• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. muncul karena adanya realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Realitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. muncul karena adanya realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Realitas"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Karya sastra merupakan struktur yang otonom. Pada awalnya, karya sastra muncul karena adanya realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Realitas sosial itu dituangkan pengarang dalam sebuah teks. Teks-teks itulah merupakan gambaran fenomena sosial yang akan dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Karya sastra dapat tergolongkan menjadi tiga jenis yaitu prosa (cerpen, novelet, novela, dan novel), puisi, dan drama (naskah drama). Tiap-tiap jenis memiliki ciri khas yang dapat membedakannya dengan karya sastra yang lain. Seperti novel, ciri khasnya ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit. Dari ketiga jenis karya sastra tersebut, karya sastra yang dinilai mampu menyajikan perpaduan antara pengalaman dan imajinasi secara mendetail ialah jenis prosa, khususnya novel. Novel adalah cerita rekaan yang panjang, yang menonjolkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa secara berstruktur (Noor, 2005:26—27).

Terdapat dua kategori novel, yaitu novel serius dan novel populer. Jika dilihat dari segi persamaan, keduanya berusaha menyajikan pengalaman kemanusiaan. Namun demikian, terdapat tingkat kesulitan yang berbeda dalam upaya memahami keduanya. Novel serius lebih sulit dibaca dibandingkan dengan novel populer karena karakteristik dua jenis novel tersebut berbeda. Perbedaan itu

(2)

tampak pada beberapa hal berikut. Pertama, novel populer hanya sebatas menceritakan sesuatu, sedangkan novel serius menggunakan fakta-fakta cerita yang lebih rumit sehingga untuk memahami strukturnya pun harus melewati langkah-langkah analisis yang serius. Kedua, novel populer menggambarkan tokoh yang stereotip (pada umumnya), sedangkan novel serius menggambarkan tipe tokoh (Pujiharto, 2012:9—10).

Salah seorang penulis novel serius ialah Dewi Linggasari. Ia ikut memperkaya khazanah dunia kepenulisan di Indonesia. Novelis kelahiran Pekalongan, Jawa Timur pada 22 Mei 1967 ini merupakan sarjana Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1993. Ia berhasil menerbitkan berbagai karya sastra yang menceritakan kehidupan sosial masyarakat yang nyata terjadi disekilingnya. Dewi Linggasari dianggap sebagai salah seorang novelis yang memberikan kontribusi besar bagi kesusastraan Indonesia. Ciri khasnya yang menyajikan cerita kebudayaan memberikan warna baru bagi kesusastraan Indonesia. Dewi Linggasari melalui karyanya berusaha untuk mengungkapkan perasaan, sikap, dan pandangannya mengenai berbagai persoalan sosial. Adapun karya-karya yang telah dihasilkan oleh Dewi Linggasari dalam bentuk novel, antara lain adalah, Kapak (2005), Ronggeng (2007), Sali (2007), Asrama Putri (2007), Zaman (2007), Singgahsana (2008), dan Istana Pasir (2011). Selain itu, ia juga telah menerbitkan satu buku antologi puisi yang berjudul Menapak Jejak 200 kumpulan puisi (2011). Selain menghasilkan novel dan antologi puisi, Dewi Linggasari juga menghasilkan beberapa buah karya tulis etnografi, yaitu Realitas di Balik Indahnya Ukiran (2002), Pemilu di Mata Orang Asmat (2004), Yang Perkasa Yang Tertindas (2004), Tinjauan Sosio Kultural

(3)

Rumah Adat Asmat (2004), Folklor pada Rumpun Bisman Asmat (2008), dan Potret Suku Dani (2015).

Dalam penelitian ini, novel yang dijadikan objek material ialah novel yang berjudul Ronggeng karya Dewi Linggasari. Dalam arti leksikal, ronggeng adalah tari tradisional dengan penari utama wanita yang dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari (KBBI, 2014:1182). Novel ini diterbitkan pada tahun 2007 oleh Bigraf Publishing Yogyakarta. Di dalam cerita, seorang ronggeng digambarkan dari dua sisi realitas. Pertama, seorang ronggeng yang dipuja-puja. Ia dapat memberikan berkah bagi kesuburan perkebunan melalui tariannya. Kedua, seorang ronggeng dipandang rendah. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa ronggeng sebagai pemangku naluri seksual laki-laki, milik banyak laki-laki, sehingga ronggeng tidak diperbolehkan memiliki suami.

