• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

taIMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pendidikan

oleh: Kelompok 1

Arini Dwi Lestari (1413024011) Atika Putri (1413024013) Era Ariyani (1413024033) Hanifa Nurmira Tama (1413024037) Nurlida Tri Apria P. (1413024059) Tata Zettya Parawita (1413024073)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, kesehatan, dan juga kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI INDONESIA ini dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini telah penulis susun dengan semaksimal mungkin dan semampu penulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Pendidikan. Tentunya penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan, baik dari susunan kalimat maupun tata bahasa yang penulis kenakan di dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca sekalian agar dikemudian hari penulis dapat memperbaiki pembuatan makalah di lain kesempatan.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah yang telah penulis susun ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi pembaca dan dapat memberikan sedikit referensi bagi pembaca sekalian terkait dengan materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini.

Bandar Lampung, 17 Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

(3)

KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Rumusan Masalah ...2 1.3 Tujuan ...2 BAB II PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ...3 2.2 Implementasi MBS di Indonesia ...9 BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...20 3.2 Rekomendasi ...21

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

(4)

1.1 Latar belakang

Permasalahan klasik yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia sampai saat ini, salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Pemerintah pun tidak hanya diam dan duduk dikursi jabatan mereka saja. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah negara Indonesia untuk meningkatkan mutu Pendidikan Nasional. Usaha-usaha tersebut meliputi; pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, sampai saat ini berbagai indikator mutu pendidikan belum dapat menunjukan peningkatan yang berarti.

Dibutuhkannya solusi yang bijak dan tentunya dapat mewujudkan sebuah pembangunan dalam dunia pendidikan yang lebih efektif dan efisien. Menurut Caldwell dan Spinks (1992) mengatakan bahwa salah satu upaya yang dilakukan agar dapat mewujudkan sekolah yang efektif adalah melakukan perubahan di sekolah dengan School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang menekankan pada pengembangan perencanaan sekolah, peningkatan kualitas sekolah, implementasi kurikulum/program baru dan aplikasi teknologi informasi dalam pendidikan.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan sebuah solusi yang telah diberikan oleh beberapa ahli untuk menangani permasalahan-permasalahan mengenai pendidikan, tidak hanya pendidikan yang ada di Indonesia namun digunakan pula di berbagai sekolah yang ada di luar negeri. Manajemen Berbasis Sekolah menurut beberapa ahli dapat membangun pendidikan yang ada di sekolah menjadi lebih baik dan efektif serta lebih menekankan untuk mengembangkan sekolah yang berkualitas, bermutu, dan dapat mengimplementasikan program-program baru yang disusun oleh perangkat sekolah yang ada.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas selanjutnya, antara lain sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)? 2. Bagaimana implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia? 1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, yaitu:

1. Mampu mengetahui yang dimaksud dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

2. Mengetahui bentuk implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia

BAB II PEMBAHASAN

(6)

1. Definisi MBS

Istilah Manajemen Berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari

“School-Based Management”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan

paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan Pendidikan Nasional.

Menurut Edmond, dalam kutipan Subroto (2004), mengatakan bahwa MBS merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah, sedangkan menurut Nurcholis (2003), ia menyebutkan bahwa MBS adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.

Secara umum, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan Pendidikan Nasional (Burhanuddin, 1994: 137).

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan oleh beberapa orang ahli, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu bentuk penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan.

(7)

Diawali dari telah banyaknya usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama di tingkat pendidikan dasar yang telah mulai diterapkan, namun hasil yang diperoleh masih kurang menggembirakan. Secara garis besar, faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah :

1. Kebijakan penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang berorientasi pada output pendidikan terlalu memusatkan pada input, sehingga proses pendidikan kurang diperhatikan

2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada putusan birokrasi. Oleh sebab itu, sekolah menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif dan miskin kreatifitas, sehingga usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu layanan pendidikan menjadi kurang termotifasi

3. Peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan yang selama ini hanya terbatas pada dukungan dana, padahal mereka sangat penting dalam proses-proses pendidikan, seperti pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi akuntabilitas, dll.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, konsep Site

Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan

kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran pendidikan, sumber daya pendidik, kurikulum dan evaluasi pendidikan (penilaian). Demikian juga studi yang dilakukan di El Salvador, Nepal dan Pakistan. Rata-rata informasi menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru (Terry, 1970: 54). Sementara di Australia, School Based Management merupakan refleksi pengelolaan desentralisasi pendidikan yang menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut visi, misi, dan tujuan atau sasaran sekolah yang membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum sekolah dan program-program operatif sekolah yang lain. MBS di Australia dibangun dengan memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintah negara bagian di satu pihak, dan di pihak lain dari partisipasi masyarakat melalui school

(8)

council dan parents and community association. Perpaduan keduanya

melahirkan dokumen penting penyelenggaraan MBS yaitu school policy yang memuat visi, misi, sasaran, pengembangan kurikulum, dan prioritas program, school planning review serta school annual planning quality

assurance. Akuntabilitas dilakukan melalui pengawasan dari luar dan

dalam (external and internal monitoring) (Terry, 1970: 56).

Dengan belajar keberhasilan di negara lain seiring dengan diberlakukannnya Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka semakin membuka peluang kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami desentralisasi pula yang salah satu bentuknya berupa Manajemen Berbasis Sekolah. Sejarah baru pengelolaan pendidikan di Indonesia melalui MBS menjadikan pengelolaan pendidikan di Indonesia berpola desentralisasi, otonomi, pengambilan keputusan secara partisipatif. Pendekatan birokratik tidak ada lagi, yang ada adalah pendekatan professional.

Dalam Pasal 11 UU No. 25 Tahun 1999, kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua bidang pemerintahan termasuk di dalamnya pendidikan dan kebudayaan, maka terdapat otonomi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan yang mengarah kepada pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerataan pelayanan pendidikan yang berkeadilan (Handayaningrat, 1986: 65).

Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendidikan di suatu negara berdasarkan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di berbagai negara lainnya seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 14).

(9)

Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, metode pengajaran, dan sistem evaluasi, dari kesemuanya tersebut kurang memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tahun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya di bidang industri dan organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi system secara struktural dan gaya manajemen sekolah (Tilaar, 2004: 32).

Setelah adanya kesadaran itu, munculah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS. Gerakan reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa telah membawa perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan itu ialah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah yang menjelaskan tentang otonomi daerah, pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus persoalan kemasyarakatan berdasarkan aspirasi setempat. Sedangkan otonomi dalam dunia pendidikan didasarkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memuat mengenai Manajemen Berbasis Sekolah. Penerapan MBS di

(10)

Indonesia tidak lepas dari trend perubahan pengelolaan pendidikan di negara-negara lain, seperti Kanada, China, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru (Erik Lindberg, 2013: 41).

Di Kanada MBS lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial

delegation) dengan pendekatan "school-site decision making" yang

dilatar-belakangi oleh kelemahan manajemen pendidikan. Di Cina, khususnya di Hongkong, MBS lebih dikenal dengan School Management Initiative (SMI) yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam memanajemen sekolah. Model ini mengubah manajemen yang sentralistik menjadi desentralistik dengan kewenangan lebih besar kepada sekolah dalam pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan. Sedangkan di Inggris MBS, muncul dengan istilah Local School

Manajeman (LSM) sebagai bentuk pemindahan manajemen pendanaan

dan sumber daya dari kewenangan lokal kepada dewan penyelenggara atau pengelola sekolah (Erik Lindberg, 2013: 39).

Australia adalah negara yang mendapat julukan "a world-leader in

School-Based Management" atau pemimpin dunia dalam hal Manajemen Berbasis

Sekolah. Upaya perubahan tersebut membutuhkan waktu tiga puluhan tahun dan "The Karmel Report" yang berisi pernyataan bahwa berkurangnya kontrol sentralisasi terhadap operasi sekolah-sekolah diperlukan untuk menjamin efektivitas dan pemerataan atau keadilan dalam pendidikan sekolah. Walaupun demikian istilah MBS di Australia berbeda-beda, di Tasmania dikenal dengan Strategic School Plan, di Australia Selatan dengan istilah School Development Plan, atau School

Action Plan (Abu Duhou, 2002: 27).

Sedangkan istilah Manajemen Berbasis Sekolah yang digunakan di Indonesia merupakan terjemahan dari School-Based Management yang muncul di Amerika Serikat sebagai bentuk kritik terhadap manajemen pendidikan dengan mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntunan dan perkembangan masyarakat setempat (Mulyasa, 2004: 24).

