• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. Sektor Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4. Sektor Kesehatan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Sektor Kesehatan

(2)

Temuan Pokok

Secara umum, pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia masih rendah namun analisis pengeluaran

publik menunjukkan bahwa masalah utama dalam sektor kesehatan adalah alokasi sumber daya yang tidak merata dan tidak efisien.

Saat ini, pengeluaran sektor publik melalui subsidi regresif layanan kesehatan sekunder pada dasarnya lebih banyak menguntungkan masyarakat kaya daripada masyarakat miskin. Hal ini

dikarenakan penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap layanan rumah sakit umum, sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan anggaran yang telah disalurkan untuk layanan kesehatan yang bersifat sekunder.

Peranan sektor swasta dalam sistem layanan kesehatan Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dasawarsa belakangan ini. Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan sudah terlibat

dalam pemberian layanan kesehatan baik untuk publik maupun swasta. Meskipun sudah terdapat kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, akses terhadap layanan dan kualitas layanan masih rendah, dan masyarakat miskin masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta.

Jumlah relatif dokter dan perawat sebagai proporsi dari jumlah penduduk di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Rata-rata jumlah dokter dan

perawat di tingkat nasional mencakup angka disparitas yang cukup besar terkaitan dengan penyediaan tenaga kesehatan di daerah, meskipun belum tentu didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah.

Rekomendasi Utama

Pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena total pengeluaran nasional jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pengeluaran di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Saat ini Indonesia masih

menggunakan kurang dari sepertiga anggaran sektor kesehatan yang telah digunakan Filipina, negara yang berada di urutan kedua terendah dalam pengeluaran kesehatan untuk kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, fokus pertama sebaiknya diarahkan pada efisiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan.

Kesenjangan harus dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Hal ini dapat ditempuh dengan meningkatkan

alokasi DAK dengan sasaran kabupaten/kota yang miskin dan kurang mendapatkan layanan, dan investasi pada sisi permintaan, misalnya dengan memperkenalkan program kupon kesehatan, yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.

Prioritas sebaiknya diarahkan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai komnbinasi investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban ganda penyakit (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai berbagai penyakit baru

(seperti HIV/AIDS dan flu burung).

Sektor publik harus memainkan peran yang lebih besar dalam mengarahkan sistem kesehatan secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia kesehatan sektor

swasta. Hal ini akan membantu dalam menjamin kualitas layanan kesehatan swasta.

Pemerintah perlu melakukan identifikasi untuk menentukan kombinasi yang benar dalam pelaksanaan koordinasi dan penerapan ketentuan yang menjamin pemerataan distribusi layanan kesehatan beserta sumbr daya manusianya terutama dokter, sehingga efisiensi investasi untuk tenaga

kesehatan dapat ditingkatkan.

(3)

Kemajuan dan Tantangan pada Sektor Kesehatan

Meningkatkan kesehatan publik merupakan tantangan bagi pemerintah pusat dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tingkat kesehatan yang lebih baik bukan saja merupakan dimensi kunci keberhasilan penurunan angka

kemiskinan, namun juga merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Berjangkitnya suatu penyakit dan tingkat kesehatan yang buruk sebagian besar terjadi pada penduduk miskin, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan yang mengakibatkan mereka tidak mampu mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, walaupun sebenarnya penyembuhan terhadap masalah kesehatan mereka sudah tersedia. Sebagai contoh, penyebab utama dari kematian bayi adalah penyakit gangguan pernafasan, tifus, dan diare. Penyakit-penyakit seperti ini dapat disembuhkan dengan mudah, oleh karena itu akses terhadap layanan kesehatan ini sebaiknya tersedia luas. Peningkatan kinerja layanan kesehatan merupakan faktor terpenting untuk mendorong perbaikan kualitas kesehatan publik khususnya bagi penduduk miskin.

Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi masalah kesalingterkaitan (nexus) antara kesehatan dan kemiskinan dengan memfokuskan agenda mereka pada sejumlah isu utama. Hal ini meliputi (i) peningkatan akses

terhadap layanan kesehatan bagi kelompok penduduk yang kurang beruntung, (ii) pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, (iii) penanggulangan masalah gizi buruk dengan fokus pada anak balita dan wanita hamil, dan (iv) perbaikan pengadaan stok obat-obatan generik (RPJM RKP, 2006). Perkembangan dalam rangka pencapaian tujuan ini dipantau melalui 12 target spesifik yang harus tercapai pada tahun 2007 (Kotak 4.1).

Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan, 2007 • Layanan kesehatan gratis di Puskesmas dan layanan Kelas 3 di rumah sakit 100 persen untuk keluarga miskin. • Imunisasi Anak Universal (UCI) menjangkau 92 persen lebih tinggi di desa.

• Angka persentase deteksi kasus TBC di atas 70 persen.

• 100 persen penderita demam berdarah (DBD) menerima perawatan. • 100 persen pasien malaria menerima perawatan.

• Angka persentase fatalitas kasus diare selama KLB (peristiwa luar biasa) menurun sampai 1,3 persen. • 100 persen orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) menerima perawatan ARV.

• 85 persen wanita hamil mengkonsumsi tablet Fe. • 60 persen bayi menerima ASI eksklusif.

• Peningkatan persentase anak balita yang mengkonsumsi Vitamin A mencapai 80 persen.

• Peningkatan persentase distribusi produk makanan yang memenuhi persyaratan keselamatan mencapai 70 persen. • Perluasan lingkup pemeriksaan fasilitas produksi dalam konteks produksi obat-obatan (CPOB) mencapai 45 persen Sumber: Pemerintah Indonesia, RKP 2006,

Selama bertahun-tahun, tekad pemerintah untuk sektor kesehatan telah memberikan kemajuan yang cukup besar dalam mengurangi angka kematian bayi dan anak. Misalnya, angka kematian bayi (IMR) turun dari 46 per

1.000 bayi pada tahun 1997 (IDHS 1997) menjadi 35 per 1.000 bayi pada tahun 2003 (IDHS 2002-03) dan Indonesia

sudah hampir mencapai target “Tujuan Pembangunan Milenium” (MDG)54 untuk IMR (33 kematian untuk setiap 1.000

kelahiran sampai tahun 2015).

Penempatan bidan di berbagai daerah mendorong terjadinya perbaikan gizi anak pada akhir tahun 1990-an, tetapi akhir-akhir ini angka persentase gizi buruk kembali meningkat. Pada tahun 1990-1990-an, sebanyak 50.000

bidan ditugaskan di seluruh Indonesia untuk meningkatkan akses terhadap layanan kebidanan. Para bidan ini memiliki dampak positif yang cukup besar terhadap status gizi anak-anak. Anak-anak yang lahir di desa dengan bantuan bidan

rata-rata mengalami masalah gizi buruk lebih ringan daripada anak-anak desa yang lahir tanpa bantuan bidan.55

Walaupun prestasi ini sudah dicapai, namun masalah gizi buruk muncul kembali antara tahun 2002 dan 2003 karena

alasan yang belum diketahui.56

54 Target MDG untuk menurunkan angka kematian anak diukur dengan tiga indikator, yaitu: (i) angka kematian balita; (ii) persentase anak-anak di bawah satu tahun yang memperoleh imunisasi campak, dan, (iii) angka kematian bayi. Pada angka persentase kematian bayi, angka ini perlu diturunkan sebesar dua per tiga antara tahun 1990 dan 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Laporan tentang MDG, 2004).

55 Frankenberg, 2004. 56 Abreu, 2005.

(4)

Dengan tren yang ada saat ini dan lemahnya peran pemerintah di bidang kesehatan ibu hamil (maternal health), Indonesia sepertinya tidak akan berhasil mencapai standar MDG untuk penurunan angka kematian ibu di masa persalinan atau sesudahnya (maternal mortality).57 Angka kematian ibu hamil ini belum mengalami perubahan sejak dulu. Risiko kematian selama masa persalinan atau pasca persalinan masih cukup tinggi untuk

Indonesia dengan rasio angka kematian (mortality rate) sebesar 307 per 100.000 kelahiran.58 Ini menunjukkan bahwa

perempuan yang memiliki empat anak akan memiliki nilai probabilitas persentase angka kematian sebesar 1,23 persen sebagai akibat dari kehamilan mereka. Indonesia bahkan merupakan negara yang cukup memprihatinkan jika ingin membandingkan angka kematian ibu hamil karena angka kematian ibu hamil di Indonesia enam kali lebih tinggi daripada di Cina (50) dan 10 dan 15 kali lebih tinggi masing-masing dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia (36 dan 20). (Tabel 4.1).