Novel Ronggeng merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang terjadi di sekitar lingkungannya. Karya sastra ini merekam penderitaan dan harapan suatu masyarakat sehingga sifat dan persoalan suatu kehidupan dapat dibaca. Dengan demikian, novel Ronggeng menjadi hubungan sistem kehidupan dengan realitas sosial suatu masyarakat.

Novel Ronggeng merupakan struktur karya sastra yang otonom. Sebagai struktur yang otonom, unsur tersebut dibangun dari fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra. Di antara ketiga unsur itu, fakta-fakta cerita dan tema merupakan unsur-unsur yang terlihat dominan ketika pembaca memaknai novel. Dominannya fakta-fakta cerita dan tema menarik perhatian dalam beberapa hal

(4)

sebagai berikut. Pertama, alur yang kuat dan hubungan kausalitas yang runtut terbangun ke dalam episode-episode cerita yang dramatik. Kedua, tokoh-tokoh dalam novel Ronggeng sebagai subjek yang menggerakkan peristiwa-peristiwa cerita menggambarkan tipe tokoh. Tingkah lakunya sering tidak terduga dan memberikan efek kejutan bagi pembaca. Ketiga, latar novel Ronggeng memberikan serangkaian cerita secara jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis yang hendaknya dirasakan dan seolah-olah sedang benar-benar dialami oleh pembaca. Keempat, novel Ronggeng mengangkat tema tentang pernikahan yang tidak dikehendaki. Pernikahan yang tidak dikehendaki biasanya menyengsarakan pelakunya. Hal ini merupakan unsur cerita yang sama dengan makna dalam pengalaman manusia sehingga menjadikan pengalaman batin pembaca begitu terikat dalam benak ingatan. Kelima, dengan ditelitinya alur, tokoh, latar, dan tema termudahkan pembaca untuk mengetahui hubungan antarunsur sebagai pembangun kesatuan unsur novel. Hubungan antarunsur yang saling terkait dapat diketahui makna cerita secara menyeluruh. Keenam, novel Ronggeng menggunakan fakta-fakta cerita yang lebih rumit sehingga untuk memahami strukturnya pun harus melewati langkah-langkah analisis yang serius.

Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari menarik perhatian sejumlah peneliti. Beberapa peneliti itu menelitinya dari segi ekstrinsik, antara lain, dari segi feminisme di tulis oleh Yohana (2008) dan Christina Diah Kumalasari (2011). Dari segi psikologi sastra di tulis oleh Nisma (2012) dan Ratih Prioritasari (2013). Terlihat bahwa unsur intrinsik sebagai unsur dasar dari terbangunnya sebuah struktur novel belum diteliti. Bukan semata-mata karena alasan itu ditelitinya unsur intrinsik novel Ronggeng, melainkan karena unsur intrinsik

(5)

merupakan unsur-unsur yang turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.

Analisis struktur novel merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktur novel tersebut, kebulatan makna intrinsik dari karya tidak dapat ditangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw via Sugihastuti dan Suharto, 2005:43—44).

Novel, sebagai salah satu bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya, novel tersebut harus dianalisis (Hill via Sugihastuti dan Suharto, 2005:44). Analisis struktur novel tidak sekadar memecah-mecah struktur novel menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan, tetapi harus dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan ditentukan berdasarkan hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu.

Dalam menganalisis novel Ronggeng digunakan teori struktur novel yang diperkenalkan oleh Robert Stanton dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Fiction (1965). Stanton (1965:11—13) mengemukakan unsur-unsur pembentuk karya sastra adalah fakta-fakta cerita (facts), tema (theme), dan sarana-sarana sastra (literary devices). Unsur yang pertama adalah fakta-fakta cerita (facts) yang sering disebut sebagai struktur faktual (factual structur) atau tahapan faktual yang terdiri atas alur, tokoh, dan latar. Ketiganya dipandang sebagai satu kesatuan

(6)

dalam rangkaian keseluruhan cerita. Unsur yang kedua adalah tema. Unsur tema berhubungan dengan makna pengalaman manusia dalam kehidupan. Unsur yang terakhir adalah sarana-sarana sastra. Sarana-sarana sastra (literary devices) adalah cara pandang dalam menyusun bagian-bagian cerita sehingga tercipta karya sastra yang bermakna.

