Panglima Laot: Praktek
Penguatan Pengelolaan
Perikanan Melalui
Penguatan Kearifan
Lokal di WPP 571/572
Aceh
M Adli Abdullah, PhD. Dosen Hukum Adat Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh Email bawarith@unsyiah.ac.idSejarah Panglima Laot
Panglima Laot merupakan suatu institusi Adat yang mengatur tentang
tata cara meupayang/penangkapan ikan di laut. Panglima Laot selain sebagai institusi juga sebagai seorang ketua lembaga itu sehingga orang menyebut mereka sebagai Panglima Laot.
Keberadaan Panglima Laot tercatat dalam catatan Marcopolo yang
mengunjugi Pasai (Aceh) pada tahun 1292 (the travel of Marcopolo). Pada masanya Kerajaan Aceh Darussalam abad ke 16 dan 17 Panglima Laot berfungsi untuk memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan memobilisasi masyarakat nelayan untuk dikirim
berperang melawan Portugis di semenanjung Malaysia.
Li Kam Hing mengatakan “Sultan appointed a Panglima La’ōt to
enforce surveillance of the coast and collect revenue from the outlying settlements (Hing, 2006). Jadi, tampaknya peran
Panglima La‘ōt bukan hanya sebagai ‗pengawal‘ Hukum Adat La‘ōt, melainkan juga sebagai bagian dari pegawai pemerintah.
Keberadaan Panglima Laot
Salah satu bentuk kearifan lokal di Aceh yang berkenaan dengan
pengelolaan perikanan adalah hukum adat laut, yang secara kelembagaan dilaksanakan Panglima Laot.
Panglima Laot dan hukom adat laot di Aceh, di samping mengatur penangkapan ikan, juga mengatur tentang larangan pengrusakan
lingkungan laut, serta adanya pantang laot di hari-hari tertentu yang berimplikasi kepada berjalannya ekosistem
Secara normatif, pascareformasi kedudukan panglima laot dikuatkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. menyebut Panglima Laot sebagai lembaga adat di Aceh, yang membuat keputusan mengenai ketentuan hukum adat laut yang berlaku bagi nelayan di seluruh Aceh, dengan fungsi, tugas dan kewenangannya tersendiri.
Pasal 98 ayat (1) UU No 11 Tahun 2006 menyebutkanLembaga adat Panglima Laot berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat adat laot. Pasal 162 ayat (2) huruf (e) UU Nomor 11 Tahun 2006 yang mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk pemeliharaan hukum adat laut.
Untuk menegakkan hukum adat laut sebagai kearifan lokal di laut Aceh, lembaga adat panglima laot memiliki peradilan adat laut tersendiri.
Lembaga adat panglima laot kini dalam tiga
tingkatan, yakni
a.
Panglima Laot Lhok,
b.
Panglima Laot Kabupaten/Kota, dan
c.Panglima Laot Provinsi.
Dalam mekanisme pemilihan juga berbeda, termasuk
perbedaan lamanya jabatan, Panglima Laot Lhok
untuk masa jabatan delapan tahun, sementara
jabatan Panglima Laot Kabupaten/Kota dan Provinsi
hanya enam tahun.
Dalam hal hukum adat laot, Panglima Laot
memiliki aturan yang berlangsung turun termurun
yang kemudian dalam proses revitalisasi kemudian
mulai dituliskan sebagai bahan bagi penguatan
WPP RI 571 - Laut Andaman dan Selat Malaka untuk Aceh luas wilayah perairan laut di WPP 571 mencapai 2833,35 km2 dan terdapat 90 wilayah kelola adat Panglima Laot
WPP 571 secara administratif meliputi wilayah
administrasi wilayah administrasi Provinsi Riau (4 kabupaten/kota) dan wilayah administrasi
Sumatera Utara (7 kabupaten/kota) dan Provinsi Aceh bagian timur, (8 kabupaten/kota) terdiri dari:
1. Aceh Besar (8 Panglima Laot Lhok dan satu
Panglima laot Kabupaten
2. Pidie (14 Panglima Laot Lhok dan Satu
Kabupaten)
3. Pidie Jaya (9 Panglima Laot Lhok dan satu
Kabupaten)
4. Bireuen (12 Panglima Laot Lhok dan satu
panglima laot kabupaten)
5. Kota Lhokseumawe (5 Lhok dan satu panglima
laot kota)
6. Aceh Utara (12 Panglima Laot Lhok dan satu
Panglima laot kabupaten)
7. Aceh Timur (16 panglima laot Lhok dan satu
WPP RI 572 perairan Samudera Hindia sebelah barat
Sumatera dan Selat Sunda serta wilayah laut Aceh mencapai
12088,90 km2 dengan 76 wilayah kelola adat panglima laot.
