• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN SANTRI PONDOK PESANTREN DI JAKARTA SELATAN MENGENAI SARCOPTES SCABIEI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN SANTRI PONDOK PESANTREN DI JAKARTA SELATAN MENGENAI SARCOPTES SCABIEI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN SANTRI

PONDOK PESANTREN DI JAKARTA SELATAN MENGENAI

SARCOPTES SCABIEI

Christy Elainea dan Saleha Sungkarb

aProgram Studi: Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia dan bDepartemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran tingkat pendidikan, usia, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi paling berkesan siswa dan hubungannya dengan tingkat pengetahuan mengenai penyebab skabies sebelum dan setelah penyuluhan. Siswa pesantren X di Jakarta Selatan dikumpulkan untuk diberi penyuluhan mengenai scabies dan diberi kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan. Data yang didapat dimasukkan komputer dan dianalisa menggunakan program SPSS. Didapatkan lebih dari setengah responden memiliki tingkat pendidikan SMP/Tsanawiyah ke bawah. Sebagian besar subjek penelitian mendapatkan informasi mengenai scabies dari 1 sumber informasi dan bersumber dari dokter. dari berbagai variabel yang dinilai (tingkat pendidikan, usia, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang paling berkesan) dalam pretest dan posttest, hanya terdapat perbedaan tingkat pengetahuan posttest mengenai penyebab scabies yang bermakna antara subjek dengan sumber informasi yang paling berkesan dari dokter dengan non dokter (p=0,003). Terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum penyuluhan dengan sesudah penyuluhan (p=0,000). Dapat disimpulkan bahwa penyuluhan mengenai penyebab Sarcoptes scabiei pada santri di pondok pesantren X di Jakarta Selatan memiliki hasil yang efektif. Kata kunci : Penyuluhan, penyebab, skabies, kuesioner, pretest, posttest

Abstract

This research was conducted to determine the effectiveness of education about sarcoptes scabiei to the student of pesantren X in South Jakarta. In addition, this study also determine the distribution and comparison of education level, age, the number and the most memorable information resources with the pretest and posttest score about the causes of scabies. Students was collected to be given education about scabies and were given questionnaires before and after counseling. The acquired data were entered and analyzed using computer by SPSS programe. More than half of the respondents had elementary school or junior high education level. Most of the subjects were informed about the scabies from one resource and from the doctor. From variables that assessed (education level, age, number of information resources, and the most memorable information resources) in the pretest and posttest, there were only level of knowledge differences in posttest about the cause of scabies between subjects that gained information from physicians and with non physicians (p=0.003). There is a significant difference in knowledge between the pretest and posttest (p=0.000). It can be concluded that the education of the causes of Sarcoptes scabiei at pesantren X in South Jakarta showing an effective results.

(2)

Pendahuluan

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang terletak paling luar dan melindungi tubuh manusia dari lingkungan sekitarnya. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital yang merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit pada setiap manusia bervariasi sesuai keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga lokasi tubuh. Karena letak kulit merupakan bagian terluar dari tubuh, maka kulit adalah salah satu organ yang paling rentan akan infeksi. Salah satu penyakit infeksi kulit yang merupakan salah satu penyakit yang masih tersebar luas di Indonesia adsalah Skabies, atau yang biasa dikenal oleh orang awam sebagai kudis. Prof. Saleha Sungkar menyebutkan bahwa skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit yang insidensinya paling sering terjadi di puskesmas. Dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia, skabies merupakan peringkat ke-3.

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya. Infeksi skabies erat kaitannya dengan sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk seperti kebersihan pribadi, kebersihan lingkungan, dan hubungan seksual yang bersifat promiskuitas.

Skabies sampai saat ini masih menjadi salah satu penyakit yang prevalensinya cukup tinggi di dunia. Indonesia sebagai Negara berkembang angka prevalensi skabies mencapai 6-27%, yang menyatakan bahwa skabies masih merupakan masalah penyakit nasional. Di Indonesia, masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah masih banyak. Tingkat sosial ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk dan higiene yang kurang berkaitan sangat erat. Faktor penularan pada skabies yang melalui kontak langsung dari kulit ke kulit atau tidak langsung seperti bertukaran pakaian dan handuk, memperburuk situasi, dimana penyakit ini dapat cepat menyebar luas. Penelitian melaporkan bahwa angka prevalensi skabies mencapai 73,7% pada lingkungan dengan padat penduduk. Selain tingkat ekonomi sosial yang rendah, terdapat juga beberapa kondisi dimana terdapat kebiasaan penggunaan handuk, selimut, pakaian dan tidur bersama-sama yang biasanya terjadi seperti di asrama, pengungsian dan pesantren.

