistem pengupahan yang ada di Perhutani. Hal ini sesuai dengan penelitian Yuwono (2006) yang mengatakan bahwa umur merupakan karakteristik individu yang menggambarkan pengalaman dalam diri individu tersebut. Pada umumnya semakin tua seorang petani semakin sulit menerima suatu perubahan atau dengan kata lain sudah puas dengan kondisi yang dicapai.

(23)

13

Tabel 8 Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan berdasarkan karakteristik responden

Karakteristik Kategori Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi

Umur (Tahun) 18 – 40 3.79 Baik

41 – 60 3.67 Baik

>60 4.05 Baik

Tingkat Pendidikan SD 3.76 Baik

SMP 3.89 Baik

Jumlah Keluarga 1 3.64 Baik

2 3.71 Baik

3 3.83 Baik

4 3.83 Baik

5 3.77 Baik

6 4.43 Sangat baik

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi persepsi yang diberikan oleh penyadap meskipun perbedaannya skor nilai tanggapan yang dihasilkan tidak terlalu signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendidikan SMP yang memiliki skor 3.89 lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan SD yang memiliki skor 3.76. Menurut Azahari (1988) diacu dalam Ramdhani (2011) semakin tinggi pendidikan akan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Pada umumnya warga yang berpendidikan lebih baik akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Jumlah keluarga terbesar yaitu 6 orang memiliki persepsi yang sangat baik. Semakin besar jumlah keluarga semakin besar tanggungan keluarga tersebut, sehingga meskipun penyadap sudah memahami sistem pengupahan dengan baik, namun harapan adanya kenaikan upah sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan Sukandar (2007) diacu dalam Ramdhani (2011) yang mengatakan bahwa jumlah keluarga pada umumnya akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.

Secara umum karakteristik responden penyadap getah pinus yang meliputi umur, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga menunjukkan bahwa tingkat persepsi berada pada tingkat persepsi yang baik. Berasarkan tabel 8 tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi tidak dipengaruhi oleh karakteristik respondennya. Hal ini karena sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan dan kemampuan responden saat menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan.

Kesejahteraan Penyadap

Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus

Pendapatan penyadap getah pinus diperoleh dari hasil kegitan menyadap getah pinus dan kegiatan lainnya yang dihitung dalam jangka waktu satu bulan saat penelitian. Umumnya alasan responden menjadi penyadap adalah karena lokasi sadapan dekat dengan rumah, keinginan sendiri untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang kontinyu setiap bulan. Selain itu ada juga yang menjadi penyadap karena orang tua mereka juga penyadap. Anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan penyadapan sebagian besar hanyalah kepala keluarga.

Sebagian besar penyadap melakukan kegiatan sampingan dengan bertani untuk menambah penghasilan rumah tangga penyadap. Hasil pertanian yang

(24)

14

diperoleh penyadap biasanya dari kegiatan tumpangsari seperti singkong, kacang polong, padi, dan tanaman lainya yang dipanen dalam waktu 3 bulan sampai 12 bulan. Hasil pertanian yang diperoleh para penyadap seperti hasil panen padi tidak dijual tetapi dikonsumsi sendiri agar meminimumkan pengeluaran. Para penyadap yang bertani umumnya tidak memiliki lahan sendiri, sehingga penyadap memanfaatkan lahan Perum Perhutani untuk bertani dengan pola tumpangsari di sela-sela pohon pinus dan di lahan yang kosong.

Tabel 9 Sumber pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus

Sumber Pendapatan Pendapatan

(Rp/ Bulan)

Rata-Rata Pendapatan

(Rp/RT/Bulan) Kontribusi (%)

