• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pendapatan penyadap getah Pinus merkusii Jung et de Vriese dan hubungannya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penyadap getah di BKPH Karangkobar, KPH Banyumas Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pendapatan penyadap getah Pinus merkusii Jung et de Vriese dan hubungannya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penyadap getah di BKPH Karangkobar, KPH Banyumas Timur"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENYADAPAN GETAH

DI BKPH KARANGKOBAR KPH BANYUMAS TIMUR

Oleh :

ADITYA DEWI KARTIKA NINGRUM E14102024

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 April 1984 di Kabupaten Purbalingga

Propinsi Jawa Tengah, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga

Bapak Karseno Adi dan Ibu Nining Rustini.

Pendidikan yang ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi Karangkobar

pada tahun 1989. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di

Sekolah Dasar Negeri Karangkobar I, kemudian melanjutkan ke Sekolah

Menengah Pertama Negeri I Karangkobar hingga tahun 1999. Pada tahun 2002

penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri I

Purbalingga. Pada tahun yang sama diterima di Jurusan Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor penulis mengikuti magang di BKPH Gunung Slamet Barat KPH Banyumas

Timur pada tahun 2004, Praktek Umum Kehutanan di Cilacap dan Baturraden,

Praktek Pengelolaan Hutan Lestari di Getas pada tahun 2005. Pada tahun 2006

penulis mengikuti KKN di desa Sinarsari, kecamatan Dramaga, kabupaten Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang

berjudul “Analisis Pendapat Penyadap Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese dan Hubunganya dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam

Kegiatan Penyadapan Getah di BKPH Karangkobar KPH Banyumas

(3)

Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese dan Hubungannya dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Penyadapan Getah di BKPH Karangkobar KPH Banyumas Timur , di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Perum Perhutani sebagai pemegang hak pengusahaan hutan di pulau Jawa

memiliki beberapa kelas perusahaan, diantaranya adalah kelas perusahaan hutan

Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese). Hingga saat ini di pulau Jawa terdapat

sekitar 600.000 Ha hutan Pinus yang menjadi tanggung jawab wilayah kerja

Perum Perhutani. Produk yang dihasilkan dari kelas perusahaan Pinus adalah

getah dan kayu Pinus. Namun saat ini yang menjadi perhatian adalah hasil berupa

getah yang merupakan bahan baku industri yang dapat diolah menjadi

gondorukem dan terpentin.

Untuk mendapatkan getah dari tegakan pinus maka perlu dilakukan kegiatan

penyadapan getah. Perhutani membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak

dalam kegiatan ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melibatkan

masyarakat desa sekitar hutan sebagai tenaga penyadap. Umumnya masyarakat

desa yang tinggal di sekitar hutan memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan

lapangan pekerjaan yang terbatas hanya di bidang pertanian. Perhutani berusaha

untuk melibatkan masyarakat di sekitar hutan dalam usaha pengelolaan hutan

diantaranya dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga penyadap getah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pendapatan penyadap

yang diperoleh dari kegiatan penyadapan getah Pinus, faktor-faktor yang

mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh oleh penyadap getah dan

mengetahui hubungan antara besarnya pendapatan yang diperoleh penyadap

dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penyadapan getah Pinus.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2006 berlokasi di

BKPH Karangkobar KPH Banyumas Timur. Penentuan jumlah responden

dilakukan menggunakan metode stratified random sampling dengan stratum

wilayah kerja mandor sadap dan intensitas sampling sebesar 8%. Pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Analisis data yang dipakai adalah

(4)

Pendapatan penyadap sangat tergantung pada jumlah getah yang mampu

mereka hasilkan setiap bulan. Rata-rata pendapatan penyadap di BKPH

Karangkobar adalah Rp. 417.394 per bulan. Selain dari kegiatan penyadapan

penyadap juga mendapatkan penghasilan dari kegiatan lain seperti kegiatan usaha

tani maupun peternakan. Kontribusi pendapatan dari kegiatan penyadapan

rata-rata sebesar 67,61% terhadap total pendapatan penyadap. Kontribusi terbesar dari

kegiatan penyadapan terdapat di RPH Kalibening sebesar 80,52% sedangkan yang

terendah berada di RPH Wanayasa sebesar 38,47%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dari kegiatan penyadapan

antara lain luas areal sadapan. Rata-rata luas areal sadapan untuk tiap penyadap di

BKPH karangkobar adalah 2,85 Ha. Luas areal sadapan berhubungan dengan

jumlah pohon yang dapat dipanen oleh penyadap. Rata-rata jumlah pohon yang

mampu disadap dalam sehari adalah 100 pohon. Jam kerja dalam penyadapan

adalah 4,20 jam per hari dan jumlah hari kerja dalam sebulan adalah 18,03 hari.

Kegiatan penyadapan di BKPH karangkobar menggunakan larutan asam Socepas

235 AS sebagai stimultan karena elevasi blok sadapan yang berada di ketinggian

lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Penggunaan larutan asam ini

bertujuan untuk mengurangi laju pembekuan getah sehingga getah tidak cepat

mengental dan menghambat saluran getah.

Dari 21 peubah yang diambil di lapangan dari responden ternyata tidak

semuanya dapat di analisis secara statistik. Peubah tersebut antara lain mata

pencaharian responden, perlakuan penjarangan pada tegakan, penggunaan larutan

asam, jenis tanah dan curah hujan. Peubah perlakuan penjarangan pada tegakan,

penggunaan larutan asam, jenis tanah dan dan curah hujan memiliki nilai yang

sama (konstan) sehingga bila dimasukkan dalam analisis statistik tidak akan

berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pendapatan.

Dari beberapa faktor yang diprediksikan akan mempengaruhi besarnya

pendapatan penyadap tidak seluruhnya berpengaruh nyata. Hasil analisis regresi

dari 16 faktor yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan penyadap ternyata

hanya dua faktor yang berpengaruh nyata terhadap besarnya pendapatan penyadap

(5)

tegakan (X13). Persamaan Regresi yang diperoleh adalah Y = 4993 + 1463 X10 +

1558 X13.

Dengan asumsi bahwa produksi getah per bulan dapat didekati dengan luas

areal sadapan (X5), hari kerja dalam sebulan (X6), dan jam kerja efektif per

hari(X11) maka diperoleh rumus yang lebih mudah digunakan dalam pengelolaan

tegakan yaitu : Y = -293063 + 8726X5 + 25882X6 + 4913X11 + 6484X13

Rata-rata tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan jumlah tenaga kerja

yang terlibat dalam kegiatan penyadapan di BKPH Karangkobar sebesar 3,82%.

RPH Pandanarum memiliki tingkat partisipasi masyarakat tertinggi yaitu sebesar

4,92%. Tingkat partisipasi ini berbanding lurus dengan luas areal sadapan pada

masing-masing RPH. Tingkat partisipasi masyarakat di RPH Siweru adalah

3,43%, di RPH Wanayasa 3,80% dan tingkat partsisipasi terkecil berada di

wilayah RPH Kalibening sebesar 3,13%.

Tingkat partisipasi masyarakat di BKPH Karangkobar berdasarkan jam

kerja rata-rata sebesar 61,80%, lebih tinggi dari tingkat partisipasi berdasarkan

jumlah hari kerja dalam sebulan yaitu sebesar 60,10%. RPH Siweru memiliki

tingkat partisipasi tertinggi berdasarkan jumlah jam kerja per hari maupun

berdasarkan jumlah hari kerja per bulan. Tingkat partisipasi berdasarkan jam kerja

sebesar 66,88 % sedangkan berdasarkan jumlah hari kerja dalam sebulan adalah

67,67%.

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan

pendapatan dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi

antara pendapatan dan tingkat partisipasi berdasarkan jam kerja adalah 0,650

berarti korelasi antara tingkat partisipasi berdasarkan jam kerja dengan

pendapatan cukup erat. Nilai koefisien korelasi antara pendapatan dengan jumlah

hari kerja dalam sebulan adalah 0,861. Hal ini berarti hubungan antara pendapatan

dengan tingkat partisipasi berdasarkan hari kerja per bulan erat. Dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh penyadap dari

sektor sadapan maka akan semakin besar pula tingkat partisipasi penyadap dalam

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Analisis Pendapatan Penyadap Getah

Pinus Merkusii Jungh et de Vriese dan Hubungannya Dengan Tingkat partisipasi

Masyarakat dalam Kegiatan Penyadapan Getah di BKPH Karangkobar KPH

Banyumas Timur.

Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu, baik secara

moral maupun material. Karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu, Bapak dan Bayu atas semua doa, dukungan moral dan material yang

selama ini diberikan.

2. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku dosen pembimbing atas semua

saran, bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi serta kesempatan

untuk menimba ilmu dari Bapak.

3. Ir. Bedyaman Tambunan, MS selaku dosen penguji dari Departemen Hasil

Hutan dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku dosen penguji dari

Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan.

4. Pa Gito atas bantuan transportasi selama penelitian di lapangan.

5. Pa Kamaluin Latif dan Mas Sriyono atas bantuan dan data-data

sekundernya.

6. Pa Agung dan Pa Dwi di KPH Banyumas Timur atas bantuan dalam

pengurusan ijin penelitian.