(11)

Di Indonesia sendiri sebenarnya MBS telah diterapkan disekolah-sekolah swasta baik yang didirikan oleh yayasan atau badan hukum. Selain itu, pesantren juga telah melaksanakan prinsip-prinsip MBS, keterlibatan santri dalam proses belajar-mengajar, hubungan harmonis dan kerja sama yang baik antara orang tua dengan pengelola pesantren, otonomi kurikulum pembelajaran dan pengelolaan keuangan menjadikan pesantren tetap eksis hingga sekarang (Depdiknas, 1999: 56).

Menurut Taruna dalam Nurkolis (2003: 145), ada enam tolak ukur keberhasilan MBS, yaitu:

1. Berkurang sebanyak mungkin angka tinggal kelas terutama dikelas rendah

2. Berkurang sebanyak mungkin angka putus sekolah

3. Semakin berkembangnya otonomi kepala sekolah dan guru-guru di sekolahnya itu sendiri

4. Semakin seringnya BP3 rapat memikirkan peningkatan mutu partisipasi orang tua murid dan masyarakat

5. Semakin banyaknya dukungan (bukan pengawasan) oleh pihak aparat kecamatan dan kabupaten kepada sekolah

6. Semakin terciptanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas sepanjang hari

Dari kriteria di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah yang berhasil dalam menerapkan MBS yakni adalah sekolah-sekolah yang memiliki hal-hal sebagai berikut:

1. Apabila jumlah siswa yang mendapat pelayanan pendidikan semakin meningkat

2. Semakin terciptanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas sepanjang hari

3. Kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik

4. Tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti, rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi semakin besar

5. Relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik 6. Adanya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan 7. Meningkatnya keterlibatan stakeholders

8. Semakin baiknya iklim dan budaya kerja di sekolah 9. Kesejahteraan guru dan staf sekolah membaik

(12)

2.2 Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia 1. Hasil Penelitian mengenai MBS di Indonesia

Penelitian ini dilakukan oleh Busnul Arifin, seorang mahasiswa pascasarjana Institut Agama Islam Negeri di Salatiga, Jawa Tengah dengan judul penelitiannya yakni “Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran di MIN Sumberrejo dan MIM Paremono Kabupaten Magelang Tahun 2014”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam peningkatan kualitas pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Magelang yang diwakili oleh MI Muhammadiyah Paremono dan MIN Sumberrejo. Jenis penelitian yang dilakukan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan sumber data yang diperoleh yaitu sumber data primer dan sekunder. Pengumpulan data melalui teknik observasi, interview dan dokumentasi. Teknik analisis datanya dengan cara mereduksi data, penyajian data dan mengambil kesimpulan. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, meliputi konsep dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan implementasinya pada sistem persekolahan di Indonesia, implementasi manajemen berbasis sekolah, faktor penghambat dan faktor pendukung MBS serta dampak penerapan MBS terhadap kualitas pembelajaran di MIN Sumberrejo dan MI Muhammadiyah Paremono.

Adapun hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan, diantaranya yaitu:

 Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Bagi Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Ditinjau dari segi hasil implementasinya penerapan MBS di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan Madarasah Ibtidaiyah Negeri Sumberrejo sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran sudah berjalan cukup efektif dan efesien, hal ini terlihat dengan adanya dukungan seluruh staf, pentahapan MBS, pelatihan staf, dukungan anggaran dan pendelegasian wewenang, tingginya prestasi akademik siswa, guru menguasai bahan dan prosedur mengajar yang tepat,

(13)

pemanfaatan fasilitas secara efesien dan efektif, pemahaman guru tentang karakteristik kelompok dan perorangan siswa, penciptaan dialog kreatif dan lingkungan belajar yang menyenangkan dan kepribadian guru (keteladanan). Proses pembelajaran dikatakan berkualitas apabila pembelajaran itu aktif dan bermakna dengan ditandai peserta didik aktif dan kooperatif, berpikir kreatif dan kritis, semangat belajar tinggi dan adanya perubahan perilaku yang positif dan life skill.

