HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Tingkat Kelangsungan Hidup Larva
Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan setiap stadia diperlihatkan pada Lampiran 9 dan Gambar 3.
Ket : Z = Zoea, M = Megalopa, FC (first crab) Perlakuan B larva mati pada hari ke 7 Perlakuan C larva mati pada hari ke 11 Perlakuan D larva mati pada hari ke 16
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (%) pada setiap stadia larva rajungan
Tingkat kelangsungan hidup setiap stadia (Lampiran 9 dan Gambar 3) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang tajam dari stadia Z1 ke Z2 pada semua perlakuan. Pada perlakuan A, D dan E mengalami penurunan yang cenderung merata dari stadia Z2 hingga Z4, sedangkan pada perlakuan A dan E setelah Z4 mengalami penurunan yang drastis pada stadia megalopa dan kembali cenderung merata hingga stadia FC. Pada perlakuan B larva mati pada saat mencapai stadia Z2, sedangkan pada perlakuan C larva mati pada saat stadia Z4.
Tingkat kelangsungan hidup antar stadia Z1-Z2 (Lampiran 10) menunjukkan bahwa pemberian pakan alami awal pada stadia Z1 (perlakuan A, C, D dan E) memberikan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z1 (perlakuan B).
0 20 40 60 80 100 120 Z1 Z2 Z3 Z4 M FC Stadia Su rvi val R at e (% ) A B C D E
Tingkat kelangsungan hidup antar stadia Z1-Z3 dan Z1-Z4 tidak berbeda (P>0.05), sedangkan tingkat kelangsungan hidup dari Z1–M dan Z1-FC menunjukkan bahwa pemberian pakan alami pada awal stadia Z1 lebih baik dibandingkan dengan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z4 (P<0.05). Lebar karapaks FC tidak berbeda (P>0.05) antara perlakuan pemberian pakan alami pada awal stadia Z1 dibandingkan dengan perlakuan pemberian awal pakan buatan pada stadia Z4 (Lampiran 10).
Intermolt Period
Intermolt period (waktu antar molting) larva pada setiap stadia selama penelitian ditunjukkan pada Lampiran 11 dan Tabel 3.
Tabel 3 Intermolt period (hari) setiap stadia larva rajungan Stadia Perlakuan Z1 Z2 Z3 Z4 M FC A 1,5a 3,9a 7,2a 10,9a 14,1a 16,6a B 1,8b 4,5b * - - - C 1,8b 5,8c ** - - - D 1,6a 4,4ab 7,9b 13,3b *** - E 1,6a 4,4ab 7,5c 11,9c 16,4b 17,0a
Ket : Z = Zoea, M = Megalopa, FC (first crab) * = Larva mati pada hari ke 7
** = Larva mati pada hari ke 11 *** = Larva mati pada hari ke 16
Huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata (P<0.05)
Waktu perkembangan stadia Z1 belum menunjukkan adanya perbedaan (P>0.05) antara perlakuan A, D dan E dibandingkan dengan perlakuan B dan C, sedangkan lama waktu perkembangan Z2 menunjukkan bahwa perlakuan C memerlukan waktu perkembangan yang lebih lama (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedangkan pada perlakuan A tidak menunjukkan lama perkembangan yang berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan perlakuan D dan E. Lama waktu perkembangan perlakuan B pada stadia Z2 tidak berbeda (P>0.05) dengan perlakuan D dan E, sedangkan lama waktu yang dibutuhkan oleh larva untuk mencapai Z3 dan Z4 berbeda (P<0.05) antara perlakuan pemberian pakan alami pada stadia awal Z1 (perlakuan A), dengan perlakuan pemberian pakan buatan pada awal stadia Z3 (perlakuan D) dan Z4 (perlakuan E). Untuk mencapai Megalopa lama waktu yang dibutuhkan larva berbeda (P<0.05) antara perlakuan A dan perlakuan E, sedangkan lama waktu perkembangan larva untuk mencapai FC tidak berbeda (P>0.05).
Enzim Pencernaan Larva
Aktivitas enzim pencernaan protease, amilase dan lipase larva rajungan pada setiap stadia, rotifer dan nauplius Artemia sp disajikan dalam Lampiran 12. Aktivitas enzim protease menunjukkan penurunan pada setiap stadia yaitu dari stadia Z1 sampai Megalopa (Gambar 4). Sedangkan enzim protease pada rotifer (0,006 unit/menit/gram) dan nauplius Artemia sp (0,080 unit/menit/gram) berada dibawah nilai aktivitas enzim protease pada stadia Z1 dan Z3 (Gambar 4).