Pesantren merupakan penyelenggaraan pendidikan berbentuk asrama yang merupakan komunitas khusus di bawah pimpinan kyai dan dibantu oleh ustadz yang berdomisili bersama-sama santri dengan masjid sebagai pusat aktivitas belajar mengajar, serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga. Dalam pesantren para santri hidup bersama dalam sebuah asrama yang dimana kondisi bertukar

(3)

pakaian, handuk, alas tidur dan lainnya tidak dapat dihindarkan. Maka pesantren merupakan tempat yang beresiko terjadi skabies.

Gejala utama penyakit skabies adalah gatal. Pada sebuah komunitas yang terjangkit penyakit skabies, rasa gatal ini dapat menganganggu aktivitas sehari-hari, atau bahkan menurunkan prestasi belajar santri.

Untuk memberantas skabies, para santri di pesantren harus diberikan penyuluhan mengenai penyebab skabies, agar mereka dapat mengenali menghindari atau mengobati skabies. Diharapkan dengan penyuluhan mengenai penyebab skabies dpat menurunkan angka prevalensi skabies di Indonesia.

Tinjauan Pustaka

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya. Penyakit skabies, merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi kulit terhadap tungau Sarcoptes scabiei. S. Scabiei termasuk dalam Filum Arthropoda, Kelas Arachnida, Ordo Acari, Superfamili Sarcoptoidea, Famili Sarcoptidae dan Genus Sarcoptes. S. Scabiei adalah tungau kecil, berbentuk oval, cembung di bagian dorsal, pipih di bagian sentral dan tidak bermata. Tungau ini translusen, berwarna putih krem dengan kaki dan mulut berwarna kecoklatan. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.hominis. Tungau betina dewasa berukuran panjang 0,3 milimeter sampai dengan 0,5 milimeter dan lebar hingga 0,3 ,milimeter. Tungau jantan berukuran lebih kecil dengan panjang 0,25 milimeter dan lebar 0,3 milimeter. S. scabiei stadium larva mempunyai 3 pasang kaki, dan pada stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki dengan 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat. Tungau jantan dapat dibedakan dengan tungau betina dari ukuran yang lebih kecil, warna yang lebih gelap, serta kaki yang berambut pada pasangan kaki ketiga dan keempat berakhir dengan alat perekat. Pada wanita kaki kedua berakhir dengan rambut. Alat genital tungau betina berbentuk celah yang terletak di bagian sentral dan alat genital pria berbentuk huruf Y.1,4

Penyakit skabies terutama disebabkan oleh tungau betina dewasa yang menghabiskan siklus hidupnya selama 30 hari di dalam epidermis kulit. Prevalensi skabies lebih tinggi pada anak-anak dan dewasa yang aktif secara seksual. Lebih tinggi pada annak-anak karena umumnya anak-anak mempunyai sistem imun yang rendah, serta apabila tidak ada yang mengasuh mereka dengan benar, maka higieni mereka buruk. Pada dewasa yang aktif secara

(4)

seksual angka prevalensi tinggi juga karena skabies mudah menular dengan kontak kulit langsung saat berhubungan seksual.1,2,3

Setelah kopulasi terjadi, tungau jantan yang hidup di permukaan kulit akan meninggal, dan tungau betina akan membuat terowongan dengan kecepatan 0,5-5milimeter per hari. Tungau betina dapat mengeluarkan hingga 50 butir telur dan dikeluarkan 2-3 butir perhari. Pengeluaran telur mencapai 30 hari oleh tungau betina. Dalam waktu 3-5 hari telur akan menetas menjadi larva yang hidup di terowongan atau keluar. Larva dalam 3-4 hari akan menjadi nimfa yang menyerupai tungau dewasa dengan 2 bentuk yaitu jantan dan betina. Seluruh siklus hidup skabies dari telur hingga dewasa memerlukan waktu 8-12 hari.3,4,5

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan skabies antara lain adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk seperti mandi, mengganti pakaian, pemakaian handuk, promiskuitas seksual,dan kepadatan penduduk.1 Di Indonesia masih banyak ditemukan masyarakat dengan sosial ekonomi menengah kebawah, yang menyebabkan banyak masyarakat Indonesia dengan perilaku hidup bersih yang kurang, serta ketersediaan sanitasi tidak memadai. Higiene atau yang umumnya disebut dengan kebersihan merupakan suatu upaya memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Keadaan sosial ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk adalah dua hal yang berkaitan erat. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan di tempat seperti asrama, panti asuhan, rumah penjara atau di daerah perkampungan yang kurang terjaga kebersihannya. Pada tempat-tempat diatas, sekelompok orang tinggal bersama dalam satu tempat tinggal, yang biasanya hal-hal seperti saling bertukar pakaian, handuk, dan alas tidur bersama tidak dapat dihindari, maka penularan sangat gampang terjadi.