Berdasarkan indikator kualitas pembelajaran tersebut dapat dikaitkan dengan implementasi manajemen berbasis sekolah berkaitan dengan peran dan fungsi manajemen dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang ada di MIN Sumberrejo dan MIM Paremono Kabupaten Magelang, sebagai berikut:

1. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Dalam konteks ini, Madrasah Ibtidaiyah di Kabupaten Magelang juga melakukan evaluasi kurikulum. Menurut Kepala Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan MIN Sumberrejo, evaluasi kurikulum dilaksanakan pada dua periode. Periode pertama yaitu pada akhir semester. Evaluasi pada periode ini adalah evaluasi berupa rapat koordinasi yang digunakan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam tataran praktis dalam pelaksanaan kurikulum. Kepala madrasah menyebutkan evaluasi ini berupa rapat koordinasi yang digunakan untuk mengetahui keluhan-keluhan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugasnya. Dari keluhan-keluhan itu dicari jalan solusi dan alternatif terbaik agar pada semester berikutnya masalah serupa tidak timbul kembali. Sedangkan evaluasi periode kedua adalah evaluasi secara totally (menyeluruh)

2. Manajemen Tenaga Kependidikan

Madrasah Ibtidayah Muhammadiyah Paremono dan MIN Sumberrejo dikelola dan dibina oleh tangan-tangan profesional. Pimpinan sekolah, guru, dan karyawan merupakan sumber daya manusia pilihan yang memiliki dedikasi tinggi, akhlak mulia dan memiliki kualifikasi sesuai dengan bidangnya.

(14)

Madrasah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah madrasah yang harus lebih bertanggung-jawab, kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggung-jawabannya. Dalam temuan penelitian, diperoleh data bahwa sebagian besar guru melaksanakan kegiatan analisis hasil penilaian dan melaksanakan tindak-lanjutya. Setelah diadakan evaluasi maka sebagaian besar guru melaksanakan analisis dan diteruskan melaksanakan tindak lanjut. Tindak lanjut yang dilakukan ada dua macam, yakni bagi siswa yang masih kurang dari kriteria ketuntasan minimal (KKM), maka diadakan perbaikan atau pembelajaran remidi, sedangkan siswa yang telah melebihi ketuntasan minimal maka diadakan pengayaan

3. Manajemen Kesiswaan

Output atau hasil akhir dari profil lulusan Madrasah Ibtidaiyah di

Kabupaten Magelang adalah terbentuknya peserta didik yang sesuai dengan standart kompetensi lulusan, yaitu akidah yang lurus, kemampuan beribadah yang benar, memiliki wawasan yang luas, usaha untuk rapi dalam setiap urusan, mempunyai akhlak mulia, mengatur waktu dengan baik, mempunyai kemampuan berusaha, mempunyai fisik yang sehat, kemampuan menahan hawa nafsu, dan berlatih untuk bermanfaat bagi orang lain

4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan

Manajemen keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu gugusan substansi administrasi pendidikan dan salah satu bidang garapan administrasi pendidikan yang secara khusus menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dimiliki dan digunakan di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan MIN Sumberrejo. Untuk terselenggaranya suatu pendidikan, diperlukan pembiayaan yang bersumber baik dari pemerintah, orang tua, murid, masyarakat, maupun institusi-institusi lainnya seperti organisasi regional maupun internasional. Pemerintah merupakan penanggung dana terbesar diantara yang lain (sekitar 70%), selanjutnya orangtua murid (sekitar 10-24%) masyarakat

(15)

(sekitar 5%) dan yang terakhir pihak lain baik yang berbentuk hibah maupun pinjaman

5. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

MIM Paremono dan MIN Sumberrejo menetapkan solusinya adalah mengadakan pengaturan jadwal penggunaan sehingga dalam penggunaannya guru dapat melakukan secara bergantian, berupaya mengajak guru untuk terus mengoptimalkan penggunaan sarana dan prasarana yang ada dan lebih kreatif dalam mencari sarana dan prasarana lain yang memiliki kualitas sama. Daftar inventarisasi barang yang disusun dalam suatu organisasi yang lengkap dan berkelanjutan dapat memberikan manfaat untuk menyediakan data dan informasi dalam rangka menentukan kebutuhan dan menyusun rencana kebutuhan barang, untuk dijadikan pedoman dalam pengarahan pengadaan dan penyaluran barang, serta memudahkan pengawasan dan pengendalian barang

6. Manajemen Hubungan Sekolah dan Masyarakat

Keberadaan Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Magelang, memiliki nilai plus yakni mampu melahirkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai daya juang tinggi, kreatif, inovatif, proaktif dan mempunyai landasan iman dan takwa yang kuat. Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di madrasah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan madrasah yang baik, artinya sejauh mana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan terhadap manajemen madrasah yang bersangkutan. Dua diantara warga madrasah dan masyarakat yang ikut berperan penting dalam mencapai keberhasilan manajemen berbasis sekolah adalah pimpinan madrasah, dalam hal ini kepala madrasah, dan komite madrasah, dikenal dengan dewan madrasah. Keberhasilan manajemen berbasis sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan pimpinan dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah tersebut