7. Teman-teman MNH ’39 atas keceriaan dan kebersamaan selama 4 tahun.

8. Sahabat-sahabatku tercinta Tetty, Yuni, Linda, Indah, Fieta dan Ona

9. Teman-teman ”Nabila Anggrek” Uni Esy, Tila, Naok, Aldise, Lola dan

teman-teman ”Regina Bateng” Wooland, Lilly, Febri, Dame.

10.Angga Prawira atas semua dukungan, perhatian dan bantuan yang

(7)

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi yang tidak dapat

disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya

dan bagi orang yang memerlukan di masa yang akan datang.

Bogor, Agustus 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pinus merkusii Jungh et de Vriese ... 4

Penyadapan Getah Pinus ... 4

Tenaga Penyadap ... 8

Pendapatan Keluarga Penyadap ... 9

Partisipasi Masyarakat ... 9

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Alat dan Objek ... 11

Kerangka Pemikiran ... 11

Metode Pengambilan Contoh ... 13

Pengumpulan Data ... 15

Analisi dan Pengolahan Data ... 16

Definisi Operasional ... 20

Hipotesis ... 20

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah ... 21

Topografi, Tanah dan Iklim ... 21

(9)

Sistem Penyadapan Getah ... 24

Sarana Penyadapan Getah Pinus ... 26

PEMBAHASAN Karakteristik Penyadap ... 29

Pendapatan Penyadap dari Sektor Sadapan ... 31

Pendapatan Penyadap dari Luar Sektor Sadapan ... 37

Kontribusi Pendapatan dari Penyadapan terhadap Pendapatan Total Penyadap ... 39

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Penyadap ... 40

Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Penyadapan ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Jumlah Responden tiap Wilayah Kerja Mandor ... 14

2. Penggunaan Lahan di Masing-Masing Kecamatan ... 22

3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan ... 23

4. Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Sekitar BKPH Karangkobar ... 24

5. Peralatan Sadap Metode Quare yang Dibakukan ... 27

6. Tarif Getah yang Berlaku di Wilayah KPH Banyumas Timur ... 28

7. Rata-rata Pendapatan Penyadap dari Kegiatan Penyadapan ... 31

8. Rata-rata Luas Blok Sadapan Tiap Penyadap ... 32

9. Rata-rata Produsi Getah per Penyadap di Masing-masing RPH ... 33

10. Rata-rata Jarak Tempuh dan Jam Kerja Efektif dalam Penyadapan... 35

11. Besarnya Kontribusi dari Kegiatan Penyadapan terhadap Pendapatan Total Penyadap ... 39

12. Hasil Uji-t Regresi Linear Antara 16 Variabel yang Diduga Mempengaruhi Pendapatan Penyadap ... 41

13. Sidik Ragam Persamaan Regresi ... 42

14. Sidik Ragam Persamaan Regresi Penduga Pendapatan ... 44

15. Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Jumlah Penyadap ... 46

16. Tingkat Partisipasi Berdasarkan Jumlah Jam Kerja per Hari dan Hari Kerja per Bulan ... 47

17. Rata-rata Tingkat Partisipasai dan Rata-rata Pendapatan Penyadap per Bulan di BKPH Karangkobar ... 47

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 12

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1. Rekapitulasi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap

Pendapatan Penyadap dari Sektor Sadapan ... 56

2. Perbandingan Antara Jumlah Penyadap dengan Jumlah Tenaga

Kerja Laki-laki tiap Wilayah Kerja Mandor Sadap ... 60

3. Hasil Pengolahan Data dengan Minitab 13.3 For Window ... 61

4. Pendapatan Penyadap dari Sektor Sadapan dan dari Luar

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perum Perhutani sebagai pemegang hak pengusahaan hutan di pulau Jawa

memiliki beberapa kelas perusahaan, diantaranya adalah kelas perusahaan hutan

pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese). Hingga saat ini di pulau Jawa terdapat

sekitar 600.000 Ha hutan Pinus yang menjadi tanggung jawab wilayah kerja

Perum Perhutani. Produk yang dihasilkan dari kelas perusahaan pinus adalah

getah dan kayu pinus. Namun saat ini yang menjadi perhatian adalah hasil berupa

getah yang merupakan bahan baku industri yang dapat diolah menjadi

gondorukem dan terpentin.

Untuk mendapatkan hasil berupa getah maka tegakan pinus harus disadap.

Dalam kegiatan ini Perum Perhutani membutuhkan tenaga kerja yang cukup

banyak untuk bekerja sebagai penyadap getah. Salah satu upaya yang dilakukan

adalah dengan melibatkan masyarakat yang ada disekitar hutan. Umumnya

masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan memiliki tingkat pendidikan yang

rendah dan lapangan pekerjaan yang terbatas hanya di bidang pertanian. Perhutani

berusaha untuk melibatkan masyarakat di sekitar hutan dalam usaha pengelolaan

hutan diantaranya dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga penyadap getah.

Permasalahan yang timbul adalah apakah masyarakat sekitar hutan tertarik

atau tidak untuk bekerja sebagai penyadap getah. Tenaga kerja yang tersedia

dalam jumlah yang cukup banyak tidak akan berarti dalam mendukung kegiatan

penyadapan getah bila masyarakat tidak tertarik untuk ikut berpartisipasi di

dalamnya. Masyarakat akan tertarik untuk bekerja sebagai penyadap apabila hasil

yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan pekerjaan penyadapan

memberikan hasil yang lebih baik dari pekerjaan lain.

Masalah berapakan pendapatan yang diperoleh oleh penyadap dari kegiatan

penyadapan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan penyadap dari

kegiatan penyadapan dan pengaruh besarnya pendapatan penyadap terhadap

tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan penyadapan getah perlu untuk

diteliti lebih lanjut. Penelitian ini berjudul Analisis Pendapat Penyadap Getah

(14)

Masyarakat Dalam Kegiatan Penyadapan Getah di BKPH Karangkobar KPH

Banyumas Timur.

Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan pinus oleh Perum Perhutani melibatkansebagian

masyarakat di sekitar hutan untuk bekerja sebagai penyadap getah. Dengan

adanya kegiatan penyadapan getah ini maka memberikan lapangan pekerjaan bagi

masyarakat di sekitar hutan. Namun minat masyarakat untuk terlibat dalam

kegiatan penyadapan getah pinus masih rendah sedangkan areal hutan yang harus

disadap masih luas. Penyebab dari rendahnya minat masyarakat untuk terlibat

dalam kegiatan penyadapan getah pinus diduga akibat rendahnya kontribusi

pendapatan dari kegiatan penyadapan getah Pinus terhadap pendapatan total

penyadap. Penyebab rendahnya pendapatan para penyadap mungkin diakibatkan

oleh rendahnya produksi getah para penyadap dan rendahnya upah penyadapan

getah.

Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah besarnya

pendapatan yang diperoleh penyadap dari kegiatan penyadapan getah Pinus dan

faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan para penyadap serta untuk

mengetahui hubungan antara pendapatan yang diperoleh oleh para penyadap

dalam kegiatan penyadapan dengan tingkat parisipasi masyarakat dalam kegiatan

penyadapan. Karena akan semakin banyak masyarakat yang tertarik menjadikan

pekerjaan menyadap getah Pinus sebagai mata pencaharian utama bila

penghasilan yang diperoleh dari kegiatan tersebut lebih besar dari penghasilan

yang didapatkan dari pekerjaan lainnya. Serta penghasilan dari penyadapan

mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarga penyadap.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Besarnya pendapatan penyadap yang diperoleh dari kegiatan penyadapan

getah Pinus.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh

(15)

3. Mengetahui hubungan antara besarnya pendapatan yang diperoleh

penyadap dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan

penyadapan getah Pinus.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat untuk memberikan

informasi mengenai:

1. besarnya pendapatan penyadap yang diperoleh dari kegiatan penyadapan

getah.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya pendapatan yang

diperoleh para penyadap dari kegiatan penyadapan sehingga dapat

dijadikan bahan pertimbangan dalam usaha meningkatkan pendapatan

penyadap.

3. Hubungan antara besarnya pendapatan dari kegiatan penyadapan getah

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Pinus merkusii Jungh et. de Vriese

Pinus merkusii Jungh et de Vriese merupakan salah satu jenis tumbuhan dari

marga Pinaceae. Marga Pineceae memiliki ciri yang khas yaitu memiliki batang

utama silindris, lurus dalam tegakan rapat serta memiliki alur yang dalam,

cabang-cabang membentuk putaran yang teratur, tinggi bebas cabang-cabang bisa mencapai 10-25

meter, tidak memiliki banir tetapi bagian pangkal batangnya melebar. Memiliki

bentuk daun jarum dengan jumlah dua helai yang dapat bertahan lebih dari dua

tahun dengan tepi daun bergerigi halus. Bunga berbentuk strobili jantan dan

betina. Tumbuhan ini merupakan jenis pionir yang mudah dan cepat tumbuh

(Prosea, 1998).

Penyebaran alami dari Pinus merkusii Jungh et de Vriese meliputi Burma,

Kamboja, Vietnam, Sumatra, dan Filipina. Pinus ini tidak dijumpai di

Semenanjung Malaya. Di pulau Sumatra ditemukan tiga galur yaitu galur Aceh,

Tapanuli dan Kerinci yang berbeda dalam bentuk batang, percabangan,

kandungan resin dan ketahanan terhadap serangan ngengat Milionia basalis. Pinus

merkusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200-2000 meter di atas permukaan

laut namun akan tumbuh optimal pada ketinggian 400-1500 meter di atas

permukaan laut (Mirov, 1967).

