• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri

Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur

Rio Wikanjaya1, Saleha Sungkar2

1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Parasitologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

E-mail: riowikanjaya@gmail.com

Abstrak

Pengetahuan sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, begitu juga dengan pengetahuan mengenai T. trichiura dan upaya pencegahannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai T. trichiura. Penelitian dilakukan di pesantren X, Jakarta Timur dengan desain pre-post study. Data diambil pada tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner kepada 154 santri (total sampling). Kuesioner berisi pertanyaan mengenai morfologi dan siklus hidup T. trichiura; diberikan sebelum (pre-test) dan setelah penyuluhan (post-test). Hasil penelitian menunjukkan jumlah santri laki-laki 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%). Sebelum penyuluhan, santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai T. trichiura adalah 1 orang (0,6%), cukup 6 orang (3,9%), dan kurang 147 orang (95,5%). Setelah penyuluhan, santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik menjadi 11 orang (7,1%), cukup 44 orang (28,6%), dan kurang 99 orang (64,3%). Pada uji marginal homogeneity, terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura sebelum dan setelah penyuluhan (p<0,01). Disimpulkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai T. trichiura.

Effectiveness of Health Promotion towards the Knowledge Improvement of Students Regarding Trichuris trichiura in X Moslem School, East Jakarta

Abstract

Knowledge is crucial in affecting one’s attitude and behavior, including knowledge regarding T. trichiura and deterrence attempts. The goal of this research is to find out the health promotion effectiveness in improving knowledge regarding T. trichiura. This research was held in X Islamic Boarding School; pre-post study method was used. Data collection was done on the 22nd of January 2011 by handing out questionnaires to 154 students of X Muslim School that were picked out with the total sampling method. The questionnaires were about the morphology and the life cicle of T. trichiura. The result shows that the respondent has 91 (59.1%) boys and 63 (40.1%) girls. Before the health promotion, 1 student (0.6%) had good knowledge regarding T. trichiura, 6 students (3.9%) had adequate knowledge, and 147 students (95.5%) had poor knowledge. After the health promotion, the students that had good knowledge increased to 11 (7.1%), adequate knowledge increased to 44 students (28.6%), and poor knowledge decreased to 99 students (64.3%). On the marginal homogenity test, there is significant difference on the knowledge regarding T. trichiura before and after health promotion (p<0.01). Based on the result, health promotion is effective in improving knowledge level of students regarding T. trichiura.

(2)

Pendahuluan

Trikuriasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Trichuris trichiura, yang juga dikenal dengan cacing cambuk. Penyakit tersebut tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi 25% dan mayoritas menginfeksi penduduk di daerah tropis dan subtropis karena beriklim hangat dan lembab.1

Trikuriasis endemis di berbagai negara di dunia, baik negara maju maupun berkembang. Data

Worms and Human Disease2 menyebutkan bahwa 25% penduduk Amerika Selatan dan Amerika Tengah terinfeksi trikuriasis. Di Benua Afrika, sekitar 31% penduduknya terinfeksi trikuriasis, diantaranya 76% di Nigeria dan 70% di Kamerun. Di kawasan Timur Tengah dan India Selatan, prevalensi trikuriasis masing-masing sekitar 12%. Di Bangladesh tercatat 36% penduduknya terinfeksi trikuriasis dan 58% penduduk Asia Tenggara (termasuk Indonesia) terinfeksi trikuriasis. Pada riset tersebut, Ekpo et al3 melaporkan bahwa anak-anak usia SD memiliki prevalensi infeksi cacing (termasuk trikuriasis) yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan kesadaran akan kebersihan diri mereka sangat rendah dan mereka juga sering berkontak dengan tanah saat bermain. Dari penelitian tersebut Ekpo et al3 juga menyarankan

agar dilakukan suatu program untuk meingkatkan pengetahuan anak-anak tersebut, salah satunya melalui penyuluhan.3

Di Indonesia, T. trichiura banyak menginfeksi penduduk di daerah padat dengan kebersihan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Dengan kondisi lingkungan di Indonesia yang kebanyakan berupa tanah liat, trikuriasis banyak menginfeksi anak-anak karena mereka sering kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing saat bermain. Hasil survey Departemen Kesehatan RI di 40 sekolah dasar pada 10 provinsi menunjukkan bahwa prevalensi cacingan (termasuk trikuriasis) berkisar antara 2,2%-96,3%.4 Di lain pihak, prevalensi trikuriasis di Jakarta pada murid sekolah dasar tergolong tinggi. Departemen Kesehatan RI melakukan survey di suatu SD Kecamatan Kalibaru Jakarta Utara dan menghasilkan bahwa murid yang terinfeksi cacing usus (termasuk trikuriasis) adalah sebanyak 65%. Di Jakarta Timur, prevalensi trikuriasis pada anak usia sekolah sebesar 51,6%.5