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki kondisi yang buruk berdasarkan atas angka pengukuran tingkat kesehatan yang paling mendasar sekali pun. Misalnya, dalam hal angka kematian dan usia

harapan hidup, peringkat Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia Timur dan masih berada di peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga (terutama Malaysia) dengan angka perbedaan yang cukup besar. Indonesia juga terus-menerus menduduki peringkat paling bawah untuk pemberian vaksinasi campak di kawasan Asia Tenggara, yang menunjukkan adanya kelemahan dalam tindakan pencegahan. Situasi ini semakin memburuk terutama akibat krisis ekonomi dengan angka persentase vaksinasi yang menurun dari 80 persen menjadi 70 persen pada tahun 2001. Angka persentase ini sekarang sudah stabil pada angka sekitar 73 persen, sebuah angka yang sangat rendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Perbedaan dalam hasil pelayanan ini akan stabil meski telah diperhitungkan dengan angka PDB per kapita. Vietnam, walaupun memiliki PDB yang lebih rendah, memiliki nilai yang lebih baik pada hasil pelayanan lain, sementara Filipina, dengan PDB sedikit lebih tinggi memiliki peringkat yang lebih baik untuk segala bentuk pelayanan (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan, 2004 PDB per kapita (AS$) Usia harapan hidup (tahun) Angka kematian kasar Angka Kematian Bayi Angka Kematian

Balita Angka DPT Campak

Angka Kema-tian Ibu Hamil Persalinan dgn. Bantuan petugas kesehatan terlatih Indonesia 906 67.4 7.3 34.7* 45.7* 70 72 307* 72 Kamboja 350 56.6 11 95* 124.4* 85 80 437* 31.8* Malaysia 4,290 73.5 4.7 10.2 12.4 99 95 20** 97 Vietnam 502 70.3 6.1 23.6* 66.7* 96 97 95 90 Thailand 2,356 70.5 7.2 18.2 21.2 98 96 36 Na Filipina 1,085 70.8 5 28.7* 39.9* 79 80 172** 60 India 538 63.5 8.3 61.6 85.2 64 56 540 Na China 1,323 71.4 6.4 26 31 91 84 50 96 Asia Timur 1,254 70.3 6.6 29.2 36.8 86.6 82.5 Na 86.1

Sumber: WDI, UNDP dan DHS.

Catatan: IMR: Angka Kematian Bayi; U5MR: Angka Kematian Balita; MMR: Angka Kematian Ibu Hamil.Untuk Perkiraan dengan * sumber untuk perkiraan dengan ** sumber data data adalah DHS adalah UNDP. Data mengenai Nagka Kematian Ibu yang terbaru yang tersedia adalah data untuk 2003 (World Bank 2006g). Data mengenai jumlah persalina yang dibatu tenaga kesehatan terlatih tersedia untuk tahun 2003-2004.

57 Tujuan Pembangunan Milenium untuk Kesehatan Ibu menunjukkan bahwa negara seharusnya mampu mengurangi rasio angka kematian ibu hamil sampai tiga perempat. Lihat: http://www.un.org/millenniumgoals/.

Walaupun MMR tampaknya menurun, perkiraan tidak cukup dapat dipercaya untuk mengatakan hal ini secara pasti. Perkiraan data MMR pada periode tahun 1990-94 adalah 390/100.000, untuk periode tahun 1994-98 adalah 334/100.000, dan untuk periode tahun1998-2002 adalah 307/100.000. Tetapi akibat kesalahan sampel yang tinggi sekitar 95 persen, interval keyakinan ketiga perkiraan itu menjadi tumpang tindih. Masih terdapat tingkap tumpang tindih sebesar 67 persen interval. Hal ini mungkin akan menunjukkan penurunan dramatis, peningkatan atau tidak ada perubahan sama sekali.

Akan tetapi, penurunan ini sepertinya tidak menunjukkan peningkatan mengingat peningkatan proksi MMR – peningkatan jumlah bidan terlatih, penurunan anemia pada ibu, dan peningkatan lembaga persalinan. Penurunan yang tajam sepertinya tidak akan terjadi mengingat mengingat tingginya angka persalinan yang dilakukan di rumah.

58 Perkiraan ini berasal dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002 (IDHS) dan berdasarkan laporan kematian selama periode tahun 1998 - 2002.

(5)

Angka kematian balita di Indonesia telah menurun, tetapi angka itu masih tinggi dibandingkan dengan sebagian negara di Asia, di rasio angka 46 per 1.000. Selanjutnya, angka kematian balita pada penduduk miskin

hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian balita pada penduduk kaya.

Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita, 2004

12 18,2 26 28,7 34,7 23,6 61,6 95 39,9 66,7 124,4 85,2 45,7 14,1 31 21,2 0 20 40 60 80 100 120 140

Sri Lanka Thailand China Filiphina Indonesia Vietnam India Kamboja Angka kematian, bayi (per 1,000 kelahiran hidup) Angka Kematian, Balita (per 1,000)

Source: WDI, DHS and UNDP.

Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada 2005

Pada bulan Maret 2005, seorang bayi berumur 20 bulan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tiba-tiba lumpuh sebagai akibat dari infeksi virus polio. Sejak Maret 2005, sejumlah 303 anak-anak telah lumpuh akibat penyebaran virus polio di Indonesia. Berdasarkan data statistik, daerah cakupan imunisasi untuk bayi masih tetap tinggi, tetapi hal ini telah menutup kantong-kantong yang memiliki daerah cakupan yang rendah. Akan tetapi, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka persentase imunisasi jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam data statistik Dinas Kesehatan. Penurunan secara umum dari daerah cakupan imunisasi (termasuk polio) sebagai akibat dari pelaksanaan sistem desentralisasi merupakan penyebab utama dari kembalinya kasus polio di Indonesia.

Tanggapan:

Dua kampanye vaksinasi dan tiga putaran Hari Imunisasi Nasional (NID) telah dimulai pada bulan Mei 2005. Putaran terakhir dilaksanakan pada November 2005. Karena juga terdeteksi virus ganas yang baru pada waktu itu, program imunisasi khusus dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2006 di 57 kabupaten/kota, dengan target sebanyak 4,5 juta anak balita, program imunisasi keempat dan lima dilaksanakan pada bulan Februari dan April 2006.

Tantangan bagi Pemerintah:

1. Meningkatkan dan mempertahankan daerah cakupan imunisasi secara umum dan melakukan observasi mengenai indikator utama penyebab polio.

2. Meningkatkan kecermatan data statistik untuk mencerminkan daerah cakupan yang sebenarnya sehingga daerah-daerah yang memerlukan upaya lebih keras dapat diidentifikasi.

Source: Unicef, 2005.

Data nasional menutupi keragaman rasio angka hasil pelayanan kesehatan yang tersebar di setiap daerah.

Misalnya, penduduk miskin di Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat memiliki angka kematian pasca persalinan (post-neonatal) yang besarnya lima kali lebih tinggi daripada provinsi-provinsi yang paling berhasil di Indonesia. Ketidakseimbangan rasio angka kematian balita serupa juga terjadi di beberapa wilayah. Sebagian besar provinsi menunjukkan angka yang lebih rendah, atau hanya sedikit lebih tinggi dari 40 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran, hanya sembilan provinsi yang memiliki tingkat di atas 60. Bahkan tingginya angka kematian balita untuk Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo mencapai sekitar 90 sampai 100 (Diagram 4.2).

(6)

Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03 0 20 40 60 80 100 120 ila B y g o Y kaa tr a al u S s we i Utara K D a I J a ktra Jawa Tengahngk a B aBetil g n u m ila K tn a n Tengah a u Sm tera Selatan a Jawa Barat a Jm ib m ila K tn a n Tim ur a Jawa Ti mur tn a B n e m ila K tnn Selatan a a Sum tera Utara a Sum atera Barat iRau Kilam tn a n Barat a am g L n u p ngk e B luu alu S wes i Tengah al u S s wei Utarargga n e T as u N a Tim ur al u S wsi Tenggar a e tn or o G lao ra g g n e T as u N a Barat

Kematian Bayi Kematian Balita

Sumber: 2002-03, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia.

Selama lebih dari satu dasawarsa, kasus-kasus penyakit yang memberatkan masyarakat telah bergeser, yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa transisi epidemiologis. Sebagian besar penyakit

menular adalah penyakit-penyakit seperti tuberkulosis, infeksi akut saluran pernafasan, malaria, dan diare. Namun demikian, penyakit tidak menular, terutama penyakit jantung kardiovaskuler, secara perlahan menggantikan posisi penyakit menular ‘tradisional’ sebagai penyebab kematian terbesar saat ini. Antara tahun 1992 dan 2001, total kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung kardiovaskuler telah meningkat sebesar 10 persen dari 16 menjadi 26,4 persen. Infeksi akut saluran pernafasan dan TBC merupakan penyebab kematian terbesar berikutnya (masing-masing 15 dan 11 persen) (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional dan Survei Kesehatan Nasional, 1992, 1995, 2001). Indonesia sedang menghadapi kasus-kasus penyakit berat yang telah meningkat dua kali lipat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan usia tua, sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan jenis layanan kesehatan yang diperlukan di masa depan.