Gambar 4. Aktivitas enzim protease pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius Artemia sp
Kebalikan dari aktivitas enzim protease, amilase cenderung meningkat pada setiap stadia larva rajungan (Gambar 4). Aktivitas enzim amilase pada rotifer sama dengan aktivitas enzim amilase pada stadia Z1 (0,0011 unit/menit/gram), tetapi aktivitas enzim amilase pada nauplius Artemia (0,0080 unit/menit/gram) lebih rendah dari aktivitas enzim amilase pada stadia Z3 (Gambar 5).
Rotifer Artemia y = -0,0365x + 0,2557 R2 = 0,9245 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Stadia A k ti v it a s e n z im p ro te a s e (u n it /m e n it /g ra m ) Larva Rotifer Artemia
Rotifer Artemia y = 0,0002x + 0,0009 R2 = 0,7691 0.0000 0.0005 0.0010 0.0015 0.0020 0.0025 Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Stadia A kti vi tas en z im ami lase(u n it /men it /g ram) Larva Rotifer Artemia
Gambar 5. Aktivitas enzim amilase pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius Artemia sp.
Aktivitas enzim lipase cenderung meningkat pada setiap stadia (Gambar 6), dimana aktivitas enzim lipase pada rotifer (0,4974 unit/menit/gram) hampir sama dengan aktivitas enzim lipase pada larva stadia Z1. Sedangkan aktivitas enzim lipase pada nauplius Artemia sp (3,3957 unit/menit/gram) lebih tinggi dibandingkan aktivitas enzim lipase pada larva stadia Z3 (Gambar 6).
Rotifer Artemia y = 0,6936x - 0,6839 R2 = 0,8131 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 Z1 Z2 Z3 Z4 Megalopa Stadia A kti vi tas en z im l ip ase (u n it /men it /g ram) Larva Rotifer Artemia
Gambar 6. Aktivitas enzim lipase pada setiap stadia larva rajungan, rotifer dan nauplius Artemia sp
Pembahasan
Dari data penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemberian pakan buatan yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan stadia larva rajungan. Pada perlakuan A dan E larva rajungan
dapat berkembang mencapai stadia first crab (FC) sedangkan perlakuan lainnya mati. Pada perlakuan B larva mati pada hari ke 7 (stadia Z2), perlakuan C larva mati pada hari ke 11 (memasuki stadia Z3) sedangkan pada perlakuan D larva mati pada hari ke 16 (stadia Z4). Kematian larva pada perlakuan B, C dan D disebabkan oleh belum berkembangnya enzim pencernaan sehingga belum dapat mencerna pakan buatan. Quinitio et al. (1999) menyatakan bahwa larva kepiting bakau (Scylla serrata) yang diberi pakan buatan pada awal stadia hanya mampu hidup sampai stadia Z2, hal ini disebabkan larva belum mampu mencerna pakan buatan.
Aktivitas enzim protease pada awal stadia tinggi dan menurun sejalan dengan perkembangan larva (Gambar 4). Sebaliknya aktivitas enzim lipase dan amilase meningkat sejalan dengan perkembangan stadia. Fakta ini menunjukkan bahwa pada saat stadia awal larva hanya mampu mencerna protein dibandingkan lemak dan karbohidrat. Pada umumnya kandungan nutrisi pakan alami didominasi oleh protein (60-75 %) diikuti lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang kecil (Dhont and Lavens, 1996). Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa larva yang diberi pakan alami mulai stadia Z1 dapat mencapai stadia megalopa dan FC, dibandingkan dengan perlakuan B, C dan D yang diberi pakan buatan mulai stadia Z1, Z2 dan Z3.