Penderita trikuriasis, yang pada umumnya anak, sering mengalami diare dan apabila dalam keadaan infeksi berat dapat menyebabkan berat badan menurun, anemia berat, perforasi usus, serta sindrom disentri dengan komplikasi prolapsus rekti.2,6 Oleh karena itu upaya

(3)

pemberantasan dan pencegahan perlu dilakukan. Supaya pemberantasan dan pencegahan memberikan hasil yang efektif dan efisien, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai trikuriasis. Berbagai media seperti media elektronik, media cetak dan ceramah (penyuluhan kesehatan) dapat digunakan untuk memberikan berbagai pengetahuan, termasuk pengetahuan mengenai trikuriasis.7,8

Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri) tinggal di asrama.9 Umumnya lingkungan asrama tempat santri melakukan kegiatan sehari-hari memiliki kondisi yang padat dengan sanitasi yang kurang baik sehingga mereka mudah terinfeksi cacingan antara lain T. trichiura.

Di Jakarta Timur terdapat pesantren dengan tingkat kepadatan santri yang tinggi. Dengan kondisi tanah liat, pesantren di Jakarta Timur merupakan lingkungan yang sesuai untuk siklus hidup T. trichiura sehingga santri berpotensi terinfeksi cacing tersebut. Oleh karena itu, agar santri terhindar dari trikuriasis mereka perlu diberikan pengetahuan mengenai T. trichiura, siklus hidup, gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan melalui penyuluhan. Untuk mengetahui efektivitas penyuluhan, perlu dilakukan survei sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai trikuriasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Tinjauan Teoritis

T. trichiura ialah cacing yang dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan trikuriasis. T. trichiura berbentuk seperti cambuk sehingga memiliki nama lain cacing cambuk. 4 Cacing

cambuk dewasa yang berwarna merah muda memiliki bagian kepala yang halus dan bagian ekor yang gemuk.1 Bagian kepala yang halus ini berfungsi untuk melekat pada dinding sekum dan pada dinding apendiks, kolon atau bagian posterior ileum.6 Terdapat perbedaan morfologi antara cacing cambuk jantan dan betina, yaitu bentuk ekor cacing jantan yang melingkar sementara cacing betina memiliki ujung ekor yang membulat. Cacing cambuk jantan juga memiliki spikulum.6 Di bagian posterior cacing cambuk memiliki struktur yang lebih tebal dan berisi usus dan alat reproduksi.7 T. trichiura jantan memiliki panjang tubuh sekitar 30-45

mm, sementara T. trichiura betina memiliki panjang tubuh yang lebih besar, yaitu sekitar 35-50 mm.6 T. trichiura dapat hidup selama 1-5 tahun di usus manusia.1

(4)

Di bagian kepala cacing cambuk terdapat mulut yang sederhana, tanpa bibir namun terdapat bagian tubuh bernama stylet yang berfungsi untuk penetrasi mukosa usus. Esofagus cacing cambuk juga sederhana yang tersusun tanpa otot namun dilapisi oleh epitel batang selapis. Esofagus tersebut terletak di dua pertiga anterior tubuh cacing cambuk.2

Seekor cacing betina memiliki uterus yang mengandung sekitar 60 000 telur namun telur yang dihasilkan per harinya sekitar 2 000 sampai 20 000 butir.2 Telur yang dihasilkan berukuran 50-54µ x 23µ7 dan Telur T.trichiura memiliki bentuk menyerupai tong dengan tonjolan yang jernih di kedua kutubnya. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.6

Hospes utama T. trichiura ialah manusia, namun terkadang ada pula yang menginfeksi kera dan babi.5 Gambar 1 menjelaskan siklus hidup cacing cambuk. Siklus hidup T. trichiura dimulai ketika telur keluar bersama feses manusia dan akhirnya tersimpan di dalam tanah dan akan berubah menjadi infektif pada 10 sampai 14 hari di dalam tanah. Apabila telur yang infektif itu tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan manusia, telur itu akan menetas pada usus halus. Kemudian, larva T. trichiura berkembang di usus halus dan setelah dewasa, menetap di usus besar. Butuh waktu tiga bulan bagi T. trichiura untuk berkembang dari menetas hingga dewasa.1 Siklus hidup T. trichiura dapat dilihat di Gambar 1.