Di samping itu, Indonesia juga sedang menghadapi munculnya epidemi ‘baru’ dengan munculnya kasus-kasus penyakit seperti flu burung dan HIV/AIDS. Epidemi HIV/AIDS kini sedang berada di persimpangan jalan

seiring dengan meningkatnya pemerataan berjangkitnya epidemi ini di antara kelompok berisiko tinggi (mis., pekerja seks dan pengguna narkoba suntik) dan populasi di Papua, sementara upaya untuk mencegah penularan penyakit ini masih sangat terbatas. Sehubungan dengan kasus flu burung, data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan korban. Oleh karena itu, upaya penanganan dan pencegahan sebaiknya ditingkatkan secara terpadu dan terkoordinir. Secara keseluruhan, epidemi baru ini merupakan tantangan baru pada sektor kesehatan terkait dengan kegiatan observasi penyakit, kontrol, dan imunisasi.

Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia

Pengeluaran publik pada sektor kesehatan telah meningkat cukuo besar sejak tahun 2001,62 dari Rp 9,3 triliun menjadi Rp 16,7 triliun pada tahun 2004, yang merupakan peningkatan nyata sebesar 44 persen (Tabel 4.2). Selanjutnya, alokasi anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan kenaikan sebesar 25 persen dibandingkan pengeluaran pada tahun 2005, ketika pengeluaran saat itu sekitar Rp 22 triliun. Dibandingkan dengan jumlah total pengeluaran secara nasional, maka pengeluaran untuk sektor kesehatan juga meningkat dari 2,6 persen pada tahun 2001 menjadi 3,8 persen pada tahun 2004. Akan tetapi, jika dilihat dari angka persentase dari PDB maka pengeluaran di sektor kesehatan masih rendah karena hanya meningkat dari 0,55 persen menjadi 0,73 persen pada periode yang sama.

62 Sebelum krisis, pengeluaran untuk sektor kesehatan tidak mengalami peningkatan yang serupa dan dari tahun 1994 sampai tahun 2001 sektor ini hanya tumbuh rata-rata 5 persen per tahun. Tren pengeluaran yang kita lihat sejak 2001 masih merupakan fenomena baru.

(7)

Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan di, 2001-07

(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Pengeluaran nominal tingkat nasional sektor kesehatan 9.3 10.6 16.0 16.7 22.0 31.5 38.6 Pengeluaran riil tingkat nasional sektor kesehatan (2001=100) 9.3 9.8 13.4 13.2 15.6 19.8 22.8 Tingkat pertumbuhan tahunan pengeluaran riil nasional sektor kesehatan (%) 28.1 2.7 41.4 -1.8 19.4 26.7 15.4 % pengeluaran sektor kesehatan dari Total Pengeluaran Nasional 2.6 3.1 4.0 3.8 4.1 4.5 4.9 % PDB pengeluaran nasional sektor kesehatan 0.55 0.57 0.78 0.73 0.81 0.95 1.09 Nominal pengeluaran keseluruhan secara nasional 353.6 337.6 405.4 445.3 535.8 698.2 785.4 Keseluruhan pengeluaran riil tingkat nasional (2001=100) 353.6 301.8 339.9 351.6 382.9 442.4 468.3 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD.

Catatan: * Angka-angka anggaran untuk 2006 dan ** perkiraan untuk 2007. Diagram 4.3 Tren pengeluaran sektor kesehatan, 1997-2007

-5 10 15 20 25 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

p triliun; harga konstan di tahun 2001R

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 % dari PDB

Pengeluaran Kesehatan Nasional Riil (100=2001) Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai % dari PDB Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan data dari DepKeu,

Perbandingan wilayah negara untuk tingkat pengeluaran di sektor kesehatan menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran Indonesia masih jauh di bawah tingkat pengeluaran negara-negara tetangga di Asia Timur, dengan tingkat kurang dari 1 persen dari PDB dan hanya 4,5 persen dari jumlah total pengeluaran untuk sektor kesehatan. Negara lain, bahkan negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah seperti Filipina

mengeluarkan sekitar 3 persen dari PDB mereka untuk kesehatan publik. Terkait dengan pengeluaran untuk sektor ini sebagai bagian dari total pengeluaran, sekali lagi Indonesia tertinggal di belakang Filipina, di mana hampir sebanyak 6 persen dari total sumber daya pemerintah dikeluarkan untuk sektor kesehatan. Angka-angka ini akan lebih mengejutkan lagi ketika memperhitungkan angka kematian bayi. Indonesia memiliki angka kematian bayi yang lebih tinggi untuk per 1.000 kelahiran, namun pengeluaran sangat kecil dibandingkan dengan negara yang memiliki

angka kematian lebih rendah.63 Tingkat pengeluaran untuk kesehatan dan indikator kesehatan menunjukkan bahwa

Indonesia belum memberikan prioritas pengeluaran untuk sektor ini, atau belum memperoleh hasil yang dibutuhkan untuk mencapai target MDG.

63 Banyak buku maupun jurnal belakangan ini, meskipun masih sangat terbatas, yang menunjukkan bukti-bukti adanya korelasi positif antara pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan dan hasil pelayanan kesehatan seperti IMR dan MMR (lihat Gottret, Gai dan Bokhari, 2006). Akan tetapi, sampai dengan saat ini hubungan itu tidak terbukti dan hilangnya hubungan itu dapat dijelaskan oleh adanya tiga faktor: (i) peningkatan pengeluaran publik untuk sektor kesehatan mungkin akan menyebabkan penurunan tingkat pengeluaran swasta untuk sektor ini (sebuah keluarga mungkin akan mengalihkan dana mereka untuk pengeluaran lain daripada untuk kesehatan jika pemerintah telah menyediakan layanan kesehatan dasar yang bagus); (ii) peningkatan pengeluaran pemerintah dapat ditujukan pada upaya margin intensif daripada margin ekstensif; dan (iii) bahkan jika dana tambahan digunakan untuk layanan kesehatan (penyediaan layanan, staf, dan barang keperluan yang lebih banyak), jika layanan pelengkap (seperti jalan raya) tidak disediakan maka dampak yang timbul mungkin akan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali). (lihat Musgrove 1996 untuk tinjauan sejumlah bukti; Wagstaff, 2002, untuk dampak dari layanan pelengkap; Jalal dan Ravallion, 2003, untuk penggunaan peningkatan pengeluaran dalam sektor kesehatan; dan Anand dan Ravallion, 1993; Bidani dan Ravallion, 1997, Filmer dan Pritchett, 1999; dan Wagstaff, 2004.)

(8)

Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR 0 .7 3 0 .9 5 3 .2 3 .8 4 .5 5 .9 3 .8 3 .3 6 .9 13 .6 34.6 28.7 10.2 18.2 0 2 4 6 8 1 0 1 2 1 4 1 6

Indon esia 2004 Indonesia 2006

(anggaran) Filliphina Thailand M ala y sia

0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0

Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai persen dari PDB

P e n g e l u a r a n K e s e h a t a n S e c a r a U m u m s e b a g a i % d a r i T o t a l P e n g e l u a r a n P e m e r i n t a h

% dari Pengeluaran Nasional

Angka Kematian Bayi

Sumber: Indikator Pembangunan Dunia 2006 dan Perhitungan staf Bank Dunia.

Komposisi ekonomi dan tingkat pemerintahan

Peningkatan pengeluaran publik secara keseluruhan untuk sektor kesehatan yang terjadi akhir-akhir ini didorong secara ekslusif oleh pengeluaran pembangunan. Pengeluaran di tingkat pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota tumbuh masing-masing sebesar 42, 36, dan 46 persen. Pengeluaran pembangunan meningkat tajam setelah tahun 2001, sementara pengeluaran rutin secara absolut tetap sama; penurunan dalam jumlah kecil di tingkat pemerintah pusat dan provinsi diimbangi dengan kenaikan di tingkat kabupaten/kota dan pengeluaran rutin bahkan menurun dari total pengeluaran untuk setiap tingkat pemerintahan (Tabel 4.3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran untuk sektor kesehatan semata-mata disebabkan oleh kenaikan dalam pengeluaran pembangunan.

Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan

(Rp triliun) 2001 % 2002 % 2003 % 2004 % 2005* % 2006* % Pemerintah Pusat 2.8 34 2.3 27 4.3 36 4.0 33 5.7 41 7.3 41 Pembangunan 2.1 74 2.0 84 4.0 92 3.5 89 -- -- -- --Rutin 0.7 26 0.4 16 0.3 8 0.4 11 -- -- -- -- Provinsi 1.6 19 1.9 22 2.1 18 2.1 18 2.3 16 2.8 16 Pembangunan 0.5 33 0.7 39 1.1 52 1.2 58 -- -- -- --Rutin 1.1 67 1.2 61 1.0 48 0.9 42 -- -- -- -- Kabupaten/kota 3.9 47 4.3 50 5.6 47 5.7 49 6.1 43 7.6 43 Pembangunan 1.1 28 1.1 25 2.2 39 2.2 39 -- -- -- --Rutin 2.8 72 3.2 75 3.4 61 3.5 61 -- -- -- --

Total Pengeluaran di tingkat nasional 8.3 100 8.5 100 12.0 100 11.8 100 14.1 100 17.7 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.