Pohon Pinus merupakan jenis pohon multi guna karena kayunya dapat

dimanfaatkan untuk bahan baku industri korek api, chop stick (sumpit makanan),

kayu perkakas dan meubel. Selain hasil berupa kayu, pinus juga menghasilkan

getah melalui proses penyadapan dan pengolahan getah dapat menghasilan

gondorukem (gum rosin) dan terpentin (turpentine). Kedua produk ini tidak hanya

dibutuhkan untuk industri dalam negeri tetapi juga laku untuk di eksport.

(Soedjono, 1992)

Penyadapan Getah Pinus

Menurut Soetomo (1971) dalam Purwandari (2002) menyatakan bahwa ada

tiga sistem penyadapan yang digunakan dalam penyadapan getah pinus yaitu

(17)

sistem diatas yang biasa digunakan di Indonesia adalah sistem koakan (quarre

system) karena merupakan cara yang sederhana, murah dan mudah dikerjakan.

Dalam sistem koakan batang yang akan disadap kulitnya dibersihkan setebal

3 mm tanpa melukai kayunya dengan maksud mempermudah pelaksanaan

pembuatan koakan. Koakan awal (sadapan awal) dibuat setinggi 20 cm dari

permukaan tanah dengan menggunakan petel sadap atau kadukul. Koakan

berukuran 10 × 10 cm dengan kedalaman 2 cm tidak termasuk tebal kulit. Getah

yang keluar dialirkan melalui talang dan ditampung dalam tempurung.

Pemasangan talang dilakukan dengan menempelkan talang di bagian tepi bawah

koakan dan dipaku pada kedua sisinya agar tidak mengganggu aliran getah ke

bawah. Ukuran talang 10 × 5 cm dengan bentuk melengkung yang terbuat dari

seng galvanisir. Tempurung tempat menampung getah dipasang 5 cm di bawah

talang. Tempurung dan talang perlu dinaikkan setiap koakan bertambah 30 cm.

Pembaruan koakan dilakukan setiap tiga hari sekali dengan memperpanjang

koakan tinggi 3-5 mm. Pemungutan getah dilakukan setiap 9-10 hari sekali.

Menurut ketentuan yang berlaku di Perum Perhutani jumlah koakan yang dapat

diterima tidak boleh lebih dari 2 koakan untuk setiap pohon serta maksimum

tinggi koakan dari tanah adalah 2 meter.

Kelebihan dari sistem koakan adalah : (a) biaya operasional dan harga alat

murah, (b) lebih mudah dalam pelaksanaan di lapangan, (c) tidak mencemari

lingkungan. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah : (a) alat sadap yang

sederhana dan tenaga kerja yang berbeda-beda dapat menyebabkan terjadinya

perbedaan kedalaman luka yang dihasilkan, (b) getah yang dihasilkan banyak

mengandung kotoran karena tempurung tempat penampungan getah terbuka

sehingga getah mudah tercampur kotoran, (c) pulihnya luka sangat lama kurang

lebih 8-9 tahun, (d) bagian yang terbuka relatif lebar sehingga rentan terhadap

serangan hama dan penyakit serta mudah rusak di bagian alur sadap (Badan

Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, 1996).

Produksi getah Pinus dipengaruhi oleh kondisi biofisik dari pohon yang

disadap serta kondisi lingkungan sekitarnya. Pada musim penghujan produksi

getah cenderung mengalami penurunan karena getah yang keluar dari luka

(18)

ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut. Pengaruh suhu dan

kelembaban udara ini sangat menentukan keluarnya getah sadapan dari tiap-tiap

pohon per satuan waktu. Hal ini dikarenakan pada suhu rendah (dibawah 20°C)

dan kelembaban udara yang tinggi (di atas 70%) sangat besar pengaruhnya

terhadap kondisi saluran getah. Saluran getah menyempit atau bahkan buntu

sehingga apabila masih ada getah yang bisa keluar akan segera mengalami

pembekuan di mulut saluran getah, hal ini akan menghambat getah yang

seharusnya masih bisa keluar (Kasmudjo, 1992)

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan

(1996) getah pinus sebagai hasil dari proses metabolisme pohon, produksinya

sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga berpengaruh terhadap

pertumbuhan pohon itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antar lain :

1. Faktor biologis pohon (jenis pohon, umur tegakan, diameter dan tinggi

pohon)

2. Faktor tempat tumbuh (ketinggian tempat, dan iklim)

3. Faktor perlakuan terhadap pohon (metode sadapan, arah sadapan,

penjarangan pohon)

• Jenis pohon

Produksi getah berbeda menurut jenis pohon, misalnya Pinus caribaea

menghasilkan getah yang lebih benyak dengan kerak yang menempel pada

pohon lebih sedikit dibandingkan Pinus palustris.

• Umur tegakan

Umur dan bonita tegakan mempunyai pengaruh nyata terhadap produksi

getah Pinus. Perum Perhutani baru melaksanakan penyadapan setelah pohon

berumur 10 tahun (kelas umur III) dan produksi getah pada kelas umur

V-VI telah mengalami penurunan.

• Diameter dan tinggi pohon

Bidang dasar atau diamater pohon , tinggi pohon, dan jarak antar pohon

(populasi) berpengaruh terhadap produksi getah Pinus merkusii. Dari ketiga

(19)

• Ketinggian tempat

Tinggi tempat tumbuh dari permukaan laut mempengaruhi produksi getah

Pinus merkusii. Produksi getah pada elevasi rendah (sampai dengan

ketinggian 500 meter di atas permukaan laut) lebih besar dari pada produksi

getah pada elevasi sedang (500-1000 meter di atas permukaan laut) dan

elevasi tinggi (di atas 1000 meter di atas permukaan laut). Tinggi tempat

tumbuh mempengaruhi suhu dan intensitas cahaya karena semakin tinggi

tempat dari permukaan laut suhu semakin rendah demikian juga intensitas

cahaya. Hal ini akan mempengaruhi laju metabolisme dan asimilasi pohon

yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi getah.

• Iklim

Musim panas akan menghasilkan getah yang lebih banyak karena suhu dan

intensitas cahaya lebih tinggi, tetapi panas yang terus menerus

menyebabkan getah cepat kering dan aliran getah akan terhenti. Cuaca yang

dingin dapat memperlambat aliran getah, karena saluran getah dapat

tersumbat oleh getah yang membeku.

• Metode sadapan

Penyadapan tanpa menggunakan larutan asam lebih baik dari pada

penggunan larutan asam dalam penyadapan sistem quarre. Penggunaan

larutan asam hanya dapat memperpanjang waktu pembaruan koakan dari

tiga hari menjadi enam hari dan bukan untuk meningkatkan produksi.

Kerusakan pada pemakaian larutan asam dapat terlihat jelas dalam

penyadapan bentuk koakan pada kayu yang mengering dan kulit yang

merekah terpisah antara kayu dan kulitnya.

• Arah sadapan

Koakan yang menghadap ke Timur akan menghasilkan getah yang lebih

banyak karen mendapatkan cahaya yang lebih cepat dan lebih lama. Karena

suhu yang tinggi dan intensitas cahaya yang lebih banyak sehingga getah

yang dihasilkan tidak cepat mengental.

• Penjarangan pohon

Penjarangan adalah perlakuan silvikultur terhadap tegakan hutan yang

(20)

Pada kondisi pohon yang baik akan dihasilkan kayu maupun getah Pinus

yang optimal. Sehingga dalam penjarangan yang diperhatikan adalah

kondisi tegakannya bukan hasil dari kegiatan penjarangan.

Pohon yang ditebang saat penjarangan adalah : (a) pohon yang terserang

hama dan penyakit, (b) bentuknya jelek, (c) kondisinya tertekan, (d)

pertumbuhannya abnormal, (e) jaraknya terlalu rapat dengan pohon lain dan (f)

tanaman selain tanaman pokok yang mengganggu tanaman pokok. Pada umumnya

penjarangan dilakukan setiap 5 tahun sekali.

Tenaga Penyadap

Tenaga penyadap umumnya berstatus pekerja atau buruh lepas yang

menerima upah borongan. Mereka terdiri dari penduduk daerah di sekitar hutan

dan penduduk dari luar daerah bila tenaga setempat tidak mencukupi. Kebanyakan

penyadapan getah pinus merupakan pekerja musiman atau dianggap sebagai

pekerjaan sambilan sehingga pada waktu musim menggarap sawah atau memanen

padi pekerjaan penyadapan getah sering terbengkalai atau bahkan terhenti. Di

beberapa tempat dimana lapangan kerja sulit dicari dan hasil pertanian kurang

dapat mendukung kehidupan petani, kegiatan penyadapan getah yang

dikembangkan oleh Perum Perhutani semakin menarik para pencari kerja untuk

memperoleh penghasilan yang relatif tetap atau terus menerus (Soedjono, 1992)

Alasan masyarakat bekerja sebagai penyadap getah biasanya karena

rendahnya pendapatan mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup

keluarganya. Bekerja sebagai penyadap getah mereka pilih sebagai pekerjaan

sampingan. Kondisi sosial ekonomi penyadap merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kualitas dan kuantitas getah pinus yang diperoleh. Umumnya

tenaga penyadap memiliki tingkat pendidikan setingkat atau di bawah SD.

