• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. 1. Dasar Pengaturan Hukum Tanah Nasional. Hukum Pertanahan yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-undang No.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. 1. Dasar Pengaturan Hukum Tanah Nasional. Hukum Pertanahan yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-undang No."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Dasar Pengaturan Hukum Tanah Nasional

Hukum Pertanahan yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang mulai berlaku sejak 24 September 1960. Sebelum berlakunya UUPA, pendaftaran tanah dilakukan bagi pemegang hak Eigendom, hak Erpacht, hak Opstal (Hanya pemegang hak yang tunduk pada hukum barat). Adapun pendaftaran tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan pendaftaran tanah. Peristiwa inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme hukum.

UUPA dibentuk untuk memberikan kesatuan hukum dalam tata hukum pertanahan nasional.

Hadirnya UUPA menurut Urip Santoso dijelaskan sebagai berikut: …. UUPA menetapkan mencabut peraturan dan keputusan agraria yang dibuat oleh Pemerintahan Hindia-Belanda, dan bertujuan menghapuskan dualisme hukum dan mengadakan kesatuan Hukum Pertanahan. Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan yang dibuat oleh Pemerintahan Hindia-Belanda, maka terwujud kesatuan hukum, yaitu hanya ada satu Hukum Tanah yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia yang diatur dalam UUPA. Kesatuan hukum tersebut meliputi bidang-bidang, yaitu hukum, hak atas tanah, pendaftaran tanah, dan hak jaminan atas tanah.

Kesatuan hukum dalam Hukum Tanah diwujudkan dengan menjadikan Hukum Adat sebagai dasar bagi pembentukan Hukum Tanah Nasional [garis miring dari Penulis]. Hukum

(2)

8

Nasional dikarenakan Hukum Adat tentang tanah digunakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.1

Urip Santoso menjelaskan konsep di atas sebagai asas kesatuan hukum. Di dalam UUPA sendiri juga dijelaskan mengenai asas kesatuan hukum dalam pasal 5 yang berbunyi:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perUndang-undang-Undang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Hasan Wargakusumah juga sependapat dengan Santoso.

Dihapuskannya dualisme hukum, dengan pencabutan hukum agraria kolonial (agrarische wet S.1870 dan K.B. tentang Agraria Besluit, pencabutan BW (KUH Perdata) sepanjang mengenai tanah (Diktum pertama UUPA) serta penetapanhukum adat sebagai dasar hukum agraria (Pasal 5 UUPA), mencerminkan dasar kesatuan [hukum] termaksud.2

Sudargo Gautama juga menegaskan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yaitu :

1. Dalam pasal ini ditentukan bahwa hukum adatlah yang berlaku untuk hukum agraria yang baru. Tetapi hukum adat yang dinyatakan berlaku ini bukannya hukum adat yang “murni”. Hukum adat ini tidak boleh bertentangan dengan:

a. kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa;

b. sosialisme Indonesia;

c. ketentuan-ketentuan dalam UUPA;

d. peraturan-peraturan lainnya di bidang agraria;

e. dengan unsur-unsur hukum agama. …

1 Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Cetakan Ketiga,(Jakarta:

Kencana, 2012), hal. 63-64.

2 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I: Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan

(3)

9

2. Dengan ditunjuknya hukum adat sebagai hukum yang berlaku diharapkan terwujudnya kesatuan hukum (unifikasi) di bidang agraria.

Hukum barat tidak berlaku lagi untuk hukum agraria ini.3

Dari apa yang penulis telah paparkan, dapat diartikan bahwa hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia bukan lagi hukum barat. Melainkan seluruh aturan pertanahan tunduk pada UUPA. Selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa; sosialisme Indonesia; ketentuan-ketentuan dalam UUPA; peraturan-peraturan lainnya di bidang agraria (tidak termasuk hukum barat); atau dengan unsur-unsur hukum agama, maka UUPA menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur hukum agraria di Indonesia.

2. Peralihan Hak Atas Tanah

Di dalam UUPA terdapat “jiwa dan ketentuan-ketentuan” yang harus dipergunakan sebagai ukuran bagi berlaku atau tidaknya peraturan-peraturan yang lama, yang dalam hal ini harus dibatasi pada hal yang pokok-pokok saja, misalnya :

1. UUPA tidak menghendaki berlangsungnya dualisme dalam hukum agraria. 2. UUPA tidak mengadakan perbedaan antara Warga Negara Indonesia asli

dan keturunan asing.