Status gizi juga berpengaruh dalam penyebab skabies. Pada hasil penelitian oleh Btari Sekar Saraswati pada tahun 2011 mengenai hubungan higiene perseorangan, sanitasi dan status gizi terhadap kejadian skabies, didapatkan hasil pada responden dengan status gizi yang kurang akan mudah terserang penularan skabies. Dengan adanya ketahanan pangan dan pengetahuan tentang asupan gizi maka akan mengurangi resiko menurunnya imunitas dan antibodi tubuh, sehingga tidak mudah terserang infestasi tungau. Secara imunologis, reaksi hipersensitivitas tipe IV yang menyebabkan lesi.1,4,6

Secara garis besar terdapat 4 tanda kardinal yang khas pada infeksi skabies untuk mendiagnosis skabies. Yang pertama adalah pruritus nokturna, yaitu rasa gatal, terutama saat malam hari atau makin parah saat malam hari. Gatal ini juga bertambah saat suhu lebih lembab, panas atau penderita berkeringat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas tungau pada suhu tinggi dan lembab. Rasa gatal terutama dirasakan di sela jari tangan, pergelangan tangan,

(5)

ketiak, sekitar pusat paha bagian dalam, genitalia, dan bokong. Rasa gatal terjadi akibat reaksi sensitisasi kulit terhadap sekret tungau.

Tanda kardinal yang kedua adalah skabies menyerang secara berkelompok. Ketika satu individu terinfeksi skabies, maka anggota keluarga atau orang yang tinggal bersama dengan penderita akan mengalami infestasi tungau.

Tanda kardinal yang ketiga adalah terdapat terowongan atau kunikulus pada tempat predileksi infestasi tungau. Kunikulus ini berwarna putih kotor berupa terowongan miliar yang tampak darinpapula atau vesikel dengan panjang 2 milimeter hingga 1 sentimeter. Terowongan terbentuk karena tungau menghancurkan stratum korneum kulit untuk maju.

Tanda kardinal keempat adalah hal yang paling diagnostik, yaitu menemukan tungau. Penemuan tungau dapat dalam berbagai siklus hidup.1,3,4,6

Berbagai sumber buku maupun jurnal menyebut bahwa skabies merupakan the great imitator karena gejala skabies yang menyerupai berbagai penyakit kulit lainnya. Apalagi dengan keluhan yang sama yaitu rasa gatal. Beberapa diagnosis banding skabies:

1. Prurigo: Berupa papul-papul yang gatal; terutama pada bagian ekstensor ektremitas. Rasa gatal tidak dipengaruhi waktu atau suhu.

2. Gigitan serangga: efloresensi timbul jelas sesudah gigitan.

3. Pedikulosis korporis: penyakit infeksi kulit oleh pedikulus. Pedikulus hiduo di darah manusia. Tempat predileksi di rambut kepala, kemaluan dan pakaian.

Skabies dapat ditularkan melalui dua cara. Kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung adalah ketika penularan terjadi dengan cara bersentuhan dalam jangka waktu yang lama. Kontak kulit dengan kulit. Sedangkan penularan secara tidak langsung terjadi dengan kebiasaan saling tukar menukar pakaian, handuk, atau alas tidur.

Skabies dapat dicegah melalui beberapa cara. Pada dasarnya pencegahan skabies dilakukan untuk memutuskan rantai siklus hidup skabies.Pertama adalah menghindari kontak dalam jangka waktu lama dengan penderita skabies. Kedua meningkatkan kebersihan pribadi dengan cara tidak saling tukar-menukar handuk, pakaian atau alas tidur. Ketiga, ketika terdapat satu penderita skabies dalam satu komunitas/kelompok, semua anggota harus diobati untuk mencegah meluasnya/penularan penyakit.