WPP 571 untuk wilayah Provinsi Aceh berada di
bagian barat (8 kabupaten/kota) terdiri dari:
1. Kota sabang (7 Panglima Laot lhok dan Panglima
Laot Kota)
2. Kota banda Aceh (3 Panglima Laot Lhok dan
Panglima laot kota)
3. Aceh Besar (8 Panglima Laot lhok
4. Aceh Jaya (12 Panglima Laot Lhok dan Satu
Kabupaten)
5. Aceh barat(9 Panglima Laot Lhok dan satu
Kabupaten)
6. Nagan Raya (8 Panglima Laot Lhok dan satu
panglima laot kabupaten)
7. Aceh Barat Daya (8 Lhok dan satu panglima laot
kota)
8. Aceh Selatan (12 Panglima Laot Lhok dan satu
Panglima laot kabupaten)
9. Aceh Singkil (9 panglima laot Lhok dan satu
tugas Panglima Laot adalah
mengadili/ menyelesaikan sengketa dalam wilayahnya, menjaga dan memelihara kaedah/norma adat laot,
menggerakkan semua nelayan untuk membantu kecelakaan di laot, memimpin upacara adat.
menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan alam pada wilayah
laut dan pesisirnya.
Hukum adat laut ini senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang
nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat pesisir Aceh. Kearifan inilah yang dimiliki panglima laot Aceh, yang ujung-ujungnya berorientasi pengabdian kepada nilai religius dan keharusan umat manusia di pesisir membina hubungan dengan
makhluk dan lingkungan dalam rangka berjalannya proses interaksi yang saling membutuhkan secara terus-menerus (sustain).
Hukum adat laot di Aceh yang dijaga oleh panglima laot memiliki dua unsur
yaitu:
1. unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu
diindahkan oleh masyarakat nelayan di Aceh; dan
2. unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada masyarakat nelayan
Berdasarkan ketentuan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008,
secara umum tugas Panglima Laot adalah:
1.
pengawal adat istiadat dan hukum adat laot;
2.
mitra Pemerintah dalam bidang perikanan dan
kelautan,
3.
menyelesaikan sengketa dan perselisihan di antara
nelayan sesuai dengan hukum adat laot;
4.
menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir
dan laut;
5.
memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat
nelayan;
Dalam Qanun Aceh tersebut juga membagi
tugas panglima laot kabupaten kota dan
Panglima Aceh sebagai berikut:
a.
Untuk Panglima Laot Kabupaten
Kota dibebankan tugas menyelesaikan
sengketa Panglima Laot Lhok, sedangkan
b.
Panglima Laot Aceh dibebankan dua
tambahan tugas lain, yaitu:
memberikan advokasi kepada nelayan
yang terdampar di negara lain; dan
Pantang Laut:
3 (tiga) hari pantang laot pada setelah acara khanduri laot dihitung sejak keluar
matahari pada hari kenduri hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga.
Hari Jumat dilarang melaut 1 (satu) hari penuh (dengan ketentuan
setelah shalat boat boleh melaut tetapi tidak boleh mengadakan kegiatan penangkapan ikan.
Pada Hari Raya Idul Fitri dilarang melaut selama batas waktunya 3 hari penuh
(mulai dari hari pertama hari raya sampai hari ke 3 hari raya).
Hari Raya Idul Adha, dilarang melaut selama Hari Raya Aidil Adha 3 hari penuh
(mulai dari hari pertama hari raya sampai hari ke 3 hari raya).