3. UUPA tidak mengadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hubungannya dengan soal-soal agraria.

4. UUPA tidak menghendaki adanya exploitation de l’homme par l’homme (penghisapan manusia oleh manusia).

3 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan Kedelapan,

(4)

10

Hukum Adat yang berlaku bukanlah Hukum Adat yang murni. Hukum Adat ini perlu disesuaikan dengan asas-asas dalam UUPA. Hukum Adat ini tidak boleh bertentangan dengan :

a. Kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. b. Sosialisme Indonesia.

c. Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA. d. Peraturan-peraturan perundangan lainnya.

e. Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama4

Sudah kita ketahui bahwa setiap perjanjian yang dilakukan untuk tujuan memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk Menteri yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Meskipun tidak ada sanksi bagi para pihak yang tidak melakukan peralihan hak atas tanah yang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun penerima hak tidak akan dapat mendaftarkan peralihan haknya sehingga tidak akan mendapatkan sertifikat atas namanya. Oleh karena itu, jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengulangi prosedur peralihan haknya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tetapi cara ini tergantung dari kemauan para pihak yang bersangkutan.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dilakukan melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam

4

(5)

11

perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum dan dihadiri juga oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan ketentuan lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang mengatur bahwa terhadap bidang-bidang tanah yang belum bersertifikat, pembuatan akta dimaksud harus disaksikan oleh seorang kepala desa dan seorang pamong desa. Hal tersebut merupakan salah satu penyempurnaan peraturan pendaftaran tanah yang lama, khususnya untuk mewujudkan peran aktif pendaftaran tanah dalam rangka turut membangun desa tertinggal dan sekaligus memberikan sumbangsih bagi program pengentasan kemiskinan. Hal ini berarti pula bahwa profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus sampai ke pelosok-pelosok tanah air, tidak hanya berkonsentrasi di pusat kota yang ramai.5

3. Manfaat Sertifikat

Tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah. (a) untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu

5 Soelarman Brotosoelarno, Aspek Teknis Yuridis Dalam Pendaftaran Tanah, Deputi

(6)

12

bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; (b) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; (c) untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai suatu tanda bukti haknya bagi bisang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya6

Sri Harini menjelaskan pentingnya pendaftaran tanah sebagai berikut:

Pendaftaran tanah merupakan suatu kebijaksanaan negara dengan tujuan untuk penatausahaan bidang-bidang tanah, agar terdapat suatu data tanah dalam suatu daftar yang memuat luas, batas, letak, dan subyek pemiliknya. Dengan penatausahaan tanah ini, diharapkan akan tercipta objek dan subjek pemiliknya sehingga memberikan kepastian hak bagi pemiliknya. Bentuk kepastian hak atas tanah, berupa sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir dari proses pendaftaran tanah. 7

6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya, Jilid 1,(Jakarta: Djambatan, 1999), hal. 460.

7 Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, (Bogor: Ghalia Indonesia,

(7)

13

Supriadi juga senada dengan Sri Harini. Berpendapat bahwa pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.8

Menilik sistem pendaftaran tanah berdasarkan kekuatan alat bukti sertifikat, Indonesia mengacu pada sistem publikasi negatif yang mengacu pada unsur positif. Sistem pendaftaran negatif ini sebagai akibat dianutnya asas nemo plus

yuris yang menyatakan bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak

yang ada padanya. Ini berarti pengalihan oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya.9 Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti.10

Pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai pemegang hak karena negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan. Sebaliknya dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif, orang yang

8 Supriadi, Hukum Agraria, Cetakan Kelima, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 152.

9 Christiana Tri Budhayati, Hak Atas Tanah Peralihan dan Pendaftarannya, Cetakan

Kedua, (Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2017, hal. 115.

10 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Ketujuh,

(8)

14

mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya.11

Dari pemaparan yang telah dilakukan oleh penulis, dapat diartikan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Mengacu kepada pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah), sistem publikasi yang digunakan di indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif12. Sehingga sertifikat sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan sistem publikasi yang sudah dianut, sebagai alat bukti yang digunakan di persidangan. Institusi yang menjalankan pendaftaran tanah adalah Kantor Pertanahan yang berkedudukan di tiap kota ataupun kabupaten, di mana mempunyai hubungan keatas dengan Badan Pertanahan Nasional yang berkedudukan di Jakarta.13

4. Asas Rechtverwerking Sebagai Perwujudan Penerapan Sistem Publikasi Negatif yang Bertendensi Positif

Pada dasarnya tidak ada Negara yang menerapkan sistem pendafatan tanah secara murni. “Dalam praktek kedua sistem ini tidak pernah digunakan secara

mumi. Sistem positif memberi beban terlalu berat kepada Negara”14 oleh karena itu Indonesia menganut sistem pendaftaran negatif yang bertendensi positif.