Rendahnya kualitas tenaga penyadap akan mempengaruhi rendahnya kualitas

getah yang disadap. Selain itu apabila pendapatan dari sawah atau tegalan kurang

karena adanya kegagalan panen maka jumlah getah yang disadap bertambah

banyak, demikian pula bila menjelang Lebaran atau musim hajatan (Badan

(21)

Pendapatan Keluarga

Menurut Kasryno (1984) dalam Hutagalung (1998) pendapatan bersih

rumah tangga adalah pendapatan bersih usaha tani ditambah dengan penerimaan

rumah tangga lainnya seperti upah kerja yang diperoleh dari luar sektor usaha tani

seperti upah buruh dan keuntungan dari berdagang. Untuk rumah tangga di

pedesaan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja, pendapatan rumah

tangga ditentukan oleh besarnya kesempatan kerja yang tersedia dan tingkat upah

yang berlaku.

Dewasa ini banyak rumah tangga di negara berkembang memiliki

pendapatan yang rendah. Hal ini karena jumlah anggota rumah tangga yang tidak

produktif lebih banyak dari jumlah anggota rumah tangga yang produktif sehingga

jumlah tanggungan pekerja lebih berat. Selain itu ada korelasi positif antara

pendidikan formal dan pendapatan masyarakat. Bila pendidikan rendah maka

pendapatannya juga rendah. Hal ini terjadi karena ketidak mampuan masyarakat

yang berpendidikan rendah untuk menganalisa dan memanfaatkan informasi yang

berkaitan dengan peluang-peluang untuk memperoleh serta meningkatkan

penghasilan (Bishop dan Toussaint, 1979).

Menurut Purwandari (2002) faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata

terhadap pendapatan penyadap dari kegiatan penyadapan getah antara lain jumlah

pohon yang mampu disadap oleh penyadap, kemampuan penyadap dalam

memperbarui koakan, produksi getah yang dihasilkan setiap penyadap dan

keterampilan kerja penyadap dengan menggunakan teknologi yang lebih produktif

misalnya dengan menggunakan larutan asam.

Partisipasi Masyarakat

Arti kata partisipasi menurut Hardjosoediro (1977) dalam Hutagalung

(1998) adalah mengambil bagian secara aktif, konstruktif dan bermanfaat.

Partisipasi dalam hal ini mengandung arti pasif yaitu melukiskan adanya kegiatan

(bersama) yang ditimbulkan oleh sebagian pihak yang mempunyai inisiatif. Pihak

lain yang yang hanya ikut bagian dalam kegiatan tersebut berada dalam bagian

pasif, hanya mengikuti apa yang ditimbulkan oleh pihak yang mengajak.

(22)

dalam kegiatan tersebut ditentukan oleh hubungan antar objek kegiatan,

pengambilan inisiatif, dan pihak yang diajak untuk turut serta dalam kegiatan

tersebut.

Dalam menganalisa partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan

Wiersum (1984) dalam Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa ada empat

jenis masukan dasar untuk berpartisipasi yaitu dalam bentuk lahan, tenaga kerja,

modal dan teknologi. Dalam hal ini teknologi dibedakan antara teknologi

profesional yang berdasarkan ilmu kehutanan dan teknologi asli yang berdasarkan

pengalaman penduduk setempat.

Dalam kebanyakan program kehutanan khususnya kehutanan sosial

beberapa jenis masukan partisipasi dapat dibedakan oleh penduduk desa baik

secara berkelompok atau dalam hubungan komunal maupun secara perorangan

(23)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di BKPH Karangkobar KPH Banyumas Timur

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Waktu pelaksanakan penelitian selama dua

bulan mulai bulan Mei sampai bulan Juni 2006.

Alat dan Objek

Penelitian ini dilakukan terhadap responden yaitu penyadap getah pinus di

BKPH Karangkobar sebagai objek penelitian dengan alat bantu berupa kuisioner,

alat tulis dan kamera.

Kerangka Pemikiran

Hasil dari kelas perusahaan pinus adalah getah yang perlu untuk disadap

dalam selang periode tertentu. Perum Perhutani yang mengusahakan kelas

perusahaan pinus memanfaatkan potensi getah yang dihasilkan dari pohon pinus

untuk memperoleh pendapatan (income).

Kegiatan penyadapan getah Pinus memerlukan tenaga kerja yang cukup

banyak dan perlu dilakukan secara teratur dan kontinyu. Karena terbatasnya

tenaga kerja yang dimiliki oleh Perum Perhutani maka dalam kegiatan

penyadapan getah Perum Perhutani melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagai

tenaga kerja. Di lain pihak desa di sekitar hutan memiliki potensi tenaga kerja

yang besar dengan lapangan pekerjaan yang terbatas hanya dibidang pertanian.

Dengan adanya kegiatan penyadapan getah diharapkan akan memberikan

keuntungan bagi kedua belah pihak. Namun saat ini kegiatan penyadapan getah

pinus hanya menjadi pekerjaan sampingan saja selain pekerjaan pokok sebagai

petani. Partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan penyadapan getah

akan berlangsung bila pendapatan yang mereka peroleh dari kegiatan penyadapan

tersebut mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan pendapatan yang

(24)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perhutani Sebagai

Pengelola Hutan

Masyarakat Sekitar Hutan

Tegakan Hutan Pinus

Kegiatan Penyadapan Getah Pinus

Data Yang Dihimpun : 1. Pendapatan dari Penyadapan

2. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan 3. Tingkat Partisipasi Masyarakat

Pelestarian dan Pemberdayaan

Optimalisasi Pengelolaan dan Penyadapan

Tujuan Yang Ingin Dicapai :

1. Peningkatan Pendapatan Penyadap

2. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Penyadapan Masalah Yang Dikaji :

1. Pendapatan dari Penyadapan

(25)

Metode Pengambilan Contoh

Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh pada penelitian ini

adalah metode Stratified randon sampling dengan stratum wilayah kerja mandor

sadap. Stratifikasi yang dilakukan berdasarkan wilayah kerja mandor sadap

dimaksudkan agar contoh yang diambil merata di wilayah BKPH Karangkobar

sehingga data yang didapatkan benar-benar mewakili kondisi yang sebenarnya.

Kegiatan awal sebelum menentukan banyaknya contoh yang akan diambil perlu

untuk mengetahui jumlah penyadap tiap wilayah kerja mandor sadap di BKPH

Karangkobar. Dari lima RPH yag ada di BKPH Karangkobar hanya empat RPH

yang memproduksi getah pinus yaitu RPH Wanayasa, RPH Pandanarum, RPH

Kalibening dan RPH Siweru sedangkan RPH Batur memproduksi kopal.

Penentuan jumlah responden yang akan diambil didasarkan pada kemapuan

penulis dengan mempertimbangkan waktu penelitian dan kemampuan peniliti

dalam mengambil data per hari. Jangka waktu yang direncanakan dalam

pelaksanaan penelitian adalah 2 bulan dengan asumsi jumlah hari kerja optimal

dalam pengambilan data adalah 40 hari. Kemampuan untuk mengambil data

dilapangan adalah 2 responden setiap hari maka jumlah responden total yang

diperoleh kurang lebih adalah 80 orang. Dari total populasi sebanyak 1022 orang

maka intensitas sampling yang digunakan adalah 8% dan sudah cukup mewakili

kondisi yang sebenarnya. Jumlah responden yang diambil untuk tiap wilayah

(26)

Tabel 1. Jumlah penyadap getah dan responden tiap wilayah kerja mandor

RPH Stratum Jumlah Penyadap Jumlah Responden

Pandan Arum 1 73 6

Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data primer tentang

penyadap yang diperoleh melalui kuisioner dan wawancara serta data sekunder

tentang demografi tempat penelitian yang diperoleh melalui kantor pemerintah

yang terkait.

1. Data primer terdiri dari:

a. Kondisi penyadap yang meliputi :

• Umur

(27)

• Pendidikan

• Mata pencaharian

• Lama menjadi penyadap

b. Aktivitas penyadapan yang meliputi :

• Luas areal sadapan

• Hari kerja dalam sebulan

• Jarak rumah ke lokasi penyadapan

• Jarak lokasi penyadapan ke tempat pengumpulan getah

• Produksi getah per bulan

• Jam kerja efektif dalam setiap penyadapan

• Jangka waktu pemungutan getah

• Jangka waktu pengumpulan getah

• Umur tegakan yang disadap

• Jumlah pohon yang dapat disadap setiap hari

• Penjarangan tegakan

• Penggunaan larutan asam

c. Kondisi tempat penyadapan

• Tinggi tempat

• Jenis tanah

• Curah hujan

• Kemiringan lahan 2. Data sekunder terdiri dari :

a. Jumlah penduduk

b. Mata pencaharian penduduk

c. Letak dan keadaan geografi lokasi penelitian

d. Kondisi sosial ekonomi penduduk

(28)

Analisis dan Pengolahan Data

Dalam pengolahan dan analisis data digunakan analisis regresi linear untuk

menganalisa faktor yang paling berpengaruh terhadap besarnya pendapatan yang

diperoleh penyadap dari kegiatan penyadapan. Analisis data deskriptif digunakan

untuk menganalisa data yang tidak dapat dijelaskan secara statistik yaitu untuk

menjelaskan apakah ada hubungan antara tingkat pendapatan penyadap getah

dengan tingkat pertisipasi masyarakat.