Terdapat berbagai macam obat untuk mengobati skabies. Walaupun begitu, terdapat syarat obat yang idela untuk skabies diantara lain; obat harus efektif unutk semua stadium tungau, tidak menimbulkan iritasi, tidak berbau maupun kotor, dan harga terjangkau. Pengobatan dilakukan pada penderita dan seluruh anggota keluarga/ kelompok. Pengobatan skabies dilakukan secara topikal. Terdapat 2 maca, obat skabies yang merupakan pengibatan

(6)

standar skabies. 1. Permetrin 5%

Sediaan berbentuk krim, diaplikasikan sekali dan dihapus setelah 10 jam pemakaian. Pemakaian krim dilakukan pada seluruh tubuh, dari bagian leher ke bawah dan difokukskan terhadap tempat predileksi. Bila masih terdapat keluhan, pemakaian krim diulang setelah 1 minggu. Permetrin efektif untuk semua stadium tungau dan mudah digunakan.

2. Gamma benzene heksa klorida 1%

Sediaan berbentuk krim atau lotio. Seperti permetrin, obat ini efektif unutk semua stadium tungau tetapi lebih toksik. Pemakaian dengan mengoleskan krim/lotio ke seluruh badan daru leher ke bawah dan dibersihkan setelah 12 jam. Bila gejala masih ada, pemakaian diulang seminggu kemudian.

Penyuluhan merupakan pendidikan kesehatan dengan upaya kesehatan untuk suatu kelompok, keluarga atau individu mengenai suatu penyakit atau unutk meningkatakn perilaku hidup sehat ataupun lingkungan. Penyuluhan dapat dilakukan terhadap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Penyuluhan kesehatan diberikan kepada suatu komunitas/ kelompok dengan resiko tinggi terjangkit suatu penyakit. Penyuluhan diberikan agar masyarakat mendapat pengetahuan mengenai penyebab, penularan, gejala klinis, pencegahan dan pengobatan mengenai penyakit atau materi yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan. Tujuan penyuluhan diantara lain adalah ; Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.


(7)

Kerangka Konsep

Metodologi Penelitian

Studi ini memakai metode pre-post study untuk membandingkan tingkat pengetahuan santri sebelum dan setelah penyuluhan. Pengambilan data pada penelitian dilakukan pada 9 Juni 2013 dan bertempat di pesantren X, Jakarta Selatan.

Populasi target dari studi ini adalah siswa pesantren X di Jakarta Selatan. Populasi terjangkau studi ini adalah siswa pesantren X di Jakarta Selatan, yang sedang bersekolah dan hadir di lokasi penelitian saat pengambilan data. Sampel penelitian ialah murid pesantren yang sedang bersekolah di pesantren X dan hadir di lokasi penelitian saat pengambilan data serta sesuai kriteria seleksi. Kriteria inklusi dalam studi ini ialah subjek bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah subjek yang tidak mampu berkomunikasi. Kriteria drop out dalam penelitian ini ialah subjek yang tidak mengikuti penyuluhan, pretest atau post-test.

Penelitian ini menggunakan metode total populasi dengan consecutive sampling, yaitu seluruh santri di pondok pesantren yang sesuai kriteria diikutsertakan dalam penelitian. Seluruh santri pesantren X dikumpulkan untuk diberi pengarahan tentang penelitian. Lalu, santri-santri diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian. Subjek yang bersedia mengikuti penelitian akan diminta mengisi kuesioner (pre-test) yang berisi 5 pertanyaan tentang penyebab skabies. Setelah pengisian kuesioner selesai, para santri diberikan penyuluhan. Setelah diberi penyuluhan para santri diminta mengisi kuesioner (postest)

(8)

kembali. Semua data dalam penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya. Setelah pengambilan data selesai, dilakukan pembagian souvenir dari peneliti.

Data yang didapat dari kuesioner akan dimasukkan ke komputer menggunakan program SPSS 21. Data tersebut kemudian dianalisa menggunakan berbagai uji, antara lain uji normalitas data, Kolmogorov Smirnov, Chi Square, dan Mann Whitney, kemudian ditulis ke dalam laporan penelitian.

Pengetahuan yang dinilai adalah semua informasi yang dimiliki subyek terkait dengan penyebab skabies. Data tentang tingkat pengetahuan diperoleh dari pengisian kuesioner dan setiap jawaban akan diberi nilai sesuai ketentuan peneliti. Nilai tersebut dijumlahkan dan menjadi patokan penentu tingkat pengetahuan subyek. Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi 3, yaitu:

1. Pengetahuan baik bila nilai ≥80% 2. Pengetahuan cukup bila nilai 60-79% 3. Pengetahuan kurang bila nilai ≤59%

Penyuluhan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan santri akan penyebab penyakit skabies. Penyuluhan ini dilakukan oleh para ahli yang kompeten di dalam bidang ini. Penyuluhan dianggap efektif apabila terdapat peningkatan yang bermakna sebelum dan sesudah penyuluhan. Efektivitas penyuluhan ini akan dibuktikan dengan uji Wilcoxon dan marginal homogenity dengan batas kemaknaan p<0,05.