(5)

T. trichiura telah menginfeksi sekitar seperempat penduduk dunia. Di dunia, tercatat 800 juta

sampai 1.3 milyar kasus trikuriasis dengan jumlah kematian mencapai 10 000 jiwa per tahun. Persebaran penyakit tersebut meliputi 25% penduduk Amerika Selatan dan Amerika Tengah, 76% penduduk Nigeria, 70% penduduk Kamerun, 12 % penduduk India Selatan, 12% penduduk Timur Tengah, 36% penduduk Bangladesh, 0.01% penduduk jepang dan 58% penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dapat diperhatikan bahwa dari sebaran penyakit tersebut, negara yang memiliki iklim tropis dan subtropis dengan curah hujan tinggi dan temperatur antara 22-28oC memiliki prevalensi yang tinggi.

Penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa anak-anak lebih mudah terinfeksi trikuriasis. Hal tersebut disebabkan anak-anak sering bermain di luar rumah dan sering kontak langsung dengan tanah tanpa memerhatikan kebersihan diri.

Di Jakarta, prevalensi trikuriasis pada anak SD cukup tinggi; di Jakarta Utara 20%, Jakarta Barat 25,30%, Jakarta Selatan 33,58%, dan Jakarta Timur 47,67%.10

Infeksi ringan tidak menyebabkan gejala klinis yang khas kecuali diare. Pada infeksi ringan, telur yang ditemukan pada sampel feses juga sedikit namun sudah terjadi peningkatan eosinofil sebanyak 25%.2 Pada infeksi berat dan menahun menyebabkan disentri, perdarahan usus, prolapsus rekti, apendisitis, anemia berat, nyeri abdomen, pusing, anoreksia, kehilangan berat badan, mual, dan muntah.1,2,6 Disentri yang terjadi dapat berupa amebiasis. Meskipun larva cacing cambuk sempat memasuki intestinum tenue, perkembangan larva T.trichiura di dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik yang berarti. Trauma di dinding usus terjadi karena cacing membenamkan kepalanya di mukosa usus. Pada infeksi ringan kerusakan mukosa usus hanya sedikit.2

Infeksi ringan trikuriasis dapat didiagnosis dengan pemeriksaan tinja dibawah mikroskop untuk mencari telur cacing cambuk yang berbentuk seperti tong. Jumlah telur saat pemeriksaan berpengaruh dalam menentukan ringan atau beratnya infeksi, semakin banyak telur yang ditemukan saat pemeriksaan, semakin berat pula infeksi yang diderita.2 Pada

infeksi berat, sigmoidoskopi dapat digunakan untuk melihat cacing cambuk yang melekat di mukosa usus.2

(6)

Untuk mengobati trikuriasis obat yang digunakan adalah albendazol dan mebendazol. Untuk pengobatan menggunakan albendazol, dosis yang diberikan merupakan dosis tunggal 400 mg atau 1 x 200 mg selama 3 hari.Albendazol juga dapat dikombinasikan dengan ivermectin dan memberikan efek yang lebih baik daripada hanya dengan monoterapi albendazol.2 Mebendazol diberikan dengan dosis tunggal 500 mg atau 2 x 100 mg selama tiga hari berturut-turut. Setelah pengobatan dianjurkan ada tindakan lanjutan berupa pemeriksaan tinja 2-4 minggu.2,12 Albendazol dan mebendazol tidak dianjurkan diberikan kepada ibu hamil dan anak dengan usia di bawah 2 tahun.

Dengan memperhatikan siklus hidup cacing cambuk, langkah pencegahan dapat ditentukan melalui banyak cara. Upaya pencegahan yang paling utama adalah jangan sampai menelan telur cacing cambuk yang dapat dilakukan dengan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air, mencuci sayur sebelum dimakan mentah, memasak makanan sampai matang, memperhatikan kesehatan diri, dan lain-lain.7

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian). Pesantrian memiliki arti tempat tinggal para santri. Kata santri berasal kata “sastri” yang dalam Bahasa Sansekerta artinya melek huruf. Menurut Majid (dikutip dari Fahmi13) hal tersebut didasarkan atas kaum santri yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada pula yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata cantrik yang dalam Bahasa Jawa artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap

Secara istilah, Nasr (dikutip dari Fahmi13) berpendapat bahwa pesantren merupakan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren merupakan dunia yang mewarisi dan memelihara kelangsungan tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kyai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.

