• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II: LANDASAN TEORI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

29

BAB II:

LANDASAN TEORI

A. MOTIVASI BERPRESTASI 1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Motivasi dalam bahasa Inggris disebut motivation yang berasal dari bahasa Latin

movere yang berarti „menggerakkan‟ (Steers & Porter, 1991). Luthans (2006) mengatakan

bahwa motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Motivasi ini mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling tergantung yaitu kebutuhan, dorongan, dan insentif. Kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif.

Motivasi menurut Winkel (1997) adalah sebagai daya penggerak dari dalam diri individu dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu. Chaplin (1999) mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran.

As‟ad (2003) menyatakan bahwa motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu.

McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat sosial, kebutuhan yang muncul akibat pengaruh eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan tersebut menjadi tiga, yaitu: kebutuhan berkuasa (need for power), kebutuhan berprestasi (need for achievement), kebutuhan berteman (need for affiliation).

(2)

30 Menurut McClelland (1987), motivasi berprestasi adalah daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang, yang mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal.

Schultz & Sidney (1994) juga memberi defenisi yang hampir sama bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan atau kebutuhan dalam diri individu untuk meraih hasil atau prestasi tertentu.

Heckhausen (1967) menjabarkan bahwa motivasi berprestasi sebagai usaha keras individu untuk meningkatkan atau mempertahankan kecakapan diri setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan standar keunggulan sebagai pembanding. Standar keunggulan yang dimaksud adalah berupa prestasi orang lain atau prestasi sendiri yang pernah diraih sebelumnya.

Sementara itu, menurut Santrock (2003), motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu demi tercapainya suatu standar kesuksesan atau melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan suatu kesuksesan.

Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut McClelland adalah mereka yang task-oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-tugasnya dengan beberapa cara seperti membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan standar tertentu. Selain itu McClelland juga mengartikan motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai prestasi secara optimal (McClelland,1987).

Dengan mengutip pendapat Atkinson dan Raynor, Santrock (2003) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memiliki harapan untuk sukses yang lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan, serta tekun pada setiap usahanya ketika menghadapi tugas dan keadaan yang sulit.

(3)

31 Individu yang dimotivasi dengan motif ini akan cenderung aktif, pekerja keras, menetapkan tujuan yang tinggi, menyukai tugas yang menantang, merasa senang bila berhasil mengerjakan tugas sulit dan melihat kepada kualitas. Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan mengerjakan sesuatu secara optimal karena mengharapkan hasil yang lebih baik dari standard yang ada (Fortune, Lee, & Cavagos, 2005). Adanya motivasi berprestasi membuat seseorang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya (McCelland, 1987).

Dari berbagai pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang menggerakkan seseorang untuk menggunakan seluruh kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaannya demi meraih prestasi yang paling baik.

2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi

Ada beberapa aspek dari individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang dijabarkan oleh McClelland (1987) yakni sebagai berikut:

a) Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang

Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan enggan melakukannya. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dengan taraf kesulitan sedang yang dianggap realistis sesuai dengan kemampuannya untuk melakukan tuntutan pekerjaan. Orang yang bermotivasi berprestasi rendah hanya menyukai tugas-tugas dengan kesulitan taraf rendah. Robbins (2002) menambahkan bahwa orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan.

(4)

32 b) Bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya

Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara pribadi terhadap performanya. Mereka akan memperoleh kepuasan setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawab personal terhadap tugas yang dilakukan. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. Sementara yang memiliki motivasi berprestasi rendah lebih suka melemparkan tanggung jawab kepada orang lain dan enggan menuntaskan suatu tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

c) Menyukai umpan balik

Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat memberikan informasi kepada karyawan apakah hasil kerjanya telah berhasil mencapai hasil seperti yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi mengharapkan umpan balik dan membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standar tertentu. Individu tersebut senang mendapatkan umpan balik yang tepat, cepat dan jelas dari apa yang telah mereka kerjakan. Umpan balik menunjukkan seberapa baik mereka telah bekerja. Mereka selalu mengontrol hasil kerja mereka karena tidak suka mengambil risiko untuk gagal. Sedangkan bagi orang yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung tidak menyukai umpan balik dan kurang senang jika kinerjanya dibandingkan dengan kinerja orang lain.