Penelitian ini memfokuskan analisis fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur karena teori tersebut dapat menjawab berbagai permasalahan dari alasan-alasan yang telah dikemukakan. Tidak dianalisisnya sarana-sarana sastra karena dibatasinya topik penelitian ini. Di samping itu, fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur merupakan unsur novel yang terlihat dominan. Hal ini tidak berarti bahwa sarana-sarana sastra dapat dikesampingkan begitu saja. Sarana-sarana sastra, antara lain yang berupa judul novel, juga dianalisis dalam hubungannya dengan tema. Dengan belum dianalisisnya sarana-sarana sastra secara menyeluruh masih memungkinkan peneliti lain untuk menelitinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.

a. Fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh, dan latar novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

b. Tema novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

c. Hubungan antarunsur (fakta-fakta cerita dan tema) novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

(7)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Terdapat dua tujuan teoretis dalam penelitian ini. Pertama, untuk menerapkan teori Robert Stanton dalam memaknai fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur novel Ronggeng. Kedua, tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan beberapa unsur dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh.

Adapun tujuan praktis penelitian ini terdiri dari tiga hal. Pertama, untuk mengetahui unsur fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur novel Ronggeng dengan teori struktur novel Robert Stanton. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi pembaca dalam memahami karya sastra, khususnya novel serius. Ketiga, menambah referensi hasil penelitian terhadap novel Ronggeng dengan menggunakan teori struktur novel. Keempat, penelitian ini merupakan bagian dari apresiasi penulis dan menunjukkan pentingnya karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka memberikan pengetahuan tambahan terhadap penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang pernah dilakukan, baik dalam bentuk esai, opini, resensi, buku, makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi.

Penelitian novel Ronggeng karya Dewi Linggasari, khususnya dengan menggunakan teori Robert Stanton dengan memfokuskan analisis pada fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur sejauh penelitian ini berlangsung, belum

(8)

pernah dilakukan. Namun demikian, kajian struktur fakta-fakta cerita dan tema dengan teori Robert Stanton telah digunakan dalam beberapa penelitian karya sastra, sebagai berikut.

Pada tahun 2006, Intan Permatasari, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Novel Toenggoel Karya Eer Asura: Analisis Tema dan Fakta Cerita”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan unsur-unsur pembangun cerita dalam novel Toenggoel.

Pada tahun 2008, Anwari Eka Putra, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Analisis Fakta Cerita dan Tema Cerpen “Filosofi Kopi” Karya Dewi Lestari Menurut Stanton”. Penelitian terhadap cerpen “Filosofi Kopi” karya Dewi Lestari bertujuan untuk memahami unsur alur dalam cerpen tersebut dan hubungannya dengan unsur-unsur pembangun cerita lainnya, yaitu latar, tokoh, dan tema.

Penelitian yang menggunakan teori serupa juga telah dilakukan oleh Disma Ajeng Rastiti, pada tahun 2015, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan judul skripsi “Fakta-Fakta Cerita dan Tema Novel Nagabonar Jadi 2 Karya Akmal Nasery Basral: Analisis Struktur Novel Model Stantonian”. Analisis tersebut menggunakan teori struktur novel Robert Stanton dan bertujuan untuk mengetahui unsur pembangun cerita. Penelitian terhadap unsur pembangun novel tersebut lebih terfokus pada fakta-fakta cerita dan tema, tetapi objek yang digunakan berbeda.

(9)

Adapun beberapa skripsi yang menjadikan novel Ronggeng karya Dewi Linggasari sebagai objek material dengan teori yang berbeda. Berikut adalah beberapa tinjauan pustaka terkait objek material novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

Pada tahun 2008, Yohana, mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiah Purworejo menulis skripsi dengan judul “Feminisme Patriarkhi dan Radikal dalam Novel Ronggeng Karya Dewi Linggasari”. Dalam penelitiannya, Yohana mengangkat permasalahan peran tokoh penghambat dalam novel Ronggeng serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tokoh penghambat dan tokoh utama penyelamat. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori kritik sastra feminis perspektif feminisme sosialis.

