• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 Dalam Formula Cair Organik Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Tomat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 Dalam Formula Cair Organik Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Tomat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 Dalam Formula Cair Organik Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Tomat

Endang Mugiastuti, Loekas Soesanto, dan Ruth Feti Rahayuniati Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Kontak: em_astuti@yahoo.com; rf_rahayuniati@yahoo.com

Abstract

A research aimed at 1) knowing kinds of the best organic liquid and 2) deciding the exact application method in controlling bacterial wilt on tomato. Result of the research showed that 1) Molasses + yeast ekstrak was the best formula for P. fluorescens P60 in controlling the disease with decreasing disease incidence and late pathogenic density and increasing late antagonistic density of 100 and 66.7%, and 4,4 x 1013cfu g-1soil, 2) pour out was the best application method because of increasing crop height, root length, and crop dry weight for 39.3, 21.5, and 63%, and tended to suppress the disease incidence and late pathogenic population density better.

Key words: Pseudomonas flourescens P60, bacterial wilt, tomato, formula Pendahuluan

Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman hortikultura yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat mengkonsumsi buah tomat untuk terapi pengobatan karena mengandung karotin dan sumber vitamin C (Wiryanta, 2002). Upaya untuk meningkatkan produksi tanaman tomat sering kali dihadapkan pada masalah gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Salah satu OPT penting pada tanaman tomat adalah Ralstonia solanacearum, penyebab penyakit layu. Pengendalian umumnya menggunakan bakterisida (Wiryanta, 2002). Sementara itu, penggunaan pestisida yang kurang bijaksana sering menimbulkan berbagai dampak negatif.

Salah satu alternatif pengendalian penyakit yang aman dan ramah lingkungan adalah dengan menggunakan agensia hayati Pseudomonas fluorescens P60. Bakteri ini menghasilkan antibiotika dan bersifat Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), yang nyata memacu pertumbuhan tanaman dan menghambat pertumbuhan patogen (Soesanto, 2008).

Aplikasi agensia hayati P. fluorescens P60 di lapangan masih mengalami kendala terutama medium formulasi. Medium formulasi umumnya masih tergolong mahal, sukar didapat, dan sukar diterapkan di lapangan. Oleh karena itu, perlu adanya medium alternatif untuk formula. Limbah cair seperti molase, limbah cair tahu, air kelapa dan limbah cair tapioka merupakan limbah cair organik pertanian yang belum dimanfaatkan secara luas dan secara umum jumlahnya cukup banyak. Kandungan bahan organik dari limbah tersebut masih tinggi, sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai medium alternatif formulasi P. fluorescens P60.

Penelitian bertujuan untuk: 1) mengetahui jenis formula cair organik yang terbaik untuk mengendalikan penyakit layu bakteri, dan 2) menentukan cara aplikasi yang tepat dalam mengendalikan penyakit layu bakteri.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di rumah kasa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal

Soedirman. dari bulan Mei 2010 sampai dengan Oktober 2010. P. fluorescens P60 yang

(2)

digunakan merupakan koleksi Soesanto dan Thermorshuizen (2001), dan isolat R. solanacearum diisolasi dari tanaman tomat sakit di Kabupaten Banyumas.

Pengujian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF). Faktor pertama adalah jenis formula terdiri atas kontrol air steril (K1), kontrol bakterisida (K2), P. fluorescens P60 dalam molase 10% + terasi 0,2% (F1), P. fluorescens P60 dalam molase 10% + urea 5% + terasi 0,2% (F2), P. fluorescens P60 dalam molase 10% + ekstrak khamir 2% + terasi 0,2% (F3), P. fluorescens P60 dalam limbah cair tahu 40% + terasi 0,2% (F4), P. fluorescens P60 dalam air kelapa 90% + larutan gula 10% + terasi 0,2% (F5), dan P. fluorescens P60 dalam limbah cair tapioka 100% + terasi 0,2% (F6). Faktor kedua adalah cara aplikasi, terdiri atas penyiraman ke dalam lubang tanam sebanyak 10 ml (S) dan pencelupan akar sebelum bibit tanaman ditanam (C). Aplikasi formula P. fluorescens P60 dilakukan bersamaan dengan waktu tanam, sedangkan inokulasi R. solanacearum dilakukan sehari sebelum penanaman, dengan penyiraman 10 ml suspensi bakteri (hasil perbanyakan pada medium nutrient broth).

