• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2. GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3.2. GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA 3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian yang akan digunakan ada dua, yaitu GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase dan GKPB jemaat PNIEL di desa Blimbingsari. Abianbase merupakan desa di kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung di Bali. Daerah Abianbase termasuk dalam daerah urban, karena letak Abianbase berada pada peralihan kota dengan desa. Agama yang dianut oleh warga di daerah Abianbase ini adalah Kristen Protestan, Katolik dan Hindu. Sebagian besar warga Abianbase menganut agama Hindu. Pekerjaan warga di Abianbase pada awalnya sebagian besar adalah petani, namun sekarang sebagian besar pekerjaan warga Abianbase sudah berkembang yaitu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sekitar 30% sisanya sebagai petani dan pedagang.

Wilayah penelitian yang ke dua ialah di daerah Blimbingsari. Blimbingsari adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Jembrana. Agama yang dianut oleh para warga di desa Blimbingsari adalah 100% Kristen Protestan. Namun desa ini berkembang menyatu bersama dengan lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dan Islam.1 Sebagian besar pekerjaan dari masyarakat di desa Blimbingsari ini ialah sebagai petani, 20% sisanya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

3.2. GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase

3.2.1. Sejarah GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase2

Kehidupan para orang Kristen saat pertama hadir di Abianbase tidaklah mudah.

Pada saat itu, mereka belum memiliki tempat beribadah yang tetap. Mereka biasa beribadah dengan berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pada saat giliran Abianbase menjadi lokasi ibadah, tempat yang biasa digunakan di wilayah Dalang dengan menggunakan balai “pamiasan” atau sanggah milik alm. Bapak I Made Tebing. Setiap hari Minggu, kul-kul dibunyikan pertanda ibadah akan dimulai. Tidak jarang jemaat saat itu menerima ejekan dari warga sekitar pada saat mereka akan berangkat beribadah dan juga pada saat mereka berjalan pulang setelah melaksanakan ibadah. Ejekan-ejekan itu sengaja diberikan agar orang Kristen merasa tidak betah dan kembali lagi masuk menjadi orang Hindu. Biasanya orang-orang non kristen mencuri kul-kul yang biasa digunakan sebagai tanda bahwa ibadah akan dilaksanakan, selain itu mereka juga mengambil kursi-kursi yang digunakan untuk beribadah.

Pada tahun 1932 orang Kristen dipanggil oleh pemerintah untuk menghadapi residen. Pada saat mereka menghadap residen, mereka ditanya mengenai kebenaran berita yang mengabarkan bahwa mereka telah percaya kepada Tuhan Yesus. Orang Kristen pada saat itu pun menjawab dengan sangat tegas bahwa benar mereka telah percaya

1

Ketut, Suyaga Ayub, Blimbingsari the Promised Land, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2014), 1

2

(2)

kepada Tuhan Yesus. Mendengar keteguhan iman para orang Kristen pada saat itu, residen pun mengancam bahwa mereka tidak akan mendapat tanah untuk menguburkan jasad mereka, pada saat mereka meninggal. Tetapi apa yang menjadi ancaman dari resdien tidaklah membuat hati orang Kristen menjadi takut dan gentar. Sehingga setelah mendengar kesungguhan mereka, pada saat itu juga orang Kristen tidak lagi mengalami perlakuan yang kasar dari penduduk sekitar.

Pada tahun 1932 terjadi keributan berkenaan dengan Suka Duka3. Pada saat itu orang Kristen dikeluarkan dari perkumpulan Banjar. Tetapi ada salah satu tokoh non Kristen yang benar-benar berjasa, karena orang itu mengingatkan warga sesamanya bahwa tidak ada untungnya jikalau mereka selalu berselisih. Orang itu pun meminta agar orang Kristen diberikan satu banjar untuk mereka dapat melaksanakan setiap kegiatan mereka. Mendengar hal itu, maka warga non Kristen setuju untuk memberikan banjar yang berbeda kepada orang Kristen dan Suka Duka yang terpisah. Sehingga tempat beribadah pun dipindahkan dari Dalang ke pekarangan rumah alm. I Ketut Yahya hingga saat ini.