11 Ibid., hal. 113.

12 Boedi Harsono, op. cit. hal 477. 13 Sri Harini, op. cit. hal 130.

14 Arie S. Hutagalung, “Penerapan Lembaga "Rechtsverwerking" Untuk Mengatasi

Kelemahan Sistem Publikasi Negatip dalam Pendaftaran Tanah”, Hukum dan Pembangunan, Oktober-Desember 2000, hal. 336

(9)

15

Dalam hukum adat ada lembaga yang namanya "kehilangan hak" atau

"rechtsverwerking ", yang intinya adalah apabila seseorang mempunyai tanah

tetapi selama jangka waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak terurus, dan tanah itu dipergunakan oleh orang lain dengan itikad baik, dia tidak dapat lagi menunrut pengembalian tanah tersebut dari orang lain tadi.15 Hal tersebut selaras dengan bunyi Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berbunyi “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah

diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”16

Pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif memeliki beberapa kelemahan. Arie S. Hutagalung menjelaskan kelemahan sistem publikasi negatif diantaranya

1. Tidak ada kepastian atas keabsahan sertipikat karena setiap saat dapat/mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya.

2. Peranan pejabat Pendaftaran Tanah/kadaster mendukung ke arah akurasi dan kebenaran data dalam senipikal. yang pasif tidak yang tercantum di dalam Sertipikat.

15 Ibid., hal. 337

16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

(10)

16

3. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang demikian (kurang transparan) kurang dapat dipahami masyarakat awam. 17

Penulis menggaris bawahi pernyataan Arie S Hutagalung yang pertama bahwa sistem publikasi negatif kurang memberikan kepastian hukum. Bertentangan dengan asas kepastian hukum, maka sistem publikasi yg diterapkan di indonesia tidak sepenuhnya negatif, melainkan bertendensi positif. Tujuannya untuk memberi kepastian hukum dan memberi batasan supaya setiap orang yang menguasai sebidang tanah tidak dapat dituntut lagi di pengadilan stelah lewat jangka waktu 5 tahun.

5. Teori Putusan Hakim

Dalam menjalankan kewajibannya, tugas utama bagi hakim yaitu menerapkan hukum pada kasus konkret dalam wujud putusan. Dalam penerapan hukum itu selalu diawali dengan penemuan hukum. Penemuan hukum diperlukan dalam rangka memecahkan atau menyelesaikan suatu persoalan hukum berdasarkan hukum atau secara hukum, Sehingga tugas hakim adalah mempertemukan peristiwa hukum yang konkret dengan aturan hukum yang ada.

Apabila aturan hukum yang ada tidak jelas, atau tidak sesuai rasa keadilan masyarakat atau kurang melindungi hak asasi, maka penemuan hukum dilakukan dengan interpretasi, yaitu menemukan pengertian-pengertian aturan hukum yang ada, atau menggali bahan hukum yang bersumber dari kesadaran hukum masyarakat atau teori-teori hukum yang tersedia sehingga suatu peristiwa hukum

(11)

17

konkret dapat dipecahkan secara cepat dan benar. Penemuan hukum seperti ini disebut pembentukan hukum (recht chepping) melalui wujud putusan.18

Dalam sebuah putusan hakim, terdapat beberapa indikator yang harus di penuhi sebuah putusan yang dapat bernilai yurisprudensi, yaitu: (1) putusan hakim yakni mengenai kasus tertentu; (2) ratio decidendi putusan, yaitu berupa prinsip hukum yang dijadikan dasar putusan yang diambil; (3) putusan berhubungan dengan perkembangan hukum sehingga putusan yang diambil berkaitan erat dengan perubahan sosial; (4) putusan tersebut belum diatur dalam undang-undang atau undang-undang kurang jelas. 19

Dalam sebuah putusan, dimana di dalamnya terdapat pertimbangan hakim yang digunakan sebagai dasar dalam membuat putusan, berisi mengenai argumen yang di buat oleh hakim sendiri dalam menanggapi para pihak serta menjadikannya sebagai alasan dasar dalam membuat putusan. Argumen yang dibuat oleh hakim tersebut merupakan sebuah argumentasi hukum. Pada dasarnya argumentasi adalah penampilan proses kegiatan berpikir. Argumentasi dan penalaran adalah dua istilah yang sering dipertautkan; penalaran adalah kegiatan berfikir.20 Berfikir secara yuridis adalah berfikir secara normatif. Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi mengembangkan kriteria yang

18

Bagir Manan, dalam Idris, Rachminawati, Imam Mulyana, Penemuan Hukum

Nasional dan Internasioal, Fikahati Aneska, bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung 2012, hal. 77.

19 Yahya Harahap,M., Hukum Acara Perdata, Cetakan keempat, (Jakarta: Sinar Grafika,

2006), hal 830.