Penyadapan Getah Pinus 51 763 800 1 669 800 73

Lainnya 18 944 100 611 100 27

Pendapatan Total 70 707 900 2 280 900 100

Sumber pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus terdiri atas pendapatan hasil kegiatan penyadap getah pinus dan pendapatan lainnya dari kegiatan non penyadapan, informasi ini disajikan pada Tabel 9. Pendapatan dari hasil sadapan getah pinus lebih besar dari pada pendapatan dari hasil lainnya. Pendapatan total semua responden yang diperoleh dari kegiatan sadapan getah pinus per bulan sebesar Rp51 763 800 dengan rata-rata pendapatan per orang per bulan sebesar Rp1 669 800, sedangkan pendapatan total semua responden yang didapat dari hasil kegiatan lainnya per bulan sebesar Rp18 944 100 dengan rata-rata pendapatan per orang per bulan sebesar Rp611 100. Kontribusi pendapatan dari kegiatan penyadapan getah pinus terhadap pendapatan total yaitu sebesar 73%, sedangkan sisanya sebesar 27% adalah kontribusi kegiatan lainnya terhadap pendapatan total. Hal ini dapat diinformasikan bahwa kegiatan penyadapan getah pinus lebih banyak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama penyadap.

Pengeluaran Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus

Pengeluaran dapat dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan (Riyadi et al. 2015). Pengeluaran penyadap pada penelitian ini terdiri atas biaya untuk pangan dan non pangan (Tabel 10). Biaya pangan meliputi pembelian beras, sayur-sayuran, lauk-pauk dan 16 buah-buahan. Sedangkan biaya non pangan meliputi biaya pendidikan, kesehatan, sarana rumah tangga dan biaya lain-lain. Berdasarkan Tabel 10, dapat diinformasikan bahwa rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan responden dalam sebulan sebesar Rp2 179 989. Pengeluaran terbesar penyadap getah pinus yaitu untuk pangan, yang berarti bahwa para penyadap masih dalam kondisi untuk bertahan hidup. Rata-rata pengeluaran untuk pangan setiap rumah tangga penyadap sebesar Rp1 290 000 per bulan. Biaya yang dikeluarkan untuk pangan tidak semuanya diperoleh dengan cara membeli, seperti beras diperoleh dari hasil tanaman di lahan yang digarap penyadap, termasuk tanaman sayur mayur seperti daun singkong yang diperoleh dari hasil penanaman singkong. Rata-rata biaya non pangan yang dikeluarkan oleh penyadap getah pinus dalam sebulannya sebesar Rp889 989 per rumah tangga. Biaya non pangan yang dikeluarkan meliputi pendidikan, kesehatan, sarana rumah tangga dan biaya lain-lain. Penyadap yang diwawancarai tidak semua memiliki tanggungan pendidikan, ada beberapa responden yang angggota keluarganya sudah tidak sekolah lagi atau belum bersekolah. Berdasarkan hasil wawancara untuk

(25)

15

pengeluaran kesehatan, secara umum penyadap sangat jarang sakit, apabila penyadap merasa kurang sehat pengobatan yang dilakukan hanya menggunakan obat dari warung saja, dan dengan mengkonsumsi obat tersebut penyadap merasa akan sembuh. Biaya sarana rumah tangga biasanya untuk pembayaran listrik, alat-alat rumah tangga, dan biaya perbaikan rumah. Biaya-biaya lain meliputi biaya operasional kegiatan penyadap, pakaian, transportasi, rekreasi dan tabungan.

Tabel 10 Jenis pengeluaran rumah tangga penyadap getah pinus

Jenis Pengeluaran Jumlah Pengeluaran

(Rp/Bulan) Rata-Rata (Rp/RT/Bulan)

Pangan 38 700 000 1 290 000 Non Pangan Pendidikan 5 700 000 190 000 Kesehatan 1 525 000 50 833 Sarana Rumah 1 297 833 43 261 Lain-Lain 18 825 167 627 506 Total 66 048 000 2 201 600

Perbandingan Pendapatan Penyadap Getah Pinus, Pendapatan Pokok Masyarakat Sekitar Hutan dan UMK Sukabumi

Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 561/Kep.1322 Bangsos/2015 tertanggal 20 November 2015 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2016 UMK Kabupaten Sukabumi sebesar Rp2 195 435/bulan yaitu naik sebesar 11.5% dari UMK tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara pada Tabel 11, pendapatan dari hasil kegiatan penyadapan sebesar Rp13 224 per jam dengan jam kerja 6 jam per hari. Pendapatan penyadap tersebut menunjukkan bahwa, pendapatan dari hasil kegiatan menyadap getah pinus lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan sebagai upah minimum penyadap getah (Rp11 820 per jam) dan besarnya UMK Sukabumi (Rp12 545 per jam). Namun, jika pendapatan tersebut dikalkulasikan selama satu bulan pendapatan per bulan penyadap (Rp1 433 055 per bulan) lebih rendah dari rata-rata pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan sebagai upah minimum penyadap getah (Rp1 622 600 per bulan), hal ini disebabkan karena hari kerja penyadap lebih rendah daripada masyarakat sekitarnya yang bekerja dibidang lain yang menyebabkan produktivitas kerja penyadap juga rendah. Begitupun jika dibandingkan dengan UMK Kabupaten Sukabumi (Rp2 195 435 per bulan) pendapatan dari kegiatan penyadapan getah pinus lebih rendah dari UMK Kabupaten Sukabumi, penyadap masih tergolong keluarga belum sejahtera atau miskin. Maka penyadap perlu meningkatkan produktivitas dan kualitas getah yang yang disadap, sehingga pendapatan rumah tangga dapat meinggkat dengan demikian harapannya upah minimum kabupaten dapat tercapai serta sekaligus dapat memaksimalkan produk hutan (getah pinus). Dengan tercapainya upah minimum tersebut maka kesejahteraan penyadap getah pinus di BKPH Lengkong dapat tercapai. Selain itu perlunya memperhatikan faktor keberhasilan dalam melakukan kegiatan penyadapan, menurut Martono (2009) keberhasilan sadapan masih dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keseriusan penyadap dan jarak tempuh menuju ke lokasi sadapan, dimana faktor jarak ini harus diperhitungkan dalam penentuan besarnya upah.

(26)

16

Tabel 11 Perbandingan pendapatan penyadap getah, pendapatan pokok masyarakat sekitar hutan dan UMK Sukabumi

No Komponen Penyadap Getah Masyarakat Sekitar Hutan UMK

1 Curahan Waktu

(Jam/hari) 6 6 7

2 Hari Kerja (Hari) 18 22 25

3 Pendapatan (Rp/Jam) 13 224 11 820 12 545

4 Pendapatan Bersih

(Rp/Bulan) 1 433 055 1 622 600 2 195 435

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Rata-rata pendapatan masyarakat sekitar merupakan upah minimum yang harus diterima oleh penyadap, yaitu sebesar Rp11 820 per jam. Namun pendapatan penyadap saat ini sebesar Rp13 224 per jam sudah lebih besar daripada upah minimum yang harus diterima oleh penyadap.

2. Persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di perhutani berada pada tingkat persepsi baik dan sangat baik. Kemudian tingkat persepsi juga dibedakan berdasarkan faktor personal atau faktor internal yang berhubungan dengan persepsi penyadap terhadap sistem pengupahan di Perhutani, yaitu: umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga.

3. Berdasarkan UMK Kabupaten Sukabumi, pendapatan penyadap yang dihasilkan dari kegiatan menyadap getah pinus di perhutani termasuk kategori belum sejahtera.

Saran

1. Pendapatan penyadap perlu ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas kerja penyadap dengan cara menambah luas areal sadapan, meningkatkan kemampuaan penyadap dalam memanen pohon per hari maupun dengan menambah jumlah jam kerja dalam sehari dan jumlah hari kerja dalam sebulan. 2. Perlu keseriusan dari penyadap untuk bekerja sebagai penyadap dan pihak

perhutani perlu mempertimbangkan jarak tempuh menuju lokasi penyadapan menjadi salah satu faktor dalam penentuan upah penyadapan.

3. Perlunya penerapan reward bagi penyadap agar memotivasi penyadap dalam mencapai target produksi.

4. Perlunya perbaikan sarana dan prasarana kerja penyadap agar penyadap dapat memperluas areal kerja dan hasil produksi penyadap meningkat.

(27)

17

DAFTAR PUSTAKA

[Kemenakertrans] Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2013. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Kerja dan Transmigrasi No. PER-07/Men/2013 tentang Upah Minimum. Jakarta (ID): Kemenakertrans.

[Kemenakertrans] Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2016. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Kerja dan Transmigrasi No. PER-21/Men/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Jakarta (ID): Kemenakertrans.