Semenjak memiliki tempat ibadah dan Suka Duka tersendiri, jumlah pengikut menjadi orang Kristen pun semakin bertambah banyak. Hal tersebut terjadi oleh karena orang Kristen yang semakin semangat untuk menyebarkan ajaran agama Kristen lewat setiap percakapan dengan masyarakat. Melihat kenyataan itu, maka warga desa pun semakin khawatir dan mereka mengakali agar warga lainnynya tidak masuk Kristen, maka mereka yang belum masuk agama Kristen disumpah di Pura agar tidak masuk agama Kristen. Upaya yang mereka buat pada saat itu sia-sia saja, karena tetap ada begitu banyak orang yang mau masuk Kristen.

Keadaan semacam ini membuat warga semakin membenci orang Kristen dan kembali mereka dengan menggunakan segala macam cara mengganggu orang Kristen pada saat mereka sedang beribadah, diantaranya seperti melempari batu ke tempat beribadah, mencuri tanaman orang Kristen dan yang lebih parahnya lagi para warga berani masuk gereja dan mencuri barang di saku para orang Kristen pada saat mereka berdoa. Sehingga pada puncaknya gereja dibakar oleh warga. Sayangnya sekalipun api sudah lama berkobar tetapi api sama sekali tidak menyebar ke gedung gereja. Api hanya berkobar di bagian atap gereja.

Baptisan pertama di Abianbase pun dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 Desember 1934. Ada sekitar kurang lebih 89 orang yang turut serta dalam baptisan ini. Sehinggga pada tanggal-tanggal tersebut, jemaat Galang Ning Hyang Abianbase merayakan hari ulang tahun gereja mereka. Baptisan pertama itu bukan hanya para orang yang berasal dari Abianbase tetapi banyak juga diantara mereka berasal dari desa tetangga yaitu Carangsari, Dalung dan Tuka. Tetapi sebenarnya kehidupan berjemaat sudah mereka

3

Suka Duka adalah istilah lain dari “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Dimana dalam hal suka seperti menikah dan duka seperti kedukaan, semua itu dianggap sebagai tanggungjawab bersama bukan hanya tangungjawab keluarga mulai dari persiapan acara sampai acara selesai. Pengurus dari Suka Duka ini biasa disebut dengan “Pesamuan Adat Suka-Duka”

(3)

mulai sebelum tanggal pembaptisan tersebut. Jemaat Abianbase pun berkembang ke Sading, Penataran, Lalanglinggah, Ulun Uma dan Anggungan Carangsari.

Saat ini GKPB jemaat di Galang Ning Hyang, Abianbase adalah salah satu gereja yang masuk dalam kategori gereja yang berjemaat besar. Secara daftar statistic terdapat anggota jemaat sejumlah 153 Kepala Keluarga (KK),4 dengan berbagai macam bentuk latar belakang pekerjaan. Ada yang menjabat sebagai karyawan bank, karyawan di Kantor Sinode GKPB, menjadi guru, menjadi dosen, purna bakti, Ibu Rumah Tangga, petani, dll.

3.2.2. Kehidupan Jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase

Dari sejarah diketahui bahwa sebagian besar hampir seluruh jemaat dari GKPB Galang Ning Hyang adalah penduduk asli Bali, mereka juga adalah penduduk asli di Abianbase. Dalam kehidupan jemaat di Abianbase terlihat masih sangat kental kebudayaannya. Hal ini disebabkan oleh karena relasi yang mereka miliki adalah warga sekitar adalah orang Hindu yang sangat menghormati adat dan budaya dari Bali itu sendiri, untuk mewujudkan visi GKPB yaitu “Bumi Berdamai Sejahtera dalam Damai Sejahtera” maka jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase harus dapat menjalin relasi yang baik bukan saja hanya dengan para anggota jemaat tetapi juga warga sekitar.5 Hal mengenai melakukan serta membudayakan budaya Bali dalam kehidupan bersama juga bukanlah suatu hal yang susah karena jemaat sendiri adalah memang orang asli Bali dan itu termasuk sebagai tanggung jawab mereka sebagai penduduk yang tidak mau budayanya sampai hilang.6

Gereja di Abianbase memiliki jadwal ibadah Minggu dengan menggunakan bahasa Bali setiap di minggu pertamanya. Selain itu hal yang mencerminkan gereja ini membudayakan budaya Bali ialah lewat setiap ibadah penting yang dilaksanakan selalu bertemakan adat Bali, baik dari pakaian yang digunakan, dekorasi yang ada juga mencerminkan budaya Bali.7 Gereja juga memiliki pengurus yang disebut dengan nama pesamuan adat Suka Duka sehingga pada saat ada acara baik itu pernikahan ataupun kematian, bukan keluarga sendiri yang bekerja tetapi seluruh jemaat akan turut ambil bagian di dalamnya, mulai dari persiapan sampai akhir dari semua acara. Salah satu contohnya, jika ada salah satu anggota jemaat yang meninggal, maka ada kelompok yang