Hari Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus dilarang melaut selama 1 (satu) hari penuh. Tanggal 26 Desember merupakan hari pantang laôt baru yang disepakati
dalam Rapat Dewan Meusapat Panglima Laôt se-Aceh di Banda Aceh pada 9-12 Desember 2005, untuk mengenang bencana gempa dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Pantang laôt tanggal 26 Desember selama 1 hari penuh.
Setidaknya terdapat empat alasan mengapa dikenal hari pantang melaut bagi seluruh nelayan Aceh.
1. Alasan religius. Bagi nelayan Aceh yang muslim, hari libur melaut itu mereka
manfaatkan untuk menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Khusus hari Jumat, kalau nelayan tetap melaut, hampir tak mungkin bagi mereka menunaikan shalat Jumat secara berjemaah tepat waktu.
2. pertimbangan ekologis. Kita upayakan dalam seminggu harus ada satu hari
di mana seluruh biota laut hidup tenang, tanpa diusik oleh para nelayan, sehingga memungkinkan ikan, udang, dan lainnya berpijah.
3. alasan reparasi. Hari tidak melaut itu, bisa digunakan para nelayan
untuk memperbaiki jala, jaring, pukat, perahu, atau boatnya, sehingga ketika turun melaut lagi kondisi alat-alat tangkapnya dalam keadaan prima.
4. terjalin nilai-nilai komunal (kerja sama atau kegotong-royongan), sebab
pekerjaan memperbaiki alat tangkap itu biasanya dilakukan bersama-sama oleh kelompok nelayan
Pelanggar hari pantang laut disita hasil tangkapan, dilarang melaut 3-7 hari, serta dikeluarkan dari persekutuan masyarakat hukum adat laut.
Adat laot dan Pantang Laut di Aceh
dibagi empat:
Adat laot dibagi empat:
Adat Laot tentang Tata Cara Penangkapan Ikan
(meupanyang)
adat pemeliharan lingkungan di wilayah pesisir
adat sosial bagi masyarakat nelayan
Adat Khanduri Laut
Adat Barang Hanyut
Hukom Adat Laot tentang Tata Cara Penangkapan Ikan (meupanyang)
di Aceh
Bila sebuah motor boat mendapat kawanan ikan dan terus mengelilinginya dan bila kawanan ikan yang sedang dikelilinginya tadi hilang dari pandangan mata (tenggelam), sedangkan di dekat boat pukat tadi ada perahu pukat Aceh. Maka pengaturannya adalah:
Apabila kawanan ikan tadi muncul kembali di samping boat, ikan tersebut masih kepunyaan
boat pukat.
Tetapi apabila kawanan ikan tadi muncul di belakang perahu pukat Aceh, sedangkan boat
pukat mengejar berlainan arah, sedangkan kawanan ikan tadi jauh dengan perahu pukat (lebih kurang) 1 leun pukat (200 meter), maka kawanan ikan itu sudah menjadi hak perahu pukat, dan dalam hal ini bagi perahu pukat siapa yang duluan krah ikan tersebut.
Bila Perahu pukat krah satu kawanan ikan jauh dari perahu tersebut, sedangkan kawanan ikan
tersebut di laboh (ditangkap) oleh boat pukat tadi, maka pembagiannya ialah bagi dua maupun sebaliknya.
Bila kawanan ikan di krah oleh sebuah pukat Aceh sedangkan di situ terdapat beberapa buah perahu pukat lain, dan dari samping kawanan ikan itu terdapat pula sebuah boat pukat.
Pengaturannya adalah: Oleh boat pukat yang dekat dengan kawanan ikan tadi tidak bisa (tidak boleh) melabuh kawanan ikan tersebut. Dan apabila pukat-pukat yang melabuh tadi sudah jatuh UNTUNG, baik pukat I-II, maupun ke-III, dan setelah UNTUNG pukat yang ketiga ini jatuh baru bisa boat pukat melabuh kawanan ikan tersebut dengan catatan hak pukat tadi masih ada yaitu dibagi dua. Syarat-syarat untuk dapat memiliki satu kawanan ikan:
Krah atau angkat topi.