[Menhut] Menteri Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta (ID): Menhut. [PemprovJabar] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2015 September 22. UMK 2016 di Jabar Naik 11.5 Persen. Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Berita. [diunduh 29 November 2016]. Tersedia pada http://www.jabarprov.go.id/ index.php/news/14918/UMK_2016_di_Jabar_ Naik_11_5_Persen.

[Perhutani] Prosedur Kerja Sadapan Getah Pinus. 2014. Perum Perhutani KPH Sukabumi Divisi Regional Jawa Barat dan Banten.

[Perhutani] Buku Tarif Upah 2016 KPH Sukabumi. 2016. Perum Perhutani KPH Sukabumi Divisi Regional Jawa Barat dan Banten.

[Perhutani] Tapping Plan BKPH Lengkong KPH Sukabumi. 2016. Perum Perhutani KPH Sukabumi Divisi Regional Jawa Barat dan Banten.

[RI] Republik Indonesia. 2003. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2003. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

[RI] Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1996. Kajian Teknis Ekonomis Pengolahan Gondorukem dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah (Studi Kasus di PGT Paninggaran dan PGT Cimanggu). Kerjasama Litbang Kehutanan dengan Universitas Sebelas Maret. Bogor (ID): Balitbang Kehutanan

Baskoro T. 2008. Persepsi dan sikap masyarakat kota jakarta terhadap fungsi hutan di daerah hulu sebagai pencegah banjir [skripsi]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor.

Cahyat A, Gönner C, dan Haug M. 200. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan

Rumah Tangga: Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor (ID): CIFOR Indonesia.

Corryanti dan Rahmawati R. 2015. Terobosan Memperbanyak Pinus (Pinus merkusii). Cepu (ID): Puslitbang Perum Perhutani Cepu

Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Edisi Kelima. Istiwidayanti dan Soedjarwo, alih bahasa. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Alih bahasa dari:

Developmental Psychology

Iriyanto D. 2007. Analisis produktivitas dan pendapatan penyadap getah pinus Merkusii Jungh et de Vriese di BKPH Bandar, KPH Pekalongan Timur, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor

Junianto B. 2007. Persepsi, sikap dan perilaku masyarakat sekitar hutan terhadap keberadaan hutan [skripsi]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor.

(28)

18

Leavitt HJ. 1978. Psikologi Manajemen. Edisi Keempat. Zarkasi M, alih bahasa. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Alih bahasa dari: Managerial Psychology Martono DS. 2009. Kontribusi Pendapatan dari Penyadapan Getah Pinus terhadap

Pendapatan Totalnya (Studi Kasus Di RPH Guyangan BKPH Ponorogo Barat KPH Lawu Ds Perum Perhutani Unit II Jawa Timur ). Jurnal Agri-Tek. 10(2):78-79

Panjaitan Y. 2015. Kontribusi pendapatan getah pinus terhadap kesejahteraan penyadap di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan. Prasetyo B,Jannah LM. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta (ID): PT

Rajagrafindo Persada.

Ramdhani HS. 2011. Studi sosial ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap corporate social reponsibility (csr) perusahaan hutan tanaman industri PT. Nityasa Idola di Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan. Riduwan. 2011.Dasar-dasar Statistika. Bandung (ID): Alfabeta.

Riyadi et al. 2015. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik (BPS)

Semaoen I, KiptiyahSM. 2011. Mikroekonomi (Level intermediate). Malang (ID): UB Press

Simanjuntak PJ. 1985. Pengantar Ekonomi Seumberdaya Manusia. Jakarta (ID): PEUI

Shinta Y. 2008. Analisis alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu [skripsi]. Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor. Sukardayati. 2014. Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan.

Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 32(1):62-70

Sumarsono S.2009. Teori dan Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu

Tjandraningsih I, Herawati R. 2009. Menuju Upah Layak : Survei Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia. AKATIGA [Internet]. [diunduh 2014 April 20]. Tersedia pada: http//library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/ 07004.pdf. Tjiptoherjianto P. 2001. Proyeksi Penduduk, angkatan kerja, tenaga kerja, dan peran

serikat pekerja dalam penigkatan kesejahteraan. Majalah Perencanaan

Pembangunan. (Edisi 23:4) [Internet] [diunduh 29 November 2016]. Tersedia

pada http://bappenas.go.id/files/3513/5211/1083/prijono2009101512525925 60.pdf

Wahyudi. 2013. Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Yogyakarta (ID): Percetakan Pohon Cahaya

Yuwono S. 2006. Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(29)

19 Lampiran 1 Perhitungan Pendapatan Pokok Masyarakat Sekitar Hutan

No Urut No Responden Jenis Pekerjaan Curahan Waktu (Jam) Hari Kerja (Hari) Penerimaan (Rp/Hari) Biaya Operasional (Rp/Hari) Pendapatan (Rp/Hari) Pendapatan Bersih (Rp/Hari) Pendapatan Bersih (Rp/Jam) 1 1 Buruh tani 5 20 70 000 15 000 70 000 55 000 11 000 2 9 Buruh tani 5 20 67 500 15 000 67 500 52 500 10 500 3 18 Buruh tani 5 18 75 000 10 000 75 000 65 000 13 000 4 19 Buruh tani 5 20 75 000 10 000 75 000 65 000 13 000 5 20 Buruh tani 5 18 90 000 10 000 90 000 80 000 16 000 Rata-Rata 5 19 75 500 12 000 75 500 63 500 12 700 6 14 Chainsawman 7 26 150 000 25 000 150 000 125 000 17 857.14286 7 15 Chainsawman 7 26 150 000 25 000 150 000 125 000 17 857.14286 Rata-Rata 7 26 150 000 25 000 150 000 125 000 17 857.14286 8 13 Helper 7 26 75 000 20 000 75 000 55 000 78 57.142857 9 16 Helper 7 20 75 000 10 000 75 000 65 000 92 85.714286 Rata-Rata 7 23 75 000 15 000 75 000 60 000 85 71.428571 10 2 Lainnya 5 15 60 000 15 000 60 000 45 000 9 000 11 4 Lainnya 5 15 100 000 20 000 100 000 80 000 16 000 12 10 Lainnya 5 15 100 000 10 000 100 000 90 000 18 000 13 12 Lainnya 7 30 125 000 45 000 125 000 80 000 11 428.57143 14 17 Lainnya 6 25 75 000 0 75 000 75 000 12 500 15 26 Lainnya 8 24 100 000 25 000 100 000 75 000 9 375 16 27 Lainnya 8 24 75 000 10 000 75 000 65 000 8 125 17 28 Lainnya 8 24 75 000 10 000 75 000 65 000 8 125 18 29 Lainnya 8 24 75 000 10 000 75 000 65 000 8 125 19 30 Lainnya 8 24 75 000 10 000 75 000 65 000 8 125 Rata-Rata 7 22 86 000 15 500 86 000 70 500 10 367.64706 20 3 Petani 5 15 50 000 20 000 50 000 30 000 6000 21 5 Petani 5 20 87 500 35 000 87 500 52 500 10500 22 6 Petani 5 22 50 000 20 000 50 000 30 000 6000 23 7 Petani 5 22 50 000 20 000 50 000 30 000 6000 24 8 Petani 7 20 50 000 20 000 50 000 30 000 4285.714286 25 11 Petani 5 15 150 000 20 000 150 000 130 000 26000 26 21 Petani 5 20 50 000 15 000 50 000 35 000 7000 27 22 Petani 5 20 50 000 0 50 000 50 000 10000 28 23 Petani 5 20 60 000 0 60 000 60 000 12000 29 24 Petani 5 20 50 000 0 50 000 50 000 10000 30 25 Petani 5 20 50 000 0 50 000 50 000 10000 Rata-Rata 5 19 63 409.09091 13 636.36364 63 409.09091 49 772.72727 9798.701299

(30)

20 Lampiran 2 Perhitungan Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus

No Responden Curahan Waktu Menyadap (Jam)

Hari Kerja (Hari) Produktivitas

(Kg/Bulan)

Upah (Rp/Kg)

Pendapatan (Rp/Bulan) Kontribusi Pendapatan (%)