4 GKPB Galang Ning Hyang, “Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan

Belanja Tahun 2014 dan Program Kerja Tahun 2015” (Abianbase,2015), 139-151

5

Putu, Sri Sutarsih, Penginjil GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 18.00 WITA)

6

Luh, Pujisihani, Penatua GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 16.00 WITA)

7 Putu, Tini, anggota jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul

(4)

bertugas untuk begadang di rumah duka, sampai mayat dari yang meninggal itu dikuburkan.8

Terlihat memang sangat kental setiap budaya Bali yang diadopsi oleh gereja di Abianbase. Budaya Bali lainnya yang paling kental adalah budaya patriaki, tetapi berbicara mengenai budaya ini secara organisasi di dalam gereja, gereja tidak menganut budaya ini secara menyeluruh. Namun bagaimana pun juga para jemaat di gereja Abianbase adalah orang Bali asli yang sudah biasa terdidik dengan adat budaya mereka sejak kecil, salah satunya ialah budaya patriaki ini. Dengan demikian, secara pribadi baik sadar ataupun tidak sadar, budaya itu masih melekat di beberapa jemaat. Selain itu, gereja Abianbase bertempatdi tempat dimana para warganya yang masih sangat kental dengan adat dan budaya patriaki. Oleh karena anggota jemaat yang sangat besar dan penduduk tetangga yang kental sekali dengan budaya patriaki adalah sebagai pertimbangan untuk ditugaskannya seorang pendeta9 perempuan di gereja ini.10 Tetapi untuk saat ini, Sinode sudah mencari cara supaya seluruh pendeta dapat merasakan tempat pelayanan di seluruh gereja, juga seluruh warga jemaat dapat merasakan bagaimana pelayanan kepemimpinan pendeta dengan seluruh latar belakang yang berbeda termasuk di dalamnya adalah perbedaan jenis kelamin, maka dilakukan system bergilir.11

Tidak semua jemaat masih menganut adat patriaki secara kental, karena mereka sadar bahwa “perempuan tidak mampu memimpin” itu hanya pandangan budaya yang bisa diubah, sekalipun belum pernah ada pendeta perempuan sebagai pemimpin jemaat di gereja Abianbase, gereja ini selalu mencoba untuk ada keterwakilan perempuan dalam kegiatan apapun.12 Mulai dari keanggotaan Majelis Jemaat, sejak dulu hingga saat ini selalu ada wakil dari perempuan yang menjadi anggota dari Majelis Jemaat. Selain itu sudah pernah juga ditempatkan vikaris perempuan di gereja ini, dengan maksud memperlihatkan bahwa memang jemaat di Abianbase adalah jemaat yang terbuka serta memperkenalkan bagi warga sekitar bahwa perempuan juga dapat menjadi seorang pemimpin.13

Hal utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jemaat yang terpenting bukanlah siapa dia, apakah dia seorang perempuan atau dia seorang laki-laki. Hal yang

8 Pengamatan dengan hidup secara langsung bersama jemaat GKPB Galang Ning Hyang, selama melaksanakan PPL

6 (4 bulan)

9 Sinode yang menominasi para Pendeta yang akan ditempatkan, setelah itu keputusan penempatan pendeta

ditentukan dalam rapat bersama seluruh Majels Jemaat GKPB.

10

Putu, Sri Sutarsih, Penginjil GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 18.00 WITA)

11 Wayan, Kurnia Mulyawan, Diaken GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 17 Agustus 2015,

pukul 17.30 WITA)

12 Pengamatan dengan hidup secara langsung bersama jemaat GKPB Galang Ning Hyang, selama melaksanakan

PPL 6 (4 bulan)

13 Nengah, Ripa, Pendeta Jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 16 Agustus 2015,

(5)

paling terpenting menjadi seorang pemimpin jemaat adalah memiliki hati seorang pelayanan yang benar-benar mau melayani14, pemimpin jemaat mampu memiliki waktu untuk selalu mengadakan kunjungan ke seluruh jemaat, bukan hanya jemaat tertentu15 selain itu juga bagaimana seorang pendeta atau pemimpin jemaat mampu memberitakan Firman Tuhan yang benar-benar dapat menjawab setiap pertanyaan kehidupan jemaat dalam kehidupan sehari-hari.16