Catatan: * Pengeluaran provinsi dan Kabupaten/kota berdasarkan transfer dana pendapatan, juga diprediksi berdasarkan pengeluaran tahun sebelumnya. Harga konstan tahun 2004.

Pada tahun 2004, sebagian besar sekitar 70 persen pengeluaran untuk sektor kesehatan dilakukan di daerah dan kebanyakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota pengeluaran berjumlah 73 persen

dari total pengeluaran, sementara pengeluaran untuk tingkat provinsi hanya berjumlah 27 persen. Pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan yang berbeda pada dasarnya tidak mengalami perubahan sejak pelaksanaan sistem desentralisasi. Pemerintah kabupaten/kota menggunakan sekitar setengah dari seluruh pengeluaran untuk sektor publik, sementara sepertiga digunakan oleh pemerintah pusat dan sisanya oleh pemerintah provinsi (lihat Tabel 4.3dan Diagram 4.5).

(9)

Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007* pR milia

r Pengeluaran KesehatanPemerintah Pusat

Pengeluaran Kesehatan Pemerintah Daerah Pengeluaran Kesehatan

Pemerintah Provinsi

Meskipun pemerintah kabupaten/kota mengelola sekitar setengah dari total anggaran, pengeluaran ini merupakan pengeluaran rutin yang tidak dapat digunakan sesukanya (non-discretionary).

Selanjutnya, walaupun pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal memindahkan tanggung jawab kesehatan dari pemerintah pusat ke daerah, namun sebagian besar anggaran pembangunan masih secara langsung digunakan oleh pemerintah pusat. Sementara itu, sejak tahun 2001, pemerintah kabupaten/kota hanya memperoleh sekitar sepertiganya (Tabel 4.3). Hal ini tampaknya cukup mengejutkan karena pemerintah daerah hanya memiliki hak yang sangat kecil untuk mengelola dana kesehatan warganya.

Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan – pengeluaran pembangunan vs. pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

2001 (%) 2002 (%) 2003 (%) 2004 (%)

Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) 3.7 3.8 7.2 7.0

Pemerintah pusat 56 52 55 50

Provinsi 14 20 15 18

Kabupaten/kota 30 29 30 32

Total Pengeluaran rutin (Rp triliun) 4.6 4.7 4.8 4.8

Pusat 16 8 7 9

Provinsi 23 24 21 18

Kabupaten/kota 61 68 72 73

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu. Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, tahun 2004

12 13 14 15 16 12 13 14 15 16 Pengeluaran Kesehatan (ol ,g cp )

Pendapatan Daerah(l og, pc)

Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di sektor kesehatan tampaknya akan ditentukan oleh total penerimaan, dan bukan oleh kebutuhan di sektor kesehatan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dapat

meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran untuk sektor kesehatan, karena pemerintah kabupaten/ kota memiliki peluang untuk menyesuaikan layanan dan pengeluaran agar lebih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan penduduk setempat. Akan tetapi, analisis pola pengeluaran kesehatan antar pemerintah kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat penerimaan dan pengeluaran; makin tinggi pendapatan pemerintah kabupaten/kota, makin tinggi pula tingkat pengeluarannya. Hampir tidak ada perbedaan pada tingkat pengeluaran kabupaten/kota di sektor kesehatan, walaupun terdapat perbedaan yang cukup besar di tingkat provinsi untuk hasil pelayanan kesehatan. Secara teoritis, kabupaten/kota memiliki wewenang untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran di sektor kesehatan. Akan tetapi, kenyataannya lembaga kesehatan dan pemerintah daerah sering menunggu petunjuk dari pemerintah pusat tentang bagaimana mereka semestinya menggunakan berbagai sumber daya yang mereka miliki tersebut.

(10)

Pengeluaran memang dapat meningkatkan hasil pelayanan kesehatan akan tetapi sama pentingnya adalah untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan kesehatan dan lembaga kesehatan. Dalam suatu penelitian

yang melibatkan 57 negara, Wagstaff dkk., menyimpulkan bahwa kualitas kebijakan dan lembaga kesehatan yang diukur berdasarkan Indeks Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan (Country Policy and Institutional Assessment/ CPIA) sangat berpengaruh terhadap dampak peningkatan pengeluaran terhadap hasil pelayanan kesehatan. Untuk negara yang memiliki skor rendah antara 1 atau 2, peningkatan hasil pelayanan kesehatan tidaklah besar. Untuk negara seperti Indonesia dengan skor 3,6, peningkatan anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari PDB dapat mengurangi MMR sampai 7 persen, sementara perubahan angka kematian balita, TBC, dan imunisasi tidak akan besar. Dukungan lebih mendalam untuk melakukan perbaikan pada: (1) alokasi pengeluaran; (2) target geografis, proyek, populasi, dan penargetan secara “bottleneck”, dan; (3) akuntabilitas penyedia layanan kesehatan, akan membantu meningkatkan efisiensi pengeluaran, yang merupakan langkah awal bagi pengeluaran kesehatan untuk dapat berdampak positif terhadap hasil pelayanan kesehatan.

Alokasi Ekonomi untuk pengeluaran sektor kesehatan

Sebagian besar pengeluaran rutin di tingkat daerah, terutama pengeluaran untuk gaji pegawai, makin lama akan makin menggeser (crowded out) pengeluaran untuk pengadaan barang, pengeluaran operasional, dan pemeliharaan (Tabel 1.5). Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menggunakan pengeluaran rutin dalam jumlah

yang cukup besar untuk gaji pegawai yaitu masing-masing sekitar 82 dan 66 persen, dan sebagian besar dari sisa anggaran dialokasikan untuk pengeluaran pengadaan barang. Akan tetapi, pengeluaran untuk pengadaan barang telah menurun baik secara riil maupun secara nominal. Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pengadaan barang menurun sampai 12 persen, sementara di tingkat provinsi pengeluaran untuk pengadaan barang menurun hampir sepertiganya. Dengan melakukan analisis pengeluaran rutin berdasarkan klasifikasi ekonomi menunjukkan bahwa baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi tidak mengalokasikan jumlah dana yang cukup untuk pengeluaran operasional dan pemeliharaan. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat pemeliharaan dan adanya permasalahan di bidang pengawasan yang memadai, terutama di tingkat masyarakat, tempat dilaksanakannya kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan. Walaupun tingkat pengeluaran pemerintah daerah cukup besar untuk sektor kesehatan, sebenarnya ruang gerak fiskalnya sangat sempit dan sebagian besar pengeluaran rutin mereka, yaitu sebesar 82 persen digunakan untuk pengeluaran gaji.

Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

Kabupaten/kota Provinsi

2002 % 2003 % 2004 % 2002 % 2003 % 2004 %

Gaji 3,182 70 3,850 79 4,081 82 847 52 887 61 818 66

Barang 779 17 640 13 683 14 515 31 334 23 353 28

Kegiatan Operasional dan

Pemeliharaan 119 3 116 2 115 2 62 4 64 4 59 5

Perjalanan dinas 28 1 47 1 49 1 8 1 12 1 14 1

Lain-lain 421 9 215 4 56 1 207 13 147 10 5 0

Total Pengeluaran Rutin 4,528 100 4,869 100 4,984 100 1,639 100 1,444 100 1,248 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.

Catatan: Angka dalam tabel selain persen, dalam Rp miliar. Harga konstan tahun 2004.

Alokasi fungsional terhadap pengeluaran

Berkaitan dengan alokasi fungsional pengeluaran sektor kesehatan, program yang memerlukan bagian terbesar dari anggaran adalah program ‘kesehatan publik’ dan program ‘kesehatan perorangan atau pribadi’. Kedua program ini merupakan program kesehatan utama pemerintah pusat meskipun tidak banyak yang

dapat diketahui mengenai program tersebut. Biasanya, program ‘kesehatan publik’ berfokus pada penyediaan pusat kesehatan masyarakat dan klinik yang terkait lainnya, pembangunan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas keliling, dan bidan desa, sementara ‘program kesehatan perorangan’ berfokus pada penyediaan layanan di rumah sakit. Kedua program ini secara bersama-sama mencapai sekitar 50 persen dari program kesehatan pemerintah

(11)

pusat. Program penting lainnya terkait dengan manajemen dan administrasi. Program yang sifatnya upaya pencegahan hanya berjumlah sekitar 12 persen dan program kebersihan dan sanitasi hanya sekitar 3,2 persen dari seluruh anggaran. Program gizi dan pasokan obat-obatan hanya mencapai 4 persen dari anggaran kesehatan pemerintah pusat.