Berdasarkan KBBI, penyuluhan adalah proses, cara, perbuatan menyuluh atau menerangkan sesuatu. Depkes (dikutip dari Yustina14) mendefinisikan penyuluhan kesehatan sebagai

penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok, maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat.

(7)

Berbagai metode dapat digunakan untuk melakukan penyuluhan kesehatan. Berdasarkan media penyampaiannya, metode penyuluhan dapat melalui media cetak, media lisan, dan media terproyeksi. Berdasarkan hubungan penyuluh dan sasarannya, penyuluhan penyuluhan dapat dilakukan secara langsung berupa tatap muka atau telepon maupun secara tak langsung melalui leaflet, booklet, surat, dan sebagainya. Berdasarkan sasarannya, penyuluhan dapat ditujukan secara individual, kelompok, dan penyuluhan masyarakat.15

Menurut KBBI, pengetahuan berarti segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan suatu hal. Menurut Keraf (dikutip dari Pulungan15), pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia mengenai dunia dan isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Pendapat lain mengenai pengetahuan menurut Notoatmodjo (dikutip dari Pulungan15) adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu obyek

melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh persepsi dan intensitas perhatiannya terhadap objek tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain pre-post study karena peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura. Penelitian dilakukan di pesantren X, Jakarta Timur dan data diambil pada tanggal 22 Januari 2011. Pemilihan tempat didasarkan atas kesesuaian lokasi geografis dan sebaran karakteristik responden yang dianggap sesuai baik dari segi usia dan intelektual apabila diberikan materi penyuluhan mengenai cacing cambuk. Populasi target penelitian ini adalah santri Pesantren X, Jakarta Timur. Sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh santri Pesantren X, Jakarta Timur yang datang saat pengambilan data dilakukan. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan total sampling dan tidak ada kriteria inklusi maupun eksklusi.

Pengambilan data dilakukan di tempat penelitian, yaitu di pesantren X Jakarta Timur. Sebelum pengambilan data, peneliti menjelaskan mengenai apa yang akan dilakukan lalu meminta kesediaan subjek untuk mengikuti penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti memberikan kuesioner pre-test yang berisi pertanyaan mengenai T. trichiura yaitu morfologi dan siklus hidupnya.

(8)

Setelah pengisian selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Apabila terdapat subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam kuesioner, subjek diminta untuk mengisinya sampai terisi penuh. Selanjutnya, santri diberikan penyuluhan mengenai trikuriasis oleh tenaga kesehatan (dokter) yang berpengalaman. Setelah penyuluhan selesai, subjek diberikan kuesioner post-test yang pertanyaannya sama dengan

pre-test. Apabila terdapat subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam

kuesioner, subjek diminta untuk mengisinya sampai penuh. Setelah semua kuesioner dinyatakan lengkap, peneliti memberikan cinderamata kepada responden

Variabel bebas yang dipakai adalah penyuluhan, variabel tergantung adalah tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura, sedangkan variabel perancunya antara lain usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.

Data selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan SPSS for Windows ver.18. Analisis data dimulai dengan menggunakan analisis univariat untuk melihat penyajian distribusi frekuensi dari analisis variabel bebas dan variabel tergantung. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan tergantung. Uji analisis bivariat yang digunakan adalah uji marginal homogenity.

Hasil

Pesantren memiliki 220 santri yang terdiri atas 120 santri Madrasah Tsanawiyah dan 100 santri Madrasah Aliyah dengan program penjurusan hanya IPS. Jumlah guru pesantren berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Meskipun kegiatan santri terpusat di pondok pesantren, saat penelitian sebagian santri sedang pulang kerumah masing-masing karena pengambilan data dilakukan pada hari Sabtu sehingga jumlah santri yang diikutsertakan dalam penelitian sebanyak 154 orang.

Survei dilakukan kepada responden yang berjumlah 154 orang, dengan jumlah laki-laki sebesar 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%) dengan usia berkisar antara 12 sampai 20 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah responden yang berada pada tingkat madrasah tsanawiyah adalah 81 (52,6%) orang dan madrasah aliyah 73 (47,4%) orang. Survei sebaran responden berdasarkan sumber informasi disajikan pada tabel 1.

(9)

Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi

Jumlah Sumber Informasi Jumlah

Tidak mendapat informasi 0 (0%)

1 sumber informasi 1 (0,6%) 2 sumber informasi 26 (16,9%) 3 sumber informasi 77 (50%) 4 sumber informasi 33 (21,4%) 5 sumber informasi 11 (7,1%) 6 sumber informasi 7 sumber informasi 8 sumber informasi 4 (2,6%) 1 (0,6%) 1 (0,6%)

Data pada tabel menyatakan bahwa semua santri mendapatkan informasi mengenai T. trichiura. Setengah dari jumlah santri (50%) mendapat informasi mengenai T. trichiura dari 3 sumber. Sedangkan untuk sumber informasi yang paling berkesan bagi responden disajikan pada tabel 2 dengan 51,9% santri merasa dokter adalah sumber informasi yang paling berkesan.

Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Paling Berkesan

Sumber Informasi Paling Berkesan Jumlah

Guru 19 (12,3%) Dokter 80 (51,9%) Teman 1 (0,6%) Orang tua 42 (27,3%) Radio Internet 0 (0%) 6 (3,9%) Televisi 5 (3,2%) Koran Majalah Lain-lain 1 (0,6%) 0 (0%) 0 (0%)

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengetahuan santri meningkat pasca penyuluhan.Uji

marginal homogenity menunjukkan p<0,01 yang berarti pengetahuan santri sebelum dan

setelah penyuluhan memiliki peningkatan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai trikuriasis.

(10)

Tabel 3 Tingkat Pengetahuan Santri Mengenai Trikuriasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Variabel Tingkat Pengetahuan Uji

Baik Cukup Kurang

Sebelum 1 (0,6%) 6 (3,9%) 147 (95,5%) Marginal

homogenity (p<0,01)

Sesudah 11 (7,1%) 44 (28,6%) 99 (64,3%)

Dari tabel 4 tampak semua skor pengetahuan santri meningkat setelah penyuluhan kecuali skor pada pertanyaan no 10. Peningkatan skor tertinggi pada pertanyaan no. 7 dengan peningkatan sebesar 245 (32%). Meskipun demikian terdapat skor yang menurun sebesar 90 (12%) yaitu pada pertanyaan no. 10.

Tabel 4 Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai T. trichiura

No Pertanyaan Skor total Skor maks Persentase

Pre Post Pre Post

6 Cacing cambuk paling banyak

ditemukan pada... 225 250 770 29 32

7 Cacing yang bentuknya

seperti cambuk disebut… 245 490 770 32 64 8 Cacing cambuk hidup di… 380 440 770 49 57 9 Manusia dapat terinfeksi

cacing cambuk dengan cara… 415 450 770 54 58 10 Cacing cambuk memperoleh

makanan dengan cara… 266 176 770 35 23

Pembahasan

Pengetahuan sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Pengetahuan, dalam hal ini mengenai T. trichiura, dapat ditingkatkan dengan berbagai cara antara lain dengan penyuluhan. Peningkatan pengetahuan tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat mengenal cacing cambuk sehingga dapat terhindar dari infeksi trikuriasis.

(11)

Sekartini et al19 meneliti pengetahuan, sikap dan perilaku ibu yang memiliki anak usia SD. Hasilnya menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik mengenai cacingan memiliki perilaku untuk mencegah cacingan. Selain itu, dalam penelitian tersebut responden juga telah mengetahui pengobatan infeksi cacingan dan menerapkannya. Benthem et al20 yang meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand mengenai pemberantasan dan pencegahan DBD melaporkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya pencegahan yang jauh lebih baik. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Konraadt et al (dikutip dari Fadhlan20) yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai pencegahan DBD berbanding lurus dengan upaya melakukan pemberantasan sarang nyamuk.

Pada penelitian ini, jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang mengenai

T. trichiura adalah 95,5%, cukup 3,9%, dan baik hanya 0,6%. Hasil tersebut disebabkan

kurikulum pesantren yang hanya membahas ilmu sosial dan tidak membahas materi IPA sehingga santri tidak pernah membahas cacingan, termasuk trikuriasis. Pihak pesantren juga hanya memiliki dokter yang tidak memiliki ikatan dinas tetap di poskestren dan tidak memiliki program penyuluhan kesehatan yang berkala.

Sumber informasi yang paling berkesan bagi santri adalah dokter karena sumber informasi kesehatan di pesantren hanya dari dokter poskestren. Hal tersebut disebabkan kegiatan santri yang terpusat di pondok pesantren sehingga santri terisolasi dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, santri hanya mendapat tersebut sehingga informasi dari dokter lah yang menjadi informasi paling banyak dan berkesan.