7. Manajemen Layanan Khusus

Kegiatan belajar mengajar harus menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar artinya kegiatan belajar mengajar harus

(16)

memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara, strategi dan motivasi belajar serta latar belakang sosial peserta didik. Dalam mewujudkan siswa yang berpikir kreatif dan kritis. Madrasah Ibtidaiyah di Kabupaten Magelang mempunyai beberapa pogram untuk meningkatkan prestasi siswa-siswanya dalam manajemen layanan khusus antara lain: Responsi (Penguasaan konsep dan pengayaan dalam jam reguler), Klinik mata pelajaran (remedial), Klub bidang studi, Program pengembangan, Bimbingan intensif UAN, Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran baik berupa sumber belajar maupun sarana belajar.

Berdasarkan uraian di atas, dalam implementasi program Manajemen Berbasis Sekolah ini mengungkap tentang Manajemen Madrasah, Kinerja Kepala Madrasah/Guru, dan Peran Serta Masyarakat yang ada didalamnya.

 Faktor Pendukung Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Faktor pendukung implementasi MBS di Madrasah Ibtidaiyah di Kabupaten Magelang adalah wewenang/otonomi yang lebih besar dari pemerintah kepada madrasah, sosialisasi peningkatan mutu pendidikan dari pemerintah, bantuan anggaran pendidikan baik dari pemerintah maupun masyarakat (wali murid), kemauan warga sekolah untuk maju bersama-sama, dan partisipasi komite sekolah yang semakin aktif. Adapun empat faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi MBS yaitu: kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan”.

1) Kekuasaan yang dimiliki madrasah

Kepala madrasah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat. Besarnya kekuasaan sekolah tergantung bagaimana MBS diterapkan 2) Pengetahuan dan keterampilan

Kepala madrasah beserta seluruh warganya (guru-guru) senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya secara berkesinambungan

(17)

3) Sistem informasi yang jelas

Madrasah yang melaksanakan MBS perlu memiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah. Informasi ini sangat penting untuk dimiliki sekolah, antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, prestasi peserta didik, kepuasan orang tua dan peserta didik, serta visi dan misi sekolah yang menjadi nilai jual

4) Sistem penghargaan

Madrasah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan bagi warganya (guru-guru) yang berprestasi, terutama untuk mendorong karirnya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja dalam kalangan warga madrasah

 Faktor Penghambat Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Bersadarkan analisis terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi maka yang menjadi hambatan dalam implementasi manajemen sekolah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kepatuhan petugas pelaksana

Tingkat kepatuhan seluruh komponen pendidik dan tenaga kependidikan di dalam melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya ekonomi, konsep agama yang dianut dan etos pegawai terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tingkat kepatuhan dan etos kerja pegawai yang kadang kurang baik menjadi salah satu hambatan sehingga kualitas pembelajaran tidak dapat tercapai secara maksimal

2) Sumber Daya

Pelaksanaan suatu kebijakan tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak didukung oleh sumber daya yang memadai. Sumber daya yang diperlukan dalam mendukung suksesnya manajemen sekolah adalah sumber daya yang baik, tanggap dan sadar atas kebijakan yang dilakukan pimpinan. Namun, dalam kenyataanya sumber daya pendidik yang ada di MIM Paremono dan MIN Sumberrejo ada beberapa guru yang belum memenuhi persyaratan minimal kualifikasi pendidikan seorang guru setingkat Madrasah Ibtidaiyah

(18)

Beberapa faktor penghambat lain yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:

1) Tidak Berminat Untuk Terlibat

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan tersebut

2) Tidak Efisien

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara- cara yang otokratis. Para anggota dewan madrasah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu

3) Pikiran Kelompok

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan madrasah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Pada saat inilah dewan madrasah mulai terjangkit “pikiran kelompok”

4) Memerlukan Pelatihan

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya

5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan

6) Kesulitan Koordinasi

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien.

(19)

Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan madrasah.

 Dampak Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Kualitas Pembelajaran

MBS juga bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektif artinya pengelolaan dan penggunaan semua input dalam bentuk non-uang (jumlah dan jenis buku, peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan hasil yang dicapai (output-outcome). Dengan MBS setiap anak akan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap madrasah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan pendidikan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal.