Variabel yang diamati meliputi: masa inkubasi, kejadian penyakit, kepadatan akhir R. solanacearum, kepadatan akhir P. fluorescens P60, selisih tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot kering tanaman. Perhitungan kejadian penyakit menggunakan rumus menurut Sinaga (2006), yaitu:

KP = x 100%

Keterangan: KP = Kejadian penyakit (%), n = Jumlah tanaman yang layu, dan N = Jumlah tanaman yang diamati.

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Formula Pf P60 terhadap Komponen Patosistem

Hasil pengujian aplikasi P. fluorescens P60 pada berbagai formula cair dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengujian (Tabel 1), semua formula P fluorescens P60 mampu menunda masa inkubasi penyakit, menekan kejadian penyakit, dan menekan jumlah patogen akhir. Hal ini dikarenakan P. fluorescens P60 mampu menghasilkan antibiotika 2,4-diasetilfloroglusinol (Raaijmakers and Weller, 1998; Soesanto, 2000), serta mampu mengimbas ketahanan tanaman dengan meningkatkan fenol dalam tanaman (Soesanto et al., 2009). Selain itu, P fluorescens juga mampu menghasilkan siderofor pseudobaktin atau pioverdin yang bersaing terhadap mineral besi di dalam tanah (Alaboutte et al., 1996)

Pada perlakuan molase (F1), molase+urea (F2), dan molase + ekstrak khamir (F3), tanaman sampai berumur 35 hsi tidak menunjukkan gejala layu bakteri. Sementara itu, masa inkubasi pada kontrol air steril (K1) yaitu 27,16 hsi dan bakterisida (K2) yaitu sebesar 29,16 hsi. Hal ini diduga P. fluorescens P60 dalam formula tersebut mampu menghasilkan metabolit sekunder di antaranya senyawa antibiotika. Menurut Ratih dan Eviati (2007), molase mengandung N total sebesar 0,45 g/l, sukrosa, glukosa dan fruktosa sebagai sumber karbon berturut-turut sebesar 37,6, 9,0, dan 9,0 g/l. Penambahan urea dan yeast ekstrak dalam molase dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan nutrisi dalam formula. Menurur Desniar (2004) dan Ashnaei et al. (2009), urea mengandung unsur N dan yeast ekstrak mengandung asam amino, peptida, vitamin dan karbohidrat. Penundaan masa inkubasi juga terjadi karena persaingan antara patogen dengan antagonis.

N

n

(3)

Penggunaan P. fluorescens P60 dalam berbagai formula berbeda sangat nyata dalam memengaruhi kejadian penyakit (Tabel 1). Aplikasi P. fluorescens P60 pada berbagai formula cair mampu menurunkan kejadian penyakit. Kejadian penyakit layu bakteri terkecil pada formula F1, F2, dan F3 yaitu 0% dan terbesar pada perlakuan K1 yaitu 55,55%. Penurunan kejadian penyakit pada perlakuan P. fluorescens P60 dalam formula F1, F2, dan F3 mencapai 100%, dan ini lebih besar dari penurunan pada penggunaan bakterisida yang mencapai 60 %. Dari hasil ini, diharapkan di masa mendatang P. fluorescens P60 dapat menggantikan penggunaan bakterisida sintetis yang dilaporkan cukup banyak menimbulkan pengaruh negatif. Keefektifan P. fluorescens P60 dalam menekan R. solanacearum dikarenakan bakteri antagonis ini menghasilkan metabolit sekunder antara lain siderofor, pterin, pirol, dan fenazin. Siderofor digunakan sebagai fungistasis dan bakteriostatis (Soesanto, 2008).