Sebagian besar dari berbagai program tersebut di atas diklasifikasikan sebagai intervensi kesehatan yang bersifat preventif. Anggaran untuk peran pemerintah ini dibedakan dalam tiga kategori utama, yakni: penyembuhan,

pencegahan, dan operasional. Sebagian besar peran tersebut merupakan upaya pencegahan, walaupun di dalamnya masih mengandung upaya penyembuhan, mengingat bahwa 20 persen anggaran peran pemerintah yang bersifat upaya penyembuhan sepertinya masih dianggap rendah. Kedua peran pemerintah yang tergolong paling besar ini yang ditujukan pada puskesmas dan rumah sakit tampaknya juga memiliki upaya penyembuhan: seperti yang diuraikan dalam Strategi Pembangunan Pemerintah Jangka Menengah (RPJM 2004-09). Strategi ini memiliki komponen sub-kunci yang terkait dengan pembangunan fasilitas untuk puskesmas, pemeliharaan fasilitas, serta pengadaan

instrumen dan kebutuhan sehari-hari kesehatan termasuk obat-obat generik.64

Tabel 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 2006

Program (Rp miliar) Curative Pencegahan Operasional Total %

Promosi Kesehatan & Pemberdayaan penduduk -- 132 -- 132 1

Kebersihan & Sanitasi -- 433 -- 433 3

Kesehatan publik -- 2,465 -- 2,465 18

Kesehatan perorangan 2,649 1,697 -- 4,346 32

Pencegahan & Pengendalian Penyakit -- 1,620 -- 1,620 12

Gizi -- 582 -- 582 4

Sumber Daya Kesehatan -- -- 906 906 7

Obat-obatan & Suplai Obat -- -- 628 628 5

Manajemen & Kebijakan Kesehatan -- -- 1,126 1,126 8

Penelitian & Pengembangan -- -- 1,74 174 1

Meningkatkan dan Memantau Akuntabilitas -- -- 43 43 0

Manajemen Sumber Daya Manusia -- -- 27 27 0

Administrasi -- -- 1,026 1,026 8

Pelatihan -- -- 15 15 0

Total 2,649 6,928 3,946 13,524 100

% 20 51 29 100

Sumber: Bappenas, 2006.

Ketidakjelasan dalam penganggaran kesehatan pemerintah pusat menunjukkan perlunya merevisi ulang penganggaran program kesehatan. Agar pemerintah mampu mengalokasikan pengeluaran yang bertujuan kepada

pelayanan dan hasil, maka sistem informasi kesehatan sebaiknya direvisi untuk menjamin pelaksanaan pemantauan dan evaluasi yang memadai. Namun demikian, anggaran juga memerlukan informasi yang lebih lengkap untuk melakukan analisis tentang perlunya program kesehatan tersebut di atas. Saat ini program-program tersebut di atas dijelaskan hanya secara umum saja, dengan memberikan sedikit peluang untuk melakukan re-alokasi pengeluaran atau untuk melakukan perubahan terhadap kategori peran pemerintah agar menjadi lebih efisien lagi.

64 Lihat Lampiran Bagian F1 mengenai uraian program kesehatan Pemerintah Pusat untuk ‘Kesehatan Masyarakat’ dan ‘Layanan Kesehatan Pribadi’.

(12)

Pengeluaran rumah tangga untuk layanan kesehatan dan asuransi

Diagram 4.7 Komposisi total

pengeluaran sektor kesehatan

15%

8% 22%

55%

Pusat Provinsi Daerah Rumah Tangga Sumber: Data dari DepKeu dan Susenas 2004,

Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen terbesar dari total pengeluaran kesehatan. Pada tahun 2004, rumah tangga Indonesia

mengeluarkan sekitar Rp 20 triliun untuk kesehatan, yang memberikan kontribusi sebesar 55 persen dari total pengeluaran kesehatan (Diagram 4.7). Jumlah ini masih sebanding dengan angka persentase rata-rata di negara-negara berpendapatan menengah-rendah (50 persen) (World Bank, 2005). Antara tahun 2003 dan 2005, biaya kesehatan rumah tangga meningkat menjadi 12 persen, sedikit lebih besar dari peningkatan pengeluaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (8 persen) selama periode yang sama.

Di Indonesia, saat ini 3,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga digunakan untuk kesehatan, meskipun demikian telah terjadi kecenderungan yang menurun (Diagram 4.8).

Selama empat tahun belakangan ini, pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifikan sekitar 6 persen dari total pengeluaran rumah tangga yang saat ini berjumlah 3,5 persen. Penurunan ini terjadi akibat adanya penurunan absolut dalam pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan peningkatan total pengeluaran rumah tangga per kapita, dan bukan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran pemerintah.

Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan

10,164 8,186 6,299 9,045 186,930 191,212 206,267 257,967 7,724 173,147 5.9% 4.4% 3.3% 3.7% 3.5% 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 2001 2002 2003 2004 2005 0.0% 1.0% 2.0% 3.0% 4.0% 5.0% 6.0% 7.0%

Pengeluaran untuk Kesehatan Swasta Total Pengeluaran Swasta

Pengeluaran Kesehatan sebagai bagian dari Keseluruhan Pengeluaran

Sumber: WHO: Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu – Susenas 2005.

Penurunan pengeluaran sektor kesehatan sebagian disebabkan karena menurunnya penggunaan

layanan tenaga kesehatan

profesional. Antara tahun 1997 dan

2005, penggunaan layanan tenaga kesehatan professional menurun dari sekitar 53 persen menjadi sekitar 34 persen, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri. Walaupun pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan meningkat, nilai persentase penggunaan layanan kesehatan masih di bawah nilai persentase sebelum krisis (Diagram 4.9).

Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan

52,7 50,6 34,2 34,4 26,7 32,1 49,9 50,9 20,6 17,3 15,9 14,7 0 20 40 60 80 100 1993 1997 2001 2005

Fasilitas kunjungan, apapun self treatment only Tanpa Perawatan %

Meskipun sekitar 75 persen pendanaan dari sektor swasta/perusahaan dikeluarkan oleh para karyawannya (yang merupakan sektor rumah tangga), sektor swasta/perusahaan ini merupakan sumber pengeluaran terbesar kedua. Pengeluaran dari sektor swasta/perusahaan

hampir berjumlah 20 persen bersumber dari pengeluaran kesehatan sektor rumah tangga melalui pembayaran kembali biaya kesehatan karyawan maupun pembayaran langsung untuk penyediaan layanan kesehatan bagi karyawan mereka. Pembayaran di muka oleh sektor rumah tangga mencapai 5 persen (Dana Kesehatan untuk Masyarakat Miskin, 2002). Pengeluaran tunai langsung ini dapat meningkatkan kerentanan

(13)

ekonomi sektor rumah tangga dan individu yang akhirnya dapat menyebabkan mereka terdorong ke bawah garis kemiskinan, terutama ketika mereka mendapat musibah yang memerlukan pengeluaran kesehatan yang besar. Pembayaran tunai langsung ini meningkat dua kali lipat antara tahun 1999 dan 2001 untuk antar kelompok berdasarkan pendapatan dengan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan yang cukup lebar pun terjadi di tingkat provinsi. Persentase sektor rumah tangga yang menghadapi lonjakan pengeluaran kesehatan telah meningkat dua kali lipat; dari 1,5 pada tahun 1999 menjadi 3,6 persen pada tahun 2001 (Data Susenas). Individu atau karyawan (sektor rumah tangga) yang serumah dengan anak-anak dan manula memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lonjakan pengeluaran apalagi jika mereka tidak memiliki kartu sehat (penduduk miskin) atau tidak ada program asuransi swasta yang menawarkan mereka perlindungan kesehatan semacam itu (Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu).

Partisipasi masyarakat untuk mengkituti asuransi kesehatan masih rendah di Indonesia. Antara tahun 2003 dan

2005, partisipasi masyarakat dalam program asuransi kesehatan sedikit menurun dari 21,3 persen menjadi 19,8 persen dari total jumlah penduduk, sehingga sekitar 80 persen penduduk tidak memiliki asuransi (Diagram 4.10). Di kedua tahun tersebut, program Kartu Sehat mendapat porsi terbesar dalam pemberian jaminan bagi seluruh peserta asuransi kesehatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) sedikit menurun pada tahun 2005, seperti hal-nya juga terjadi penurunan pada asuransi pribadi. Untuk akses kepemilikan asuransi kesehatan hanya terdapat sedikit ketidakmerataan (Diagram 4.11). Penyebabnya adalah kepemilikan Kartu Sehat yang berpihak pada penduduk miskin sehingga mampu menurunkan ketidakmerataan pada akses kepemilikan asuransi yang lain, seperti asuransi swasta, Jamsostek, dan Askes.

Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi

kesehatan Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, 2005

8.6 8.5 5.1 2.5 3.5 3.9 3.0 2.7 2.7 6.0 5.7 8.5 0.5 0.8 0.7 0 5 10 15 20 25 2003 2004 2005

ASKES Jamsostek Asuransi pribadi, dll JPKM Kartu Sehat % 4.3 5.4 5.1 5.2 5.3 1.3 2.3 2.9 3.2 2.9 1.8 2.8 3.3 3.7 3.4 0.7 0.6 0.7 0.6 0.7 11.5 8.3 8.1 7.1 7.7 0 5 10 15 20 25 Termiskin 2 3 4 Terkaya

ASKES Jamsostek Pribadi, dll JPKM Kartu Sehat %

Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005. Sumber: Susenas 2005.

Dengan adanya berbagai mekanisme asuransi kesehatan maka risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure) dapat dikurangi, tetapi hal ini bukan berarti akan memberikan perlindungan yang memadai. Rumah tangga yang memiliki satu atau dua jenis asuransi kesehatan sosial (Askes

dan Jamsostek) dan bagi mereka yang mendapat perlindungan asuransi dari perusahaan tempat mereka bekerja serta bagi mereka yang memperoleh manfaat tertentu (dari asuransi pribadi) akan menghadapi risiko yang lebih kecil. Meskipun demikian, baik program Kartu Sehat maupun dana kesehatan, demikian juga dengan Jaminan Perlindungan Kesehatan Masyarakat (JPKM) masih belum mampu mengurangi risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan akibat datangnya musibah. Hal ini sebagian dapat dijelaskan karena adanya keterbatasan manfaat yang ditawarkan oleh program perlindungan kesehatan semacam ini dan oleh adanya kenyataan bahwa rata-rata orang yang memiliki asuransi JPKM hanyalah sebesar 21 persen dan sekitar 27 persen dari mereka yang dilindungi oleh program Kartu Sehat tersebut merupakan penduduk miskin (Susenas 2005).

(14)

Penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta

Meskipun berhasil dicapai kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, namun akses dan kualitas layanan kesehatan masih tetap rendah dan penduduk miskin pada khususnya masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta. Penggunaan fasilitas layanan kesehatan

publik masih rendah; ketika orang berusaha mendapatkan layanan kesehatan, kurang dari setengah dari penduduk Indonesia menerima perawatan pada fasilitas kesehatan masyarakat. Alasan-alasan untuk tidak menggunakan fasilitas kesehatan publik karena masih rendahnya akses ke tempat layanan kesehatan, kualitas layanan yang buruk, dan jam kerja yang pendek. Tingkat pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pemberian layanan kesehatan merupakan akar semua permasalahan ini. Pada tahun 1990-an dan terutama setelah krisis ekonomi, pemanfaatan layanan kesehatan sektor swasta, walaupun layanan kesehatan publik tersedia luas. Sementara kecenderungan kini telah menunjukkan sebaliknya, terjadi peningkatan dalam pemanfaatan layanan publik, tingkat ini masih rendah dibandingkan dengan tingkat sebelum krisis (World Bank 2006, makalah yang akan diterbitkan mendatang tentang layanan kesehatan oleh swasta, Susenas data). Bahkan penduduk termiskin sekalipun lebih suka menggunakan jasa dari sektor swasta dibandingkan dengan layanan puskesmas yang disubsidi pemerintah. Pada saat ini, hanya sekitar 45 persen penduduk yang ingin mendapatkan layanan kesehatan publik, yang paling sering digunakan adalah layanan kesehatan dasar, dan hanya kadangkala memanfaatkan rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006h).

Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan

kesehatan publik dan swasta Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/pemilik

62,1 73,7 64,5 11,7 11,9 14,7 98,9 99,1 93,6 8,3 3,5 4,7 0 20 40 60 80 100 2003 2004 2005 )0 01 re p( Pemanfaatan Tahuna n

Dasar Publik Rumah Sakit Umum Swasta Tradisional % 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Jumlah Rumah Sakit

Departemen Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota

Tentara/Polisi BUMN/Departemen lainnya

Swasta Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.

Catatan: Tingkat penggunaan layanan per tahun per 100 dan total pengeluaran yang dilaporkan.

Sumber: DepKes, 2004

Diagram 4.14 Layanan spesialisi vs. umum di Rumah sakit pemerintah dan swasta, 2003

534 432 83 185 0 100 200 300 400 500 600 700

Rumah Sakit Pemerintah Rumah Sakit Swasta

Jumlah Rumah Saki

t

Pelayanan Umum yang Tersedia Pelayanan Khusus yang Tersedia

Sumber: MoH, 2004.

Lebih dari setengah dari jumlah rumah sakit di Indonesia adalah milik swasta dan kepemilikan ini tidak berubah secara signifikan selama ini. Sekitar 51 persen dari seluruh

rumah sakit di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai rumah sakit umum, bahkan semenjak pelaksanaan sistem desentralisasi, sebagian dari rumah sakit itu menjadi milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan ada juga yang menjadi milik TNI dan Polri, BUMN, dan Departemen (Diagram 4.13). Dari sekian rumah sakit ‘pemerintah’ tersebut, sebagian besar menyediakan layanan kesehatan umum dan hanya sekitar 30 persen dari seluruh layanan kesehatan spesialis dapat dilakukan di rumah sakit umum seperti ini. Untuk pelayanan kesehatan yang khusus, masyarakat perlu menggunakan jasa penyedia layanan kesehatan sektor

swasta (Diagram 4.14).

(15)

Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan di Indonesia terlibat dalam pemberian layanan di sektor publik dan swasta. Pada tahun 1980-an, ketika gaji yang diberikan pemerintah kepada tenaga kesehatan masih

relatif rendah ternyata mempersulit mereka untuk menjalankan profesinya dengan baik. Sementara itu, pemerintah bukannya membatasi pengangkatan pegawai baru dan menaikkan gaji, melainkan membiarkan tenaga kesehatan (dokter) untuk membuka tempat praktik di luar jam kerja biasa. Posisi ganda dalam lembaga penyedia layanan kesehatan publik menciptakan insentif yang rendah dan menyebabkan rendahnya kualitas layanan dalam sistem kesehatan publik (semata-mata akibat dari berkurangnya jam kerja para dokter di rumah sakit pemerintah). Hal ini juga menyebabkan berkembangnya penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta dengan peningkatan jam kerja dan pelayanan oleh tenaga dokter dan paramedis yang terlatih (Diagram 4.15). Dapat kita katakan bahwa kesenjangan layanan di mana layanan publik yang diberikan pemerintah tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas untuk tingkat tertentu telah diisi oleh sektor swasta. Dalam situasi ini, pihak penyedia dari sektor swasta benar-benar merupakan bagian dari sistem pemberian layanan kesehatan di Indonesia dan pelatihan, kontrak, dan layanan pemantauan mereka perlu dijadikan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan pemerintah di sektor kesehatan (World Bank, 2006f ).

Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda

Kepala Puskesmas yang Membuka Praktik Swasta diluar Puskesmas

Tidak 19%

Data tidak Tersedia 6% Ya 75% 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Mean # Jam/hari bekerja di Puskesmas Mean # Jam/hari bekerja di Luar Puskesmas

Ya Tidak

Sumber: GDS 1+ survei Puskesmas.

Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan

Penggunaan Layanan Kesehatan

Kesenjangan dalam pengeluaran untuk sektor publik

Perbedaan dalam pengeluaran per kapita untuk sektor publik di daerah sangat tinggi, yang mencerminkan disparitas dan ketidaksetaraan di tingkat daerah. Rata-rata tingkat pengeluaran publik per kapita untuk sektor

kesehatan hampir sama di setiap provinsi, kecuali untuk Provinsi Papua, Gorontalo, Kalimantan Timur. Akan tetapi, disparitas antar kabupaten/kota dalam satu provinsi bahkan lebih biasa lagi, karena terjadi banyak variasi dalam nilai rata-rata.

(16)

Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum, minimum, dan rata-rata

0 50 100 150 200 250 300 350 ra t U uk ul a M a ne tn aB gn up ma L ar ag gn eT is e wa lu S ta ra B a wa J ar at U i se wa lu S ra t aB a ra gg ne T as u N u mi T a wa J r na ta le S ar ta mu S ag ne T a wa J h ta ra B na tn a mil aK lu kg ne B u at ra ka yg oY gn uti le B ak gn aB na ta le S i se wa lu S ma la ss ur a D he cA e or gg na N ra t U ar ta mu S a ib ma J tana le S na tn a mil aK uaiR uk ul a M ru mi T ar ag gn eT a su N il aB ag ne T i se wa lu S h ar aB a rt a mu S t ag ne T na tn a mil aK h au pa P la tn or o G o ru mi T na tn a mil aK ribup R

Maksimum Minimum Mean

Sumber: Susenas, 2004.

Di tingkat kabupaten/kota ditemui kesenjangan yang sangat besar dalam pengeluaran publik, yang terutama didorong oleh pengeluaran pemerintah pusat yang ditargetkan secara regresif dan tidak terkonsentrasi.65 Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor ini dalam bentuk pengeluaran yang tidak terpusat tidaklah efektif dalam rangka pencapaian target untuk kabupaten/kota yang lebih miskin. Hal ini penting untuk diperhatikan terutama karena besarnya pengalihan dana publik hampir mencapai setengah dari pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan dan oleh karena itu pengeluaran tersebut merupakan sumber daya sangat penting untuk intervensi kebijakan. Selain itu, pada tahun 2004, pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan mencapai sekitar 29 persen dari total pengeluaran nasional. Pengeluaran untuk sektor publik melalui anggaran daerah (APDB) tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga lebih tinggi bagi pemerintah daerah yang lebih kaya daripada yang lebih miskin. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pengeluaran ini tidak saja ditentukan oleh alokasi DAU, tetapi juga oleh pendapatan asli daerah, yang jumlahnya cenderung lebih tinggi pada kabupaten/kota yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita lebih tinggi. Saat ini kontribusi DAK di tingkat kabupaten/kota tidak digunakan sebagai sarana peningkatan pemberian layanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin di kabupaten/kota yang masih tertinggal, seperti yang ditunjukkan oleh respon yang lemah terhadap tingkat pengeluaran per kapita dari DAK atau akses terhadap fasilitas kesehatan (USAID Democratic Reform Support Program, Agustus 2006).

Manfaat pengeluaran untuk sektor publik dan penggunaan layanan

Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik secara umum lebih banyak memberikan manfaat bagi kelompok penduduk kaya daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder.

Manfaat pengeluaran publik untuk layanan kesehatan dasar tidak berpihak pada penduduk miskin tetapi secara netral didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Akan tetapi, pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder sudah tentu tidak berpihak pada penduduk miskin, dan sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh kuintil yang lebih kaya. Sementara layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan oleh penduduk miskin adalah fasilitas layanan kesehatan dasar, ternyata Indonesia menggunakan sekitar 40 persen dari sumber daya untuk layanan kesehatan publik mereka untuk pemberian subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006g).

65 Lihat Lampiran Gambar F2 pada hubungan antara (1a) Pengeluaran daerah untuk sektor kesehatan, (1b) DAK dan (1c) Pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan dan (2) Rata-rata per kapita (mean per kapita) pengeluaran keluarga .

(17)

Penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap rumah sakit pemerintah, sehingga mereka tidak memanfaatkan sebagian besar pengeluaran pemerintah yang disalurkan ke dalam layanan kesehatan sekunder. Dari dana yang digunakan untuk layanan rumah sakit, manfaat yang dinikmati oleh kuintil penduduk

paling miskin dari seluruh jumlah penduduk berjumlah sekitar 10 persen, sementara manfaat yang diperoleh oleh kuintil paling kaya sekitar 38 persen. Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder memiliki tingkat regresif yang tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam layanan kesehatan ketika Indonesia masih berjuang keras untuk memenuhi sasaran pembangunan jangka menengah dalam sektor kesehatan.

Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan

swasta/publik Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan

31.0% 39.7% 46.2% 53.5% 71.7% 55.5% 0 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 1 (Miskin) 2 3 4 5 TOTAL

Pengeluaran Per Capita untuk Sektor Kesehata

n H ar ga ta hu n 20 03 ; R p ( )

Belanja Sektor Swasta Belanja Publik untuk Perawatan di Rumah Sakit Belanja Publik untuk Perawatan Dasar 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Puskesmas Rumah Sakit Layanan Kesehatan Dasar Rumah

Sakit RumahSakit

1987 1998 2005

Kuintil Termiskin Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil Terkaya

Layanan Kesehatan

Dasar

Sumber: World Bank, 2006g. Sumber: World Bank, 2006f.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan oleh penduduk miskin dan pengeluaran mereka untuk sektor kesehatan memiliki dampak yang kecil sejak tahun 1998. Program kesehatan

pengganti subsidi BBM (PKPS-BBM) bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap baik layanan kesehatan dasar maupun sekunder bagi penduduk miskin dengan sistem target. Program ini, jika ditargetkan dan dilaksanakan secara efektif, dapat merupakan kunci utama dalam perluasan layanan kesehatan untuk penduduk miskin (lihat Kotak 4.3 di bawah ini tentang PKPS-BBM). Namun demikian, bagi penduduk miskin agar dapat menggunakan fasilitas layanan kesehatan swasta melalui program ini, perlu disediakan insentif bagi penyedia layanan ini untuk memungkinkan berpartisipasi.

Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005

0 0,5 1 1,5 2 2,5

Termiskin 2 3 4 Tidak Miskin

Tingkat Penggunaan Pelayanan Rawat Jalan Tahunan

Perawatan Kesehatan Tradisional Swasta Petugas Kesehatan Swasta

Dokter Swasta Rumah Sakit Swasta Rumah Sakit Umum Puskesmas Publik

(18)

Ketika penduduk miskin berusaha mendapatkan layanan perawatan kesehatan, sekitar 57 persen dari mereka lebih memilih penyedia layanan swasta. Dari penyedia layanan swasta tersebut, penduduk miskin paling

banyak memanfaatkan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.) dan dokter. Dengan peningkatan pendapatan terjadi pergeseran dari tenaga paramedis ke dokter. Rata-rata rasio ganjil dari partisipasi ini tampak paling tinggi pada penduduk miskin pada pusat layanan kesehatan swasta, dokter swasta, dan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.). Ini berarti bahwa investasi pada bidang ini, jika tingkat partisipasi tetap pada tingkat kuintil yang sama,

akan lebih menguntungkan penduduk miskin daripada kuintil mereka yang lebih kaya.66 Sebaliknya, investasi untuk

rumah sakit pemerintah dan swasta merupakan bentuk investasi yang paling berpihak pada penduduk kaya di Indonesia mengingat tingkat penggunaan untuk layanan kesehatan ini (World Bank 2006f ). Investasi ini akan tetap sama kecuali jika investasi ini ditargetkan untuk membuat layanan ini lebih mudah diakses oleh penduduk miskin. Tingkat penggunaan yang tinggi dari penyedia layanan swasta oleh penduduk miskin juga menuntut peningkatan dalam penanganan (regulasi, akreditasi, maupun perizinan) untuk sektor kesehatan publik yang bertujuan untuk mengontrol kualitas dan meningkatkan pemerataan.

Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005

Pada tahun 2005, pemerintah memperkenalkan program yang sangat besar untuk mengatasi dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM terhadap penduduk miskin. Hal ini termasuk penyediaan anggaran sebesar Rp 3,875 triliun untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Program ini menyediakan akses cuma-cuma untuk layanan di puskesmas lokal, rawat jalan di rumah sakit, dan rawat inap kelas 3 ward di rumah sakit pada rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditentukan sebelumnya. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan terhadap layanan kesehatan dengan menyediakan asuransi kesehatan bagi 60 juta penduduk miskin, dan pada saat yang sama memberikan jaminan adanya layanan kesehatan yang memadai dengan memberikan dukungan kepada Puskesmas, puskesmas keliling, dan layanan posyandu. Sebuah penilaianyang baru-baru ini dilaksanakan menunjukkan beberapa temuan penting sbb:

1. Intervensi dari sisi permintaan terbukti merupakan cara sangat efektif dan efisien untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan bagi penduduk miskin, dibandingkan dengan intervensi klasik berupa intervensi dari sisi penyediaan.

2. Karena biaya resmi hanya merupakan sebagian dari total yang harus dikeluarkan oleh mereka yang ingin mendapatkan layanan, dengan menghapus biaya resmi ini masih belum dapat menjangkau penduduk miskin yang mungkin tidak mampu untuk menanggung biaya transportasi dan pemeliharaan selanjutnya.

3. Intervensi dari sisi penawaran (terutama penyediaan obat-obatan, fasilitas fisik, dan peralatan medis) berdampak terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh Puskesmas.

4. Peningkatan dalam layanan rawat-inap (Sal Kelas 3) menyebabkan peningkatan pendapatan bagi rumah sakit. 5. Penentuan targeting bagi penduduk miskin terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan, terutama karena mereka yang

tergolong tidak miskin sulit untuk dicegah ikut menikmati manfaat program ini.

Bidang-bidang yang perlu ditingkatkan disoroti dalam laporan tersebut termasuk penentuan sasaran, informasi publik sekitar program ini, alokasi dana, sistem penanganan keluhan, pemantauan, dan evaluasi.

Sumber: Rapid Assessment untuk PKPS-BBM 2005 Kesehatan Program, 2006.

Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan

Rasio jumlah dokter dan perawat dengan jumlah penduduk di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sementara distribusi tenaga kesehatan di Kamboja per 1.000 orang juga masih

rendah, negara seperti Filipina, yang memiliki pendapatan per kapita yang mirip dengan Indonesia, kinerjanya jauh lebih baik dalam indikator ini. Sebagian provinsi hanya memiliki sekitar 13 dokter untuk per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa secara rata-rata seorang dokter pemerintah akan memberikan layanan kesehatan kepada sekitar 7.600 orang yang ingin mendapat layanan kesehatan publik.

66 Rata-rata rasio ganjil untuk partisipasi, yang dinyatakan oleh rasio tingkat partisipasi rata-rata kuintil-spesifik, merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk memahami penggunaan layanan kesehatan saat ini dan dengan menyoroti kuintil tersebut maka layanan yang diberikan sepertinya akan memberikan manfaat optimal.

(19)

Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan

Dokter Perawat Bidan

Negara Jumlah Kepadatan per 1000

penduduk Tahun Jumlah

kepadatan per 1000

penduduk Tahun Jumlah

Kepadatan per 1000 penduduk Tahun Indonesia 29,499 130 2003 135,705 620 2003 44,254 200 2003 Kamboja 2,047 160 2000 8,085 610 2000 3,040 230 2000 Thailand 22,435 370 2000 171,605 282 2000 872 10 2000 Viet Nam 42,327 530 2001 44,539 560 2001 14,662 190 2001 Filipina 44,287 580 2000 127,595 1,690 2000 33,963 450 2000 India 645,825 600 2005 865,135 800 2004 506,924 470 2004 Malaysia 16,146 700 2000 31,129 1,350 2000 7,711 340 2000

Sumber: WHR, 2006, Lampiran Tabel 4 ‘Distribusi Global terhadap Tenaga Kerja Kesehatan pada Negara-negara Anggota WHO’

Data rata-rata nasional sangat mengaburkan keragaman dalam kesenjangan antar daerah secara signifikan dalam hal tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang sering tidak didasarkan pada kebutuhan. Penyedia

layanan kesehatan untuk tiap tingkat populasi sangat beragam di tiap daerah, hanya enam dokter pemerintah per 100.000 penduduk di Provinsi Lampung dan Jawa Timur, dibandingkan dengan rasio yang tinggi sekitar 30 dan 40 per 100.000 penduduk masing-masing untuk Sulawesi Utara dan Bali. Di banyak provinsi rasio ini meningkat ketika jumlah dokter swasta dimasukkan di dalamnya, namun demikian cakupan wilayah yang harus dilayani masih amat luas, misalnya di Kalimantan Barat, rata-rata seorang dokter harus melayani area seluas lebih kurang 300 km² dan wilayah layanan ini menjadi dua kali lipat bagi penduduk yang hanya mampu memperoleh layanan dari dokter pemerintah. Secara rata-rata terdapat sekitar 36 pekerja kesehatan untuk setiap 100.000 penduduk di Indonesia.

Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km2

0 2 4 6 8 10 12

Nangroe Aceh Darussalam

au pa P lu kg ne u B uk ula M

Nusa Tenggara Timur

b ma i J latnor o o G la B i ak gn aB gn up ma L u J miT a w r a uai R

Nusa Tenggara Barat

tar aB a waJ net na B 0 50 100 150 200 250 Rasio bidan Wilayah pelayanan

M al uk u Ut ar a Su la we si T en gg ar a Su la we si T en ga h Su m at er a B ar at Ka lim an ta n T en ga h Su la we si U ta ra Su m at er a U ta ra Ka lim an ta n S el at an Su m at er a S el at an Ka lim an ta n T im ur Su la we si S el at an Ka lim an ta n B ar at Ja wa T en ga h DI Y og ya ka rta Sumber: Podes, 2005.

Rasio jumlah perawat dan bidan per 100.000 penduduk jauh lebih tinggi daripada rasio jumlah dokter, tetapi sekali lagi masih terdapat isu-isu yang berkaitan dengan distribusi di tingkat daerah. Wilayah layanan

kebidanan bagi bidan pemerintah secara umum lebih kecil daripada wilayah kerja dokter (tergantung jumlah tenaga kesehatan swasta di tiap provinsi). Aceh memiliki angka yang tinggi, sekitar 111 bidan untuk setiap 100.000 penduduk, sementara Banten hanya memiliki 20 bidan untuk setiap 100.000 penduduk. Rasio untuk perawat per 100.000 jumlah penduduk masih tinggi, yang menunjukkan bahwa dengan jumlah dokter yang masih rendah, sebagian besar penduduk (terutama penduduk miskin) akan dilayani oleh perawat dan tenaga kesehatan pembantu lainnya dan bukan oleh dokter. Ketika kita melakukan analisis terhadap jumlah tenaga kesehatan yang lebih terlatih dan tenaga spesialisi, seperti dokter gigi pemerintah (angka rata-rata nasional 2,9), apoteker (angka rata-rata nasional 0,6), dan ahli gizi (angka rata-rata nasional 3,2), tingkat kepadatan pada wilayah provinsi terpencil hampir nol.

(20)

Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan 3.1 4.1 3.6 0.6 0 1 2 3 4 5

bidan urban bidan rural dokter

urban dokter rural

Perbedaan dalam satu wilayah provinsi terutama dapat dilihat dari penyediaan layanan kesehatan yang lebih menguntungkan yaitu daerah perkotaan dibandingkan dengan dan daerah pedesaan dan daerah terpencil, walaupun lebih banyak bidan kini dapat dijumpai di wilayah pedesaan. Insentif

sebaiknya ditingkatkan, terutama untuk tenaga kesehatan terlatih untuk mendorong mereka bertugas di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil.

Jumlah dokter untuk setiap puskesmas pada dasarnya belum memadai, terutama mengingat rata-rata setiap puskesmas melayani sekitar 23.000 orang (Diagram 4.22). Penduduk miskin, yang

sebagian besar bergantung pada Puskesmas seperti ini, harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menjangkau fasilitas ini (rata-rata setiap Puskesmas melayani mereka yang menempati wilayah sekitar 242km²). Di Provinsi NAD, misalnya, jarak rata-rata ke satu Puskesmas adalah sekitar 10 km, tetapi di beberapa kabupaten/kota jarak ini mendekati 26 km. Ketersediaan seorang dokter di setiap Puskesmas juga tidak dapat dijamin; secara keseluruhan, 18 dari 33 provinsi Indonesia, secara rata-rata memiliki kurang dari satu dokter untuk setiap Puskesmas. Dengan demikian, masyarakat menjadi tergantung pada fasilitas layanan kesehatan yang tidak lengkap dan pada pos layanan kesehatan terpadu (Posyandu) atau mungkin pada perawat, bidan swasta dan bahkan tenaga kesehatan tradisional.

Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 net na B tar aB a waJ ru miT a waJ ha gn eT a waJ gn up ma L

usa Tenggara Barat

N ila B uaiR tumu S ais en od nI YogyakartaI D le s mu S uai R na ual up eK ra b mu S nat ale S is e wal uS ola tn or o G tar aB nat na mil aK ib maJ

Nusa Tenggara Timur

tar aB i se wal uS nat ale S nat na mil aK ar at U uk ula M ar at U is a wl uS

Nangroe Aceh Darussalam

K gn util eB B na ual up e ha gn eT i se wal uS ha gn eT nat na mil aK ru miT nat na mil aK ul uk gn eB ar ag gn eT i se wal uS uk ula M tar aB ay aJ nai rI au pa P

Populasi per Puskesmas

Sumber: Profil Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.

Kementerian Kesehatan sedang berupaya untuk memperbaiki distribusi tenaga kesehatan dengan sistem kontrak kerja sementara bagi para dokter (PTT) untuk melayani wilayah-wilayah terpencil dengan memberikan tambahan insentif keuangan dan memperpendek masa tugas mereka di wilayah-wilayah tersebut. Ada

berbagai kategori upah dokter seperti ini berdasarkan Lokasi penempatan mereka. Gaji di wilayah yang biasa adalah sekitar Rp 1 juta per bulan selama tiga tahun. Mereka yang bertugas di wilayah yang diklasifikasikan sebagai sangat terpencil, akan menerima gaji sekitar Rp 5 juta per bulan dan diminta untuk bertugas di sana selama enam bulan. Gaji yang lebih tinggi bagi dokter yang bekerja di wilayah terpencil merupakan bagian dari peraturan baru yang mulai berlaku sejak bulan Juni 2006 dan hal ini memberikan indikasi komitmen pemerintah untuk meningkatkan distribusi tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, peraturan ini hanya melingkupi dokter kontrak dan pemerintah mungkin akan mempertimbangkan untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menyediakan

Gambar

Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan, 2004
Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita, 2004
Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03 020406080100120 B ila g y Y o ka a t r a u al S we s i UtaraDK I J a k a tra Jawa Tengah B a n g k a B e til n gu ila m K a tn n Tengaha
Diagram 4.3 Tren pengeluaran sektor kesehatan, 1997-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil belajar siswa khususnya untuk mata pelajaran matematika dengan penerapan Strategi Learning Start With A Question dengan Question Student Have di kelas VIII

Seperti yang sudah dibahas sebelumya bahwa Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik mendukung terwujudnya sasaran strategis Kementerian nomor 2 yakni Tersedianya akses

a) Berdasarkan metrik Auditability, 6 user (40%) menilai bahwa prototipe knowledge sharing berbasis Android sudah sangat optimal dan 9 user (60%) menilai sudah

Dengan demikian, pengertian pendidikan Islam yang dibahas di sini adalah segala usaha dalam rangka mengembangkan mental, intelektual maupun moral manusia sesuai

Dapat dilihat bahwa diperoleh nilai R square sebesar 0,252, ini berarti R 2 mendekati 1 artinya semakin besar kemampuan variabel bebas (X) menjelaskan perubahan

Upaya kesehatan pengembangan yang dilaksanakan di kuta alam adalah kesehatan usia lanjut, kesehatan mata/pencegahan kebutaan, kesehatan ji wa, usaha kesehatan gigi dan

Dari hasil penelitian ini ditunjukkan bahwa, korelasi dari distribusi frekuensi kala ulang Log (Tr) dengan data curah hujan harian maksimum tahunan memberikan hasil yang jauh