GKPB Galang Ning Hyang di Abianbase adalah contoh bagaimana budaya patriaki ditetapkan secara ketat di kalangan masyarakat Bali secara keseluruhan, karena di dalam gereja ini sebenarnya sudah tidak menjadi sebuah masalah besar mengenai pemimpin seorang perempuan, namun oleh karena tekanan warga masyarakat yang sangat kuat, disitulah sulit sekali untuk ada pendeta perempuan.

3.3. GKPB Jemaat PNIEL, Blimbingsari

3.3.1. Sejarah GKPB jemaat PNIEL, Blimbingsari17

Berkumpulnya kelompok orang Kristen di desa Blimbingsari ini berawal oleh karena kemarahan orang Hindu yang merasa telah dikhianati oleh mereka yang telah masuk Kristen. Pada saat itu orang Kristen menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewa yang dianggap mereka kafir. Mereka memiliki pemikiran bahwa menjadi Kristen haruslah lahir secara baru sehingga segala sesuatu yang berbau Hindu dibuang dan harus dihancurkan. Orang Kristen sama sekali tidak mau berpartisipasi dalam hal apapun jikalau itu berbau hindu.

Melihat segala kelakuan dari pada orang Kristen maka timbulah perlawanan yang sangat kuat dari saudara yang beragama hindu dan timbul kekacauan dimana saja Kristen berada. Akhirnya orang Kristen dibuang dari keluarga dan dikucilkan, tidak boleh mendapat air, untuk sawah, isi lumbung mereka diambil, dicaci maki dan lain sebagainya. Melihat hal itu semua maka pemerintah Belanda memutuskan orang Kristen dibawa di hutan angker Blimbingsari di Jembrana, Bali Barat untuk tinggal disana.

Blimbingsari diberikan oleh Pemerintah Belanda kepada orang-orang Kristen Bali yang baru percaya dan dibuka pada 30 November 1930. Tanah yang diberikan pada saat itu seluas 420 hektar. Tanah Blimbingsari pada saat itu masih berupa hutan belantara yang termasuk kategori hutan kecil, penuh dengan nyamuk malaria, harimau, buaya dan tempat-tempat keramat. Tetapi orang Kristen percaya bahwa tanah tersebut sebagai tanah

14 Luh, Pujisihani, Penatua GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 16.00

WITA)

15

Wayan, Kurnia Mulyawan, Diaken GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 17 Agustus 2015, pukul 17.30 WITA)

16 Rai, Sri Handayati, warga jemaat GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase 17 Agustus 2015, pukul

15.00 WITA)

(6)

perjanjian sama seperti Tuhan Allah yang melepasakan bangsa Israel dari jabatan budak di tanah Mesir, keluar menuju tanah Kanaan yang berlimpah dengan susu dan madu. Gereja di Blimbingsari diberi nama “PNIEL” dengan arti bahwa bertemu muka dengan muka Allah.

3.3.2. Kehidupan Jemaat GKPB jemaat PNIEL, Blimbingsari

Kehidupan jemaat GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari dapat dikatakan kehidupan yang sejahtera, oleh karena mereka adalah warga jemaat yang juga sebagai warga satu desa sehingga rasa kekeluargaan yang mereka rasakan sudah sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Tetapi sekalipun mereka hidup dalam satu desa sendiri yang hanya terdapat mereka sebagai warga tetapi dalam kehidupan mereka, mereka sama sekali tidak bisa terlepas dari kebudayaam Bali. Budaya yang ada di GKPB PNIEL Blimbingsari masih terasa sangat kental. Mulai dari gedung gereja yang dibangun dengan menyerupai Pura, mulai dari atap, lukisan, bangunan dengan ruang terbuka. Semua memiliki masing-masing makna yang dimana maknanya sangat kental dengan makna adat orang Bali.18 Selain itu, hingga saat ini di gereja Blimbingsari, biasa mengadakan ibadah kontekstual yang biasa diadakan setiap Minggu pertama. Dimana dalam ibadah ini seluruhnya benar-benar bernuansa Bali, mulai dari pakaian, lagu, musik, hingga khotbahnya pun menggunakan bahasa Bali.19 Hal lain yang biasa dilakukan oleh gereja di Blimbingsari, dimana saat ada kedukaan maka pengurus Suka Duka sebagai penaggung jawab untuk mengatur tugas, seperti ada jemaat yang bertugas untuk turut serta “begadang” di rumah duka, dengan mewujudnyatakan istilah “menyama braya”.20