Hasil analisis penggunaan formula berbeda sangat nyata terhadap populasi R. solanacearum (Tabel 1). Pada perlakuan K1 (air steril) memiliki jumlah populasi akhir R. solanacearum tertinggi yaitu 83 x 109upk/g tanah. Hal ini dikarenakan tidak adanya mikroba antagonis yang berperan sebagai pesaing, sehingga patogen dapat menginfeksi akar tanaman tomat. Kepadatan populasi akhir R. solanacearum terendah pada perlakuan F1 yaitu 4 x 109 upk/g tanah. Hal ini diduga kandungan formula sesuai dengan pertumbuhan P. fluorescens P60 sehingga bakteri tersebut dapat berperan sebagai pesaing patogen di dalam tanah.

Penggunaan P. fluorescens P60 dalam berbagai formula berbeda sangat nyata terhadap populasi akhir P. fluorescens P60 (Tabel 1). Kepadatan populasi antagonis tertinggi pada perlakuan F3 yaitu 56 x 109upk/g tanah. Hasil ini sejalan dengan rendahnya kejadian penyakit pada perlakuan F3, yaitu sebesar 0%. Tingginya populasi P. fluorscens menyebabkan semakin tingginya senyawa metabolit yang dihasilkan, dan hal ini akan menghambat patogen R. solanacearum. Kepadatan populasi akhir antagonis terendah pada perlakuan K1 dan K2, yaitu sebesar 0 upk/g tanah. Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut tidak diinfestasi P. fluorescens P60.

Berdasarkan hasil analasis, cara aplikasi P. fluorescens P60 tidak berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi, kejadian penyakit, jumlah patogen akhir ataupun jumlah antagonis akhir (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa kedua aplikasi yang dicoba mampu melindungi perakaran tanaman tomat dengan mengkolonisasi perakaran sehingga terlindung dari bakteri patogen. P fluorescens P60 merupakan bakteri antagonis yang diisolasi dari perkaran tanaman. Menurut Wuryandari et al. (2008), bakteri antagonis dari rizosfer umumnya mampu memanfaatkan nutrisi dan mampu bersaing dengan mikroba lain dalam nutrisi dan ruang. Namun demikian, berdasarkan nilai rata-rata, aplikasi siram cenderung lebih baik dari pada aplikasi celup. Hal ini diduga aplikasi siram memiliki jumlah populasi P. fluorescens P60 lebih banyak dari pada aplikasi celup, sehingga P. fluorescens P60 lebih cepat menekan patogen R. solanacearum.

Hasil analisis kombinasi perlakuan antara jenis formula dengan cara aplikasi hanya berbeda nyata pada kejadian penyakit, sedangkan pada komponen patosistem lain tidak berpengaruh nyata (Tabel 1). Perlakuan F1C, F1S, F2C, F2S, F3C, F3S, dan F6S mampu menekan penyakit layu bakteri hingga 100%. Hal ini menunjukan pada perlakuan tersebut lebih efektif jika dibandingkan dengan kontrol bakterisida (K2) baik celup maupun siram. Keefekfifan bakterisida dalam menekan R. solanacearum hanya 75%. Diduga antagonis pada formula ini lebih mendominasi perakaran, dikarenakan antagonis dapat beradaptasi dengan lingkungan tanah atau perakaran. Hal ini diperkuat pendapat Widodo (1993), bahwa patogen sukar melakukan penetrasi apabila sistem perakaran terdominasi oleh antagonis

(4)

Tabel 1. Masa inkubasi, kejadian penyakit, kepadatan akhir R. solanacearum dan P. fluorescens P60 pada pengujian P. fluorescens P60 dalam formula cair organik untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat

Perlakuan Masa inkubasi (hsi) Kejadian penyakit (%) Kepadatan akhir Rs ( x 1013upk/ml) Kepadatan akhir Pf- P60 ( x 1013 upk/ml)