Dalam pendekatan MBS, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para siswa.

Berdasarkan dari studi kasus dalam penelitian yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan MBS atau pengimplementasiannya pada sekolah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sumberrejo yang menjadi salah satu contoh sekolah di Indonesia yang menerapkan atau mengimplementasikan MBS sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran, sudah berjalan cukup efektif dan efisien. Hal tersebut terlihat dengan adanya kerjasama yang baik antar warga di sekolah dalam menjalankan berbagai peran dan fungsi manajemen guna meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.

(20)

Adapun peran manajemen tersebut yang telah dilaksanakan dengan baik, diantaranya yaitu peran dalam manajemen kurikulum dan program pengajaran, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan dan pembiayaan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, manajemen hubungan sekolah dan masyarakat, dan manajemen layanan khusus di sekolah. Dalam menjalankan peran-peran tersebut, Kepala Madrasah-lah yang dalam hal ini memiliki peran sangat penting dalam mengkoordinasikan, menggerakan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia agar peran-peran tersebut terlaksana dengan baik. Kepentingan Kepala Madrasah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.

Upaya peningkatan kualitas pembelajaran dengan penerapan MBS di sekolah MIM Paremono dan MIN Sumberrejo juga terlihat dengan adanya dukungan seluruh staf di sekolah, pentahapan MBS, pelatihan staf, dukungan anggaran dan pendelegasian wewenang, dukungan dari tenaga pendidik yaitu para guru yang menguasai bahan dan prosedur mengajar yang tepat, pemanfaatan fasilitas secara efisien dan efektif, pemahaman guru tentang karakteristik kelompok dan perorangan siswa, penciptaan dialog kreatif dan lingkungan belajar yang menyenangkan, serta kepribadian guru (keteladanan) yang berperan dalam membangkitkan minat dan motivasi belajar kepada seluruh siswanya sehingga selalu menampakkan kemajuan dalam belajarnya.

Dalam penerapan MBS, tentunya tidak hanya memerlukan kerjasama antar warga di dalam lingkungan sekolah, tetapi juga membutuhkan peran dari

stakeholder dan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam penerapan

MBS di sekolah MIM Paremono dan MIN Sumberrejo terlihat dengan berpartisipasinya masyarakat, khususnya orang tua siswa yang secara aktif dan optimal dalam berperan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah dalam

(21)

memberikan dukungan dan perhatian kepada madrasah, baik dalam bentuk materi maupun non materi.

Berdasarkan kriteria keberhasilan dari implementasi MBS yang telah disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sumberrejo sudah memenuhi kriteria tercapainya keberhasilan MBS. Dengan tercapainya kriteria tersebut, maka artinya sekolah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paremono dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sumberrejo yang menjadi salah satu contoh sekolah yang mengimplementasikan MBS di Indonesia, memilki kualitas pembelajaran yang sudah berjalan dengan efektif dan efisien.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu bentuk penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan

2. Manajemen Berbasis Sekolah yang digunakan di Indonesia merupakan terjemahan dari School-Based Management yang muncul di Amerika Serikat sebagai bentuk kritik terhadap manajemen pendidikan dengan mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntunan dan perkembangan masyarakat setempat

3. Gerakan reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa membawa perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan itu yakni lahirnya UU No. 22 tahun 1999

(22)

dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menjelaskan mengenai otonomi daerah dan otonomi dalam dunia pendidikan didasarkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memuat mengenai MBS

4. MBS menjadikan pengelolaan pendidikan di Indonesia berpola desentralisasi, otonomi, pengambilan keputusan secara partisipatif. Pendekatan birokratik sudah tidak ada lagi, yang ada adalah pendekatan profesional

5. Adanya kerjasama yang baik antar warga di sekolah dalam menjalankan berbagai peran dan fungsi manajemen guna meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah menjadi salah satu alasan bahwa MBS yang diimplementasikan di Indonesia sudah efektif dan efisien, berdasarkan studi kasus yang telah dipaparkan sebelumnya

6. Peran dari MBS yang telah dilaksanakan dengan baik berdasarkan contoh sekolah yang diambil, diantaranya yaitu peran dalam memanajemen kurikulum dan program pengajaran, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan dan pembiayaan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, manajemen hubungan sekolah dan masyarakat, dan manajemen layanan khusus di sekolah