Sangga atau memukul galah di ujung umbai.
Kalau pukat atau lampung tersangkut harus dilepas atau diperbaiki. Menggiring kawanan ikan.
Bila sebuah kawanan ikan di krah oleh sebuah perahu pukat Aceh dan dikejar oleh
pukat-pukat lain untuk melabuh kawasan ikan tersebut, sedangkan cuaca/keadaan alam tidak mungkin bagi pukat Aceh yang mengejar tadi akan berhasil melabuh kawanan ikan tersebut. Dan apabila ada sebuah boat yang membantu melabuh kawanan ikan tersebut dengan seizin pawang pukat yang mengejar tadi, dan jika berhasil dilabuh kawanan ikan itu, maka pembahagiannya adalah bagi tiga yaitu satu bahagian bagi pukat yang krah, satu bahagian bagi yang mengejar tadi, dan satu
bahagian untuk boat yang membantu melaboh tersebut dengan ketentuan sanggup mencapai umbai pukat boat.
Sebuah boat menggandeng sebuah perahu pukat Aceh dan bila jumpa dengan
kawanan ikan perahu pukat yang menggandeng tadi tidak bisa krah ikan yang dilihatnya itu sebelum ia lepaskan diri dari boat yang menggandeng tadi.
Sebuah boat yang menggunakan pukat Aceh, apabila waktu sedang laboh dibantu
oleh perahu kulek, maka ikan hasil dari laboh itu dibawa turun oleh perahu kulek tersebut. Dan apabila ikan tersebut dibawa turun sendiri oleh boat maka jerih payah atas pertolongan/bantuan perahu kulek ialah 10 persen dari hasil ikan tersebut.
Pukat Aceh sedang laboh, lantas datang sebuah boat dan sebuah pukat Aceh lainnya serta sampai di tempat pukat yang sedang laboh tadi bersama-sama mereka membantu pukat yang sedang laboh itu, maka jerih payah atas bantuan boat dan pukat Aceh yang
membantu adalah hasil dari laboh itu dibagi dua. Dan antara pukat dengan pukat Aceh yang membantu tadi mereka ini hasil bagi dua tadi mereka bagi dua lagi, berarti mereka semuanya mendapat hasil.
Sebuah kawanan ikan dilihat oleh beberapa boat dan boat itu sama-sama mengejar
kawanan ikan tersebut. Sesampai di tempat kawanan ikan itu salah satu dari pukat boat itu yang posisinya tepat untuk laboh ikan tersebut. Bagi boat yang laboh kawanan ikan ini hasilnya
½ bagian dari hasil seluruhnya, dan bagian yang setengah lagi dibagi untuk beberapa boat yang sama-sama dapat mempertahankan kedudukannya.
Tiap boat baik yang menggunakan pukat Aceh maupun pukat langgar, apabila umbainya telah jatuh dan ikan tersebut tidak didapat, maka haknya atas ikan yang sedang dilaboh hilang atau gugur.
Tiap pukat yang mesak-sak, berhak laboh adalah siapa yang duluan jatuh UNTUNG-nya. Sedangkan pukat yang terlambat jatuh UNTUNG harus menahan pukatnya (hasil lebih yang diperdapat dari pembagian perkongsian ikan oleh boat yang melaboh ikan). Dengan
catatan tidak boleh melaboh dalam halaman pukat lain sebelum memberi isyarat kepada pukat yang pertama jatuh umbainya.
Untuk menghindari sentimen batin antara boat dengan boat dan antara boat dengan pukat Aceh, ikan nyirat ditiadakan untuk melaboh ikan atas kongsi dapat bahagian 5 persen dari hasil ikan.
Jika sebuah motor boat sedang melaboh ikan dan memerlukan bantuan karena ikan
tersebut tidak dapat diambil tanpa bantuan boat lain dan sebagainya. Boat yang sedang melaboh ikan hanya boleh meminta bantuan kepada boat yang terlebih dahulu datang melewati umbai/haluan boat yang memerlukan bantuan, dan hasilnya dibagi dua setelah dikurangi 5 persen hak labuh.