Gereja di Blimbingsari biasanya saat ibadah pada saat natal, paskah dan sidi juga dikemas dalam bentuk budaya Bali. Selain itu, gereja di Blimbingsari juga memiliki group yang disebut dengan “sekhe gong” yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan anak. Biasanya group ini akan mengisi dalam acara serimonial yang berbau kebudayaan Bali.21 Jika dilihat memang di gereja Blimbingsari masih sangat memperhatikan dan sangat kental dengan budaya Bali, sehingga mereka sendiri merasa sangat perlu untuk melestarikan budaya Bali itu sendiri.

Sekalipun terlihat bahwa memang para anggota jemaat di gereja Blimbingsari sangat kental dengan kebudayaan, mereka tidak sembarang melestarikan budaya Bali yang ada. Salah satu budaya Bali yang gereja coba untuk mengubahnya adalah budaya

18

Ketut, Suyaga Ayub, Blimbingsari the Promised Land, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2014), 90-98

19 Nyoman, Sukabagia, jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 11 Agustus 2015,

pukul 10.00 WITA)

20 “Menyama Braya” adalah istilah di Bali dengan arti kata “Bersaudara”

21 Priyasti, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 12 Agustus 2015, pukul 13.00

(7)

patriaki.22 Secara umum, di Bali memang masih sangat kental dengan budaya tersebut. Budaya patriaki juga masih sangat mempengaruhi kehidupan jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari dalam kehidupan bermasyarakat lainnya.23

Hal mengenai gereja di Blimbingsari mencoba mengubah budaya patriaki diperkuat dengan kenyataan bahwa jemaat di Blimbingsari saat ini sedang dimpin oleh seorang pendeta perempuan, dimpimpin oleh pendeta perempuan pun bukanlah pengalaman pertama bagi jemaat di Blimbingsari karena ini adalah sudah ketiga kalinya jemaat di Blimbingsari dimpimpin oleh seorang pendeta perempuan.24 Selain itu, di gereja Blimbingsari dalam pemilihan pengisian anggota Majelis Jemaat sangat disarankan harus ada keterwakilan dari kaum perempuan. Dimana itu semua memang saran yang berasal dari Sinode GKPB yang telah disepakati bersama dan jemaat di Blimbingsari pun sangat setuju dan mendukung dengan apa yang menjadi syarat dari Majelis Jemaat tersebut. 25 Dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin jemaat di gereja Blimbingsari ini, tidak melihat dari jenis kelamin mereka apa, tetapi bagaimana kualitas pelayanan mereka kepada para jemaat.26 Perempuan juga memiliki kualitas tersendiri dalam hal menjadi seorang pemimpin, dilihat dari mengurus Rumah Tangga saja mereka dapat lakukan dengan sangat baik, perempuan punya rasa kasih sayang serta ketelitian yang jarang dimiliki oleh seorang laki-laki, sehingga kepemimpinan seorang perempuan pun tidak kalah bagus jika dibandingkan dengan laki-laki, menurut bagaimana dari masing-masing pribadi.27

Di desa Blimbingsari sebenarnya masih dipimpin kuat oleh budaya patriaki, karena di dalam keluarga di jemaat ini masih laki-laki yang memegang otoritas kuat, dimana ayah masih menjadi kepala keluarga, keputusan keluarga sekalipun dibicarakan bersama namun keputusan sang kepala keluarga yang akan dijalankan. Sekalipun masyarakat di desa Blimbingsari yang juga sekaligus sebagai jemaat GKPB PNIEL masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriaki, pada aras gereja mereka sudah memiliki pandangan yang sangat maju. Pada tatanan tertentu mereka sudah melihat bahwa pendeta perempuan bukan menjadi sesuatu yang tabu. Jemaat di desa Blimbingsari sudah dengan sangat berani untuk mendukung kepemimpinan seorang pendeta perempuan.