Penelitian lainnya yang menggunakan novel Ronggeng karya Dewi Linggasari sebagai bahan objek penelitian ialah skripsi yang berjudul “Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan Gender dalam Novel Ronggeng Karya Dewi Linggasari Analisis Kritik Sastra Feminis”. Penelitian tersebut ditulis pada tahun 2011 oleh Christina Diah Kumalasari, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penelitian tersebut diawali dengan deskripsi dan identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki untuk menjelaskan posisi tokoh yang berkaitan dengan dukungan atau perlawanannya terhadap ide-ide feminisme. Tokoh-tokoh dalam novel Ronggeng menunjukkan perlawanan terhadap ketidakadilan perempuan. Akan tetapi, terdapat pula kecenderungan mempertahankan tradisi patriarki yang cenderung

(10)

menomorduakan kaum perempuan. Analisis ketidakadilan gender dalam novel Ronggeng menunjukkan adanya berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuannya, baik dalam bentuk stereotipe perempuan maupun kekerasan terhadap perempuan.

Pada tahun 2012, Nismana, mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia juga menulis skripsi dengan judul “Representasi Ronggeng dalam Tiga Novel Indonesia”. Tulisan tersebut didasari oleh fenomena bahwa ronggeng merupakan artefak budaya yang sangat populer dalam kehidupan masyarakat, terutama di Jawa. Tradisi ini pada awalnya merupakan bagian dari ritual yang sakral dan akhirnya menjadi seni pertunjukan yang cenderung dipandang negatif. Dalam konteks sejarah, ronggeng pada konsep awalnya dipandang sebagai budaya sakral pada perkembangannya menjadi budaya profan. Resepsi terhadap ronggeng tidak hanya terlontar secara lisan, tetapi juga tertuang dalam tradisi tulis, yaitu di dalam karya sastra yang bergenre prosa fiksi, antara lain, novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (2003), Ronggeng karya Dewi Linggasari (2007), dan Karti Kledek Ngrajek karya S.W. Warsito (2009).

Hasil kajian tersebut memberikan gambaran bahwa sosok ronggeng yang direpresentasikan dalam ketiga novel tersebut beragam. Meskipun ada kesamaan, pengarang memiliki tingkat resepsi yang berbeda mengenai ronggeng. Hal itu menggambarkan perkembangan pemikiran masyarakat bahwa ronggeng sebagai artefak kebudayaan daerah merupakan perwujudan dari kemampuan masyarakat di daerah itu dalam menanggapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara

(11)

aktif. Oleh karena itu, ronggeng yang direpresentasikan dalam ketiga novel tersebut merupakan cermin masyarakat.

Pada tahun 2013, Ratih Prioritasari, mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiah Purworejo menulis skripsi dengan judul “Citra Wanita Tokoh Utama Novel Ronggeng Karya Dewi Linggasari dan Skenario Pembelajarannya di SMA”. Penelitian tersebut menggunakan teori Robert Stanton dengan memfokuskan analisis pada struktur tokoh. Penelitian tersebut dilakukan dengan mendeskripsikan citra diri, citra sosial, dan skenario pembelajaran novel Ronggeng karya Dewi Linggasari di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode penelitian sastra, yaitu meneliti data kutipan yang ada dalam suatu karya sastra. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik simak catat, yaitu mencatat data-data yang telah ditemukan. Teknik analisis data-data yang digunakan adalah metode analisis isi, yaitu menganalisis isi novel berdasarkan teori feminisme.

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, novel Ronggeng karya Dewi Linggasari belum pernah dianalisis dengan menggunakan teori Robert Stanton dengan memfokuskan analisis pada fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur sehingga novel ini layak dikaji dengan teori struktur novel Robert Stanton dengan memfokuskan pada fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur. Selain itu, penulis menemukan adanya kebaruan penelitian, yaitu pada latar alat. Latar alat merupakan komponen dari fakta-fakta cerita yang berfungsi untuk membangun karakter tokoh. Lewat latar alat, status sosial tokoh dapat tersampaikan dengan baik.

(12)

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini memfokuskan pada teori struktur novel Robert Stanton. Akan tetapi, ada beberapa teori yang tidak termuat dalam buku Stanton. Untuk melengkapi kekurangan itu, diacu juga teori-teori struktur novel yang dikemukakan oleh ahli lain. Mereka, antara lain, adalah Nurgiyantoro, Pujiharto, Sugihastuti, dan Suharto.