Motor boat yang sedang melaboh ikan jika memerlukan bantuan harus meminta
bantuan kepada motor boat pukat yang terdekat dan tidak boleh meminta bantuan kepada boat-boat kecil yang fungsinya hanya sebagai pengangkut (beca laut, boat pancing) kecuali tidak ada motor boat pukat yang dekat lainnya.
Terlarang keras mendesak atau peupok (menabrak) dalam usaha penangkapan ikan.
Peraturannya adalah: Apabila sebuah motor boat telah melaboh ikan (jatuh umbai), maka boat berikutnya dilarang melaboh di dalam atau di luar pukat / boat tersebut untuk kawanan ikan yang sama (istilah meusak-sak pukat). Pelanggaran ini akan ditindak dengan hukuman menyita seluruh hasil dan mengembalikan 5 persen hak laboh serta wajib memperbaiki seluruh kerusakan boat pertama. Hasil sitaan
Pemasangan Tuasan, Rumpon dan Bubu
1. Tuasan, rumpon dan bubu dipasang di laut harus diberi tanda pengenal berupa
pelampung bulat besar atau bambu yang dipasang sedemikian rupa sehingga mudah dilihat.
2. Bila terjadi tabrakan antara tuasan, rumpon, bubu dengan pukat atau alat
penangkapan ikan lainnya tidak dengan sengaja, maka kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu tidak diganti. Tetapi kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu ditabrak oleh pukat atau alat tangkapan ikan lainnya dengan sengaja, maka harus diganti rugi sebesar 100 persen dari harga tuasan, rumpon dan bubu
tersebut. Pemasangan tuasan, rumpon dan bubu harus mengambil surat izin dari Dinas Perikanan dan Kelautan Tingkat II setempat. Apabila tidak mempunyai
surat izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat II, maka kerusakan tuasan, rumpon dan bubu tersebut tidak berhak mendapat ganti rugi.
3. Tuasan, rumpon dan bubu yang tidak diberi tanda pengenal bila terjadi tabrakan
tidak akan diganti dan dia harus mengganti kepada yang menabraknya.
4. Pukat banting, pukat langgar, dan jenis pukat lainnya boleh menangkap ikan di
malam hari dengan jarak ±500 meter dari tuasan/unjam dan lain-lain alat pengumpul ikan.
Masalah Meletakkan Tuasan di Laut
1. Cara untuk membina tuasan di laut sangat diperlukan tata tertib yang
sempurna, bagi kapal- kapal yang membina tuasan tersebut. Bagi sebuah kapal pukat langgar atau pukat banting, jika membina tuasan jarak antara satu tuasan dengan tuasan kapal lain, harus ada lebih kurang 1 mil
sehingga tidak mengganggu bagi pengguna kapal lain, sewaktu memukat.
2. Bagi sebuah kapal jaring yang menggunakan alat jaring atau tanggok
bawal, jarak antara satu tuasan dengan tuasan kapal lebih kurang 500 meter sehingga tidak terjadi gangguan jaring sewaktu pihak kapal lain menggunakan alat tangkapnya.
3. Kecuali kapal yang membina tuasan diharuskan meletakkan tuasan pertama
dengan mengambil pedoman dari arah darat menuju laut atau kebalikannya sehingga teratur dan sempurna.
Masalah Pemotongan Tuasan/Unjam
1.
Jika seorang juragan sebuah kapal melakukan pemotongan terhadap
sebuah tuasan/ unjam milik kapal lain, ini adalah suatu pekerjaan yang
sangat terkutuk. Bila hal ini dapat diketahui oleh pemiliknya, dilengkapi
dengan keterangan saksi, serta membawa pengaduan kepada pihak
yang berwenang, juragan kapal tersebut diharuskan membayar ganti
rugi terhadap biaya tuasan milik kapal lain.
2.
Ganti rugi tuasan yang dipotong tersebut, dibebankan pembayarannya
kepada pihak juragan,
3.
sedangkan pengusaha tidak perlu menanggung resiko apapun
(pembayaran selambat-lambatnya seminggu setelah keputusan sidang).
Dan kepada pemilik tuasan diberi waktu untuk melapor dalam jangka
waktu sebulan, kepada pihak Panglima. Lewat dari batas tersebut di
atas, pengaduan tidak diladeni lagi (menjadi batal).
Panglima Laot merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam
melestarikan adat dan kebiasaan yang berlangsung di masyarakat
nelayan dan menjembatani kepentingan masyarakat nelayan
hubungan dengan pemerintah. Tanggung jawab tersebut
dilaksanakan melalui pola sebagai berikut:
1. Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat laut dan adat laot. 2. Mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan laut (adat
meupayang).
3. Menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi diantara sesama nelayan atau kelompoknya.
4. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot (khanduri laut).
5. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi sungai tidak ditebang, karena ikan akan menjauh sampai tengah laut.
6. Penghubung antara nelayan dan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perikanan.
7. Meningkatkan usaha yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. 8. Mengatur jadwal acara-acara ritual yang berhubungan dengn masyarakat nelyan,
misalnya kenduri laut.
Hak (right) untuk mengatur merupakan salah satu faktor kunci dalam keberhasilan Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot. Hak tersebut berkaitan dengan tujuan yang lebih besar dari pengelolaan perikanan, yakni keadilan dan keberlanjutan sumberdaya bagi masyarakat nelayan hukom adat laot tersebut.
Adat laot yang berkaitan dengan adat
pemeliharan lingkungan di wilayah pesisir
(a) Larangan menebang / merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai laut seperti pohon arun / cemara, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai;
(b) (b) Larangan melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya;
(c) Larangan menangkap ikan / biota laut lainnya yang dilindungi. Larangan tersebut di atas juga berkaitan dengan dua aspek
1) pengaturan penggunaan alat tangkap dan pencegahan penggunaan alat tangkap yang merusak persikataran dan pembatasan wilayah penangkapan pada jarah tertentu terhadap habitat ikan;
2) pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah persikataran seperti membuang sampah, membuang sisa bahan perbaikan kapal, dan
Selain adat pemeliharaan lingkungan,
terdapat juga adat sosial bagi masyarakat
nelayan
Dalam operasional kehidupan nelayan yang berhubungan dengan adat sosial
1. Pada saat terjadinya kerusakan kapal / boat atau alat penangkapan lainnya
di laut, mereka memberikan suatu tanda yaitu menaikkan bendera sebagai tanda meminta bantuan. Bagi boat yang melihat aba-aba tersebut langsung datang mendekati untuk memberikan bantuan.
2. jika terjadi musibah tenggelam nelayan di laut, seluruh boat mencari mayat
tersebut minimal satu hari penuh dan jika ada boat yang mendapat mayat di laut, boat tersebut berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut ke daratan.
Adat khanduri laut (jamu laut)
Khanduri adat dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sekali atau
tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat,
dinyatakan 3 (tiga) hari pantang laot pada acara khanduri laot dihitung sejak
keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga.
Adat kenduri laut di masing-masing daerah tingkat II dalam Provinsi Aceh
mempunyai ciri khas tersendiri dan bervariasi satu dengan yang lainnya menurut keadaan masing-masing daerah, dan tetap memperhatikan nilai-nilai yang Islami.
Adat Barang Hanyut
Setiap barang (perahu, boat
panglong, dan lain-lain) yang
hanyut di laut dan diketemukan
oleh seorang/nelayan, harus
diserahkan kepada Panglima
Laot setempat untuk
Sistem sanksi
Dalam menerapkan sanksi dan penerapan hukuman pelanggaran melalui
mekanisme tertentu, yaitu pelanggar tidak berhadapan langsung dengan Panglima Laot tetapi terlebih dahulu harus diselesaikan oleh struktur paling bawah dimana pelanggaran terjadi. Misalnya apabila terjadi pelanggaran atau perselisihan di antara aneuk boat (anak buah kapal), maka yang
menerapkan sanksi atau menengahi adalah pawang boat yang menjadi atasan
aneuk boat. Untuk pelanggaran di dalam aneuk boat berbeda, akan
diselesaikan Panglima Laot Lhok dan seterusnya ke atas.