(5)

33 d) Inovatif

Mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi juga selalu berupaya untuk lebih inovatif, menemukan cara baru yang lebih baik dan efisien untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka didorong oleh motif efisiensi, dimana mereka memperhitungkan keefisienan ketika melakukan sesuatu dengan lebih baik. Mereka senang mencari informasi untuk menemukan cara menyelesaikan tugas dengan lebih baik dan menghindari cara kerja yang monoton dan rutin. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mencari kesempatan yang menantang mulai dari yang mampu mereka lakukan sampai pada sesuatu kesempatan yang sedikit lebih menantang. Ketika orang yang memiliki kebutuhan berprestasi meraih kesuksesan pada tugas dengan taraf kesulitan sedang, maka mereka akan terus meningkatkan level aspirasi mereka dengan cara yang realistis, sehingga dapat bergerak menuju tugas yang lebih sulit dan lebih menantang. Sementara itu, orang yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung tidak ingin mengubah cara kerjanya dan lebih suka bekerja yang monoton.

e) Ketahanan

Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki ketahanan kerja yang lebih tinggi dalam mengerjakan tugas dibanding dengan orang dengan motivasi berprestasi rendah yang mudah bosan atau jenuh. Individu tdengan motivasi berprestasi tinggi umumnya mampu bertahan terhadap tekanan sosial yang ada. Orang dengan motivasi berprestasi tinggi percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat dan baik serta mampu mengerjakan pekerjaan yang serupa dengan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang.

(6)

34 Dari ciri-ciri ini dapat diketahui bahwa individu dengan kebutuhan berprestasi tinggi memiliki orientasi yang besar pada tugasnya. Individu yang mencari kesuksesan lebih memilih tugas yang agak sulit dengan imbalan yang seimbang. Di samping itu, individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan sukses dalam lingkungan kompetitif, yaitu lingkungan yang menuntut mereka bersaing secara sehat dengan rekan kerjanya (McClelland (1987); Steers & Porter, 1991). McClelland juga menambahkan bahwa motivasi berprestasi tinggi ini merupakan motivasi yang dipelajari yaitu motivasi yang diperoleh manusia dari pengalaman pada masa awal kehidupan terutama dari orang tua. Motivasi berprestasi ini juga dapat ditingkatkan melalui program pelatihan (McClelland, 1987; Steers & Porter, 1991).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

a) Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah:

1) Kemungkinan sukses yang dicapai

Mengacu pada persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang akan dicapai ketika melakukan tugas. Semakin tinggi persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang dicapai maka individu tersebut akan semakin termotivasi untuk berprestasi.

2) Self-efficacy

Mengacu pada keyakinan individu pada dirinya untuk mampu mencapai sukses. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka individu akan semakin

(7)

35 termotivasi untuk berprestasi. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yakin bahwa diri mereka mampu mengerjakan suatu tugas.

3) Value

Mengacu pada pentingnya tujuan bagi individu. Dengan melakukan sesuatu yang lebih baik, maka itu dapat memberikan pengaruh penting terhadap diri mereka. Individu yang menilai bahwa tujuan itu sangat penting akan membuat individu tersebut akan semakin termotivasi untuk mencapainya karena nilai dapat mengaktifkan usaha individu untuk mencapai performa yang lebih baik.

4) Ketakutan terhadap kegagalan

Mengacu pada perasaan individu tentang kegagalan yang akan membuat individu untuk semakin termotivasi sebagai upaya untuk mengatasi kegagalan. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan selalu berusaha supaya tugas yang ia kerjakan tidak mengalami kegagalan.

5) Faktor lainnya yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, usia, kepribadian dan pengalaman kerja.

McClelland menjelaskan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Laki-laki memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena laki-laki lebih dilatih untuk aktif, kompetitif, dan mandiri daripada perempuan karena perempuan lebih pasif, selalu bergantung pada orang lain dan kurang percaya diri. Usia juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Kualitas motivasi berprestasi mengalami perubahan sesuai dengan usia individu. Motivasi berprestasi individu tertinggi pada usia 20-30 tahun, dan mengalami penurunan setelah usia pertengahan.