Setiap detail dalam cerita berpengaruh pada keseluruhan cerita (Stanton, 1965:11). Jika membaca karya fiksi, pembaca akan bertemu dengan sejumlah tokoh, berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikenalkan kepada para tokoh, tempat, waktu dan latar belakang sosial budaya di tempat cerita itu terjadi. Kesemuanya akan tampak berjalan serempak dan saling mendukung dalam sebuah cerita yang dapat dipahami dengan baik karena adanya benang merah yang mengatur dan menghubungkan semua elemen, yaitu struktur.

1.5.1 Fakta-Fakta Cerita

Fakta-fakta cerita terdiri atas unsur-unsur seperti alur, tokoh, dan latar yang berfungsi sebagai catatan imajinatif dari sebuah cerita. Apabila dirangkum menjadi satu, semua unsur tersebut disebut struktur faktual atau tingkatan faktual cerita (Stanton, 1965:12).

1.5.1.1 Alur

Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

(13)

Secara umum, alur merupakan rangkaian kejadian dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada kejadian-kejadian yang terhubung secara kausal saja. Kejadian kausal merupakan kejadian yang menyebabkan atau menjadi dampak dari kejadian-kejadian lain dan tidak dapat diabaikan karena akan memengaruhi keseluruhan karya. Kejadian kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Yudistianti dan Sugihastuti, 2010:6—7).

Sebuah karya fiksi terdiri dari episode-episode yang dihubungkan secara longgar yang melibatkan banyak tokoh dan beberapa diantaranya hanya muncul sekali (Stanton, 1965:14). Episode dalam sebuah novel mirip dengan babakan dalam drama. Perpindahan dari episode yang satu ke episode yang lain biasanya ditandai dengan perpindahan waktu, tempat, atau tokoh. Istilah episode digunakan untuk menunjuk pada suatu kumpulan beberapa peristiwa. Kumpulan beberapa peristiwa tersebut selanjutnya akan membentuk bab-bab dan kumpulan bab-bab selanjutnya membentuk satu kesatuan karya fiksi (Pujiharto, 2012:38).

Tipe utama episode dalam novel adalah episode naratif, episode dramatik, dan episode analitik. Episode naratif menceritakan bahwa sesuatu telah terjadi dalam waktu yang relatif lebih lama. Episode dramatik menunjukkan apa yang telah terjadi. Cerita dibawakan pengarang dengan menggunakan dialog-dialog sehingga mengesankan peristiwa hadir di hadapan pembaca. Episode analitik adalah sebuah episode yang berisi kontemplasi tokoh terhadap tokoh-tokoh lain atau peristiwa-peristiwa yang terjadi (Stanton, 1965:45).

(14)

Dalam episode terdapat beberapa peristiwa. Peristiwa adalah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa bisa dibedakan berdasarkan sifatnya dan tingkat keberpengaruhannya. Berdasarkan sifatnya dibedakan peristiwa fisis berupa tindakan atau ujaran tokoh dan nonfisis yang berupa perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangan, keputusan-keputusan, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam diri tokoh (Pujiharto, 2012:32).

Berdasarkan tingkat keberpengaruhannya dibedakan peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang secara menentukan memengaruhi perkembangan alur. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-periatiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang mengacu kepada unsur-unsur lain seperti bagaimana watak seseorang, bagaimana suasana yang meliputi para pelaku, dan sebagainya (Pujiharto, 2012:36).

Tahapan alur memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Pada bagian awal masalah sudah mulai ditampilkan. Bagian tengah menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada bagian awal dan konflik tersebut semakin meningkat hingga klimaks. Bagian akhir merupakan penyelesaian yang merupakan akibat dari klimaks dan menjadi bagian akhir dari cerita (Stanton, 1965:15).

Menurut Nurgiyantoro (2013:201—205), pada dasarnya setiap cerita membutuhkan tahap awal, baik itu berada di awal maupun di tengah bagian cerita. Tahap awal biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan

(15)

dipisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukkan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadiannya (misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah), dan yang lain-lain pada garis besarnya berupa deskripsi setting. Selain itu, tahap awal juga sering digunakan untuk pengenalan tokoh-tokoh cerita mungkin berwujud deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara implisit) perwatakannya. Tahap tengah disebut tahap pertikaian. Dalam tahap ini, ditampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya. Konflik yang ada terus meningkat sampai mencapai puncak atau klimaks. Tahap akhir disebut juga tahap peleraian yang berisi adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini misalnya (antara lain) berisi bagaimana kesudahan cerita.

Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam karya fiksi terdiri atas konflik internal dan eksternal, dan konflik sentral. Konflik internal adalah konflik yang lahir dari dalam diri tokoh cerita dan biasanya muncul karena ada dua keinginan dalam diri seorang tokoh. Konflik eksternal adalah konflik antartokoh dengan tokoh lainnya (konflik antartokoh), atau antara tokoh dengan lingkungannya, sedangkan konflik sentral adalah konflik yang menjadi puncak dari berbagai konflik yang mengantar jalan cerita dari konflik sentral, baik berupa konflik internal, eksternal, atau keduanya (Stanton, 1965:16).

Klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut terselesaikan.

(16)

Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya tersendiri. Bahkan, bila konflik sebuah cerita berwujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan, akan sangat sulit menentukan satu klimaks utama. Akan tetapi, memilih satu tentu tidak akan ruginya karena pilihan tersebut masih dapat merangkum struktur cerita secara menyeluruh (Yudistianti dan Sugihastuti, 2010:11—13).

Terdapat kaidah-kaidah dalam penilaian alur, yaitu backtracking, foreshadowing, suspense, plausibilitas, dan unity.

1. Backtracking(Sorot Balik)

Backtracking sering pula disebut sorot balik. Backtracking merupakan pengaluran cerita dengan mengenangkan apa yang telah terjadi sebelum peristiwa itu memuncak kejadiannya atau menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi melalui mimpi atau lamunan (Sugihastuti dan Suharto, 2005:107). Dalam pengaluran, backtracking berfungsi untuk memperdalam pemahaman terhadap cerita dengan menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa sebelumnya.

2. Foreshadowing (Bayangan ke Depan)

Foreshadowing biasanya ditampilkan secara tidak langsung terhadap peristiwa penting yang akan dikemukakan kemudian atau butir-butir cerita yang membayangkan terjadinya sesuatu atau seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang akan datang (Sugihastuti dan Suharto, 2005:108—109).

(17)

3. Suspense (Ketegangan)

Dalam kaitannya dengan pengisahan peristiwa-peristiwa, terdapat dua kemungkinan sikap yang diberikan pembaca, yaitu tertarik untuk mengetahui kelanjutan peristiwa atau sebaliknya. Cerita yang menarik biasanya mampu mengikat pembaca untuk selalu ingin mengetahui kelanjutan kejadiannya, mampu membangkitkan rasa ingin tahu, mampu membangkitkan suspense, suatu hal yang amat penting dalam sebuah cerita fiksi. Kadar suspense untuk tiap cerita tentu saja tidak sama. Namun demikian, sebuah cerita yang tidak mampu memberikan dan sekaligus mempertahankan rasa ingin tahu pembaca, boleh dikatakan gagal dengan misinya yang memang ingin menyampaikan cerita yang dimaksudkan (Nurgiyantoro, 2013:143).

4. Plausilibitas (Masuk Akal)

Plausibilitas dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. Jadi, sebuah cerita yang mencerminkan realitas kehidupan sesuai atau tidak bertentangan dengan sifat-sifat dalam kehidupan faktual atau dapat diterima secara akal dan tentu saja dengan mempergunakan kriteria realitas (Nurgiyantoro, 2013:189).

5. Unity (Kepaduan)

Alur sebuah karya fiksi, di samping tuntutan memenuhi kaidah-kaidah di atas, terlebih lagi dituntut memiliki sifat unity. Kesatupaduan menunjuk pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa dan konflik, serta seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang merah

(18)

yang menghubungkan berbagai aspek cerita tersebut sehingga seluruhnya dapat terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu (Nurgiyantoro, 2013:197).

1.5.1.2 Tokoh dan Penokohan

Penggunaan istilah tokoh biasanya dikaitkan dengan dua hal, yaitu tokoh dan penokohan atau perwatakan. Istilah tokoh biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, tokoh merujuk pada individu-individu dalam cerita. Konteks kedua, tokoh merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (Stanton, 1965:17).