20

(12)

18

dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. 21 Argumentasi hukum itu sendiri dihasilkan oleh proses penalaran (redeneer process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan logika dan bahasa.22

Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkret yang dihadapi dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda hal nya dengan penalaran hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada dictum putusan sebagai

imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan berfikir hukum dikaitkan dengan

pertimbangan hukumnya. Dalam teori hukum telah diletakan kriteria rasional putusan hakim yaitu pada de heuristik dan de legitimatik.23

de heuristik adalah metode pemecahan masalah lewat penalaran sebagai

proses intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah. Dimana dalam tahap ini hakim berusaha mencari tahu dan menemukan jalan pemecahan secara tepat dan benar. Dan pada tahap de legitimatik yang adalah kegiatan menyangkut persoalan keadilan, menggunakan metode dengan logika deduktif untuk mencapai pola berfikir yang benar dan mencapai kebenaran.24

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu memuat:

21

Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, Cetakan keempat, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), hal.13.

22Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Edisi Pertama,

(Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), hal. 48.

23 Otje Salman, Teori Hukum, (Bandung: Penerbit Rafika Aditama, 2004), hlm. 37. 24 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hal 50

(13)

19

(1) Alasan-alasan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian dikualifisir menjadi fakta hukum.

(2) Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan argumen-argumen pendukung.

(3) Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(4) Alasan hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan filosofis atau moral justice.

(5) Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).25

(14)

20

B. Hasil Penelitian

1. Kasus Posisi

Masalah yang timbul dari pokok perkara adalah tanah yang terletak di Blotongan dengan no sertifikat HM. No. 146 / Kel. Blotongan atas nama Sri Endarwasih dan sertifikat HM. No. 147 / Kel. Blotongan atas nama Susilowati. Kedua tanah tersebut saat bersertifikat atas nama Ike Nawadyastuti.

Gugatan pertama kali dilayangkan oleh Sugiono (selanjutnya disebut penggugat) kepada Ike Nawadyastuti (selanjutnya disebut tergugat) pada tanggal 18 Agustus 2014 yang didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 29 agustus 2014 dengan nomor register perkara 56/ Pdt. G/ 2014/ PN. Slt

Ringkasan dari kasus posisi sebagai berikut. Penggugat membeli tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan dan tanah HM. No. 147 / Kel. Blotongan pada tahun 1993 dengan pesan bahwa tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan akan diberikan kepada Rita Agustianingrum. Kedua tanah yang dibeli Penggugat diatasnamakan Tergugat. Menurut penggugat, tergugat tidak pernah bertemu sama sekali dengan penjual dan Penggugatlah yang menyelesaikan semua pembayaran. Maksud dan tujuan penggugat untuk mengatasnamakan tanah pembeliannya kepada Tergugat bahwa Penggugat berharap, nantinya tergugat sebagai anak sulung dapat menjadi panutan bagi adik-adiknya dan dapat mengelola tanah yang dibeli penggugat. Tiga orang anak tergugat yang ikut menempati obyek sengketa adalah Lia binti Tabri Arianto (Turut Tergugat I), Hardoyo bin Tabri Arianto (Turut Tergugat II) , dan Deddy Junianto (Turut Tergugat III) juga menjadi lawan penggugat dan selanjutnya disebut turut tergugat.

(15)

21

Ketika penggugat hendak memberikan tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan kepada Rita Agustianingrum. Tergugat tidak mau menyerahkan tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan kepada Penggugat karena menurut Tergugat tanah tersebut merupakan tanah milik Tergugat dan dibuktikan dengan nama yang tertera di akta sertifikat tanah tersebut.

Berbeda dengan uraian Penggugat, menrut Tergugat sebagai pemilik sah tanah objek sengketa, pernyataan Penggugat yang menyatakan Tergugat tidak pernah ada hubungan dalam pembelian maupun pembangunan tanah objek sengketa tidak benar karena senyatanya seluruh kwitansi pembayaran dan akta jual beli di hadapan camat dan notaris seluruhnya adalah atas nama Tergugat.

Dalil Penggugat Tanggapan Tergugat

1. Penggugat adalah pemilik sah tanah obyek sengketa

2. Pembelian tersebut diatas namakan tergugat, dengan maksud dan tujuan sebagai titipan. 3. penggugat berhak menarik kembali pemberiaannya kepada tergugat.

1. Tergugat adalah pemilik tanah ibyek sengketa.

2. Tergugat memperoleh tanah tersebut bukan dari pemberian, melainkan membeli sendiri.

Saksi penggugat berjumlah 9 orang yaitu : Sugi Priyono, Sapadi, Kasmadi, Dwi Sugi Wahyono, Kasidi, Bambang Hardono, Maeru, Hendra, Moh. Sofyan, SH. Sedangkan saksi tergugat berjumlah 2 orang yaitu : Saksi Juwari, Saksi Suwarto.