1. Pendapatan dari kegiatan penyadapan :

R1 : (QA PA + QB PB) + (QA + QB) r μ

Dimana :

R1 : Pendapatan dari hasil penyadapan

QA : Getah hasil sadapan kualitas A (Kg)

QB : Getah hasil sadapan kualitas B (Kg)

PA : Tarif upah sadapan getah kualitas A (Rp/Kg)

PB : Tarif upah sadapan getah kualitas B (Rp/Kg)

r : Jarak pikul (Hm)

μ : Upah pikul (Rp/Hm)

2. Pendapatan total penyadap

RT : R1 + R 2+ R3 +...+Rn

Dimana :

RT : Pendapatan total penyadap

R1 : Pendapatan dari kegiatan penyadapan

R2 : Pendapatan dari kegiatan bertani

R3 : Pendapatan dari kegiatan berdagang

Rn : Pendapatan dari kegiatan lain seperti gaji atau upah buruh

3. Kontribusi pendapatan dari penyadapan terhadap pendapatan total

(29)

R1 : Pendapatan dari kegiatan penyadapan

RT : Pendapatan total penyadap

4. Tingkat partisispasi berdasarkan jumlah tenaga kerja

TP : Tingkat partisipasi berdasarkan jumlah tenaga kerja

∑PG : Jumlah penyadap

∑PT : Jumlah total penduduk desa laki-laki usia kerja.

5. Tingkat partisipasi berdasarkan jumlah jam kerja per hari

%

TP : Tingkat pertisipasi berdasarkan jumlah jam kerja per hari

∑Jk : Jumlah jam kerja per hari

8 : Asumsi jumlah jam kerja optimal penyadapan getah per hari

6. Tingkat ratisipasi berdasarkan jumlah hari kerja per bulan

%

Tp : Tingkat partisipasi berdasarkan jumlah hari kerja per bulan

∑Hk : Jumlah hari kerja per bulan

30 : Asumsi jumlah hari kerja optimal per bulan dalam kegiatan

(30)

7. Korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingkat patrisipasi masyarakat

r : Koefisien korelasi antar pendapatan dengan tingkat partisipasi

xi : Tingkat pendapatan

yi : Tingkat partisipasi masyarakat

8. Faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan penyadap

i

Yi : Peubah tak bebas yaitu pendapatan penyadap

bo : Intersep

bi : Koefisien regresi

xi : Peubah bebas

ei : Kesalahan baku

Peubah bebas (xi) adalah faktor yang diduga berpengaruh terhadap

besarnya pendapatan yang akan diperoleh oleh penyadap antara lain :

X1 : Luas blok sadapan (Ha)

X2 : Hari kerja dalam sebulan (Hari)

X3 : Jarak rumah ke lokasi penyadapan (Km)

X4 : Jarak lokasi penyadapan ke tempat pengumpulan getah (Km)

X5 : Produksi getah per bulan (Kg)

X6 : Jam kerja efektif dalam setiap penyadapan (Jam/Hari)

X7 : Jangka waktu pemungutan getah (Hari)

X8 : Jangka waktu pengumpulan getah (Hari)

X9 : Umur tegakan (Tahun)

X10 : Jumlah pohon yang dapat disadap (Pohon/Hari)

(31)

X12 : Penggunaan larutan asam

X18 : Anggota keluarga yang terlibat dalam penyadapan (Orang)

X19 : Pendidikan

X20 : Mata pencaharian

X21 : Lama menjadi penyadap

Pengujian hipotesis (Ho) dilakukan dengan sidik ragam, cara

pengujiannya adalah dengan membandingkan Fhitung dalam tabel sidik

ragam dengan Fkritis dari tabel pada tingkat nyata 0,05 dan 0,01. Jika Fhitung

lebih besar dari Fkritis Ho ditolak, jika Fhitung lebih kecil dari Fkritis maka

terima Ho.

Melalui sidik ragam dengan asumsi kesalahan pengganggu (ei)

mengikuti distribusi sebaran normal, maka :

Ho : b1=b2=b3=...=bn=0

Hi ; bi≠0, untuk i tertentu atau setidaknya ada satu bi ≠ 0

Bentuk analisis varian dari faktor-faktor yang mempengaruhi

pendapatan penyadap adalah sebagai berikut :

Sumber Keragaman JK DB KT F-hit

Peubah-peubah bebas yang berpengaruh nyata secara individual

dapat diketahui dengan uji T, dimana thitung dibandingkan dengan tkritis

(tabel) pada tingkat nyata 0,05 dan 0,01. Jika thitung lebih besar dari ttabel

(32)

Definisi Operasional

1. Penyadap adalah tenaga kerja yang bekerja membuat luka koakan pada

pohon Pinus, mengumpulkan getah dan mengangkut getah tersebut ke

tempat pengumpulan getah.

2. Pendapatan dari sadapan besarnya pendapatan yang diperoleh penyadap

dari kegiatan penyadapan getah yang merupakan hasil kali antara tarif

upah penyadapan (Rp/Kg) dengan jumlah getah yang dihasilkan (Kg).

3. Pendapatan keluarga adalah besarnya pendapatan yang diperoleh oleh

keluarga penyadap dari kegiatan penyadapan dan kegiatan lain di luar

penyadapan

4. Partisipasi adalah tingkat keterlibatan masyarakat yang diukur

berdasarkan perbandingan antara jumlah tenaga yang terlibat dalam

penyadapan dengan jumlah tenaga kerja yang ada, perbandingan antara

jumlah jam kerja rata-rata per hari dengan jumlah jam kerja optimal serta

perbandingan antara jumlah hari kerja per bulan dengan jumlah hari kerja

optimal per bulan.

Hipotesis

Hipotesa dari penelitian ini adalah makin besar pendapatan yang diperoleh

dari hasil kegiatan penyadapan maka tingkat partisipasi masyarakat dalam

(33)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas Wilayah

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Karangkobar termasuk ke

dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur. Luas

wilayah kawasan hutan BKPH Karangkobar 11.649,30 ha dimana terdiri dari

11.562,90 ha luas kawasan hutan dan 86,40 ha luas alur. Dari luas hutan tersebut

terbagi kedalam 5 wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yaitu RPH

Siweru seluas 1.847,60 ha, RPH Wanayasa seluas 2.577,00 ha, RPH Kalibening

seluas 3.087,90 ha, RPH Pandanarum seluas 2.891,60 ha dan PRH Batur seluas

1.158,80 ha.

Wilayah BKPH Karangkobar di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah

BKPH Peninggaran, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah

BKPH Banjarnegara. Bagian Barat berbatasan dengan wilayah kerja BKPH

Gunung Slamet Timur dan sebalah Selatan berbatasan dengan KPH Kedu Selatan.

Berdasarkan sebaran wilayah administratif BKPH Karangkobar masuk ke

dalam 8 wilayah kecamatan di kabupaten Banjarnegara yaitu :

• Kecamatan Kalibening : 5.122,90 ha • Kecamatan Punggelan : 1.001,80 ha • Kecamatan Madukara : 516,90 ha • Kecamatan Banjarmangu : 529,30 ha • Kecamatan Karangkobar : 628,60 ha • Kecamatan Batur : 1.089,50 ha • Kecamatan Pejawaran : 69,30 ha • Kecamatan Wanayasa : 2.605,20 ha

Topografi, Tanah dan Iklim

Kondisi lapangan BKPH Karangkobar sangat beragam mulai dari dataran

yang landai sampai punggungan berombak dengan kemiringan 50 sampai 350. jenis tanah di BKPH Karangkobar relatif seragam yaitu berupa tanah latosol

(34)

atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata 2500-4500 mm/th dan masuk kedalam

tipe iklim A berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson.

Sosial Ekonomi

Wilayah BKPH Karangkobar tercakup dalam 8 Kecamatan di wilayah

Kabupaten Banjarnegara namun penelitian ini hanya mengambil responden dari 5

kecamatan saja karena 3 kecamatan yang lain yaitu Kecamatan Batur, Pejawaran

dan Punggelan tidak terdapat tegakan pinus yang bisa disadap. Data mengenai

penggunaan lahan, dan jumlah penduduk disajikan dalam tabel berikut ini

Tabel 2. Penggunaan Lahan di masing-masing Kecamatan

No Jenis penggunaan Kecamatan (Ha) Jumlah

(ha) %

lahan A B C D E

1 Sawah 1132,78 799,68 329,51 372,55 1575,89 4210,41 11,60

2 Pekarangan 541,90 852,45 292,56 237,84 336,92 2261,67 6,23

3 Tegalan/kebun 2300,52 2480,60 2131,35 4324,34 5635,64 16872,45 46,47

4 Kolam 25,63 31,24 39,96 23,44 120,27 0,33

5 Hutan negara 529,30 516,90 628,60 2605,20 5122,90 9402,90 25,90

6 Perkebunan 249,66 827,86 658,82 1736,34 4,78

7 Lain-Lain 151,99 395,50 213,23 171,51 769,39 1701,62 4,69

Jumlah (Ha) 4656,49 5070,76 3876,15 8579,26 14123 36305,66

% 12,83 13,97 10,68 23,63 38,90 100

Sumber : BPS Banjarnegara Tahun 2005

Keterangan :

A : Kecamatan Banjarmangu B : Kecamatan Madukara C : Kecamatan Karangkobar D : Kecamatan Wanayasa E : Kecamatan Kalibening