Hasil

Distribusi tingkat pendidikan pada subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Distribusi Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase

SD / Ibtidayah / Imtihan 36 36%

SMP / Tsanawiyah 53 53%

SMA / Aliyah 11 11%

Total 100 100%

Dari tabel 1 di atas, terdapat 36 subjek (36%) yang memiliki tingkat pendidikan SD/Ibtidayah/Imtihan, 53 subjek (53%) yang memiliki tingkat pendidikan SMP/Tsanawiyah,

(9)

dan 11 subjek (11%) yang memiliki tingkat pendidikan SMA/Aliyah. Dapat kita lihat bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan SMP atau Tsanawiyah.

Terdapat 100 sampel pada penelitian ini yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, serta mengisi data dengan lengkap pada lembar uji sebelum dan sesudah penyuluhan. Usia rata-rata subjek penelitian adalah 19,70 ± 3,92 tahun. Usia termuda subjek penelitian adalah 13 tahun dan tertua berusia 37 tahun. Peneliti juga mengkategorikan data usia secara kategorik dengan titik potong usia 17 tahun. Dari 100 sampel, terdapat 81 subjek (81%) yang berusia diatas ≥17 tahun, dan 19 subjek (19%) berusia <17 tahun.

Distribusi subjek penelitian berdasarkan jumlah sumber informasi dapat dilihat pada tabel 2. Dari 100 subjek penelitian, 50 sampel (50%) memperoleh informasi mengenai scabies dari 1 sumber informasi, 27 sampel (27%) memperoleh informasi mengenai scabies dari 2 sumber informasi, 13 sampel (13%) memperoleh informasi mengenai scabies dari 3 sumber informasi, 5 sampel (5%) memperoleh informasi mengenai scabies dari 4 sumber informasi, dan 5 sampel (5%) memperoleh informasi mengenai scabies dari ≥5 sumber informasi. Dapat kita lihat bahwa sebagian besar subjek penelitian mendapatkan informasi mengenai scabies dari 1 sumber informasi. Dengan menggunakan titik potong 3 sumber informasi, maka subjek penelitian terdiri atas 10 subjek (10%) yang mendapat informasi >3 sumber, dan 90 subjek (90%) mendapat informasi dari ≤3 sumber.

Tabel 2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi Jumlah Sumber Informasi Jumlah Persentase

1 Sumber Informasi 50 50%

2 Sumber Informasi 27 27%

3 Sumber Informasi 13 13%

4 Sumber Informasi 5 5%

≥5 Sumber Informasi 5 5%

Sebaran subjek penelitian berdasarkan sumber informasi yang paling berkesan dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Distribusi Subjek Berdasarkan Sumber Informasi Yang Paling Berkesan Sumber Informasi Jumlah Persentase

Dokter 68 68%

Teman 48 48%

(10)

Orang Tua 19 19% Majalah 9 9% Koran 6 6% Televisi 5 5% Internet 3 3% Radio 0 0% Lain-lain 0 0%

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian, yaitu 68 subjek (68%), mendapatkan informasi tentang scabies dari dokter yang merupakan professional dalam bidang kesehatan. Sumber informasi tentang scabies yang paling tidak berkesan adalah dari radio dan internet, berturut-turut sebanyak 0 subjek (0%) dan 3 subjek (3%). Dari data ini, didapatkan 68 subjek (68%) mendapatkan informasi dari petugas kesehatan/dokter dan sisanya 32 subjek (32%) mendapatkan informasi dari non petugas kesehatan.

Pada penelitian ini dilakukan uji sebelum dilakukan penyuluhan (pretest) untuk mengetahui tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan. Nilai rata-rata uji sebelum penyuluhan (pretest) adalah 33,96 ± 19,83. Nilai pretest terendah adalah 0 poin dan tertinggi sebesar 92 poin.

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan dengan berbagai variabel subjek penelitian, maka terlebih akan diuji normalitas data dari nilai pretest. Uji yang akan digunakan adalah uji Smirnov. Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p = 0,000. Selanjutnya peneliti melakukan transformasi data nilai pretest ke dalam bentuk logaritma dan sinus, lalu menguji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, namun tetap didapatkan nilai p = 0,000. Setelah dilakukan transformasi ke dalam bentuk akar (square root) dan menguji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, tetap didapatkan nilai p = 0,011 (p < 0,05).