Berdasarkan kedudukannya, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang selalu ada dan berhubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita. Tokoh utama biasanya ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh bawahan adalah tokoh yang kedudukannya dalam cerita tidak sentral, tetapi kehadiran tokoh ini sangat penting untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh bawahan biasanya hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita dan dalam porsi penceritaan yang relatif singkat (Prasetya dan Sugihastuti, 2011:144—145).

Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroperasi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Kehadiran tokoh antagonis penting dalam cerita fiksi, khususnya fiksi yang mengangkat masalah

(19)

pertentangan antara dua kepentingan, seperti baik-buruk, baik-jahat, benar-salah, dan lain-lain. Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan ketegangan sehingga cerita menjadi menarik (Nurgiyantoro, 2013:261).

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap dengan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 2013:266).

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkambangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan sifat atau sikap dalam cerita. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sosial yang akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah laku (Nurgiyantoro, 2013:272).

(20)

1.5.1.3 Latar

Latar suatu cerita menurut Stanton (1965:16) adalah lingkungan dan peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita. Latar dapat disebut sebagai tempat dengan lingkungan tertentu dan waktu tertentu terjadinya sebuah cerita rekaan. Oleh karena itu, kedudukan latar dalam sebuah cerita atau karya fiksi sangat penting karena dengan adanya latar, sebuah cerita akan dengan mudah dipahami. Latar menjelaskan kapan, di mana, dan bagaimana terjadinya peristiwa dalam cerita yang biasanya dihadirkan dalam bentuk deskripsi. Latar memberikan gambaran tentang situasi yang terdapat dalam karya sastra, baik berhubungan dengan tempat, waktu, keadaan, maupun peristiwa-peristiwa yang berhubungan degan fungsi fisikal dan batin tokoh dalam cerita.

Latar dapat secara langsung memengaruhi tokoh dan terkadang juga memperjelas tema. Dalam banyak cerita, latar dapat menggugah nada emosi atau atmosfer di sekeliling tokoh. Bahwa atmosfer mencerminkan emosi tokoh atau merupakan bagian dari dunia di sekeliling tokoh, semua itu kerangka dalam memahami tingkah laku tokoh (Stanton, 1965:19).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam empat unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial-budaya, dan atmosfer. Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Terjadinya suatu peristiwa sering ditunjukkan dengan adanya waktu. Latar waktu menjelaskan ‘kapan’ peristiwa tersebut terjadi dan menunjukkan gambaran masa lalu atau masa depan tokoh pada suatu cerita. Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

(21)

diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial-budaya dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya status sosial rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2013:314—322). Latar atmosfer merupakan deskripsi keadaan sekitar, misalnya suasana mencekam, romantis, duka, dan lain sebagainya. Suasana yang dijelaskan dalam cerita dapat menjelaskan kondisi jiwa seorang tokoh. Kondisi jiwa seorang tokoh dipengaruhi oleh keadaan atau suasana lingkungan sekitar (Stanton, 1965:19).

1.5.2 Tema

Tema adalah ide pusat atau ide pokok. Tema merupakan nilai yang terkandung dalam sebuah peristiwa yang tidak hadir secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan yang cermat dengan memperhatikan dan memahami fakta-fakta ceritanya terlebih dahulu. Tema merupakan sebuah cerita yang berkaitan dengan makna pengalaman hidup yang secara langsung dialami oleh manusia. Sebuah tema dapat ditafsirkan berdasarkan pada fakta-fakta yang terdapat dalam sebuah cerita (Stanton, 1965:19—21).

Tema didapatkan dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Dengan demikian, untuk menentukan tema sebuah karya sastra, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak saja berdasarkan bagian-bagian tertentu. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema merupakan makna keseluruhan yang

(22)

didukung cerita, dengan sendirinya tema ini akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (Stanton, 1965:19).

Cara mengidentifikasi tema sebuh cerita ialah biasanya pembaca karya sastra yang telah mahir akan membiarkan diri mereka hanyut oleh cerita yang sedang dibaca. Tidak hanya itu, biasanya mereka juga telah membekali diri dengan berbagai pengetahuan terkait karya dari penulis bersangkutan. Diketahui pula bahwa kerangka-kerangka kasar akan sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih rumit. Usaha ini dapat dimulai dengan gagasan-gagasan murni, terkait karakter-karakter, situasi-situasi, dan alur dari cerita itu (Stanton, 1965:21).