(8)

36 Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang yang bersumber dari luar diri individu tersebut. Faktor ekstrinsik ini dapat berupa kepemimpinan, hubungan antar rekan sekerja, sistem pembinaan dan pelatihan, sistem kesejahteraan, lingkungan fisik tempat kerja, budaya organisasi, status kerja, administrasi dan kebijakan perusahaan (Herzberg, 1990; Siagian, 2001). Zainuddin (2004) menegaskan bahwa status kerja, upah, keamanan kerja, kesempatan karir dan lain-lain akan memberikan andil terhadap munculnya motivasi berprestasi.

B. GAYA KEPEMIMPINAN MELAYANI 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Melayani

Menurut Robbins (2002) kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Menurut Kartono (2006), kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi conform dengan keinginan pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dalam menentukan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2003).

Ahli lain mengutarakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektifitas dan keberhasilan organisasi (House & Shamir, 1993; Yukl, 1998).

Barry & Derek (1993) menyebutkan bahwa peran kepemimpinan memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja karyawan. Pemimpin dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat memotivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu. Peran pemimpin adalah mendorong bawahan supaya

(9)

37 memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam mengantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja.

Gagasan mengenai kepemimpinan melayani (servant leadership) sebenarnya telah menjadi perhatian sejak tahun 1960. Greenleaf dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan. Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Servant as Leader yang menerangkan bahwa servant leadership adalah kepemimpinan yang secara alami menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi dan seorang pemimpin mengerti bahwa memimpin itu adalah menjadi pelayan terlebih dahulu (Spears, 2010). Dengan kata lain, servant leadership merupakan seorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya, karena itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi pribadi (personal ambitious) dan kesukaannya semata.

Banyak ahli yang mencoba membandingkan servant leadership dengan bentuk kepemimpinan yang lain. Bass, et al. (2003) dalam diskusinya tentang transformational

leadership dengan bentuk kepemimpinan yang lain menyatakan bahwa terdapat banyak

kesamaan servant leadership dengan transformational leadership. Kesamaan tersebut terkait dengan karakteristik vision, influence, credibility, trust, dan service. Namun, servant

leadership mempunyai tingkat lebih tinggi dari transformational leadership karena terdapat

penyamaan (alignment) motif pemimpin dan bawahan.

“The servant-leader is servant first. It begins with the natural feeling that one wants

to serve...” (Greenleaf, 1977). Faktor utama dalam kepemimpinan melayani dimulai dengan

perasaan alami ingin melayani. Kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan orang lain. Senjaya (2003) menegaskan bahwa servant leadership semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani sebagai hasilnya. Kepemimpinan melayani memfasilitasi bawahannya atau anggotanya untuk

(10)

38 mencapai tujuan yang diharapkan (Smith, Montagko, & Kuzmenko, 2004). Servant

leadership memandang kepemimpinan bukan status atau posisi, tetapi sebagai kesempatan

untuk melayani sebagai bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan sepenuhnya. Chandra (2005) mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang melayani bila memiliki hati yang melayani. Artinya ia meletakkan kebutuhan dan minat orang lain di atas minat dan kebutuhan dirinya. Seringkali ia melakukan hal ini karena ia pernah merasakan dilayani seseorang, mengalami pemulihan karena ditolong seorang pemimpin, atau mampu mengembangkan visi yang tajam karena dialog dengan seorang pemimpin dan sebagainya.

Servant leadership merupakan suatu tipe atau model kepemimpinan yang

dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan berupa menurunnya kepercayaan

follower terhadap keteladanan pemimpinnya (Mukasabe, 2004). Hal ini karena perilaku yang

dicerminkan dari seorang servant leaders yaitu cenderung menjadi teladan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Contoh perilaku servant leaders misalnya mendengarkan pendapat dari anak buahnya (altruistic calling), menyembuhkan rasa emosional yang sedang bergejolak pada anak buahnya (emotional healing), bijaksana dalam mengambil keputusan (wisdom), lebih mengutamakan tindakan-tindakan persuasif

(persuasive mapping) dari pada otoritas posisional seseorang (organizational stewardship)

(Barbuto & Wheeler, 2006). Selain itu, servant leaders biasanya terjun langsung didalam organisasi untuk bisa membangun dan mendorong karyawannya untuk terus berkembang. Hal ini bisa berupa memberikan pelayananan dan pertolongan apabila karyawan mengalami kesulitan dalam organisasi.