22

Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, pukul 09.00 WITA)

23 Christiana, Welda Putranti, Pendeta jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 10 Agustus 2015,

pukul 10.00 WITA)

24 Suserah, mantan Majelis Jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015,

13.00 WITA)

25 Christiana, Welda Putranti, Pendeta jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 10 Agustus 2015,

pukul 10.00 WITA)

26

Made, Suwiriya, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, 18.00 WITA)

27

Suserah, mantan Majelis Jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, 13.00 WITA)

(8)

GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari telah memberikan model kehidupan secara adil dan setara yang baik di dalam hal pemilihan serta penempatan pendeta perempuan di tengan masyarakat Bali yang masih begitu kental dengan budaya patriakalnya. Tetapi model yang baik itu harus ditarik juga untuk kehidupan pribadi jemaat PNIEL di Blimbingsari mulai dari keluarga yang sadar jender sampai pada masyarakat yang sadar jender dan kehidupan gereja dalam aras Sinode yang sadar jender.

3.4. Kedudukan perempuan dalam kepemimpinan GKPB jika dilihat dari perspektif budaya

Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) secara keseluruhan menghormati serta melestarikan budaya Bali yang ada dilakukan dengan berbagai macam cara dilakukan. Memang ada yang hanya sebatas dengan membangun bangunan gereja dengan bentuk bangunan adat Bali, ada yang juga gereja yang benar-benar memperhatikan secara detail setiap kebudayaan dari Bali itu bagaimana. Biasanya itu semua juga disesuaikan dengan tempat dari masing-masing gereja berada.28 Ada gereja yang bertempat di penduduk yang memang benar-benar kental dengan adat dan budaya (seperti GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase) dan ada juga gereja yang bertempat dimana penduduknya tidak terlalu kental akan adat dan budaya Bali (seperti GKPBjemaat PNIEL di Blimbingsari). Bagaimana pun juga Kristen di Bali tetap dianggap sebagai pendatang, sehingga harus mampu menyesuaikan diri tanpa harus kehilangan jati diri.29

Dari dulu sebenarnya kedudukan perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat atau pendeta itu tidak dipersulit oleh pihak GKPB, tetapi yang kerapkali menjadi hambatan dan halangan itu ialah warga sekitar yang masih sangat kuat dengan budaya patriakinya.30 Hanya keberanian untuk melangkah maju yang membuat adanya keterwakilan perempuan di dalam GKPB itu ada.31 Oleh karena hanya ada sedikit perempuan yang berani mengambil keputusan dengan resiko besar, membuat pendeta perempuan pada awalnya sangat sedikit, hanya terdapat dua orang pendeta perempuan. Setelah dua pendeta perempuan pertama ini ada, GKPB harus menunggu kurang lebih 21 tahun, barulah GKPB kembali mendaptkan seorang pendeta perempuan.

GKPB tidak secara langsung membawa budaya patriaki ke dalam organisasi pelayanan jemaat, karena GKPB harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di Bali. Secara organisasi, budaya patriaki masih sangat kental, karena dalam organisasi terdapat anggota yang

28 Nyoman, Murdita, Ahli Budaya di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Buduk, 16 Agustus

2015, pukul 17.00 WITA)

29 Si Luh, Nestari, Pendeta Emeritus perempuan di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara,

(Monang-Maning, 18 Agustus 2015, pukul 16.00 WITA)

30 Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13

Agustus 2015, pukul 09.00 WITA)

31

Si Luh, Nestari, Pendeta Emeritus perempuan di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Monang-Maning, 18 Agustus 2015, pukul 16.00 WITA)

(9)

masih sangat memegang teguh budaya patriaki32, hal semacam itu pun dapat menghambat keterlibatan seorang perempuan di GKPB.

Budaya patriaki di Bali bukan hanya dianut oleh kaum laki-laki, tetapi budaya itu juga sudah benar-benar mendarah daging di pribadi para perempuan Bali saat itu. Ada beberapa perempuan yang masih belum menyadari bahwa stereotip mereka selama ini adalah pengaruh budaya, bukan kodrat mereka sebagai perempuan. Seiring berjalannya waktu, pribadi masing-masing mulai menyadari bahwa budaya yang mereka anut itu bisa saja berubah lewat pribadi masing-masing.33 Hingga saat ini, terlihat begitu pesat peningkatan jumlah pendeta perempuan, selain itu juga, jumlah Vikaris di GKPB saat ini didominasi oleh kaum perempuan, begitu juga jika dilihat dari jumlah mahasiswa yang sedang menempuh studi di fakultas Teologi juga didominasi oleh kaum perempuan. GKPB sangat membuka kesempatan yang besar bagi para bagi para perempuan yang untuk mau menjadi seorang pendeta untuk melayani di jemaat.