Selain mencari normalitas data pretest yang bersifat numerik, peneliti juga mengkategorikan data tingkat pengetahuan pretest secara kategorik. Dari 100 sampel, terdapat 3 sampel (3%) yang memiliki pengetahuan yang baik (nilai ≥80 poin) pada pretest, 11 sampel (11%) memiliki pengetahuan sedang (nilai 60-79 poin) pada pretest, dan 86 sampel (86%) memiliki pengetahuan kurang (<60 poin). Hubungan berbagai variabel subjek dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan terangkum dalam tabel 4 berikut ini.

(11)

Tabel 4. Hubungan Berbagai Variabel Dengan Tingkat Pengetahuan Penyebab Skabies Sebelum Penyuluhan

Variabel Data Pretest

Kategori Tes Nilai Pretest P

Baik Sedang Kurang

Pendidikan Numerik Mann-Whitney 0,136

Ordinal SMA Kolmogorov S. 0 3 8 0,981

SD-SMP 3 8 78

Usia Numerik Mann-Whitney 0,751

Ordinal ≥17 tahun Kolmogorov S. 2 10 69 1,000

<17 Tahun 1 1 17

Jumlah Info Numerik Mann-Whitney 0,854

Ordinal >3 Info Kolmogorov S. 0 0 10 0,981

≤3 Info 3 11 76

Sumber Info Numerik Mann-Whitney 0,175

Ordinal Medis Kolmogorov S. 3 9 56 0,940

Non Medis 0 2 30

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan, peneliti menggunakan uji Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,136.

Peneliti juga menguji hubungan tingkat pendidikan subjek dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan dikelompokkan berdasarkan nilai pretest. Untuk nilai pretest ≥80 poin dikelompokkan sebagai tingkat pengetahuan baik, untuik nilai pretest 60-79 poin dikelompokkan sebagai tingkat pengetahuan sedang, dan nilai pretest di bawah 60 poin dikategorikan tingkat pengetahuan kurang. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Pada penelitian ini, uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan tingkat pendidikan subjek dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 0,981.

Untuk mengetahui hubungan usia subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan, digunakan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,751. Penulis awalnya menggunakan uji chi square, namun karena terdapat 3 sel (>20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5, maka uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan usia subjek dengan tingkat pengetahuan sebelum

(12)

penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 1,000.

Pada penelitian ini, jumlah sumber informasi dibagi menjadi 2 kategori, yaitu jumlah sumber informasi ≤3 dan >3. Untuk mengetahui hubungan jumlah sumber informasi dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan, digunakan uji Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,854.

Penulis awalnya menggunakan uji chi square, namun karena terdapat 3 sel (>20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5, maka uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan jumlah sumber informasi subjek dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 0,981.

Pada penelitian ini, subjek penelitian dikategorikan menjadi 2 kategori berdasarkan sumber informasi yang paling berkesan, yaitu subjek dengan sumber informasi yang berasal dari petugas kesehatan dan dari non petugas kesehatan. Dari 100 subjek penelitian, terdapat 68 sampel (68%) yang mendapat sumber informasi skabies dari petugas kesehatan dan 32 sampel (32%) yang mendapat sumber informasi skabies dari non petugas kesehatan.

Untuk mengetahui hubungan sumber informasi yang paling berkesan dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan, digunakan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,175.

Sebagai referensi pembanding, penulis juga menguji hubungan kategori sumber informasi yang paling berkesan subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan dikelompokkan berdasarkan nilai pretest. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Penulis awalnya menggunakan uji chi square, namun karena terdapat 3 sel (>20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5, maka uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan sumber informasi yang paling berkesan dengan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 0,940.

Pada penelitian ini dilakukan juga uji setelah dilakukan penyuluhan (posttest) untuk mengetahui tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan. Nilai rata-rata uji sesudah penyuluhan (posttest) adalah 76,88 ± 19,68. Nilai posttest terendah adalah 4 poin dan tertinggi sebesar 100 poin.

(13)

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan dengan berbagai variabel subjek penelitian, maka terlebih akan diuji normalitas data dari nilai posttest menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p = 0,001.