Dari berbagai defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan melayani adalah kepemimpinan yang sangat memperhatikan kepentingan pengikut dan komunitasnya,

(11)

39 mendahulukan pelayanan terhadap orang lain daripada dirinya sendiri, dan berusaha mengembangkan diri pengikutnya.

2. Fungsi Kepemimpinan

Nahavandi (2000) mengutip pandangan Stephen Covey menyebutkan bahwa terdapat 4 fungsi kepemimpinan:

a. Fungsi Perintis (Pathfinding):

Upaya pemimpin memahami dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholders, misi dan nilai-nilai yang dianutnya serta yang berkaitan dengan visi dan strategi, yaitu kemana perusahaan akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai kesana.

b. Fungsi Penyelaras (Aligning):

Pemimpin mampu menyelaraskan keseluruhan sistim dalam organisasi perusahaan agar mampu saling bekerja dan saling sinergis.

c. Fungsi Pemberdayaan (Empowering):

Kemampuan pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan agar setiap orang mampu melakukan yang terbaik dan selalu mempunyai komitmen yang kuat. Pemimpin harus memahami sifat pekerjaan yang diemban dan yang diembankannya kepada orang lain. Ia harus tahu siapa mengerjakan apa.

d. Fungsi Panutan (Modeling):

Pemimpin harus menjadi panutan bagi anggotanya. Bagaimana dia bertanggung jawab atas tutur kata, sikap, perilaku, dan keputusan yang diambilnya. Sejauh mana ia melakukan apa yang dikatakannya.

(12)

40 Setelah mempertimbangkan tulisan Greenleaf secara hati-hati, Spears (2010) mengidentifikasi 10 karakteristik kepemimpinan melayani, yaitu:

1) Listening

Secara tradisional, pemimpin dinilai dari keterampilan mereka berkomunikasi dan megambil keputusan. Hal itu penting, tetapi pemimpin juga harus terdorong dengan penuh komitmen untuk mendengar orang lain secara intens. Servant leader berusaha mengidentifikasi kemauan kelompok dan menolong untuk memperjelasnya. Servant

leader bersedia mendengarkan apa yang dikatakan (said) dan yang tak dikatakan

orang lain (unsaid). Listening ini termasuk kemampuan mendengar suara dari dalam diri seseorang (inner voice).

2) Empathy

Servant leader berusaha memahami dan berempati atas orang lain sebab tiap orang

ingin diterima dan diakui atas keunikan mereka masing-masing. Keberhasilan servant

leader adalah ketika ia mampu menjadi pendengar yang penuh empati. 3) Healing

Penyembuhan suatu hubungan merupakan kekuatan yang mendorong transformasi dan integrasi. Kekuatan servant leader adalah ketika ia mampu menyembuhkan diri seseorang dan hubungan seseorang dengan yang lain. Banyak orang yang jiwanya remuk dan menderita karena bergam luka emosional. Meski ini merupakan hakikat manusia, tetapi servant leader bersedia untuk menolong mereka.

4) Awareness

Kesadaran yang umum dan kesadaran diri yang khusus menguatkan servant leader. Kesadaran menolong seseorang dalam memahami isu-isu seperti etika, kekuatan, dan nilai. Itu juga berarti bahwa ia mampu memandang situasi secara integral dan menyeluruh.

(13)

41

5) Persuasion

Servant leader mampu meyakinkan orang lain, bukan dengan memakasa. Ia bisa

efektif membangun kesepakatan di dalam kelompok.

6) Conceptualization

Servant leader berusaha menjaga kemampuan mereka untuk memimpikan impian

yang lebih besar. Ia memiliki kemampuan untuk melihat masalah atau organisasi dari sebuah perspektif yang terkonseptualisasi dan berpikir melampaui realitas sehari-hari. Ia mampu membuat sasaran operasional jangka panjang. Cara berpikirnya luas. Ia mampu menyeimbangkan cara berpikir konseptual dengan pendekatan operasional sehari-hari.

7) Foresight

Sangat berkaitan dengan konseptualisasi, yaitu kemampuan meramalkan akibat dari suatu situasi yang sulit didefenisikan, tetapi mudah diidentifikasi. Kemampuan melihat ke depan memampukannya memahami tugas di masa lalu, realitas saat ini, dan konsekuansi sebuah keputusan di masa depan.