Dari tabel 3 di atas dapat dilihat penggunaan lahan kecamatan yang berada

di sekitar BKPH Karangkobar. Luas total lahan yang ada adalah 36.305,66 ha

yang sebagian besar digunakan sebagai tegalan atau kebun (46,47%). Sedangkan

lahan hutan negara memiliki total luas terbesar kedua sebesar 9.402,90 Ha

(25,90%). Areal persawahan sendiri hanya seluas 4.210,41 Ha atau 11,60% dari

luas total lahan yang ada. Dari lima kecamatan di sekitar wilayah BKPH

Karangkobar yang memiliki luas hutan negara terbesar adalah kecamatan

Kalibening yaitu 5.122,90 Ha atau sebesar 36,27% dari luas lahan di kecamatan

(35)

Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan

No Kecamatan Luas

Jumlah

penduduk Jumlah usia kerja Kepadatan (Km2) (Jiwa) (Jiwa) (%) (Jiwa/Km2) 1 Banjarmangu 46,36 39350 21945 55,77 848,79 2 Madukara 48,20 39930 25896 64,85 828,42 3 Karangkobar 39,07 27464 18863 68,68 702,94 4 Wanayasa 82,10 42472 33649 79,23 517,32 5 Kalibening 142,34 62774 41864 66,96 441,01 Sumber : BPS Kabupaten Banjarnegara

Dari data di atas dapat dilihat bahwa kecamatan Kalibening merupakan

kecamatan terluas yang berada di sekitar BKPH Karangkobar yaitu 143.34 Km2. Namun dilihat dari kepadatan penduduknya kecamatan Kalibening memiliki

kepadatan terendah yaitu 441,01 jiwa/Km2 sedangkan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah kecamatan Banjarmangu dengan kepadatan

penduduk 848,79 jiwa/Km2 atau hampir dua kali kepadatan penduduk kecamatan Kalibening. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu kecamatan maka kebutuhan

tanah untuk mencukupi kebutuhan perumahan dan lahan pertanian akan semakin

besar. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya konversi lahan hutan

menjadi areal pemukiman maupun lahan pertanian. Keadaan ini akan

meningkatkan tekanan terhadap keberadaan hutan di wilayah tersebut.

Rata-rata jumlah penduduk usia kerja (10-55 tahun) di lima kecamatan yang

berada di sekitar BKPH Karangkobar adalah 67,10% dari jumlah penduduk yang

ada. Kecamatan Kalibening memiliki jumlah penduduk usia kerja terbesar yaitu

341.846 jiwa namun persentase jumlah penduduk usia kerja terbesar ada di

kecamatan Wanayasa yaitu 79,23%. Sedangkan kecamatan Karangkobar memiliki

jumlah penduduk usia kerja terkecil yaitu 18.863 jiwa dan persentase jumlah

penduduk usia kerja terkecil berada di kecamatan Banjarmangu yaitu 55,77%.

Dengan adanya jumlah penduduk usia kerja yang besar di suatu kecamatan berarti

(36)

Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Sekitar BKPH Karangkobar

No Jenis Kecamatan Jumlah %

Pekerjaan A B C D E (jiwa)

1 Petani 13504 6593 5655 10824 20003 56579 48,31

2 Buruh tani 1895 5400 588 4297 1801 13981 11,94

3 Buruh Industri 226 81 162 524 993 0,85

12 Lain-lain 1793 0 9271 8565 10874 30503 26,05

Jumlah (jiwa) 18717 15371 19010 26800 37213 117111

% 15,98 13,12 16,23 22,88 31,77 100

Sumber : BPS Kabupaten Banjarnegara Kecamatan Dalam Angka

Keterangan :

A : Kecamatan Banjarmangu B : Kecamatan Madukara C : Kecamatan Karangkobar D : Kecamatan Wanayasa E : Kecamatan Kalibening

Dari data pada tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama

sebagian besar masyarakat di wilayah kecamatan di sekitar BKPH Karangkobar

adalah sebagai petani (49,31%) dan buruh tani (11,94%). Sebenarya berdasarkan

tabel di atas mata pencaharian terbanyak kedua adalah di bidang selain yang telah

dicantumkan diatas (lain-lain sebesar 26,05%) namun karena tidak terinci secara

jelas maka tidak dapat diketahui apakah jenis pekerjaan lain memiliki nilai

persentase yang lebih besar dari pada buruh tani.

Sistem Penyadapan Getah

Sistem penyadapan yang dipakai di BKPH Karangkobar adalah sistem

koakan atau quare. Dalam metode koakan untuk mendapatkan getah maka di buat

(37)

dibersihkan setebal 3mm, lebar 20 cm, panjang 70 cm di atas tanah tanpa melukai

kayunya. Mal sadap di buat dengan lebar 10 cm di tengah-tengah kulit pohon

yang telah dibersihkan. Quare awal dibuat setinggi 20 cm dari permukaan tanah

dan berukuran 10 x 10 cm. Kedalaman quare 2 cm tidak termasuk tebal kulit dan

lebar quare 10 cm.

Gambar 2. Sistem penyadapan metode quare

Pembaruan luka sadapan dilakukan setiap 5-6 hari sekali di atas luka

sadapan yang telah ada dengan perpanjangan 3-5 mm. Pemungutan getah

dilakukan setiap 9-10 hari sekali. Oleh penyadap getah dikumpulkan ke dalam

kotak kayu maupun drum fiber dan kemudian dipikul ke tempat pengumpulan

getah (TPG). Bila jarak yang harus ditempuh antara blok sadapan dengan tempat

pengumpulan getah cukup jauh maka getah diangkut dengan kendaraan.

Getah diterima dan dibayar berdasarkan berat getah dan kualitas getah. Oleh

sebab itu sebaiknya sebelum dikumpulkan kotoran-kotoran seperti tatal, daun

maupun ranting dibersihkan terlebih dahulu. Pembayaran upah kerja dilakukan

langsung setelah penyadap menyetorkan getah sehingga penyadap dapat langsung

memperoleh upah kerja.

Getah yang berasal dari penyadap di TPG ditampung dalam bak

penampungan getah yang terbuat dari semen atau kayu dan getah dipisah

(38)

dalam drum fiberglass. Dari sini getah diangkut ke pabrik pengolahan

gondorukem dan terpentin (PGT) menggunakan truk dan getah di tampung dalam

drum-drum fiberglass berkapasitas 125 kg dan diberi penutup untuk mencegah

terjadinya susut berat.

Karena semua lokasi sadapan berada di ketinggian lebih dari 500 meter di

atas permukan laut penyadapan di BKPH Karangkobar menggunakan cairan asam

stimultan Socepas 235 As untuk merangsang keluarnya getah. Larutan Socepas

235 As mengandung Asam Klorida 0,08 gr/liter, Asam Fosfat 23,73 gr/liter dan

Asam Sulfat 210,32 gr/liter. Penggunaan larutan ini bukan untuk menambah

jumlah getah yang dikeluarkan pohon tetapi untuk memperpanjang waktu

pembaruan luka koakan karena dengan penggunaan larutan asam ini akan

mengurangi laju pembekuan getah sehingga saluran getah tidak tersumbat dan

getah dapat terus mengalir.

Sarana Penyadapan Getah Pinus

1. Alat Penyadapan

Untuk pelaksanaan penyadapan diperlukan peralatan sadap antara lain petel

sadap (pecok), talang seng, tempurung kelapa, ember sadap, pengeruk getah,

spayer, larutan asam Socepas 235 As sebagai stimultan dan drum fiberglass

sebagai penampung getah. Seluruh sarana penyadapan disediakan oleh pihak

Perhutani. Kadang kala Perhutani juga memberikan sepatu karet dan mantel (jas

hujan) bagi para penyadap. Ada beberapa penyadap yang menganggap pecok

(petel sadap) yang disediakan Perhutani kurang bagus kualitasnya sehingga

mereka berinisiatif untuk memesan sendiri dengan ukuran yang sama dengan

pecok yang disediakan Perhutani. Di bawah ini disajikan tebel peralatan sadap

(39)

Tabel 5. Peralatan Sadap Metode Quare yang Dibakukan

No Jenis Alat Spesifikasi Umur Teknis Keterangan

1 Tempurung Ø min 8 cm tanpa mata 2 tahun

2 Talang sadap Tin plat 10x5x0,02 cm 0,5 tahun

3 Petel sadap Buatan lokal 3 tahun

4 Peti pikul 30 x 40 x 10 cm 2 tahun

5 Drum fiberglass Bekas bahan kimia 3 tahun

6 Ember plastik Ø 20 cm 2 tahun

7 Pengukur

kadalaman quare

Buatan lokal 5 tahun

8 Penggaris mal

sadap

Buatan lokal 5 tahun

9 Batu asah Segi empat 3 tahun

10 Cat mal sadap Warna Putih 1 kg = 500

pohon

Sumber : Perum Perhutani , 1990

2. Tempat Pengumpulan Getah (TPG)

BKPH Karangkobar memiliki 10 TPG yang tersebar di 4 RPH yaitu TPG

Karangkobar, TPG Siweru, TPG Mandala, TPG Bendawuluh, TPG Clapar di RPH

Siweru. TPG Tempuran di RPH Wanayasa. TPG Kalibening dan TPG

Kalibombong di RPH Kalibening. TPG Talangan dan TPG Kalisat di RPH

Pandanarum. TPG Kalibening selain untuk menampung getah dari RPH

Kalibening juga digunakan untuk menampung sebagian getah dari RPH

Pandanarum.