Selanjutnya maka peneliti melanjutkan dengan transformasi data nilai posttest. Setelah dilakukan transformasi data ke dalam bentuk logaritma, lalu menguji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, didapatkan nilai p = 0,000. Selain mencari normalitas data posttest yang bersifat numerik, peneliti juga mengkategorikan data tingkat pengetahuan posttest secara kategorik. Dari 100 sampel, terdapat 50 sampel (50%) yang memiliki pengetahuan yang baik (nilai ≥80 poin) pada posttest, 30 sampel (30%) memiliki pengetahuan sedang (nilai 60-79 poin) pada posttest, dan 20 sampel (20%) memiliki pengetahuan kurang (<60 poin). Hubungan berbagai variabel subjek dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan terangkum dalam tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Hubungan Berbagai Variabel Dengan Tingkat Pengetahuan Penyebab Skabies Setelah Penyuluhan

Variabel Data Posttest

Kategori Tes Nilai Posttest P

Baik Sedang Kurang

Pendidikan Numerik Mann-Whitney 0,381

Ordinal SMA Kolmogorov S. 6 5 0 0,706

SD-SMP 44 25 20

Usia Numerik Mann-Whitney 0,982

Ordinal ≥17 tahun Chi Square 43 19 19 0,009 <17 Tahun Kolmogorov S. 7 11 11 0,688

Jumlah Info Numerik Mann-Whitney 0,325

Ordinal >3 Info Kolmogorov S. 7 2 1 0,766

≤3 Info 43 28 19

Sumber Info Numerik Mann-Whitney 0,003

Ordinal Medis Chi Square 9 13 10 0,010

Non Medis 41 17 10

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan, digunakan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,318.

Penulis juga menguji hubungan tingkat pendidikan subjek dengan tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan dikelompokkan berdasarkan nilai posttest. Pengelompokan nilai posttest serupa dengan nilai

(14)

pretest. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Penulis awalnya menggunakan uji chi square, namun karena terdapat 2 sel (33%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5, maka uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan tingkat pendidikan subjek dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 0,706.

Untuk mengetahui hubungan usia subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan, digunakan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,982.

Penulis juga menguji hubungan kategori usia subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan dikelompokkan seperti pengelompokan pada nilai pretest. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Penulis awalnya menggunakan uji chi square, dan didapatkan hanya 1 sel (16,7%, <20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5. Oleh karena itu, uji chi square layak digunakan untuk membandingkan hubungan usia subjek dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan. Hasil uji chi square adalah p=0,009. Karena uji chi square telah dilakukan, maka uji Kolmogorov Smirnov (p=0,688) tidak perlu dilakukan.

Pada penelitian ini, jumlah sumber informasi dibagi menjadi 2 kategori, yaitu jumlah sumber informasi ≤3 dan >3. Untuk mengetahui hubungan jumlah sumber informasi dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan, digunakan uji Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,325.

Sebagai referensi pembanding, penulis juga menguji hubungan kategori jumlah sumber informasi subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan posttest dikelompokkan serupa pengelompokan nilai pretest. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Penulis awalnya menggunakan uji chi square, namun karena terdapat 2 sel (16,7%, >20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5, maka uji chi square tidak layak digunakan untuk membandingkan hubungan jumlah sumber informasi subjek dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan. Selanjutnya peneliti menggunakan uji Kolmogorov Smirnov sebagai alternative dari uji chi square. Hasil uji Kolmogorov Smirnov didapatkan p = 0,766.

Pada penelitian ini, subjek penelitian dikategorikan menjadi 2 kategori berdasarkan sumber informasi yang paling berkesan, yaitu subjek dengan sumber informasi yang berasal

(15)

dari petugas kesehatan dan dari non petugas kesehatan. Dari 100 subjek penelitian, terdapat 68 sampel (68%) yang mendapat sumber informasi skabies dari petugas kesehatan dan 32 sampel (32%) yang mendapat sumber informasi skabies dari non petugas kesehatan.

Untuk mengetahui hubungan sumber informasi yang paling berkesan dengan tingkat pengetahuan setelah penyuluhan, digunakan uji Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney adalah p = 0,003.

Sebagai referensi pembanding, penulis juga menguji hubungan kategori sumber informasi yang paling berkesan subjek penelitian dengan tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan dengan menggunakan data kategorik. Data kategorik tingkat pengetahuan posttest dikelompokkan serupa dengan nilai pretest. Uji yang digunakan adalah uji chi square atau Kolmogorov Smirnov. Penulis awalnya menggunakan uji chi square dan didapatkan 0 sel (0%, <20%) yang memiliki nilai expected count yang kurang dari 5. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,010.

Untuk menguji hubungan tingkat pengetahuan subjek mengenai penyebab skabies sebelum dan sesudah penyuluhan, dapat digunakan uji Wilcoxon ataupun uji Marginal homogeneity. Dengan menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai p=0,000.