Bentuk dukungan GKPB terhadap kaum perempuan juga bisa dilihat dari setiap peraturan gereja yang ada. GKPB sama sekali tidak membuat peraturan khusus baik yang ditujukan bagi kaum laki-laki atau kaum perempuan. GKPB benar-benar memperlihatkan bahwa antara laki-laki dan perempuan itu adalah sama, mereka memiliki kemampuan yang sama dalam hal menjadi seorang pemimpin.34 Hal yang menjadi tolak ukur biasanya adalah kualitas yang dimiliki oleh seseorang, jikalau kualitas laki-laki lebih di bawah perempuan, tidak menjadi suatu masalah yang besar jika memang perempuanlah yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding laki-laki.35

Dengan mulai berkembangnya jumlah mahasiswi fakultas teologi, vikaris perempuan serta pendeta perempuan semuanya itu sebenarnya adalah dukungan kuat yang telah mereka dapatkan dari keluarga mereka masing-masing. Oleh karena keluarga sangat mendukung dan memiliki kesadaran jender yang membuat para keluarga mengijinkan masing-masing anggota keluarga mereka yang perempuan untuk terjun ke dalam lingkungan publik, yaitu menjadi seorang pendeta yang diawali dengan menempuh studi yang ada. Budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat benar-benar dapat berubah dan bergeser dimulai dari didikan di dalam keluarga.

Bertambahnya jumlah pendeta perempuan, vikaris perempuan serta mahasiswi teologi, itu semua memang dapat dikatakan bahwa pemikiran orang Kristen mengenai perempuan sudah sedikit maju, namun kedudukan perempuan masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriaki karena sampai saat ini kebanyakan perempuan hanya dapat ditemukan di aras jemaat.

32

Dalam hal ini, budaya yang dimaksudkan ialah budaya patriaki.

33 Ni Gusti, Ayu Stiti, Bendahara Yayasan Panti Asuhan Widhya Asih, wawancara, (Kapal, 19 Agustus 2015, pukul

11.00 WITA)

34

Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, pukul 09.00 WITA)

35

Nyoman, Murdita, Ahli Budaya di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Buduk, 16 Agustus 2015, pukul 17.00 WITA)

(10)

Kedudukan perempuan di GKPB tertinggi hingga saat ini ialah sebatas sekretaris bidang di Sinode.

3.5. Penyebab Pendeta perempuan tidak pernah menjabat sebagai seorang Bishop di GKPB

Salah satu syarat untuk menjadi seorang Bishop di GKPB adalah mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun.36 Salah satu syarat itulah yang menajadi kunci Penulis dalam menjawab tujuan kedua dari penelitian permasalahan ini. Pada awal GKPB berdiri, tidak ada pendeta perempuan. Setelah 15 tahun GKPB berdiri dan diakui sebagai anggota dalam PGI, barulah muncul 2 (dua) orang pendeta perempuan yang melayani di GKPB. Setelah muncul dua pendeta perempuan ini, GKPB membutuhkan waktu sekitar 21 tahun lagi barulah GKPB kembali memiliki pendeta perempuan.

Melihat kenyataan di Bali yang masih sangat kental dengan budaya patriaki merupakan penyebab utama mengapa pada saat itu GKPB sangat sedikit dengan pendeta perempuan. Dalam pemikiran masyarakat pada saat itu pendeta adalah sesosok tokoh yang harus siap untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas. Sedangkan masyarakat Bali masih sangat kental dengan budaya patriakinya, maka kekhawatiran bahwa seorang pendeta perempuan tidak dapat menghadapi semua itu, menjadi alasan sehingga masyarakat tidak berani mengambil resiko untuk masuk sekolah teologi dan menjadi seorang pendeta, hal itu pun berdampak juga pada setiap anak perempuan yang ada. Sampai saat ini di GKPB sendiri belum pernah merasakan seorang pemimpin gereja tertinggi yaitu Bishop diduduki oleh seorang perempuan, karena hingga saat ini baru 3 (tiga) pendeta perempuan yang memenuhi salah satu syarat penting untuk menjadi seorang Bishop, yaitu “mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-kurangnya 16 tahun”. GKPB harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga GKPB juga menganut budaya patriaki.