Ginting17 dalam penelitiannya menyarankan pemerintah melakukan program pemeriksaan, pencegahan, dan penanggulangan cacingan. Penanggulangan salah satunya dapat berupa penyuluhan kesehatan, sebagaimana juga disarankan Mardiana et al.10

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai T. trichiura. Hal tersebut disebabkan santri yang mengikuti penyuluhan adalah murid madrasah tsanawiyah dan aliyah yang telah terbiasa mendapat materi berupa ceramah sehingga mereka dapat menyimak penyuluhan dengan baik. Hal lain yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan adalah santri mendapat informasi baru yang belum pernah didapat sehingga mereka antusias mengikuti penyuluhan. Selain itu penyuluhan

(12)

diberikan oleh dokter yang berpengalaman sehingga dapat memberikan informasi dengan baik dan menarik. Suprapto (dikutip dari Pasaribu21) menyatakan bahwa pada metode ceramah interaktif memberikan hasil yang baik karena terjadi komunikasi dua arah antara penyuluh dan responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Pasaribu bahwa metode penyuluhan kesehatan dengan cara ceramah memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden.21 Penelitian Pasaribu21 yang mengenai metode penyuluhan dengan ceramah dan buku bacaan menarik (komik) menunjukkan bahwa kedua metode penyuluhan tersebut meningkatkan pengetahuan responden secara bermakna. Meskipun demikian, pada ceramah terjadi komunikasi dua arah sehingga dikatakan lebih baik daripada komik.

Pengetahuan yang meningkat tidak selalu diikuti dengan perilaku yang baik. Pasaribu21

melaporkan bahwa siswa SD yang memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong baik belum tentu menerapkan pengetahuannya dalam mencegah infeksi cacingan karena pada umumnya siswa tersebut belum mendapat kebebasan dalam melakukan hal-hal yang diketahuinya. Selain itu, kemauan seseorang untuk menerapkan apa yang telah diketahuinya juga berpengaruh dalam perilaku. Oleh karena itu, pendidikan perilaku juga harus diberikan bersamaan dengan penyuluha.

Pada penelitian ini digunakan kuesioner yang berisi lima butir soal mengenai T. trichiura. Sebelum penyuluhan, secara umum responden banyak yang salah menjawab sehingga tingkat pengetahuan mereka tergolong rendah. Setelah penyuluhan, tingkat pengetahuan responden meningkat dan secara statistik dikatakan bermakna.

Pertanyaan pertama (nomor 6) adalah mengenai prevalensi trikuriasis apakah lebih banyak pada bayi, anak balita atau anak sekolah dasar. Sebanyak 53 responden menjawab kurang tepat karena menjawab anak usia sekolah dasar memiliki prevalensi tertinggi dan sebanyak 47 responden menjawab tidak tahu. Setelah penyuluhan, persentase skor meningkat sebanyak 3% karena responden yang menjawab tidak tahu berkurang menjadi 18 orang dan responden yang menjawab bayi, balita, dan anak usia sekolah dasar berturut-turut sebanyak 18, 40, dan 74. Tampak bahwa terdapat penurunan jawaban benar, yaitu balita. Peningkatan justru terjadi pada jumlah responden yang menjawab kurang tepat, yakni anak usia sekolah dasar. Hal itu disebabkan santri kurang aktif bertanya kepada penyuluh sehingga terjadi salah paham. Meskipun jawaban itu kurang tepat, skor yang responden dapat dengan menjawab soal ini

(13)

dengan jawaban tersebut adalah 1. Hal itu menyebabkan peningkatan pengetahuan yang rendah (hanya 3%).

Pada pertanyaan kedua (nomor 7) yang mengenai morfologi cacing yang menyerupai cambuk itu apakah Ascaris lumbricoides, T. trichiura, atau Oxyuris vermicularis, sebelum penyuluhan sebanyak 67 responden menjawab tidak tahu bentuk cacing yang menyerupai cambuk, meskipun 49 responden menjawab benar, T. trichiura. Apabila dilihat dari jumlah responden yang banyak menjawab tidak tahu, soal ini dapat dikategorikan sebagai soal sulit. Setelah penyuluhan, responden yang menjawab tidak tahu berkurang menjadi 26 dan yang menjawab