Stanton (1965:22—23) menyatakan bahwa dalam menganalisis sebuah tema dapat ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut. Pertama, memperhatikan dan mempertimbangkan uraian yang paling menonjol dalam cerita. Kedua, penafsiran tema hendaknya tidak bertentangan dengan detail cerita. Ketiga, tidak tergantung pada sebuah bukti yang hanya tersirat dalam cerita. Tema tidak hanya dapat ditafsirkan melalui perkiraan pemikiran. Keempat, penafsiran terhadap tema harus berdasar pada bukti-bukti yang secara langsung terdapat dalam cerita. Tema sebuah cerita harus dapat dibuktikan dengan adanya data-data atau detail-detail cerita yang terdapat dalam novel.

Tema dapat dibedakan menjadi tema bawahan dan tema sentral. Tema bawahan didefinisikan sebagai ide sampingan atau ide tambahan yang mendukung ide pokok dalam sebuah cerita. Tema sentral adalah ide pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar cerita secara keseluruhan (Stanton, 1965:23).

(23)

Nurgiyantoro (2013:133) menyatakan bahwa tema terbagi menjadi dua, yaitu tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor). Tema utama (mayor) adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya itu. Tema tambahan (minor) adalah makna tambahan yang banyak atau sedikitnya tergantung pada banyak atau sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada karya itu.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya (Ratna, 2008:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga mudah untuk dipecahkan dan dipahami.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53). Melalui metode ini dihasilkan data-data deskriptif yang tidak semata-mata menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Data yang dideskrpsikan berupa data verbal yang mengungkapkan fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur. Data verbal tersebut berupa kalimat-kalimat, dialog, maupun monolog novel Ronggeng.

(24)

Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini terbagi beberapa tahap sebagai berikut.

1. Menentukan objek material penelitian, yaitu novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

2. Menentukan objek formal penelitian, yaitu teori struktur novel Robert Stanton.

3. Menentukan masalah pokok penelitian.

4. Menganalisis fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur novel Ronggeng karya Dewi Linggasari.

5. Menyimpulkan dan melaporkannya dalam bentuk skripsi.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Laporan penilitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi uraian tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II Fakta-Fakta Cerita. Bab ini berisi uraian tentang alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Bab III Tema. Bab ini berisi uraian tentang tema bawahan dan tema sentral. Bab IV Hubungan Antarunsur (fakta-fakta cerita dan tema). Bab ini berisi uraian tentang hubungan antara alur dengan tokoh, hubungan antara alur dengan latar, hubungan antara tokoh dengan latar, hubungan antara tema dengan alur, hubungan antara tema dengan tokoh, dan hubungan antara tema dengan latar. Bab V Kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Status Dokumen Induk Salinan No.Distribusi Dinas Kesehatan Kabupaten Garut SOP Puskesmas Cimaragas Kecamatan Pangatikan No Dokumen : No Revisi 00 Halaman 1/1 PROTAP

UPTD PUSKESMAS PANUMBANGAN UPTD PUSKESMAS

Pemberian pupuk kotoran hewan dan pupuk organik cair berbagai jenis, tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, panjang akar, bobot

Lebih jauh, relevansi komunikasi non verbal dalam dunia bisnis, komunikasi non verbal yang disampaikan dengan baik akan mampu membantu seseorang meningkatkan kredibilitas dan

Dan kamipun sangat menyadari bahwa keikutsertaan perusahaan tersebut dalam bentuk sponsorship adalah suatu pencapaian kami dalam menyuguhkan acara yang berkualitas yang nantinya

Sedangkan pada hasil pemantauan pH aktivator lumpur aktif dapat dilihat bahwa kontrol lumpur, variasi A2, variasi B2 dan variasi C2 mengalami perubahan pH dari

Percobaan ini dilakukan dengan menginokulasi isolat kapang dan khamir pada kaca objek yang ada dalam cawan petri yang lembab.. Cawan petri dibuat lembab

Hasil yang diperoleh setelah tes awal yang peneliti dari jumlah siswa kelas V SDN Tampanombo yang berjumlah 32 orang 5 siswa diantaranya mendapatkan nilai 70 dan siswa