Seluruh TPG dapat dilalui oleh kendaraan roda empat dengan baik. Di tiap

TPG dilengkapi dengan bak penampung, timbangan gantung (dacin) kapasitas

±100 Kg dan contoh standar mutu getah Pinus yang ditempatkan dalam tabung

(40)

3. Upah Sadap

Tarif upah yang berlaku ketika dilakukan penelitian ini dibedakan

berdasarkan kualitas getah dan jarak pikul dari blok sadapan ke tempat

pengumpulan getah. Adapun tarif upah getah yang berlaku di wilayah KPH

Banyumas Timur adalah

Tabel 6. Tarif Getah yang Berlaku di Wilayah KPH Banyumas Timur

Jarak Pikul

(km)

Tarif Getah (Rp/kg)

Kualitas A Kualitas B

1 1.570 1.220

2 1.576 1.226

3 1.682 1.232

4 1.588 1.283

5 1.594 1.244

6 1.600 1.250

7 1.605 1.255

8 1.610 1.260

9 1.615 1.265

10 1.620 1.270

11 1.625 1.275

12 1.630 1.280

13 1.635 1.285

14 1.640 1.290

15 1.645 1.295

16 1.650 1.300

17 1.655 1.305

18 1.660 1.310

19 1.665 1.315

20 1.670 1.320

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Penyadap

Jumlah penyadap yang terdapat di BKPH Karangkobar adalah 1022 orang

yang tersebar ke dalam 4 wilayah RPH. Seluruh penyadap yang ada merupakan

penduduk lokal dari desa-desa di sekitar hutan. Penyadap dari RPH Siweru

berasal dari desa di sekitar hutan yang terletak di kecamatan Madukara,

kecamatan Banjarmangu, kecamatan Karangkobar dan kecamatan Wanayasa.

Penyadap di RPH Wanayasa bertempat tinggal di kecamatan Wanayasa dan

penyadap di RPH Kalibening dan RPH Pandanarum berasal dari desa-desa yang

berada di wilayah kecamatan Kalibening.

Dari kegiatan wawancara dengan responden umumnya para penyadap

menganggap bahwa pekerjaan utama mereka adalah sebagai petani dan

menjadikan pekerjaan sadapan sebagai pekerjaan sampingan. Namun ada

beberapa orang yang menjadikan pekerjaan penyadap sebagai pekerjaan utama

terutama para penyadap yang telah menyadap puluhan tahun. Lahan pertanian

yang mereka garap tidak begitu luas dan ditanami dengan tanaman-tanaman

palawija yang hasilnya sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri dan dijual jika

hasilnya berlebih. Banyak pula penyadap yang memelihara ternak seperti sapi dan

kambing. Biasanya mereka membeli ternak dalam jumlah kecil untuk dipelihara

selama jangka waktu tertentu dan akan dijual kembali untuk mendapatkan

keuntungan.

Karena pekerjaan menyadap hanyalah pekerjaan sampingan maka curahan

waktu untuk bekerja di hutan hanya setengah hari atau dari pagi sampai tengah

hari sedangkan dari siang sampai sore digunakan untuk bekerja di lahan pertanian

atau mencari rumput untuk makanan ternak. Jam kerja efektif para penyadap juga

dipengaruhi oleh jarak yang harus mereka tempuh dari rumah ke blok sadapan.

Jarak terdekat 0,5 Km dan jarak terjauh 6 Km. Semakin jauh jarak yang harus

ditempuh maka jam kerja efektif penyadapan akan berkurang karena waktu

tempuh dari rumah ke blok sadapan yang semakin lama.

Pekerjaan penyadapan akan terhenti atau ditinggalkan bila ada kegiatan di

(42)

sarana desa, membangun rumah, hajatan atau mengerjakan dan memanen hasil

pertanian. Contoh kasus yang terjadi di desa Sijeruk seluruh penyadap dari Dukuh

Gunung Raja Wetan menghentikan kegiatan penyadapan lebih dari tiga bulan

karena mereka harus bekerja untuk membangun kembali rumah mereka yang

hancur akibat adanya musibah tanah longsor. Ketika musim panen tiba banyak

penyadap yang meninggalkan kegiatan penyadapan untuk bekerja sebagai buruh

pikul karena pekarjaan ini dapat menghasilkan uang yang lebih banyak daripada

penyadapan. Terutama bila musim panen salak tiba banyak penyadap yang

bekerja sebagai buruh pikul salak karena dalam sehari mereka bisa mendapatkan

uang sampai lima puluh ribu rupiah.

Umumnya alasan menjadi penyadap adalah karena keinginan sendiri untuk

mendapatkan tambahan penghasilan yang kontinyu setiap bulan diluar

penghasilan dari beternak dan bertani. Selain itu ada juga yang menjadi penyadap

karena orang tua mereka juga penyadap. Anggota keluarga yang terlibat dalam

kegiatan penyadapan sebagian besar hanyalah kepala keluarga dan ada beberapa

yang dibantu oleh anggota keluarga yang lain seperti istri maupun anak.

Rentang umur penyadap yang ditemui pada saat penelitian adalah 20 sampai

55 tahun dengan masa kerja 1 sampai 30 tahun. Semakin tua usia penyadap maka

produktivitas penyadap akan semakin menurun sehingga akan berpengaruh

terhadap jumlah getah yang dihasilkan. Semakin tua penyadap maka kemampuan

untuk memikul getah menurun sehingga kadang penyadap harus mengupah orang

lain untuk memikulkan getah.

Tingkat pendidikan para penyadap tergolong masih rendah sebagian besar

hanya bersekolah sampai SD dan ada yang tidak pernah bersekolah. Hal ini sangat

berpengaruh terhadap kesadaran penyadap untuk menjaga kelestarian dari pohon

pinus yang mereka sadap. Karena ada beberapa penyadap yang mengutamakan

hasil getah yang disadap dengan mengabaikan peraturan yang berlaku seperti

tebal pembaruan koakan atau jumlah koakan per pohon yang melebihi dari jumlah

yang telah ditetapkan.

Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan penyadapan di

sediakan oleh pihak Perhutani. Alat-alat yang disediakan untuk kegiatan

(43)

tempurung, ember sadap, sprayer, larutan asam sebagai stimultan dan drum fiber

sebagai tempat penampung getah. Kadang kala Perhutani juga memberikan

bantuan berupa sepatu karet, jas hujan dan baju. Ada beberapa penyadap yang

merasa bahwa petel sadap standar yang diberikan oleh Perhutani kurang nyaman

untuk dipakai (kurang tajam) sehingga mereka berinisiatif untuk memesan petel

sadap sendiri ke pembuat pisau dengan standar ukuran yang sama dengan yang

diberikan oleh pihak Perhutani.

Pendapatan Penyadap dari Sektor Sadapan

Besarnya pendapatan yang diperoleh penyadap dari kegiatan penyadapan

sangat ditentukan oleh kemampuan penyadap untuk menghasilkan getah karena

upah yang diberikan kepada penyadap bersifat borongan. Pendapatan penyadap

merupakan perkalian antara jumlah getah yang dihasilkan dengan tarif upah yang

berlaku berdasarkan jarak pikul dari blok sadapan ke TPG (Tempat Pengumpulan

Getah).

Rata-rata pendapatan penyadap di BKPH Karangkobar adalah

Rp 417.394 per bulan. Rata-rata pendapatan penyadap tiap RPH disajikan dalam

tabel di bawah ini :

Tabel 7. Rata-rata Pendapatan Penyadap dari Kegiatan Penyadapan

RPH Pendapatan (Rp/bulan/penyadap)

Siweru 468.050 Pandanarum 419.131 Kalibening 378.579 Wanayasa 325.080

Dari tabel 8. di atas dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan dari kegiatan

penyadapan terbesar ada di RPH Siweru sebesar Rp. 468.080 per bulan per

penyadap. Sedangkan rata-rata pendapatan terendah ada di wilayah RPH

Wanayasa sebesar Rp. 325.080 per bulan.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap besarnya produksi getah yang

mampu dihasilkan penyadap adalah luas blok sadapan. Dengan adanya luas areal

sadapan yang berbeda tiap RPH menyebabkan luas areal sadapan untuk

masing-masing penyadap berbeda. Rata-rata luas blok sadapan untuk masing-masing-masing-masing

(44)

Tabel 8. Rata-rata Luas Blok Sadapan Tiap Penyadap

RPH Luas blok sadapan Jumlah penyadap Luas per penyadap

(Ha) (Orang) (Ha/orang)

Siweru 755,8 264 2,86

Wanayasa 69,6 62 1,12

Kalibening 900,5 188 4,79

Pandanarum 1184,2 508 2,33

Total 2910,1 1022 2,85

Sumber BKPH Karangkobar

Dari tabel 9. di atas dapat diketahui bahwa luas total areal sadapan di BKPH

Karangkobar adalah 2910,1 Ha dengan jumlah penyadap yang terdaftar sebanyak

1022 orang. Rata-rata luas blok sadapan untuk masing-masing penyadap di BKPH

Karangkobar adalah 2,85 Ha per penyadap. Areal sadapan terbesar ada di wilayah

RPH Pandanarum dengan jumlah penyadap 508 orang sehingga luas blok sadapan

rata-rata adalah 2,33 Ha per orang. Di RPH Kalibening luas blok sadapan untuk

masing-masing penyadap lebih besar dari pada RPH Pandanarum. Walaupun luas

areal sadapannya lebih sempit namun jumlah penyadapnya juga jauh lebih kecil

dari jumlah penyadap yang ada di RPH Pandanarum sehingga luasan yang

diperoleh penyadap lebih besar yaitu 4,79 Ha per penyadap. Luas blok sadapan

tersempit berada di wilayah RPH Wanayasa yaitu 1,12 Ha untuk masing-masing

penyadap.