Jenis formula cair

K1 (air steril) 27,16 55,55 a 83,67 a 0,00 d K2 (bakterisida) 29,16 22,22 b 77,22 ab 0,00 d F1 (molase) - 0,00 b 4,92 c 22,17 bc F2 (molase + urea) - 0,00 b 31,75 bc 44,42 a F3 (molase + ekstrak khamir) - 0,00 b 27,83 c 56,08 a

F4 (limbah cair tahu) 23,66 22,22 b 9,00 c 6,75 cd F5 (air kelapa) 29,60 22,22 b 38,08 abc 37,77 ab F6 (limbah cair tapioka) 28,22 27,77 b 26,17 c 48,08 a Aplikasi C (celup) 27,88 23.610 46.33 28.15 S (siram) 32,71 13.888 28.38 25.67 Kombinasi perlakuan K1C 24,33 44,44 ab 120,67 0,00 K1S 30,00 66,66 a 61,67 0,00 K2C 33,00 11,11 bc 46,67 0,00 K2S 25,33 33,33 abc 93,17 0,00 F1C - 0,00 c 9,17 28,33 F1S - 0,00 c 0,67 16,00 F2C - 0,00 c 58,50 45,50 F2S - 0,00 c 5,00 43,33 F3C - 0,00 c 30,67 53,83 F3S - 0,00 c 25,00 58,33 F4C 12,33 44,44 ab 9,00 1,17 F4S - 0.00 c 9,00 12,33 F5C 27,00 33.33 abc 71,17 57,87 F5S 31,33 11,11 bc 5,00 17,67 F6C 21,44 55,53 a 52,33 38,50 F6S - 0,00 c 0,00 57,67

Keterangan: Huruf kecil yang berbeda dibelakang angka dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (0,05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Hsi = hari setelah inokulasi, tn = tidak nyata.

.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Komponen Pertumbuhan Tanaman Tomat

Berdasarkan hasil analisis, penggunaan P. fluorescens P60 pada berbagai formula tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap komponen pertumbuhan tanaman tomat (Tabel 2). Namun demikian, pada beberapa komponen pertumbuhan seperti jumlah daun dan panjang akar, tanaman dengan perlakuan P. fluorescens P60 mempunyai nilai rata-rata yang

(5)

lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan perlakuan tersebut terdapat kecenderungan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Perlakuan F2 cenderung mempunyai jumlah daun dan panjang akar yang lebih tinggi yaitu 11,66 buah dan 24,51 cm. Hal ini dikarenakan P. fluorescens P60 mampu merangsang pertumbuhan tanaman tomat dengan mekanisme kerja PGPR, dengan menghasilkan hormon pertumbuhan (Kloepper dan Schroth, 1978; Aryantha et al. 2002). Berdasarkan hasil uji auksin, bakteri ini mampu memproduksi auksin. Peran PGPR dari P. fluorescens P60 juga telah dilaporkan oleh Hastopo et al.(2008), Soesanto et al. (2008), dan Soesanto et al. (2009)

Tabel 2. Komponen pertumbuhan tanaman tomat pada pengujian P. fluorescens P60 dalam formula cair organik untuk mengendalikan penyakit layu bakteri

Perlakuan

Selisih tinggi tanaman

( cm)

Jumlah daun Panjang akar (cm)

Bobot kering tanaman

(g) Jenis formula cair

K1 (air steril) 18,25 9,83 16,34 1,00

K2 (bakterisida) 20,05 10,44 21,67 1,13

F1 (molase) 17,81 11,55 21,09 0,83

F2 (molase + urea) 19,76 11,66 24,51 0,87

F3 (molase + ekstrak khamir)