(16)

22

Saksi Penggugat Saksi Tergugat

1. Semua saksi penggugat yang dihadirkan ke persidangan menyatakan kenal secara langsung dengan penggugat. 2. Semua saksi penggugat yang

dihadirkan ke persidangan

mengetahui perihal

permasalahan yang sedang dialami penggugat.

3. Saksi 1, 2, dan 3 mengetahui asal usul perolehan tanah obyek sengketa. Mulai dari luas tanah, batas tanah, sampai mengenai siapa pemilik tanah sebelumnya saksi mengetahui. 4. Saksi 1, 2, 3, 4, 5, dan 7

mengetahui bahwa penggugat adalah pemilik dari tanah obyek sengketa.

5. Saksi 1, 2, 3, dan 5,

mengetahui proses

pembangunan rumah tersebut

dan mengetahui jika

penggugat yang membayar biaya pembangunan rumah. 6. Saksi 2, 3, dan 5 mengetahui

langsung proses pembanguna rumah karena saksi bekerja sebagai tenaga bangunan di rumah tersebut.

7. Saksi 6 Mengetahui perihal kejadian pengusiran penggugat oleh tergugat yang sudah dituangkan dalam dalil penggugat nomor 18. Saksi juga mengetahui bahwasanya tanah tersebut memang diatasnamakan tergugat, tetapi

dengan maksud untuk

diberikan kepada Rita Agutiningrum anak bungsu penggugat.

8. Saksi 7, 8, dan 9 merupakan teman dari Guntur anak penggugat dan mengetahui bahwa tanah tersebut sempat ditinggalli oleh guntur.

1. Semua saksi kenal dengan tergugat secara langsung dan

mengetahui perihal

permasalahan yang diahadapi tergugat.

2. Saksi 1 mengetahui bahwa tergugat adalah pemilik tanah obyek sengketa, sedangkan saksi 2 tidak mengetahui.

3. Saksi 1 merupakan ketua RT di lingkungan tempat tinggal tergugat. Saksi mengetahui proses pembanguna rumah, Namun saksi hanya mengenal 2 dari 10 orang tukang bangunan yang bekerja

membangun rumah yaitu

Parman dan Sadino. Saksi mengetahui bahwa Pak Tabri yang merupakan suami tergugat adalah orang yang membayar tukang bangunan yang bekerja, namun ketika diminta untuk menghadirkan Parman dan Sadino, Tegugat tidak dapat menghadirkan saksi.

(17)

23

Pertimbangan Hakim Putusan Hakim

Pertimbangan hakim mengacu pada 2 asas hukum. Yaitu :

1. Penyalahgunaan keadaan 2. Pembatalan hibah

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. 2. Menyatakan menurut

hukum perbuatan Tergugat dan Para Tergugat adalah melawan hukum.

3. Menyatakan menurut hukum Penggugat adalah pemilik sah atas tanah objek sengketa.

4. Menyatakan menurut hukum Penggugat berhak untuk membatalkan dan atau menarik kembali atas pemberian tanah objek sengketa.

5. Menghukum Tergugat untuk melepaskan dan menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat beserta sertipikat – sertipikat Tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan, luas ± 902 M2, an. lke dan Tanah HM. No.147 / Kel. Blotongan, luas ± 926 M2, an. Ike

6. Menghukum Tergugat dan Para Turut Tergugat atau siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan objek sengketa tersebut kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik tanpa syarat apapun.

7. Menolak gugatan

Penggugat untuk selain dan selebihnya.

(18)

24

C. Analisis

1. Kaidah Hukum Yang Digunakan Hakim dalam Pertimbangan

1.1. Penyalahgunaan Keadaan

Dalam memutus perkara ini hakim menggunakan teori penyalahgunaan keadaan.

Menimbang, bahwa dalam kaitannya dengan ajaran penyalahgunaan keadaan, Henry P. Panggabean, SH. MS. dalam bukunya yang berjudul ” Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van ombstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), terbitan Liberty, Yogyakarta, cetakan pertama tahun 2001, telah mengemukakan bahwa suatu perjanjian (perbuatan hukum) dapat dibatalkan jika terjadi penyalah gunaan keadaan (Pasal 3 : 44 lid 1). Nieuwenhuis Burgeleijk Wetoboek (NBW) mencantumkan 4 (empat) syarat - syarat penyalah gunaan keadaan, yaitu :

a. Keadaan - keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti : keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang wajar, dan tidak berpengalaman ;

b. Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), dimana disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian ;

c. Penyalahgunaan (misbruik), dimana salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya ;

d. Hubungan kausal (causaal verband), yang artinya tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup ;

Menimbang, bahwa menurut pendapat Prof. Mr. J.M. Van Dunne dalam sebuah Diklat Khusus Hukum Perikatan Bagian III, yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., yang dikutip oleh Henry P. Panggabean, SH.MS. dalam bukuya tersebut di atas, telah membedakan penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, dengan uraian sebagai berikut ini :