7. Dalam menjalankan peran-peran manajemen, Kepala Madrasah atau Kepala Sekolah-lah yang memiliki peran sangat penting dalam mengkoordinasikan, menggerakan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia agar peran-peran tersebut terlaksana dengan baik

8. Dalam penerapan MBS, tidak hanya memerlukan kerjasama antar warga di dalam lingkungan sekolah, tetapi juga membutuhkan peran dari

stakeholder dan masyarakat

9. Faktor pendukung pelaksanaan MBS, antara lain wewenang/otonomi yang lebih besar dari pemerintah kepada sekolah, sosialisasi peningkatan mutu pendidikan dari pemerintah, bantuan anggaran pendidikan baik dari pemerintah maupun masyarakat (wali murid), kemauan warga madrasah untuk maju bersama-sama, dan partisipasi komite sekolah yang aktif 10. Dampak penerapan MBS terhadap kualitas pembelajaran adalah dengan

(23)

melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global.

3.2 Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan pada semua lembaga maupun organisasi yang ikut berperan dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Pemerintah diharapkan untuk tetap melakukan kerja sama dengan perangkat-perangkat sekolah dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan

2. Bagi seluruh warga di sekolah, juga diharapkan untuk tetap saling melakukan kerjasama, saling mengingatkan, dan terbuka dalam menjalankan berbagai peran dan fungsi manajemen guna meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah agar lebih efektif dan efisien

3. Bagi masyarakat khususnya orangtua siswa diharapkan tetap dapat berpartisipasi aktif dan optimal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan serta penyelenggaraan sekolah, dan tetap memberikan dukungan serta perhatian, baik dalam bentuk materil maupun non materil terhadap sekolah

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Duhou. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, diterjemahkan oleh Noryamin Aini dkk. Logos. Jakarta.

Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Bustanul, Arifin. 2015. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam

Peningkatan Kualitas Pembelajaran Di MIN Sumberrejo Dan MIM Paremono Kabupaten Magelang Tahun 2014. IAIN Salatiga. Magelang.

Depdiknas. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku

Panduan Peneyusunan Proposal dan Pelaporan MPMBS. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Erik Lindberg dan Vladimir Vanyushyn. 2013. School-Based Management with or

without Instructional Leadership: Experience from Sweden. Journal of Education and Learning. Vol. 2, No. 3 dan P. 39–50. [online]

Handayaningrat, Soewarno. 1986. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan

Manajemen. Gunung Agung. Jakarta.

Kompas. 2012. Latar Belakang Munculnya MBS. Diakses online dari http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/, pada hari Jumat, 11 Juni 2016 pukul 20.46 WIB.

(25)

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (teori, model, dan aplikasi). PT Gramedia Widiasara Indonesia. Jakarta.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. PT Bina Aksara. Jakarta. Supriyadi, Gatot. 2007. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Penerapan

Manajemen Berbasis Sekolah Di SMA Negeri Magelang. Universitas

Negeri Semarang. Semarang.

Terry, George R. 1970. Principle of Management (Saduran, Winardi). Alumni. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua faktor yang mempengaruhi tidur yang diteliti (nyeri, keadaan psikologis dan keadaan lingkungan) menunjukkan adanya

Pada periode tahun 2016 sampai dengan tahun 2019, penyaluran pembiayaan pada sektor Usaha Mikro oleh Perusahaan Pembiayaan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,53% per

Proses pendidikan yang berkualitas dan kesempatan untuk dapat menikmati pendidikan seluas - luasnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu dapat memberikan harapan

Oleh karenanya, sebelum lembaga litbang menganalisis kebutuhan jumlah formasi pejabat fungsional peneliti, perlu adanya penyelarasan IKK yang ada dimasing-masing

Pada penelitian ini telah dirancang dan direalisasikan program sistem verifikasi nomor kendaraan bermotor, yang diujikan pada kondisi pagi, siang, dan sore hari, dimana

Pertama – tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat, karunia, kemurahan dan kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan skripsi

pembuatan kapal ikan masih kurang dikuasai. 3) Belum ada informasi (data-data) prototipe kapal ikan yang dikaitkan dengan alat tangkap, wilayah penangkapan dan kondisi perairan bagi

Sedangkan dari hasil uji statistik yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan adalah nilai stabilitas dan marshall quotient pada prosentase penambahan serbuk karet ban