Dalam kasus yang umumnya terjadi dalam hal perebutan wilayah tangkap,
diselesaikan oleh Lembaga Hukom Adat Laot melalui suatu persidangan untuk memberi putusan kepada masing-masing pihak. Putusan tersebut hanya bisa mengajukan banding (sebagai tingkat terakhir) di Kabupaten/Kota.
Bagi nelayan yang melanggar ketentuan yang telah ditentukan, berdasarkan
putusan Lembaga Persidangan Hukom Adat Laot, hanya akan menghasilkan dua sanksi, yakni sebagai berikut:
Seluruh hasil tangkapan disita. Hasil tangkapan 25 % untuk operasional
Lembaga Panglima Laot dan 75 % untuk agama dan sosial.
Dilarang melaut serendah-rendahnya 3 (tiga) hari dan selama-lamanya 7
Panglima Laot merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam
melestarikan adat dan kebiasaan yang berlangsung di masyarakat
nelayan dan menjembatani kepentingan masyarakat nelayan
hubungan dengan pemerintah. Tanggung jawab tersebut
dilaksanakan melalui pola sebagai berikut:
1. Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat laut dan adat laot. 2. Mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan laut (adat
meupayang).
3. Menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi diantara sesama nelayan atau kelompoknya.
4. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot (khanduri laut).
5. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi sungai tidak ditebang, karena ikan akan menjauh sampai tengah laut.
6. Penghubung antara nelayan dan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perikanan.
7. Meningkatkan usaha yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. 8. Mengatur jadwal acara-acara ritual yang berhubungan dengn masyarakat nelyan,
misalnya kenduri laut.
Hak (right) untuk mengatur merupakan salah satu faktor kunci dalam keberhasilan Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot. Hak tersebut berkaitan dengan tujuan yang lebih besar dari pengelolaan perikanan, yakni keadilan dan keberlanjutan sumberdaya bagi
kesimpulan
Isu-isu konservasi sumberdaya ikan dan ekosistem laut akan mudah
ditanggulangi, yang ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat pesisir.
Tujuan ini secara implisit juga merupakan tujuan akhir dari hukum adat laut
itu sendiri, yakni menuntaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, baik dalam konteks fisik maupun nonfisik. Fisik, dapat berarti seorang
nelayan mendapatkan hasil tangkapannya. Sedangkan nonfisik, dapat berarti keleluasaan dan kenyamanan nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya alamnya.
Makna normatif pemeliharaan hukum adat laot di Aceh dalam konteks
pengelolaan sumberdaya perikanan, berujung pada target keberkelanjutan dan kelestarian lingkungan. Jadi dalam konsep kearifan lokal, kontek
pemeliharaan hukum adat laot berujung pada keberlanjutan sumber daya dan kelestarian lingkungan. Dan ini harus dilihat dalam ruang yang sama, tidak terpisah-pisah.
Lembaga adat Panglima Laot dan hukum adatnya sudah ada sejak berabad yang
lalu. Secara normatif, kedudukannya kuat, namun ketika berhadapan dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan investasi, kedudukan Panglima Laot tertekan. Di sinilah pemerintah seyogianya tidak hanya menjadikan orientasi eksploitasi perikanan di WPP 571 dan 572 sebagai satu-satunya jawaban
pembangunan.
Dengan tugas Panglima Laot melaksanakan dan melestarikan hukum adat dan
kebiasaan masyarakat nelayan dan pesisir di Aceh, ia berpotensi menjadi
kekuatan sosial penting. Dengan semangat menjalankan peran dan fungsi nilai-nilai adat yang dimiliki, menjadikan posisi lembaga sangat berakar pada konsep kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Dalam kacamata lembaga adat
Panglima Laot di Aceh kesejahteraan nelayan tidak hanya dilihat dalam kacamata fisik saja, akan tetapi juga nonfisik.
Pengelolaan sumber daya perikanan tidak selalu berorientasi eksploitasi oleh
negara dan pemodal besar. Tetapi pengelolaan perikanan harus menjadi bagian dari kenyataan kearifan lokal yang dijaga.