(19)

25

a. Persyaratan - persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan ekonomis :

1. Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain ;

2. Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian ; b. Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan

keunggulan kejiwaan :

1. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami istri, dokter pasien, pendeta jemaat ;

2. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya ;

Menimbang, bahwa dari doktrin hukum di atas, jika dihubungkan dengan fakta - fakta yang terungkap di persidangan, telah terbukti menurut hukum uang untuk membeli tanah serta pembangunan rumah ternyata berasal dari Penggugat dengan persyaratan tertentu bagi Tergugat untuk memperhatikan adik - adiknya dalam kepemilikan tanah obyek sengketa tersebut sehingga dalam hal ini eksistensi tanah obyek sengketa tersebut lebih merupakan suatu pemberian / hibah bersyarat dari Penggugat kepada Tergugat ;26

Menimbang, bahwa dalam perkara Aquo Majelis Hakim memandang terdapat penyalahgunaan keadaan dimana Penggugat mempercayai Tergugat sebagai anak sulung untuk menguasai tanah obyek sengketa yang diharapkan nantinya memperhatikan dan dapat menjadi panutan serta pengasuh adik - adiknya dan tidak menguasai tanah obyek sengketa seluruhnya hanya bagi dirinya sendiri ;

Menimbang, bahwa sikap Penggugat yang terlalu mempercayai Tergugat pada asasnya akibat keadaan Penggugat yang sangat mempercayai Tergugat sebagai anak sulung yang pada umumnya seorang anak sulung dapat menjadi pengayom bagi adik- adiknya namun pada kenyataannya Tergugat bersikap lain dengan tetap menguasai tanah obyek sengketa tanpa memperdulikan kepentingan /

26

(20)

26

hak adik - adiknya yang menurut hukum juga berhak atas tanah obyek sengketa dan sikap Tergugat dan Para Turut Tergugat yang tetap menguasai tanah obyek sengketa merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan norma kepatutan / kepantasan dalam masyarakat yang merupakan perbuatan melawan hukum (bandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1926/SIP/1982 tanggal 29 Maret 1983, dimana terdapat pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung yang dalam pertimbangannya menyebutkan Berdasarkan fakta tersebut hibah dilakukan Penggugat sebagai akibat penyalahgunaan keadaan yang sedang dimabuk cinta untuk kepentingan diri Tergugat. Penyalahgunaan keadaan adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat yang bertentangan dengan norma kepantasan di dalam hidup masyarakat Pancasila, terhadap kepentingan orang lain atau barang orang lain) ;27

Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam: (1) kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, (2) Kepala Adat dan penasihat agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 15 Ordonansi Adat bagi hukum yang tidak tertulis, (3) sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusanputusan yang terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara, (4) tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkutpautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu, Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas.28 Jika tidak diketemukan dalam

27

Ibid, hal 89 - 90

28

Abdul Manan,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

(21)

27

sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mernpergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Dalam kasus ini hakim melakukan sebuah penemuan hukum yang luar biasa menggunakan tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan. Asas Penyalahgunaan Keadaan dalam buku Henry S Panggabean menjadi kiblat hakim dalam aspek pertimbangan hukum ini.

Penulis berusaha mengali dan memahami asas penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini terkait tulisan Henry Panggabean yang digunakan hakim dalam pertimbangannya. Dalam tulisannya, Henry Panggabean mengutip pendapat Van Dunne yang berpendapat bahwa

“Dalam ajaran hukum, Pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian, sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau maksud bertentangan dengan Undang-undang, kebiasaan yang baik atau ketertiban.

Pengertian “sebab yang tidak dibolehkan” itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian.

Pada Penyalahgunaan keadaan, tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacad.”29

29 Van Dunne, Diktat Kursus Hukum Perikatan, yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno

(22)

28

Dapat dipahami bahwa penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak hanya oleh satu pihak. Dalam hal ini tindakan tergugat yang tidak mau menyerahkan tanah obyek sengketa kepada tergugat dimaknai penulis sebagai pernyataan kehendak sebagai satu pihak. Selanjutnya Van Dunne mengajukan pendapatnya bahwa tidaklah tepat menyatakan perjanjian yang terjadi di bawah pengaruh penyalahgunaan bertentangan dengan kebiasaan yang baik. Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya kontrak. Bahwa suatu perjanjian terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu tidak mempunyai pengaruh atas dibolehkan tidaknya sebab perjanjian itu.30

Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak : Menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas.31

Dari pendapat Van Dunne dapat dipahami bahwa penyalahguanaan keadaan terjadi karena adanya keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak hanya oleh satu pihak. Dalam kasus ini terjadi pernyataan kehendak oleh satu pihak. Yaitu penguasaan tanah obyek sengketa secara sepihak oleh tergugat.