Dari data aktivitas enzim pencernaan terlihat bahwa peran eksogenous enzim khususnya lipase sangat dominan (Gambar 6) dimana aktivitas enzim lipase tersebut lebih tinggi didapatkan pada rotifer dan Artemia. Oleh karena itu pada stadia awal walaupun endogenous enzim khususnya lipase rendah akan tetapi dengan bantuan endogenous enzim, lemak dari pakan alami dapat dicerna. Sebaliknya pada larva yang diberi pakan buatan mulai stadia Z1, Z2 dan Z3 diduga kurang mampu mencerna lemak dari pakan buatan (perlakuan B, C dan D) yang kandungannya mencapai 13 %. Kamaruddin et al. (1994) menyatakan bahwa ada kontribusi eksogen enzim pada larva stadia III Macrobranchium rosenbergii yang diberi pakan nauplius Artemia sp untuk enzim trypsin, esterase dan amilase yaitu masing-masing sebesar 0,91%, 0,93% dan 6,73%. Munilla-Moran et al. (1990) dalam Kolkovski (2001) menyatakan bahwa ada kontribusi enzim pencernaan oleh rotifer, Artemia sp pada ikan Turbot (Scophtalmus maximus) untuk protease sebesar 43-60%, esterase 89-94% dan amylase 15-27%.
Dari data aktivitas enzim amilase terlihat bahwa peran eksogenous enzim tidak begitu dominan (Gambar 5), namun demikian resultante dari aktivitas enzim endogenous dan eksogenous diduga belum mampu mencerna karbohidrat dari pakan buatan yang kadarnya mencapai 28,5 %. Hal ini didukung oleh fakta bahwa larva yang diberi pakan buatan dari stadia Z1, Z2 dan Z3 (perlakuan B, C dan D) tidak dapat berkembang mencapai stadia yang lebih tinggi.
Pada perlakuan A didapatkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan waktu perkembangan larva tercepat dari perlakuan lainnya yaitu 15,55 % (Lampiran 10 dan Tabel 3), hal ini disebabkan karena pakan alami mudah dicerna dan mempunyai lysozim. Sebaliknya perlakuan B, C dan D, aktivitas enzim pencernaan larva belum mampu mencerna pakan buatan terutama lemak dan karbohidratnya. Berdasarkan data aktivitas enzim protease, lipase dan amilase (Gambar 4, 5 dan 6) maka dapat dikatakan bahwa pemberian pakan buatan pada stadia awal kurang tepat dan dapat menyebabkan kematian larva karena pada stadia ini larva tidak cukup mendapatkan nutrien. Hal tersebut di atas dapat menjelaskan rendahnya tingkat kelangsungan hidup larva pada perlakuan B, C dan D yang hanya dapat menghasilkan 14,45%, 35,56 % dan 16,66 % pada stadia Z2 dan Z4.
Perlakuan E, mulai pada stadia Z4 yang aktivitas enzim lipase dan amilase mulai meningkat tajam dan enzim proteasenya masih cukup tinggi (Gambar 4, 5 dan 6), menunjukkan bahwa pada stadia ini larva sudah mampu mencerna pakan buatan yang ditunjukkan oleh data perkembangan larva, dimana pada perlakuan E larva dapat mencapai stadia megalopa dan first crab.
Data intermolt period menunjukkan bahwa nampak adanya perbedaan waktu perkembangan larva antara perlakuan A dan E, dimana pada perlakuan E waktu yang dibutuhkan untuk mencapai megalopa yaitu 16,4 hari sedangkan perlakuan A hanya membutuhkan waktu 14,1 hari mulai dari Z1, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai FC tidak berbeda (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa larva pada stadia Z4 sudah mampu mencerna pakan buatan yang diberikan, terutama kemampuan enzim pencernaan amilase dan lipase dalam mencerna karbohidrat dan lipid yang dikandung dalam pakan buatan yang diberikan. Peningkatan aktivitas enzim amilase dan lipase disebabkan alat pencernaan larva rajungan mulai berkembang seperti gastric mill, gland filter dan hepatopancreas. Menurut Li (1990); Li dan Li (1995) dalam Li et al. (1997),
peningkatan sistem pencernaan pada larva kepiting bakau ditunjukkan dengan peningkatan perkembangan gastric mill, gland filter dan hepatopancreas. Bentuk dasar gastric mill nampak pada stadia Z3 dan mendekati kesempurnaan pada stadia Z5. Ceccaldi (1989) menyatakan bahwa pada crustacea, perkembangan gastric mill terjadi selama proses metamorfosa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi salah satu dari hepatopancreas pada krustase adalah mensintesa dan mensekresi enzim-enzim pencernaan.