Melihat kenyataan saat ini, dimana semakin bertambahnya pemimpin jemaat atau pendeta dari kalangan perempuan menunjukan bahwa budaya itu memang dapat berubah, asalkan juga sesuai dengan kesepakatan bersama, karena budaya itu sendiri terbentuk dari kesepakatan masyarakat sendiri. Jika melihat di masa yang akan datang, pemimpin gereja dari kaum perempuan pasti akan ada, karena jemaat akan mencari bagaimana kualitas seorang calon pemimpin mereka, bukan siapakah mereka apakah mereka perempuan ataukah laki-laki. Namun satu hal kekuatan yang akan dimiliki oleh seorang perempuan untuk dapat menjadi pemimpin utama gereja yaitu dukungan penuh dari keluarga sendiri,37 karena bagaimanapun juga secara biologis perempuan memiliki kelemahan saat menjadi seorang pemimpin gereja yaitu pada saat mereka melahirkan dan merawat anak yang baru lahir sehingga pada masa tersebut akan

36

Tata Gereja GKPB 2014, 18

37

Ni Gusti, Ayu Stiti, Bendahara Yayasan Panti Asuhan Widhya Asih, wawancara, (Kapal, 19 Agustus 2015, pukul 11.00 WITA)

(11)

mengganggu pelayanan seorang pemimpin yang harus memiliki waktu secara penuh bagi setiap jemaat yang ada di seluruh GKPB.38

Pemikiran Esensialisme mengenai berkurangnya intensitas pekerjaan seorang perempuan oleh karena sifat “keperempuanannya” secara biologis seperti melahirkan dan berlaku pada semua perempuan dimanapun mereka berada sangat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, karena tidak semua perempuan dapat melahirkan. Tidak juga dapat berlaku pada semua perempuan yang dapat melahirkan karena ada pemimpin perempuan yang sekalipun ia mengambil cuti untuk melahirkan, namun ia tetap ada di tempat jika dibutuhkan, ia siap untuk melayani. Beberapa pemimpin perempuan yang tahu bahwa dirinya akan mengambil cuti untuk melahirkan juga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ke depannya pada saat masa cutinya.39 Maka pemikiran dari kelompok esensialisme tidak dapat dibenarkan jika pemikiran itu diberlakukan kepada seluruh perempuan yang ada.

Pemikiran esensialisme sebenarnya dapat dikatakan sebagai pendukung dari budaya patriaki di Bali. Memikirkan bahwa keadaan “keperempuanan” secara biologis dapat menghambat intensitas kepemimpinan seorang perempuan juga dipikirkan oleh beberapa perempuan di Bali. Hal inilah yang dikatakan bahwa tanpa disadari bahwa bukan hanya laki-laki sebagai pelaku budaya patriaki tetapi malah perempuan. Perempuan tidak berani untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar seperti menjadi seorang pemimpin gereja yaitu Bishop karena berpikiran bahwa perempuan itu tidak layak, karena keadaan biologis mereka sebagai perempuan hanya laki-lakilah yang layak.

38

Rai, Sri Handayati, warga jemaat GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase 17 Agustus 2015, pukul 15.00 WITA)

39

Made, Suwiriya, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, 18.00 WITA)

Referensi

Dokumen terkait

Hati membuat kolesterol, sangat banyak, sekitar ¾ gram sehari, dari berbagai sumber, termasuk asetat, suatu garam organik yang terbentuk pada metabolisme normal, kolesterol diet dan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah penerapan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PJOK SD Negeri 004 Tembilan

Sedangkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 1 butir 6-nya yang berbunyi sebagai berikut: segala upaya pemenuhan

Keberadaan Majelis taklim sebagai lembaga non formal di tengah-tengah masyarakat memberi dampak yang cukup positif dalam meningkatkan kegiatan ibadah dan

Federal Communication Commission Interference Statement 

Latar belakang penelitian ada sebagian siswa SMA 1 Jekulo Kudus tahun pelajaran 2012/2013 yang mengalami tekanan psikologi seperti tumbuh rasa tidak aman dan kemurungan

Beberapa tempat wisata kuliner yang terkenal di Kota Cimahi di antaranya adalah: Bakso Hejo – Jalan Cihanjuang. Alam Wisata Cimahi

2) Melakukan studi dasar pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) hidup sehat dengan gizi seimbang dan memonitor perkembangan PSP dari waktu kewaktu, termasuk pemahaman dan