1.2. Pembatalan Hibah Bersyarat

Menimbang, bahwa di dalam ketentuan Pasal 1688 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata telah disebutkan bahwa suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun

30 Henry Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk

Pembatalan Perjanjian. (Yogyakarta: Liberty, Edisi Revisi II, 2010), hal . 50.

(23)

29

dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal - hal yang berikut :

1. Karena tidak dipenuhi syarat - syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan.

2. Jika di penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.

3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.

Menimbang, bahwa selain dari ketentuan hukum di atas, suatu pemberian / hibah dapat pula dibatalkan apabila : 1. Penerima hibah tidak pantas menerima hibah

(durhaka, nakal) ;

2. Penerima hibah tidak mau menerima hibah ; 3. Penerima hibah menelantarkan barang hibah ; Menimbang, bahwa dalam hal hibah dibatalkan karena penerima hibah tidak pantas menerima hibah, yaitu dimana seorang penerima hibah adalah seorang anak yang durhaka atau tidak berbakti kepada orang tuanya yang telah memberikan hibah sebidang tanah dan / atau bangunan kepadanya namun setelah beberapa tahun menerima hibah anak tersebut menjadi tidak berbakti lagi kepada orang tuanya, sebagai contoh si anak tidak mau merawat orang tuanya yang sedang jatuh sakit atau tidak memberikan nafkah kepada orang tuanya. Oleh karena si anak itu menjadi tidak berbakti lagi kepada orang tuanya , maka orang tua dapat menarik kembali hibah yang telah diberikannya tersebut meskipun tidak disebutkan secara tertulis tentang perlakuan penerima hibah kepada pemberi hibah setelah menerima hibah ;

Menimbang, bahwa hibah dalam perkara ini adalah hibah bersyarat yang artinya si penerima hibah berkewajiban memelihara pemberi hibah selama ia masih hidup, akan tetapi syarat ini telah dilalaikan oleh penerima hibah ;

Menimbang, bahwa karena itu pemberi hibah berwenang untuk membatalkan “ hibah bersyarat “ tersebut (vide Putusan Mahkamah Agung No. 2588 / K / Pdt / 1984, tanggal 28 Juli 1986)32

(24)

30

Penulis tidak menjumpai pernyataan tentang hibah pada dalil penggugat. Secara mengejutkan pertimbangan hakim memuat tentang aspek pembatalan hibah. Mungkin pemberian penggugat kepada tergugat ini yang dimaknai sebagai hibah oleh hakim.

Pemberian yang diberikan oleh penggugat kepada tergugat sendiri dimaknai oleh penulis sebagai sebuah peristiwa hukum perjanjian yang mana pemberian tersebeut merupakan sebuah perjanjian. Perjanjian itu sendiri jika melihat kembali syarat sahnya sebuah perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata merupakan perjanjian yang sah. Karena semua syarat perjanjian sudah dipenuhi.

Pembatalan perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak dalam perjanjian yang merasa dirugikan. Suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan apabila:

1. Perjanjian yang di buat melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Ayat 1 dan 2 KUHPer, yaitu perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) antara lain karena kekhilafan, paksaan atau penipuan, atau karena ketidakcakapan pihak dalam perjanjian (ombekwaamheid), sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).

2. Perjanjian yang di buat melanggar syarat obyektif sahnya perjanjian sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1320 ayat 3 dan 4, perjanjian di buat tidak memenuhi syarat objek tertentu atau mempunyai causa yang tidak di perbolehkan seperti bertentangan dengan undang-undang,

(25)

31

ketertiban umum, dan kesusilaan, sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 KUHPer, syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Penuntutan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPer. Menurut Subekti, pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara aktif, yaitu langsung dengan menuntut pembatalan di muka hakim atau dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu33. Jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian adalah lima tahun. Selain itu, perjanjian yang dapat dibatalkan adalah harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Syarat diatas merupakan syarat yang harus dipenuhi terhadap perjanjian yang dapat di batalkan sedangkan bagi perjanjian yang batal demi hukum maka perjanjian tersebut tidaklah sah dan perjanjian dianggap tidak pernah ada.

33

(26)

32

Akibat hukum terhadap perjanjian yang dapat di batalkan adalah salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian. Perjanjian akan tetap mengikat para pihak apabila tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian, menuntut pemulihan bahkan hak untuk menuntut ganti rugi merupakan hak bagi para pihak yang merasa dirugikan, sedangkan pihak lainnya yang telah terlanjur menerima prestasi dari pihak lain wajib mengembalikannya. Sedangkan, akibat hukum terhadap perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan perjanjian dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi dari awal. Konsekuensi lanjutan dari pembatalan perjanjian adalah apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan apa yang telah diperolehnya maka pihak lain dapat mengajukan gugatan. Hal ini semata-mata untuk melaksanakan tujuan pembatalan yaitu mengembalikan keadaan sebagaimana semula sebelum perjanjian terjadi.