T. trichiura bertambah menjadi 98. Hal tersebut menyebabkan presentase skor keseluruhan

yang mulanya 32% meningkat menjadi 64%. Peningkatan tersebut merupakan peningkatan terbesar dari kelima soal kuesioner dan disebabkan oleh penyuluh yang relatif sering menyebutkan cacing cambuk atau T. trichiura pada saat penyuluhan. Penyebab lain adalah soal ini tergolong sulit sehingga responden penasaran dengan jawabannya. Rasa penasaran inilah yang membuat responden menunggu jawaban soal ini dari penyuluh dan mengingatnya. Pertanyaan ketiga (nomor 8) adalah mengenai tempat cacing cambuk menginfeksi dalam tubuh manusia apakah di dalam usus halus, usus besar, atau anus. Sebelum penyuluhan, sebanyak 76 responden telah menjawab benar yaitu di usus besar meskipun terdapat 35 responden menjawab di usus halus dan 27 menjawab di anus yang keduanya merupakan jawaban salah. Setelah penyuluhan, reponden yang menjawab usus besar meningkat menjadi 88, usus halus menjadi 27, dan anus menjadi 28. Skor keseluruhan pada soal ini meningkat dari 380 (49%) menjadi 440 (57%). Peningkatan tersebut dapat dikategorikan kurang dan membutuhkan penyuluhan lebih lanjut untuk meningkatkan kategori tingkat pengetahuan menjadi baik. Penyebab hal tersebut adalah penyuluhan tentang trikuriasis seperti ini baru dilakukan di pesantren untuk pertama kalinya sehingga kemungkinan santri mengalami kebingungan akan materi yang terlalu dalam.

Pertanyaan keempat (nomor 9) adalah mengenai cara cacing cambuk menginfeksi manusia apakah dengan cara tertelan telurnya, larva yang menembus kulit, atau tertelan cacing cambuk. Sebelum penyuluhan, sebanyak 82 responden telah menjawab benar yaitu tertelan telur cacing, 41 responden menjawab larva yang menembus kulit, dan sebanyak 24 responden menjawab tidak tahu. Setelah penyuluhan, terdapat peningkatan responden yang menjawab benar menjadi 88, yang menjawab larva menembus kulit dan tidak tahu

(14)

masing-masing sebanyak 41 dan 13 responden. Tampak bahwa jumlah responden yang menjawab tidak tahu menurun dan jumlah responden yang menjawab larva menembus kulit berjumlah tetap. Persentase skor setelah penyuluhan secara umum meningkat dari 54% menjadi 58%. Meskipun demikian, tingkat pengetahuan santri masih tergolong rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena responden mengalami lupa karena materi disampaikan secara berturut-turut dengan materi tentang skabies. Dengan demikian, dibutuhkan penyuluhan lebih lanjut agar peningkatan pengetahuan responden menjadi besar dan tergolong baik.

Pertanyaan kelima (nomor 10) adalah mengenai cara cacing cambuk mendapat makanan apakah dengan menghisap darah, menghisap zat gizi, atau memakan dinding usus. Jawaban benar pada soal ini adalah menghisap zat gizi, namun responden yang menjawab benar ternyata mengalami penurunan yang mulanya 59 menjadi 28. Sedangkan untuk jawaban menghisap darah terjadi peningkatan dari 29 menjadi 44 responden. Begitu juga dengan jawaban memakan dinding usus yang mengalami peningkatan dari 45 menjadi 56 responden. Hal tersebut disebabkan karena responden salah persepsi dan kurang mengerti pada saat penyuluhan berlangsung. Responden juga sama sekali tidak mengajukan pertanyaan kepada penyuluh saat penyuluhan. Penyebab lainnya karena penyuluh, dalam hal ini dokter, kurang jelas atau lupa menerangkan hal tersebut.

Dari kuesioner yang berisi lima pertanyaan tersebut, diketahui bahwa skor jawaban benar umumnya meningkat namun masih sedikit santri yang memiliki kategori pengetahuan baik. Maka dari itu, penyuluhan perlu dilakukan secara teratur supaya pengetahuan semua santri dapat meningkat.

Kesimpulan

Karakteristik santri adalah laki-laki 91 (59,1%), perempuan 63 (40,1); sebanyak 50% responden mendapatkan 3 jenis sumber informasi dan dokter (51,9%) adalah sumber paling berkesan. Sebelum penyuluhan, jumlah santri yang mempunyai tingkat pengetahuan baik 1 orang, cukup 6 orang, kurang 147 orang dan sesudah penyuluhan yang mempunyai tingkat pengetahuan baik 11 orang, cukup 44 orang, dan kurang 99 orang. Penyuluhan dengan metode ceramah efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai T. trichiura.

(15)

Saran

Tingkat pengetahuan santri Pesantren X perlu ditingkatkan agar mencapai kategori baik. Penyuluhan diberikan kepada santri secara rutin dan teratur oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai sikap dan perilaku responden yang berdampak pada upaya pencegahan trikuriasis.

Daftar Referensi

1. Feldmier H, Heukelbach J. Epidermal parasitic gut disease: a neglected category of poverty-assosiated plagues. Bull World Health Organ. 2009; 87: 152-9.