Kegiatan Menyadap Kegiatan Non Menyadap Pokok Sampingan Total Pokok Sampingan

1 6 16 14 800 3 000 2 400 000 400 000 2 800 000 86 14 2 4 16 14 733 3 000 2 199 000 400 000 2 599 000 85 15 5 6 26 4 1 000 3 000 3 000 000 200 000 3 200 000 94 6 6 5 22 8 467 3 000 1 401 000 600 000 2 001 000 70 30 7 5 22 8 670 3 000 2 010 000 400 000 2 410 000 83 17 9 6 20 10 534 3 000 1 602 000 500 000 2 102 000 76 24 10 7 16 14 434 3 000 1 302 000 700 000 2 002 000 65 35 11 6 26 4 400 3 000 1 200 000 900 000 2 100 000 57 43 12 5 16 14 600 3 000 1 800 000 500 000 2 300 000 78 22 13 7 16 14 670 3 000 2 010 000 300 000 2 310 000 87 13 14 9 24 6 670 3 000 2 010 000 300 000 2 310 000 87 13 15 9 24 6 800 3 000 2 400 000 300 000 2 700 000 89 11 16 7 16 14 670 3 000 2 010 000 700 000 2 710 000 74 26 17 8 16 14 400 3 000 1 200 000 1 100 000 2 300 000 52 48 18 8 16 14 1 200 3 000 3 600 000 200 000 3 800 000 95 5 19 7 16 14 400 3 000 1 200 000 533 000 1 733 000 69 31 20 6 16 14 350 3 000 1 050 000 1 500 000 2 550 000 41 59 22 5 16 14 400 3 000 1 200 000 500 000 1 700 000 71 29 23 5 18 12 400 3 000 1 200 000 400 000 1 600 000 75 25 25 5 18 12 400 3 000 1 200 000 1 000 000 2 200 000 55 45 26 8 16 14 500 3 000 1 500 000 500 000 2 000 000 75 25 27 7 22 8 500 3 000 1 500 000 100 000 1 600 000 94 6 28 8 12 18 400 3 000 1 200 000 1 000 000 2 200 000 55 45 29 8 12 18 400 3 000 1 200 000 1 300 000 2 500 000 48 52 31 6 12 18 600 3 000 1 800 000 800 000 2 600 000 69 31 33 7 24 6 550 3 000 1 650 000 500 000 2 150 000 77 23 34 6 16 14 450 3 000 1 350 000 300 000 1 650 000 82 18 38 4 20 10 400 3 000 1 200 000 1 100 000 2 300 000 52 48 39 4 16 14 700 3 000 2 100 000 1 000 000 3 100 000 68 32 40 5 8 22 200 3 000 600 000 300 000 900 000 67 33 Jumlah 189 534 366 16 698 90 000 51 763 800 18 944 100 70 707 900 2174 826 Rata-Rata 6 18 548 3 000 1 669 800 611 100 2 280 900 73 27

(31)

21 Lampiran 3 Perhitungan Pengeluaran Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus

No Responden

Pangan (Rp/Bulan)

Non Pangan

Pendidikan Kesehatan Sarana Rumah Lain-Lain

Biaya Pendidikan Biaya Kesehatan Perbaikan Rumah Biaya Listrik Biaya Alat RT Total Biaya Membeli Pakaian Biaya Rekreasi Dan Tabungan Biaya Transport Biaya Tak Terduga Total (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bula) (Rp/Bula) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan)