Penetapan areal sadapan bagi para penyadap diserahkan kepada mandor

sadap. Bila areal sadapan penyadap sudah tidak produktif lagi atau akan dilakukan

penebangan dan penyadap masih ingin melanjutkan pekerjaan menyadap maka

akan diberikan areal sadapan lain yang baru dibuka. Atau bila belum ada areal

sadapan baru yang dibuka maka penyadap dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan

hutan yang lain misalnya dalam kegiatan penanaman maupun dalam kegiatan

penebangan.

Ketinggian tempat dari permukaan laut juga berpengaruh terhadap jumlah

getah yang dapat dihasilkan dari pohon pinus. Di bawah ini disajikan data

mengenai rata-rata produksi getah per penyadap di empat RPH wilayah kerja

(45)

Tabel 9. Rata-rata Produsi Getah per Penyadap di Masing-masing RPH

Pandanarum 2,51 261,15 104,15

Wanayasa 1,90 130 68,42

Kalibening 1,88 236,25 126

RPH Siweru memiliki rata-rata produksi per hektar yang lebih tinggi dari

RPH lain yaitu sebesar 129,63 Kg/bulan/Ha. Sedangkan produksi terendah adalah

RPH wanayasa sebesar 64,42 Kg/bulan/Ha. RPH Siweru memiliki elevasi antara

500 sampai 1000 meter di atas permukaan laut sedangkan RPH Wanayasa, RPH

Pandanarum dan RPH Kalibening semuanya memiliki elevasi lebih dari 1000

meter di atas permukaan laut.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan

(1996) ketinggian tempat mempengaruhi suhu dan intensitas cahaya. Semakin

tinggi tempat dari permukaan laut, suhu semakin rendah demikian juga dengan

intensitas cahaya. Hal ini akan mempengaruhi laju metabolisme dan asimilasi

untuk selanjutnya akan mempengaruhi produksi getah. Semakin rendah suhu juga

akan menyebabkan getah yang keluar dari pori-pori akan semakin cepat membeku

di mulut saluran getah sehingga akan menghambat keluarnya getah yang baru.

Hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB (1991), bahwa produksi getah dari

tegakan yang tumbuh pada elevasi 500-1000 meter di atas permukaan laut

rata-rata 4,096 gr/pohon/hari sedangkan pada elevasi lebih dari 1000 meter di atas

permukaan laut sebesar 3,593 gr/pohon/hari. Dari hal tersebut dapat disimpulkan

bahwa produksi getah di RPH Siweru akan lebih besar dari produksi getah di RPH

lain.

Penyadapan getah di wilayah BKPH Karangkobar menggunakan bantuan

larutan asam Socepas 235 As untuk merangsang keluarnya getah. Larutan Socepas

235 As mengandung Asam Klorida 0,08 gr/liter, Asam Fosfat 23,73 gr/liter dan

Asan Sulfat 210,32 gr/liter. Penggunaan larutan ini bukan untuk menambah

jumlah getah yang dikeluarkan pohon tetapi untuk memperpanjang waktu

(46)

mengurangi laju pembekuan getah sehingga saluran getah tidak tersumbat dan

getah dapat terus mengalir.

Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan penyadap adalah

jumlah hari kerja dalam sebulan. Waktu kerja yang dicurahkan oleh penyadap

rata-rata adalah 21 hari setiap bulan. Dan dalam kurun waktu satu bulan terdapat

dua kali periode penyadapan. Dalam satu periode kerja penyadap melakukan

pekerjaan pembaruan luka koakan, penyemprotan larutan asam dan pemanenan

getah. Jangka waktu pembaruan luka koakan adalah 5 sampai 6 hari sekali. Jangka

waktu ini lebih lama dari jangka waktu pembaruan luka yang ditetapkan oleh

Perhutani yaitu 3 hari sekali. Hal ini terjadi karena penggunaan larutan asam

menyebabkan pori-pori kayu membuka lebih lama sehingga memperpanjang

waktu pembaruan luka koakan. Jangka waktu pemungutan getah adalah 10 hari

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak Perhutani. Jadi dalam

satu bulan penyadap memungut getah dua kali.

Dalam satu bulan tidak seluruh waktu penyadap di curahkan dalam kegiatan

penyadapan karena umumnya para penyadap sangat terikat kepada desanya

sehingga apabila ada pekerjaan maupun kegiatan yang melibatkan seluruh

masyarakat desa seperti kerja bakti, membangun sarana desa, kegiatan

keagamaan, hajatan, membangun rumah maupun kegiatan lain di desa para

penyadap lebih mengutamakan kegiatan tersebut dan akan meninggalkan

pekerjaan penyadapan, begitu pula bila musim bercocok tanam tiba.

Pendapatan penyadap juga dipengaruhi oleh jarak antara blok sadapan

dengan tempat pengumpulan getah. Semakin jauh jarak yang harus ditempuh

maka pendapatan yang diperoleh penyadap akan semakin besar karena tarif getah

di wilayah KPH Banyumas Timur memperhitungkan jarak pikul yang harus

ditempuh oleh penyadap dari blok sadapan ke TPG. Berdasarkan tarif yang

berlaku jika jarak yang harus ditempuh bertambah satu kilometer maka upah pikul

akan bertambah Rp 6. Jauhnya jarak pikul yang harus ditempuh penyadap dari

blok sadapan ke TPG mengakibatkan penyadap harus mengeluarkan biaya lebih

untuk mengangkut getah hasil sadapan ke TPG. Hal tersebut berpengaruh

(47)

Sebagian besar penyadap mengumpulkan getah ke TPG dua kali dalam

sebulan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk

mengangkut getah. Jangka waktu pengumpulan getah juga dipengaruhi oleh

jumlah getah yang dihasilkan. Biasanya penyadap mengumpulkan getah ke TPG

setelah drum penampung getah yang berkapasitas 125 Kg telah penuh. Pada awal

bulan jumlah penyadap yang mengumpulkan getah lebih banyak dari waktu-waktu

yang lain karena pada saat tersebut banyak penyadap yang membutuhkan uang

untuk membayar uang sekolah anaknya maupun untuk membayar tagihan listrik.

Umumnya penyadap hanya setengah hari bekerja di penyadapan mulai dari

pagi sampai tengah hari karena mereka harus bekerja kembali untuk mengurus

ladang atau mencari pakan ternak pada sore harinya. Waktu kerja efektif dalam

penyadapan juga dipegaruhi oleh jarak yang harus ditempuh oleh penyadap dari

rumah ke blok sadapan.

Tabel 10. Rata-rata Jarak Tempuh dan Jam Kerja per Hari dalam Penyadapan

RPH Rata-rata

Jarak tempuh (Km) Jam kerja (jam/hari)

Siweru 2,80 5,35

Wanayasa 1,60 4,20

Kalibening 1,84 5,00

Pandanarum 2,74 4,94

Rata-rata 2,25 4,87

Rata-rata jarak yang harus ditempuh penyadap dari rumah adalah 2,25 Km

dan rata-rata jam kerja efektif adalah 4,87 jam per hari dimana penyadap dari

RPH Siweru memiliki jam kerja efektif terpanjang yaitu 5,35 jam per hari dan

penyadap dari RPH Wanayasa memiliki rata-rata jam kerja terpendek yaitu 4,20

jam per hari kerja. Dari tabel diatas rata-rata jarak tempuh terjauh terdapat di RPH

Siweru yaitu 2,80 Km sedangkan rata-rata jarak tempuh terpendek berada di RPH

Wanayasa sejauh 1,60 Km.

Pendapatan penyadap dipengaruhi juga oleh jumlah pohon yang mampu

disadap per hari. Rata-rata penyadap hanya mampu memanen 100 pohon per hari.

Banyaknya pohon yang mampu dipanen oleh penyadap dipengaruhi oleh

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Jumlah penyadap getah dan responden tiap wilayah kerja mandor
Tabel 2. Penggunaan Lahan di masing-masing Kecamatan
Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sampah yang paling besar berasal dari Kota Bandung (Pikiran Rakyat Online, 31/1/16). Walikota Bandung sudah memberikan fasilitas tempat sampah organik dan non organik di tempat

Maka akan ditampilkan data yang dikirimkan oleh server ke browser (klien), sedangkan skrip aslinya (awal.php) tidak bisa dilihat oleh klien (pengguna).. 8 Rahasia Inti Master PHP

Jika yang diminta adalah sebuah halaman PHP maka prinsipnya serupa dengan kode HTML, hanya saja ketika berkas PHP yang diminta di dapatkan oleh web server, isinya segera

Hasil wawancara peneliti dengan bapak Ahdar selaku kepala UPTD Balai Diklat pertanian Saree menyebutkan bahwa pemberian bibit talas satoimo oleh pemerintah selain didasari

[r]

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Berhubungan dengan film yang banyak mengandung simbol dan tanda, maka yang menjadi pusat perhatian penelitian adalah pesan yang dikaji dari kajian semiotiknya