2. Analisis Terhadap Putusan Hakim

Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan

(27)

33

peristiwa/fakta yang konkrit.34 Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu.

Putusan hakim Menyatakan menurut hukum perbuatan Tergugat dan Para Tergugat adalah melawan hukum. Menurut penulis perbuatan yang dialkukan tergugat merujuk pada perbuatan melawan hukum. Sikap menguasai tanah obyek sengketa merupakan wanprestasi dari perjanjian pemberian yang dilakukan oleh penggugat kepada tergugat.

Putusan hakim selanutnya menyatakan menurut hukum Penggugat adalah pemilik sah atas tanah objek sengketa; Menurut penulis putusan hakim tepat karena penggugat dapat membuktikan bahwa penggugat adalah pembeli tanah tersebut melalui keterangan saksi dan juga surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggugat adalah orang yang membangun rumah tersebut. Dalam hal ini Hakim berhasil mengungkap fakta yang ada dalam persidangan.

Putusan hakim Menyatakan menurut hukum Penggugat berhak untuk membatalkan dan atau menarik kembali atas pemberian tanah objek sengketa SHM No. 146 /Blotongan dan SHM No. 147 / Blotongan yang telah dibalik nama atas nama Tergugat dari penguasaan Tergugat. Menurut penulis putusan tepat. Senyatanya penggugat memang berhak untuk menarik kembali pemberiannya sesuai dengan konsep perjanjian bersyarat pasal 1266 KUH Perdata, namun justru

34

(28)

34

hal ini tidak dikemukakan hakim di dalam pertimbangannya dan hakim lebih memilih asas pembatalan hibah.

Putusan hakim menghukum Tergugat untuk melepaskan dan menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat beserta sertipikat - sertipikat yang bersangkutan tanpa syarat apapun berupa :

Tanah HM. No. 146 / Kel. Blotongan, luas ± 902 M2, an. Lke Nawadyastuti, dengan batas - batas :

Sebelah Selatan : Jl. Fatmawati ; Sebelah Utara : Jl. Kampung ;

Sebelah Barat : Tanah HM No.147 / Blotongan an. Ike Nawadyastuti.

Sebelah Timur : Tanah kosong ;

Tanah HM. No.147 / Kel. Blotongan, luas ± 926 M2, an. Ike Nawadyastuti, dengan batas - batas :

Sebelah Utara : Jl. Kampung ; Sebelah Selatan : Jl. Fatmawati ; Sebelah Barat : Tanah Ibu Chandra ;

Sebelah Timur : Tanah HM No.146 / Blotongan an. Ike Nawadyastuti;

Putusan hakim tepat. Pada putusan ini hakim berhasil mengungkap fakta bahwa tanah obyek sengketa merupakan pemberian dari penggugat kepada tergugat. Oleh karena itu sesusai dengan ketentuan pasal 1266 KUH Perdata maka penggugatlah yang berhak atas tanah obyek sengketa ini.

(29)

35

Putusan hakim Menghukum Tergugat dan Para Turut Tergugat atau siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan objek sengketa tersebut kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik tanpa syarat apapun bilamana perlu meminta bantuan kepada aparat Kepolisian setempat untuk membantu pengosongan objek sengketa. Putusan tepat karena sesuai dengan dengan pernyataan Abdul Manan Hakim Agung RI menyatakan “Penuntutan

pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPer.” Oleh karena itu putusan hakim dinilai tepat oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila di tengah perjalanan/proses terdapat user/client lain yang melakukan akses, dan setelah dilakukan pemeriksaan otorisasi ternyata user/client tersebut bukanlah pemilik IP

Bila diinginkan mengirim sebuah file yang ada dalam sebuah komputer ke komputer yang lain, harus ada suatu jalur (data path) antara dua komputer tersebut, baik secara langsung

Penambahan bahan organik di tanah berpasir akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori

Pemilihan petugas Avsec terbaik bertujuan untuk menghasilkan bobot kriteria dan rangking alternatif Avsec terbaik, menentukan metode yang tepat guna menentukan

Pada penelitian ini asupan purin, vitamin C dan aktivitas fisik pada remaja laki-laki berhubungan terhadap kadar asam urat dengan arah korelasi

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui pada kawasan ini terdapat 48 jenis aves (burung), 10 jenis mamalia dan 7 jenis Raptil seperti yang terdapat pada Tabel 10

diterbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan