• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PENGEMBANGAN BAWANG MERAH DI SUMATERA BARAT. Potency of Shallot Development in West Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI PENGEMBANGAN BAWANG MERAH DI SUMATERA BARAT. Potency of Shallot Development in West Sumatra"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENGEMBANGAN BAWANG MERAH

DI SUMATERA BARAT

Potency of Shallot Development in West Sumatra

Irmansyah Rusli dan Buharman Burhanuddin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat

Jalan Raya Padang-Solok, Km 40, Sukarami. Kabupaten Solok. 27365; PO. Box 34 Padang E-mail: sumbar_bptp@yahoo.com

ABSTRACT

This paper is a review of some literatures. The objective of the paper was to give information about the development status of shallot in West Sumatra, both in terms of production and opportunity to develop shallot in lowlands of West Sumatra. Shallot is usually used in cooking and traditional medicines. Based on data from the Directorate General of horticulture, the needs for shallots is predicted to keep increasing from 2003 to 2025, including for consumption, seeds, and industry. To meet domestic needs, the government should import shallots from other countries. Shallots grow at 0 m above sea level (asl) asl until >1000 m asl. In Indonesia shallots have been grown in several provinces, from Aceh to Papua. In 2011 Central Java produced the highest shallots in Indonesia at 372,256 tons, while West Sumatra in the same year only produced 32,442 tons. Harvest area of shallots in West Sumatra grew at 9.88 percent during 2008-2012, higher than that of Central Java at only 0.33 percent. However, shallot yield in West Sumatra (9 tons/ha) was lower than that in Central Java (10 tons/ha). Actually, West Sumatra has potency to produce shallots in higher quantity due to its suitable ecosystem at both lowlands and highlands. However, more constraints to develop shallots in highlands than in lowlands on one hand and more supporting factors in the lowlands has made on the other hand, has made the development of shallots in West Sumatra was more directed to the lowlands, such as in Pesisir Selatan, Padang Pariaman, and Agam Regencies. Other regencies such as Limapuluh Kota and South Solok Regencies also have potency for the development of shallots.

Keywords: onion, lowland area, variety, development ABSTRAK

Tulisan ini merupakan review dari berbagai sumber, dengan tujuan memberikan informasi tentang keadaan bawang merah di Sumatera Barat, baik dari segi hasil yang telah dicapai saat ini maupun peluang pengembangan bawang merah di dataran rendah Sumatera Barat. Bawang merah salah satu komoditas hortikultura yang hasilnya berupa umbi yang dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan obat tradisional. Menurut data statistik Dirjen Bina Produksi Hortikultura Jakarta bahwa kebutuhan terhadap bawang merah semenjak tahun 2003 sampai 2025 diduga selalu meningkat. Bahkan untuk berbagai kebutuhan seperti konsumsi, benih dan industri diprediksi terjadi peningkatan. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah harus melakukan import bawang merah dari negara produsen. Bawang merah dapat tumbuh pada ketinggian 0 m dari permukaan laut (dpl) sampai ke tinggian > 1000 m dpl. Di Indonesia bawang merah telah ditanam di berbagai propinsi, mulai dari Aceh sampai ke Papua. Pada tahun 2011 Jawa Tengah memproduksi bawang merah yang tertinggi yaitu sebesar 372.256 ton, sedangkan Sumatera Barat pada tahun yang sama hanya memproduksi 32.442 ton. Kalau diamati

(2)

pertumbuhan luas panen bawang merah di Sumatera Barat semenjak tahun 2008 sampai dengan 2012 mencapai 9,88 persen, lebih baik dibanding Jawa Tengah yang pertumbuhan luas panen pada kurun waktu yang sama hanya mencapai 0,33 persen. Kalau diperhatikan hasil bawang merah dari berbagai kabupaten di Sumatera Barat pada preriode tahun 2008 sampai 2012 hanya tidak lebih dari 9 ton/ha dan sedangkan di Jawa Tengah sudah mencapai hasil lebih dari 10 ton/ha. Sumatera Barat sebenarnya mampu menghasilkan bawang merah lebih baik, karena ekosistem sangat mendukung untuk pertumbuhan bawang merah, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Tingginya kendala usahatani bawang merah di dataran tinggi Sumatera Barat dan adanya faktor pendukung seperti adanya varietas bawang merah dataran rendah, gangguan hama dan pathogen yang rendah, tenaga kerja yang cukup, dan iklim yang cocok, maka penanaman bawang merah diarahkan ke dataran rendah seperti di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam. Kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Solok Selatan berpotensi untuk pengembangan bawang merah.

Kata kunci: bawang merah, dataran rendah, varietas, pengembangan

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium sp.) salah satu tanaman hortikultura yang termasuk kepada komoditas sayur dengan hasil utama berupa umbi. Umbi bawang merah terutama digunakan sebagai bumbu masakan yang menyedapkan dan menimbulkan aroma yang sedap bagi makanan. Konsumen memanfaatkannya berupa bumbu giling, bumbu masak tepung atau bawang goreng (Puslitbanghorti, 2006; Sumarni dan Hidayat, 2005).

Umbi bawang merah juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti: sakit perut atau perut kembung, obat bisul, radang tenggorok, obat batuk, obat jerawat dan penuruan kadar gula darah (Sumarni dan Hidayat, 2005).

Menurut data statistik Dirjen Bina Produksi Hortikultura Jakarta bahwa kebutuhan bawang merah semenjak tahun 2003 sampai 2025 selalu terjadi peningkatan. Bahkan untuk berbagai kebutuhan seperti konsumsi, benih dan industri diprediksi terjadi peningkatan. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah harus melakukan import bawang merah dari negara produsen.

Di Indonesia bawang merah telah ditanam di berbagai propinsi, mulai dari Aceh sampai ke Papua. Pada tahun 2011 Jawa Tengah memproduksi bawang merah yang tertinggi yaitu sebesar 372.256 ton, sedangkan Sumatera Barat pada tahun yang sama hanya memproduksi 32.442 ton. Kalau diamati pertumbuhan luas panen bawang merah di Sumatera Barat semenjak tahun 2008 sampai dengan 2012 mencapai 9,88 persen, lebih baik dibanding Jawa Tengah yang pertumbuhan luas panen pada kurun waktu yang sama hanya mencapai 0,33 persen. Produktivitas bawang merah di Sumatera Barat hanya 9 t/ha, rendah dibanding Jawa Tengah yang telah mencapai 10 t/ha. Hasil penelitian memperlihatkan hasil bawang merah di Sumatera Barat dapat mencapai 15 t/ha pada dataran rendah (Rusli et al., 2012). Rendahnya hasil bawang merah ditingkat petani di Sumatera Barat disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit serta faktor iklim yang tidak optimal untuk mendukung bawang merah menghasilkan umbi secara optimal.

(3)

Pengembangan bawang merah di Sumatera Barat sebaiknya dilakukan pada dataran rendah, karena beberapa faktor untuk pertumbuhan dan produksi bawang merah lebih mendukung.

Makalah ini bertujuan memberikan informasi tentang keadaan bawang merah di Sumatera Barat, baik dari segi hasil yang dicapai saat ini maupun peluang pengembangan bawang merah di dataran rendah Sumatera Barat.

Varietas

Peranan pemakaian varietas yang sesuai sangat mendukung untuk keberhasilan dalam melaksanakan usahatani. Kesalahan dalam memilih varietas akan terjadi kerugian yang tidak diinginkan. Hasil yang diharapkan tidak akan tercapai secara optimal dan menyebabkan minat petani untuk berusahatani berkurang.

Petani bawang merah Sumatera Barat berusahatani menggunakan varietas yang tidak jelas varietas dan asal usulnya. Mereka mendapatkan bibit dipasar atau dibeli dengan petani yang telah menanam bawang merah. Keadaan ini juga yang menyebabkan salah satu faktor rendahnya hasil umbi bawang merah di Sumatera Barat.

Sejumlah varietas bawang merah untuk dataran rendah telah dihasilkan oleh Balitsa seperti Bima, Brebes, Ampenan, Maja Cipanas, Keling, Medan, Timor, Banten dan Lampung (Puslitbanghorti, 2006). Pada akhir-akhir ini telah dilepas varietas baru bawang merah seperti Kuning, Kramat1 dan Kramat 2 (Sumarni dan Hidayat, 2005). Namun demikian varietas-varietas tersebut belum berkembang di Sumatera Barat, karena petani belum mengenal varietas bawang merah untuk dataran rendah.

Pengujian beberapa varietas bawang merah untuk dataran rendah pada tahun 2009 dan 2012 di Kabupaten Padang Pariaman terlihat ada varietas bawang merah yang mampu tumbuh dan menghasilkan umbi sampai >10 t/ha, seperti varietas Katumi pada tahun 2009 menghasilkan umbi kering 11,30 t/ha dan tahun 2012 menghasilkan umbi kering 15, 01 t/ha. Bahkan pengujian tahun 2012 varietas bawang yang digunakan mampu menghasilkan umbi diatas 10 t/ha (Tabel 1). Tabel 1. Berat Umbi Kering Bersih (ton/ha) Bawang Merah di Kabupaten Padang

Pariaman, 2009 dan 2012 Varietas 2009*) 2012 **) Katumi 11,30 15,01 Maja 10,48 13,99 Bima Brebes 8,45 10,68 Sembrani 8,98 13,47 Kuning - 13,25 Lokal A. Panjang 11,47 10,38

Sumber : *) Len Bahri et. al., 2010 **) Rusli, et. al., 2012

(4)

Dengan ditemukan varietas-varietas bawang merah yang mampu beradaptasi pada dataran rendah di Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman khususnya peluang pengembangan bawang merah untuk dataran rendah Sumatera Barat terbuka.

Faktor hama dan patogen

Faktor hama dan pathogen merupakan faktor pembatas untuk memperoleh hasil yang maksimal. Usahatani bawang merah pada dataran tinggi gangguan hama dan patogen menjadi kendala utama. Karena di dataran tinggi secara umum memiliki iklim yang sesuai untuk perkembangan hama dan pathogen, disamping usahatani tanaman sayur-sayuran sangat intensif yang dapat menjadi inang alternative bagi hama dan patogen utama bawang merah. Penyakit yang ditemukan merusak bawang merah di lapangan adalah bercak unggu atau trotol yang disebabkan jamur Alternaria porii, penyakit antraknose atau otomotis disebabkan oleh jamur Colletotricum gloesporiodes, penyakit layu yang disebabkan jamur Fusarium sp., penyakit yang disebabkan virus dan bakteri serta serangan hama Spodoptera spp dan Thrips sp. (Litbanghorti, 2006, Sumarni dan Hidayat, 2005 dan BPTP Sulteng. 2008).

Pada table 2 terlihat hama dan pathogen yang merusak berbagai komoditas sayur-sayuran termasuk bawang merah.

Tabel 2. Hama dan Pathogen yang Merusak Tanaman Sayur-Sayuran pada Dataran Tinggi

No. Hama dan pathogen Tanaman inang A. Hama

1 Spodoptera spp. Lebih kurang 200 jenis tanaman, termasuk

bawang merah.

2 Trips (Trips tabaci) Bawang merah, cabe, terung, tomat dll. 3 Orong-orong, anjing tanah

(Gryllotalpa sp.)

Bawang merah, cabe, kubis, terung dll. 4 Ulat grayak Bawang merah, cabe, kubis, tomat dll. B. Pathogen

1 Fusarium Bawang merah, tomat, cabe, kubis dll,

2 Colletotrichum gleorosporiodes Bawang merah

3 Alternaria sp. Bawang merah

Sumber: Sumarni dan Hidayat, 2005.

Berbagai macam hama dan patogen yang ada pada dataran tinggi tersebut akan menimbulkan kerusakan tanaman bawang merah, yang berakibat terhadap perolehan hasil. Untuk mencegah kehilangan hasil bawang merah petani pada umumnya menggunakan pestisida kimia yang cenderung berlebihan dan tidak sesuai rekomendasi.

Penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian hama dan patogen sayur oleh petani di dataran tinggi Sumatera Barat sangat intensif. Sebagai contoh,

(5)

dalam satu kali musim tanam jumlah pestisida kimia yang diaplikasikan pada bawang merah 68,9 l/ha (Ali et al., 1977). Hasil survei pada tahun 1999 ditemukan bahwa di Kecamatan Lembah Gumanti, Solok ditemukan 12 merek dagang insektisida dan 8 merek dagang fungisida yang digunakan oleh petani. Masing-masing petani menggunakan pestisida lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam (Rusli. 2002).

Berdasarkan pengamatan hama dan patogen pada dataran rendah di Sumatera Barat belum membahayakan tanaman bawang merah. Keadaan ini dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia, sehingga biaya produksi dapat lebih rendah daripada usahatani bawang merah di dataran tinggi.

Kendala dari faktor iklim

Usahatani bawang merah di Sumatera Barat pada umumnya diusahakan di dataran tinggi, seperti di Kabupaten Solok, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Tanah Datar (Tabel 3). Dataran tinggi yang sering mengalami kabut, kelembaban udara yang tinggi, suhu yang rendah serta intensitas sinar yang kurang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil bawang merah. Bawang merah menyukai daerah beriklim kering dengan suhu agak panas dan mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam, pada suhu yang kurang dari 220 C, bawang merah tidak membentuk umbi, untuk pertumbuhan dan pembentukan umbi yang optimum diperlukan penyinaran lebih 12 jam (Puslitbanghorti, 2006). Dengan demikian untuk usahatani bawang merah yang baik dilakukan pada dataran rendah. Kalau diperhatikan pada tabel 3, terlihat daerah sentra produksi bawang merah di Sumatera Barat terdapat pada dataran tinggi dan sedikit pada dataran rendah. Namun demikian produktivitas bawang merah masih rendah, yaitu kurang 10 t/ha. Sedangkan di Kabupaten Padang Pariaman, dataran rendah, produktivitas bawang merah 10,70 t/ha lebih tinggi dari pada produktivitas bawang merah di Kabupaten Solok. Rendahnya produktivitas bawang merah pada sentra produksi di Sumatera Barat salah satu faktor penyebabnya antara lain suhu rendah, kelembaban udara tinggi dan kabut.

Udara yang berkabut dan cahaya matahari yang kurang akan mempengaruhi penanganan pasca panen bawang merah. Sampai saat ini, petani untuk mengeringkan umbi bawang merah masih memanfaatkan cahaya matahari. Di dataran rendah, udara yang berkabut jarang terjadi dan cahaya matahari cukup untuk pengeringan umbi bawang merah, sehingga penanganan pasca panen akan dapat berjalan baik dibanding di dataran tinggi. Menurut Sumarni dan Hidayat (2005) bawang merah dapat tumbuh pada ketinggian 0-1000 m dpl. Produksi optimum diperoleh pada ketinggian 0-450 m dpl (Sutarya dan Grubben, 1995 cit. Sumarni dan Hidayat, 2005).

Pada tahun 2013 Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat telah membentuk kawasan pengembangan bawang merah, dan kawasan tersebut terdapat pada dataran rendah seperti di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam. Tetapi Kabupaten Padang Pariaman tidak termasuk daerah kawasan pengembangan bawang merah.

(6)

Tabel 3. Luas Panen dan Hasil Bawang Merah di Sumatera Barat Tahun 2011. No. Kabupaten/Kota Luas panen

(Ha)

Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) Kabupaten 1 Pesisir Selatan 25 146 5,84 2 Solok 3030 30520 10,072 3 Tanah Datar 52 460 8,846 4 Padang Pariaman 10 107 10,70 5 Agam 117 769 6,572 6 Limapuluh Kota 13 64 4,923 7 Solok Selatan 96 322 3,354 Kota 1 Solok 22 44 2 2 Padang Panjang 2 13 6,5

Sumber: BPS, 2012. Sumatera Barat dalam angka.

Kompetisi dengan komoditas lain

Dataran tinggi Sumatera Barat merupakan daerah pengembang komoditas sayur-sayuran seperti kubis, tomat, cabe, buncis dan kentang. Usahatani komoditas tersebut sudah tentu menyerap sejumlah tenaga kerja dan memanfaatkan lahan yang luas. Apalagi pada waktu-waktu tertentu, yakni pada harga komoditas tersebut mencapai harga tertinggi. Sehingga usahatani bawang merah sedikit terabaikan untuk memperoleh tenaga kerja dan lahan usaha. Pada hal usahatani bawang merah membutuhkan tenaga kerja yang banyak mulai dari prapanen sampai pasca panen. Di dataran rendah Sumatera Barat, lahan usaha untuk pertanian masih tersedia. Lahan sawah tadah hujan yang tidak dimanfaatkan pada musim kemarau masih tersedia dan lahan kering yang masih terlantar masih ada atau lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk komoditas sayur, masih tersedia untuk usahatani bawang merah. Keadaan ini dapat ditemui di Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam.

Lahan pengembangan

Di Dataran tinggi Sumatera Barat usahatani komoditas sayur-sayuran sudah sangat intensif dan padat serta memiliki berbagai kendala untuk usahatani bawang merah, sehingga untuk pengembangan bawang merah mengalami kesulitan. Dataran rendah di Sumatera Barat, khususnya lahan tadah hujan yang hanya ditanami padi satu kali dalam setahun sangat berpeluang untuk dikembangkan. Di Sumatera Barat luas areal sawah tadah hujan tercatat seluas 53,724 ha yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota (BPS Sumbar, 2007 cit. Subarna, 2009). Daerah yang mempunyai areal sawah tadah hujan yang luas adalah Kabupaten Pesisir Selatan 11.484 ha (21,4%), Limapuluh Kota 8.144 ha (15,2%), Tanah Datar 5.878 ha (10,9%), Sijunjung 5.829 ha (10,8%), Pasaman Barat 4.890 ha (9,1%) dan Padang Pariaman 4.522 ha (8,4%). Memperhatikan luas lahan tadah hujan yang terdapat pada dataran rendah seperti di Kabupaten Pesisir Selatan,

(7)

Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam yang umumnya terdapat di dataran rendah sangat berpeluang untuk penanaman bawang merah. Saat ini sejumlah varietas sudah ada untuk dataran rendah dan sudah diuji daya adaptasinya yang sesuai pada dataran rendah Sumatera Barat (Tabel 1).

Dari pengamatan usahatani bawang merah di dataran rendah Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pesisir Selatan, gangguan hama dan patogen belum terlihat membahayakan usahatani bawang merah. Sehingga usahatani bawang merah akan berhasil, disamping faktor iklim sangat mendukung.

Sumber daya manusia

Usahatani bawang merah menyerap tenaga kerja yang banyak serta pengetahuan petani terhadap usahatani bawang merah harus cukup. Pada daerah Sentra produksi bawang merah di Sumatera Barat pengetahuan petani tentang usahatani bawang merah belum mencukupi, bahkan pada Sentra produksi di dataran rendah sangat kurang. Dilain pihak minat petani untuk memanfaatkan lahannya dengan tanaman bawang merah sangat tinggi. Disamping tenaga kerja yang cukup.

Di Sumatera Barat terdapat lembaga penelitian, perguruan tinggi dan dinas pertanian yang akan dapat melakukan pembinaan teknologi usahatani bawang merah. Dengan demikian sumber daya manusia untuk pengembangan bawang merah di dataran rendah Sumatera Barat sangat memmungkinkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebutuhan bawang merah untuk konsumen di Propinsi Sumatera Barat belum terpenuhi dikarenakan produksi bawang merah masih rendah, yaitu kurang dari 10 t/ha, sedangkan dari hasil penelitian di dataran rendah Kabupaten Padang Pariaman varietas Katumi mampu menghasilkan 15,01 t/ha. Sentra produksi bawang merah di dataran tinggi Sumatera Barat ditemukan faktor penghalang luas panen, kompetisi yang tinggi dengan komoditas sayur lainnya dan faktor untuk meningkatkan produktivitas seperti gangguan hama dan pathogen, suhu rendah, cahaya matahari yang kurang dan cuaca berkabut. Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam memiliki potensi untuk pengembangan bawang merah.

Kabupaten Padang Pariaman perlu dimasukkan sebagai Kawasan Pengembangan bawang merah di Sumatera Barat. Dukungan institusi terkait untuk pengembangan bawang merah sangat diharapkan, sehingga mewujudkan Sumatera Barat sebagai propinsi penghasil bawang merah tercapai.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., F. Nurdin, dan J. Harnas. 1997. Penggunaan Pestisida pada Tanaman Bawang Merah, Kentang, dan Kubis di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Seminar Tantangan Entomologi Abad XXI. Bogor, 8 Januari 1997. 7 hlm.

BPS. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia dan Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta.

BPS. 2012. Sumatera Barat Dalam Angka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) Provinsi Sumatera Barat dan Badan Pusat Statistik Sumatera Barat.

BPTP Sulteng. 2008. Budidaya Bawang Merah Vareiatas Lokal Palu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Len Bahri, Djanifah Jamaan, Ramailis dan Khairul. 2009. Pengkajian Bawang Merah Dataran Rendah. Laporan Tahunan. BPTP Sumatera Barat.

Puslitbanghorti. 2006. Katalog Teknologi Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura. Departemen Pertanian.

Rusli, I., Abd. Aziz, Kahairul Zen, Eka Mirnia, Atin Yuliatin, Sofial dan Nurhayati. 2012. Uji Adaptasi Beberapa Galur/Varietas Bawang Merah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi (Laporan Akhir Pengkajian) Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Barat. Rusli. 2002. Inventarisasi Penggunaan Pestisida oleh Petani Kubis di Kecamatan Lembah

Gumanti, Kabupaten Solok. Jurnal Stigma Vol X (4): 344 – 346.

Subarna, A. 2009. Pola Tanaman Padi dan Jagung Pada Lahan Sawah Tadah Hujan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Sumarni N. dan A. Hidayat. 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Gambar

Tabel 3. Luas Panen dan Hasil Bawang Merah di Sumatera Barat Tahun 2011.

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengaruh Atribut Produk terhadap Keputusan Pembelian adalah positif dan signifikan. Karena nilai rata-rata untuk nilai Atribut Produk yang didapat dari

Orang yang paling mengerti pribadi saya selain Mama yang telah memberikan motivasi dan segala dukungan yang bisa ia beri, ia curahkan segalanya pada sayai. Sosok yang

Cara penelitian dengan memberikan terapi jus labu siam selama 3 hari, dilakukan pengecekan tekanan darah pada awal pemberian hari ke 2 dan hari ke 3, didapatkan

Hasil pengolahan data kelerengan pada penampang Stasiun 1 bentuk sungai curam pada sisi kanan sungai dan sisi kanan sungai lebih tinggi dari pada sisi kiri,

contin numeric Pengeluaran bukan makanan untuk kelompok perumahan dan fasilitas rumah tangga selama sebulan yang lalu.. V277 r18_k4 Pengeluaran bukan makanan untuk kelompok aneka

Urutan rencana pelaksanaan tiap siklus adalah sebagai berikut: (1) Peneliti membuat rancangan pembela-jaran topik, membuat kompetensi dasar, indikator, tujuan

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT yangtelah melimpahkan segala nikmat-Nya dan Ridho-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan penelitian dengan

Berdasarkan rumusan masalah di atas dan dengan keterbatasan peneliti maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kemampuan motorik siswa sekolah