8) Stewardship

Block (1993) mendefenisikan stewardship sebagai “holding something in trust for

another”. Servant leader ini mengutamakan komitmen untuk melayani kebutuhan

orang lain. Ia lebih menekankan penggunaan keterbukaan dan persuasi, ketimbang kontrol.

9) Commitment to the Growth of People

Servant leader yakin bahwa orang lain memiliki nilai intrinsik melampaui kontribusi tangible mereka sebagai pekerja. Pemimpin sangat menekankan tanggung jawab

untuk mengembangkan karyawan secara personal dan secara profesional. Hal dilakukan misalnya dengan memperhatikan dengan seksama pendapat orang lain,

(14)

42 melibatkan karyawan dalam membuat keputusan, dan menolong karyawan yang terkena PHK.

10) Building Community

Pemimpin berusaha mencari berbagai cara untuk membangun suatu komunitas yang baik di tempat kerja.

Wong & Page (2003) mengajukan kerangka kerja konseptual untuk mengukur servant

leadership dalam 4 kategori, yaitu:

1) Character-orientation, berkenaan dengan sikap pemimpin; fokus pada nilai, kredibilitas dan motif pemimpin (contoh: integritas, humility, dan servanthood); 2) People-orientation, berkenaan dengan mengembangkan sumber daya manusia;

fokus pada hubungan pemimpin dengan bawahan dan komitmen pemimpin untuk mengembangkan mereka (contoh: caring for others, empowering others,

developing others);

3) Task-orientation, berkenaan dengan pencapaian produktivitas dan keberhasilan; fokus pada tugas pemimpin dan keterampilan yang diperlukan untuk berhasil (contoh: visioning, goal setting, dan leading);

4) Process-orientation, berkenaan dengan peningkatan efisiensi organisasi; fokus pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan sistem terbuka, efisien dan fleksibel.

Perilaku servant leadership yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Servant Leadership

Scale dari Barbuto & Wheeler (2006) terdiri dari 5 (lima) dimensi, yaitu: altruistic calling, emotional healing, wisdom, persuasive mapping, dan organizational stewardship.

Jika digabungkan, maka kategori characteristic-orientation diwakili oleh wisdom,

(15)

task-43

orientation diwakili oleh organizational stewardship, persuasive mapping, dan vision; process-orientation diwakili oleh service.

Berdasarkan toeri Spears (2010), Wong & Page (2003) serta Barbuto & Wheeler (2006) di atas, Wike dan Meily (2012) memodifikasinya menjadi 8 aspek kepemimpinan melayani, yaitu:

1) Altruistic calling

Menggambarkan hasrat yang kuat dari pemimpin untuk membuat perbedaan positif pada kehidupan orang lain dan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri dan akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bawahannya.

2) Emotional healing

Menggambarkan komitmen seorang pemimpin dan keterampilannya untuk meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahan dari trauma atau penderitaan. 3) Wisdom

Menggambarkan pemimpin yang mudah untuk menangkap tanda-tanda di lingkungannya, sehingga memahami situasi dan memahami implikasi dari situasi tersebut.

4) Persuasive mapping

Menggambarkan sejauhmana pemimpin memiliki keterampilan untuk memetakan persoalan dan mengkonseptualisasikan kemungkinan tertinggi untuk terjadinya dan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan peluang. 5) Organizational stewardship

Menggambarkan sejauh mana pemimpin menyiapkan organisasi untuk membuat kontribusi positif terhadap lingkungannya melalui progam pengabdian masyarakat

(16)

44 dan pengembangan komunitas dan mendorong pendidikan tinggi sebagai satu komunitas.

6) Humility

Mengambarkan kerendahan hati pemimpin, serta menempatkan dan menghargai prestasi orang lain lebih daripada prestasi sendiri.

7) Vision

Menggambarkan sejauhmana pemimpin mencari komitmen semua anggota organisasi terhadap visi bersama dengan mengajak anggota untuk menentukan arah masa depan organisasi dan menuliskan visi bersama.

8) Service

Menggambarkan sejauhmana pelayanan dipandang sebagai inti dari kepemimpinan dan pemimpin menunjukkan perilaku pelayanannya kepada bawahan.

Semua karakteristik dari servant leadership tersebut tidaklah saling terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang saling mendukung (Spears, 2010).