Tabel 6 Tingkat Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Nilai Posttest

Baik (≥80 Poin) Sedang (60-79 Poin) Buruk (<60 Poin) Nilai

Pretest

Baik (≥80 Poin) 3 0 0

Sedang (60-79 Poin) 5 6 0

Buruk (<60 Poin) 42 24 20

Selain menggunakan uji Wilcoxon, peneliti juga menggunakan uji Marginal homogeneity. Uji marginal homogeneity dilakukan setelah nilai pretest maupun posttest dikategorikan menjadi kategori tingkat pengetahuan tinggi (≥80 poin), sedang (60-79 poin), dan kurang (<60 poin). Hasil uji Marginal homogeneity adalah p=0,000. Data mengenai kelima skor soal mengenai penyebab scabies antara sebelum dan setelah penelitian dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7 Jawaban Subjek Tentang Penyebab Skabies Sebelum dan Setelah Penyuluhan

Variabel Median

(Minimum - Maksimum)

Soal No.1 Soal No. 2 Soal No. 3 Soal No. 4 Soal No. 5 Sebelum penyuluhan 0,5 (0-5) 0 (0-5) 2,5 (0-5) 2 (0-5) 0 (0-5) Sesudah penyuluhan 5 (0-5) 5 (1,5-5) 2,5 (0-5) 2 (0-5) 5 (0-5)

(16)

Nilai p* 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Kesimpulan

Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan berupa:

• Lebih dari setengah responden memiliki tingkat pendidikan SMP/Tsanawiyah ke bawah. • Sebagian besar subjek penelitian mendapatkan informasi mengenai scabies dari 1 sumber

informasi.

• Sebagian besar subjek mendapatkan informasi tentang scabies dari dokter yang merupakan professional dalam bidang kesehatan.

• Tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan pretest mengenai penyebab scabies yang bermakna antara kategori tingkat pendidikan, kategori usia, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang paling berkesan.

• Tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan posttest mengenai penyebab scabies yang bermakna antara kategori tingkat pendidikan, kategori usia, jumlah sumber informasi • Terdapat perbedaan tingkat pengetahuan posttest mengenai penyebab scabies yang

bermakna antara subjek dengan sumber informasi yang paling berkesan dari petugas kesehatan dengan non petugas kesehatan.

• Terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum penyuluhan dengan sesudah penyuluhan.

Penyuluhan dan penelitian serupa perlu dilakukan secara berkala untuk meningkatkan tingkat pengetahuan mengenai scabies.

REFERENSI

1. Rohmawati RN. Hubungan Antara Faktor Pengetahuan dan Prilaku dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. [skripsi]. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010.

2. Juanda A. Skabies. Maj Kedokt lndon 1992; 42: 261.

3. Indriasari, Peni. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Skabies. [skripsi]. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga; 2009

4. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5 ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007

(17)

5. Andayani LS. Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan Penyakit Skabies Di Pondok Pesantren Ulumu Qur'an Stabat. Info Kesehatan Masyarakat. 2005;IX(3):33-8

6. Iskandar T. Masalah skabies pada hewan dan manusia serta penanggulangannya: Wartazoa; 2000. Volume 1 Nomor 1 Tahun 2000. p. 28-34

7. Ma’rufi. I. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Skabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 2, No. 1. juli 2005. hal: 11-18.

Gambar

Tabel 1 Distribusi Tingkat Pendidikan
Tabel 2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi  Jumlah Sumber Informasi  Jumlah  Persentase
Tabel 4. Hubungan Berbagai Variabel Dengan Tingkat Pengetahuan Penyebab Skabies Sebelum  Penyuluhan
Tabel 5. Hubungan Berbagai Variabel Dengan Tingkat Pengetahuan Penyebab Skabies Setelah  Penyuluhan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu solusinya dari fenomena kurang efektifnya belajar pada siswa adalah melalui penggunaan media pembelajaran yang dapat menstimulasi siswa supaya aktif melakukan

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk..

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Selanjutnya dilarutkan dengan menambahkan aqua dm hingga tanda batas labu ukur (ditambahkan pula larutan asam sulfat 2 N kira-kira setengah dari volume larutan, ~125 mL).

Admin mampu mengelola semua data yang ada pada sistem diantaranya ada menu Master yang didalamnya terdapat (data ongkir kecamatan, data ongkir kelurahan, data kategori, data

Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas- tugas yang

-yang benar dari ayat ayat Allah Al-Qur’an -yang suci (dengan ayat ayat apa selain ini yang mereka percayai?) Dan kemudian saya akan menunjukkan pada anda Sunnah yang benar

[r]