2. Muller R, Wakelin D. Worms and human disease 2nd ed. New York: CABI Publishing; 2002.

3. Ekpo UF, Odoemene SN, Mafiana CF, Sam-Wobo SO. Helminthiasis and hygiene conditions of schools in Ikenne, Ogun State, Nigeria. PLoS Negl Trop Dis.

2008;2(1):146.

4. Prevalensi trikuriasis untuk anak usia sekolah dasar. [internet]. Diunduh dari www.depkes.go.id (diakses pada 11 Januari 2011)

5. Trikuriasis di Jakarta. [internet]. Diunduh dari www.depkes.go.id (diakses pada 11 Januari 2011)

6. Guerrent RL, Walker DH, Weller DF. Tropical infectious disease: principle, phatogens, and practice 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingston; 2006.

7. WHO. Prevention and control of schistomiasis and soil-transmitted helminthiasis. Geneva: World Health Organization; 2002.

8. Prasetya L. Pengaruh program pemberantasan kecacingan terhadap perilaku orangtua murid SD di Kelurahan Pisangan Baru Jakarta Timur tahun 1993 [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1993.

9. Parsons J. Peran pesantren dan cita-cita santri putri: sebuah pembandingan diantara dua pondok pesantren di Jawa. [makalah]. Malang: Universitas Muhammadiyah; 2002.

10. Mardiana D. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar Wajibbelajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):69-74.

11. WHO. Preventive chemotherapy in human helminthiasis. Geneva: World Health Organization; 2006.

(16)

12. Yunus R. Keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1, 2, dan 3 hari pada anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Tembung.[Tesis]. Medan: Pascasarjana USU; 2008.

13. Fahmi MA. Modernisasi sistem pendidikan pesantren. [makalah]. Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel; 2009.

14. Yustina I. Perencanaan program penyuluhan. [makalah] Medan: FKM USU; 2003. 15. Pulungan R. Pengaruh metode penyuluhan terhadap nyamuk DBD di Kecamatan

Helvetia tahun 2007. [disertasi] [diunduh pada 13 Januari 2011] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6813/1/09E01341.pdf

16. Sadjimin T. Gambaran epidemiologi kejadian kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal Epidemiologi Indonesia. 2000;4(6):1-2

17. Ginting A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di desa tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. [skripsi] Medan: FKM USU; 2009

18. Pulungan R. Pengaruh metode penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah (PSN-DBD) di kecamatan Helvetia tahun 2007 [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana USU; 2008 19. Sekartini R. Wawolumaya C. Kesume W. Memy YD. Yulianti. et al. Pengetahuan,

sikap, dan perilaku ibu yang memiliki anak usia sd tentang penyakit cacingan di

Kelurahan Pisangan Baru, Jaktim. Diunduh dari

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/102002/art-1.htm. (diakses pada 12 Agustus 2011)

20. Fadhlan A. Tingkat pengetahuan siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Bayah mengenai pemberantasan sarang nyamuk DBD setelah penyuluhan [skripsi]. Jakarta: FKUI; 2010.

21. Pasaribu HER. Perbandingan penyuluhan kesehatan metode ceramah tanya jawab dengan penyuluhan kesehatan menggunakan buku kecacingan dalam mencegah reinfeksi Ascaris lumbricoides [tesis]. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2005.

Gambar

Gambar 1. Siklus hidup T. trichiura
Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi  Paling Berkesan
Tabel 4 Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai T. trichiura

Referensi

Dokumen terkait

Pada instalasi perpipaan pompa sentrifugal, kecepatan aliran di dalam pipa harus sesuai dengan kecepatan aliran yang diizinkan berdasarkan fluida kerjanya.. Kecepatan aliran

[r]

Tahap 1 (Pengumpulan data dan analisa) Tahap 1 ini dibagi menjadi beberapa fase. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk film dokumenter Kain

aliansi yang dilakukan Jepang dengan Amerika Serikat terutama dalam bidang militer dapat memperkuat keamanan kawasan serta Jepang itu sendiri karena jaminan

Yang diatas adalah bentuk sederhana dari kunci dasar C mayor, dan apabila dipindahkan atau digeser ke kolom bar / greep yang lain dengan bentuk yang sama maka akan

Sebuah bangsa yang memiliki militer yang kuat dapat memproyeksikan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa diabaikan.Di sisi lain, Indonesia sadar dengan kondisi

Dimana Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Tanjungpinang menyediakan pelatih khusus untuk melakukan pembinaan bagi siswa yang berprestasi pada event yang diselenggarakan