(17)

45 C. BUDAYA ORGANISASI

1. Pengertian Budaya Organisasi

Setiap organisasi memiliki budaya. Pada hakikatnya budaya merupakan faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya (Soeroso, 2003). Menurut Ndraha (2003) yang mengutip Piti Sithi-Amnuai, begitu organisasi berdiri, pembentukan budayanya pun dimulai. Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah yang menyangkut perubahan-perubahan eksternal, maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi.

Budaya organisasi sering diartikan sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi lain (Schein, 1992). Dengan demikian, dalam suatu budaya organisasi yang kuat, nilai inti organisasi itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai itu, makin kuat budaya tersebut.

Robbins (2002) mengatakan budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota suatu organisasi yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Budaya organisasi merupakan pengendali arah dalam membentuk sikap dan perilaku para anggota di dalam suatu organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dari budaya organisasi dan pada umumnya anggota organisasi akan dipengaruhi oleh beraneka ragamnya sumber daya yang ada.

Budaya merupakan seperangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok dalam suatu organisasi, yang membentuk dan mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam membentuk dan

(18)

46 mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam memecahkan masalah (Gibson et.al, 1996).

Mangkunegara (2000) menyimpulkan pengertian budaya organisasi sebagai seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

Dari beberapa pandangan di atas, bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem pengertian bersama yang dianut oleh anggota suatu organisasi yang menciptakan pola keyakinan, nilai, dan harapan sehingga hal tersebut membedakannya dari organisasi yang lain.

Menurut Cartwright (1999), perilaku, kepribadian, dan sikap kerja orang-orang dalam suatu organisasi dibentuk oleh budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya budaya organisasi dalam mempengaruhi motivasi dan kinerja, baik pemimpin maupun karyawan, dalam suatu organisasi ataupun perusahaan.

Menurut Agung & Lilik (2007), ada tiga macam proses terbentuknya budaya perusahaan, yaitu budaya diciptakan oleh pendirinya; budaya terbentuk sebagai upaya menjawab tantangan dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal; dan budaya diciptakan oleh tim manajemen sebagai cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara sistematis.

2. Peran dan Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2002), peran atau fungsi budaya di dalam suatu organisasi adalah: a. Sebagai tapal batas yang membedakan secara jelas suatu organisasi dengan organisasi

yang lain.

(19)

47 c. Memudahkan penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas daripada

kepentingan individu.

d. Mendorong stabilitas sistem sosial, merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.

e. Membentuk rasa dan kendali yang memberikan panduan dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Menurut Bratakusumah (2002) nilai-nilai (values) adalah ukuran yang mengandung kebenaran dan kebaikan tentang keyakinan dan perilaku organisasi yang paling dianut dan digunakan sebagai budaya kerja dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan misi dan visi organisasi.

Menurut Hofstede (1997), nilai-nilai yang terbentuk di dalam suatu organisasi kerja, sumbernya dari masyarakat yang kemudian dibawa ke dalam organisasi ketika seseorang menjadi anggota organisasi kerja tertentu. Nilai-nilai dari suatu masyarakat diyakini dominan mempengaruhi budaya perusahaan tempat organisasi berada. Nilai terbentuk mulai dari keluarga, sosial, sekolah dan universitas. Nilai-nilai budaya merupakan gejala kolektif dan lebih mencerminkan gejala komunitas. Hofstede juga menyimpulkan bahwa nilai-nilai para pendiri dan pemimpin kunci membentuk budaya perusahaan.

Menurut Tjitra (2007), untuk mencapai keberhasilan yang permanen, organisasi perlu membangun core values yang membentuk budaya organisasi. Nilai-nilai ini akan memotivasi setiap orang dalam organisasi, berfungsi memperjelas alasan organisasi untuk bertindak dan melakukan sesuatu. Nilai inti ini juga menjadi ukuran dalam menentukan prioritas dalam pengambilan keputusan dan menjadi pedoman perilaku anggota organisasi.

Majer (2006) mengatakan bahwa adalah menjadi hal yang penting menemukan nilai-nilai yang merupakan nilai-nilai inti seluruh anggota organisasi untuk dihayati. Nilai-nilai-nilai organisasi tidak akan berarti bila hanya tertulis tanpa dihayati oleh seluruh anggota

(20)

48 organisasi. Nilai-nilai yang dipegang teguh oleh anggota organisasi akan membentuk keyakinan dan sikap anggota yang pada gilirannya akan menentukan bagaimana mereka berperilaku.

3. Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya yang akan menjadi penuntun perilaku anggota organisasi dapat diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lain melalui bebagai cara. Menurut Robbins (2002). Adapun cara yang dapat dilakukan agar budaya selalu menjadi tradisi bagi anggota organisasi tersebut adalah sebagai berikut:

a) Melalui berbagai cerita

Budaya yang dibentuk biasanya lewat penceritaan tentang sejarah berdirinya perusahaan dan mulai terbentuk sampai menuju kesuksesan, berbagai keputusan penting yang pernah diambil, dan mengenai manajemen puncak sekarang ini.

b) Upacara atau Ritual

Acara ritual dapat digunakan juga sebagai penerus suatu budaya. Aktivitas seperti pemberian penghargaan tiap tahun bagi karyawan terbaik, piknik tiap akhir tahun, perayaan hari besar bersama. Tujuan dari acara seperti ini adalah pengungkapan dan memperkuat nilai atau budaya perusahaan tersebut, serta tujuan apa yang penting, orang mana yang penting, dan mana yang dapat ditingkatkan.

c) Berbagai Simbol Materi

Simbol materi seperti desain serta penataan fisik ruang dan gedung, perabot kantor, kebiasaan eksekutif, serta cara berpakaian merupakan suatu pengungkapan kepada pegawai siapa yang penting, tingkat dan derajat kesamaan yang diinginkan manajemen puncak, dan perilaku tertentu yang sesuai.

(21)

49 Banyak perusahaan dan unit dalam sebuah perusahaan yang menggunakan bahasa sebagai suatu cara untuk mengidentifikasi para anggota dari suatu budaya atau subbudaya. Dengan mempelajari bahasa, para anggota membuktikan bahwa mereka telah menerima budaya tersebut dan dengan melakukan hal tersebut mereka membantu mempertahankannya.

Budaya sebagai acuan berperilaku bagi anggota organisasi dapat diwariskan secara turun temurun dan generasi ke generasi melalui berbagai cara. Apabila budaya telah terbentuk dan memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup perusahaan, maka sewajarnya budaya tersebut dipertahankan. Mempertahankan budaya yang sudah terbentuk dan budaya tersebut adalah berkontribusi besar terhadap pencapalan kinerja organisasi.

4. Aspek-aspek Budaya Organisasi

Robbins (2002) dan juga McShane & Von Glinow (2009) menjabarkan aspek-aspek budaya organisasi sebagai berikut:

1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and Risk Taking), yaitu sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko dalam suatu pengalaman atau kesempatan. Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan. Hal ini juga bersifat rendah pada kehati-hatian.

2) Perhatian terhadap detil (Attention to Detail), yaitu sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian.

3) Berorientasi kepada hasil (Outcome Orientation), yaitu sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang

(22)

50 digunakan untuk meraih hasil tersebut. Berusaha mencapai ekspektasi yang tinggi dan juga berorientasi pada tindakan.

4) Berorientasi kepada manusia (People Orientation), yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi. Perhatian pada keadilan dan toleransi terhadap manusia sangat diutamakan.

5) Berorientasi tim (Team Orientation), yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim dan tidak hanya pada individu-individu untuk mendukung kerjasama (kolaborasi).

6) Agresifitas (Aggressiveness), yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya kendati kurang menekankan tanggung jawab sosial.

7) Stabilitas (Stability), yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan. Dimensi ini mencakup orientasi pada aturan, menghargai rasa aman dan stabilitas.

Masing-masing aspek ini berada pada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh aspek ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai budaya sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

(23)

51 D. DINAMIKA PENGEMBANGAN MODEL

1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Melayani dengan Motivasi Berprestasi

Wahjosumidjo (1993) mengatakan bahwa kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, selain itu bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap karyawan, kolega maupun pimpinan itu sendiri.

Meskipun penelitian tentang servant leadership banyak diminati oleh beberapa peneliti akhir-akhir ini, namun penelitian tentang servant leadership masih jarang dilakukan oleh sejumlah peneliti, terutama yang meneliti tentang servant leadership dengan motivasi berprestasi.

Tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan bagi pengikut untuk melaksanakan pekerjaan (Yukl, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dick & Kark (2007) dan Anderson, Griego, & Stevens (2008) menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dan pengikutnya. Demikian juga dengan penelitian Smith, et.al (2004) menunjukkan bahwa servant leadership diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Wilhelmina (2005) yang berjudul “Pengaruh

Servant Leadership terhadap Motivasi Pelayanan dan dampaknya pada Komitmen Pelayanan

Majelis Jemaat: Studi pada Majelis Jemaat GPM Klasis Pulau Ambon”, ditemukan bahwa

(24)

52 2. Hubungan Budaya Organisasi dengan Motivasi Berprestasi

Karyawan yang mempunyai kreativitas dan komitmen tinggi akan berusaha meningkatkan motivasi berprestasinya agar mampu mencapai tujuan perusahaan. Selain itu, karyawan yang mempunyai kualitas baik, mampu berperilaku sesuai budaya perusahaan, bermotivasi prestasi tinggi, dan mampu bekerja sama akan menjadi kunci keberhasilan bagi perusahaan sehingga diperlukan adanya peran dari semua pihak yang mampu memberi dorongan dan mengarahkan karyawannya pada tujuan yang diinginkan perusahaan (Gomes, 2003).

Handa, Mujiasih, & Masykur (2008) dalam Jurnalnya yang berjudul “Hubungan antara Budaya Perusahaan dengan Motivasi Berprestasi,“ mendapatkan kesimpulan adanya hubungan positif dan signifikan antara budaya perusahaan dengan motivasi berprestasi pada karyawan. Semakin kuat budaya perusahaan yang diinternalisasi maka akan semakin tinggi motivasi berprestasi dan sebaliknya semakin lemah budaya perusahaan maka motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan semakin rendah.

Hasil penelitian Koesmono (2005) menyatakan budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi dan kinerja karyawan. Damanik (2007) menyimpulkan di dalam tesisnya, bahwa terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi berprestasi perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pematang Siantar.

Budaya organisasi yang baik akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku para anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas untuk menciptakan suatu iklim internal. Budaya organisasi juga menciptakan, meningkatkan, dan mempertahankan kinerja tinggi. Dimana budaya organisasi yang kondusif menciptakan kepuasan kerja, etos kerja, dan motivasi kerja karyawan. Semua faktor tersebut merupakan indikator terciptanya kinerja tinggi dari karyawan yang akan menghasilkan kinerja organisasi juga tinggi (Wirawan, 2007).

(25)

53 E. KERANGKA BERPIKIR

Keterangan:

X1 : Gaya Kepemimpinan Melayani (variabel bebas) X2 : Budaya Organisasi (variabel bebas)

Y : Motivasi Berprestasi (variabel tergantung)

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesa yang dibuat adalah:

1) Terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan melayani dengan motivasi berprestasi karyawan C.U.M HKBP.

2) Terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dengan motivasi berprestasi karyawan C.U.M HKBP.

3) Terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan melayani dan budaya organisasi dengan motivasi berprestasi karyawan C.U.M HKBP.

GAYA KEPEMIMPINAN MELAYANI (X1) (3) (1) MOTIVASI BERPRESTASI (Y) BUDAYA ORGANISASI (X2) (2)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu contoh dari adanya kemampuan yang dimiliki oleh sebuah program aplikasi atau sistem operasi yang dapat disesuaikan dengan karakteristik pengguna adalah

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

Jika sebuah tim atau pemain ditemukan melakukan manipulasi games untuk mendapatkan awards, manajemen liga akan menginvestigasi masalah tersebut. Jika ditemukan bersalah, tim

Puji Syukur penulis sembahkan pada Tuhan YME atas kasih, berkat dan penyertaan-Nya yang selalu dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai

Sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam kelas X SMA Negeri 1 Kedungwuni yaitu buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas

Pengenalan konsep adalah fase dalam siklus belajar yang analog dengan akomodasi ketika struktur baru dibangun untuk mengintegrasikan informasi baru. Renner menyebut

b) Hypertext Link. Ini mengacu pada suatu petunjuk yang terdiri dari text atau grafik yang digunakan untuk mengakses hypertext yang disimpan di Website. Teks ini