1 1 500 000 0 30 000 0 25 000 2 000 27 000 83 333 0 50 000 600 000 733 333 2 1 500 000 0 100 000 0 50 000 16 667 66 667 125 000 83 333 50 000 600 000 858 333 5 1 050 000 0 24 000 16 667 25 000 16 667 58 333 58 333 8 333 100 000 1500 000 1666 667 6 1 050 000 0 200 000 0 25 000 0 25 000 41 667 8 333 50 000 600 000 700 000 7 1 200 000 0 50 000 0 25 000 16 667 41 667 58 333 25 000 450 000 600 000 1133 333 9 900 000 600 000 15 000 0 25 000 8 333 33 333 50 000 0 50 000 450 000 550 000 10 1 050 000 0 100 000 0 25000 8 333 33 333 41 667 0 300 000 300 000 641 667 11 1 800 000 0 50 000 0 25 000 50 000 75 000 41 667 0 100 000 0 141 667 12 1 500 000 0 25 000 0 25 000 0 25 000 66 667 16 667 0 450 000 533 333 13 1 500 000 150 000 10 000 0 50 000 8 333 58 333 83 333 0 0 300 000 383 333 14 1 500 000 150 000 16 000 0 25 000 0 25 000 66 667 16 667 0 600 000 683 333 15 1 500 000 800 000 10 000 0 10 000 8 333 18 333 66 667 0 100 000 300 000 466 667 16 1 500 000 150 000 50 000 0 50 000 8 333 58 333 83 333 0 50 000 900 000 1033 333 17 1 500 000 300 000 10 000 0 50 000 0 50 000 125 000 0 16 000 480 000 621 000 18 1 500 000 150 000 50 000 0 70 000 8 333 78 333 125 000 0 500 000 750 000 1375 000 19 900 000 0 50 000 0 25 000 0 25 000 83 333 0 0 600 000 683 333 20 1 500 000 0 100 000 0 80 000 8 333 88 333 83 333 8 333 200 000 600 000 891 667 22 900 000 0 50 000 0 25 000 0 25 000 41 667 0 0 360 000 401 667 23 900 000 0 50 000 0 20 000 0 20 000 25 000 0 0 150 000 175 000 25 900 000 0 50 000 0 30 000 8 333 38 333 100 000 0 300 000 750 000 1150 000 26 1 500 000 0 0 0 25 000 0 25 000 83 333 0 300 000 0 383 333 27 1 500 000 0 0 0 25 000 0 25 000 41 667 0 20 000 0 61 667 28 1 500 000 650 000 0 0 25 000 0 25 000 83 333 0 20 000 0 103 333 29 900 000 1100 000 0 0 25 000 0 25 000 83 333 0 0 300 000 383 333 31 1 500 000 600 000 30 000 0 60 000 4 167 64 167 125 000 0 100 000 360 000 585 000 33 1 050 000 0 300 000 0 100 000 0 100 000 83 333 0 0 300 000 383 333 34 1 500 000 600 000 30 000 0 100 000 0 100 000 125 000 0 0 0 125 000 38 1 500 000 0 20 000 0 25 000 0 25 000 37 500 0 0 750 000 787 500 39 1 500 000 450 000 100 000 0 20 000 8 333 28 333 100 000 0 20 000 900 000 1020 000 40 600 000 0 5 000 0 10 000 0 10 000 0 0 20 000 150 000 170 000 Jumlah 38 700 000 5 700 000 1 525 000 16 667 1 100 000 181 167 1 297 833 2 212 500 166 667 2 796 000 1 3650 000 18 825 167 Rata-Rata 1 282 759 475 000 59 800 575 37 069 6 178 43 261 73 420 5 747 144 526 450 000 627 506

(32)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimanggis, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 25 Oktober 1994 sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Anda dan Ibu E. Novianti. Pada tahun 2012 lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jampangkulon dan kemudian diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan melalui Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) – Jalur Undangan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi Kelompok Studi Sosial, Ekonomi, kebijakan FMSC (2013-2015), Forest Management Students

Club (FMSC) Divisi Informasi dan Komunikasi (2013-2015), Anggota Biro

Sponshorship Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2015), Cross-E DKM Ibaadurahman Fakultas Kehutanan IPB (2013-2014), dan anggota UKM Pramuka Institut Pertanian Bogor (2012-2015). Penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan baik tingkat Departemen, Fakultas maupun Perguruan Tinggi. Selain itu, penulis juga pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal (Ciamis) – Pantai Pangandaran, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Dwimajaya Utama Kalimantan Tengah.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Penentuan Upah Minimum Penyadap Getah Pinus di BKPH Lengkong, KPH Sukabumi Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat-Banten di bawah bimbingan Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS.

Gambar

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
Tabel 2 Perhitungan pendapatan masyarakat sekitar hutan
Tabel 5 Karakteristik responden berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan  dan jumlah keluarga
Tabel 8  Persepsi penyadap getah pinus terhadap sistem pengupahan  berdasarkan karakteristik responden
+2

Referensi

Dokumen terkait