17,71 9,94 23,34 0,88

F4 (limbah cair tahu) 18,75 10,61 18,17 0,88

F5 (air kelapa) 16,42 9,66 17,57 0,91 F6 (limbah cair tapioka) 20,35 11,16 21,39 1,20 Cara aplikasi C (celup) 15,57 b 10,23 18,71 b 0,73 b S (siram) 21,70 a 10,98 22,31 a 1,19 a Kombinasi perlakuan K1C 15,55 cde 9,55 14,11 0,75 cdef K1S 20,94 abc 10,11 18,58 1,25 b K2C 19,46 abcd 11,00 23,96 1,11 bcd K2S 20,64 abcd 9,89 19,38 1,15 bc F1C 17,38 bcd 11,55 20,20 0,65 ef F1S 18,23 bcd 11,55 21,98 1,01 bcde F2C 18,54 abcd 11,44 23,69 0,85 bcdef F2S 20,98 abc 11,89 25,34 0,90 bcdef F3C 14,26 de 10,00 20,16 0,67 def F3S 21,16 abc 9,89 26,52 1,09 bcde F4C 14,12 de 10,22 15,44 0,65 ef F4S 23,38 ab 11,00 20,90 1,12 bcd F5C 9,47 e 7,55 11,60 0,54 f F5S 23,38 ab 11,78 23,54 1,27 b F6C 15,80 cd 10,55 20,56 0,64 ef F6S 24,90 a 11,77 22,21 1,77 a

Keterangan: Huruf kecil yang berbeda dibelakang angka dalam kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (0,05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan.

Hasil analisis cara aplikasi (celup dan siram) berbeda nyata terhadap seluruh komponen pertumbuhan. Aplikasi siram memiliki selisih tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan bobot kering tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi celup. Hal ini diduga pada aplikasi siram jumlah populasi P. fluorescens P60 lebih banyak dari pada aplikasi celup, sehingga kemampuan sebagai PGPR lebih terlihat pada tanaman tomat yang diberikan formula dengan perlakuan aplikasi siram.

(6)

Hasil analisis kombinasi perlakuan jenis formula dengan cara aplikasi berbeda nyata terhadap selisih tinggi tanaman, dan bobot kering tanaman (Tabel 2). Perlakuan P. fluorescens P60 dalam formula air kelapa dengan penyiraman (F6S), memiliki selisih tinggi tanaman dan bobot kering tertinggi yaitu 24,9 cm dan 1,77 g. Hasil ini sejalan dengan tingginya populasi P. fluorescens P60 pada formula F6S (Tabel 1.) sehingga P. fluorescens P60 mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, air kelapa juga mengandung hormon pertumbuhan dan unsur kalium yang tinggi yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman (Barlina et al., 2007 dan Sinha et al., 2010).

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan 1) Molase + ekstrak khamir merupakan formula terbaik untuk P. fluorescens P60 dalam mengendalikan penyakit layu bakteri, dengan menurunkan kejadian penyakit 100%, menurunkan kepadatan akhir patogen 66,7%, serta jumlah antagonis akhir tertinggi sebesar 4,4 x 1013 upk/g tanah, 2) Penyiraman merupakan cara aplikasi formula cair yang terbaik, karena dapat meningkatkan tinggi tanaman 39,3%, panjang akar 21,5%, bobot kering tanaman 63%, serta cenderung lebih baik dalam menekan kejadian penyakit dan kepadatan populasi akhir pathogen.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Anggaran Hibah Kompetensi II yang telah mendanai penelitian ini, dan kepada Sdr. Yusnanto Dwi Nurcahyo yang telah membantu jalannya penelitian

Daftar Pustaka

Alabouvette, C., P. Lemanceau, and C. Steinberg. 1996. Biological control of Fusarium wilts: Opportunities for Developing a Commercial Product. Pp. 192-212. In: R. Hall (Ed.), Principles

and Practice of Managing Soilborne Plant Pathogens. APS Press, St. Paul, Minnesota.

Aryantha, P.I.N., P. Dian, Lestari., dan P.D. Nurmi. 2002. Mikroba Penghasil Fitohormon. Fakultas FMIPA, ITB.

Ashnaei, S.P., A.S. Tehrani, Ahmadzadeh, and K. Behboudi. 2009. Interaction of different media on production and biological efficacy of Pseudomonas fluorescen P-35 dan Bacillus subtilis B-3 against grey mold of apple. Journal of Plant Pathology 91(1):65-70.

Barlina, R.S., P. Sinha, and M.L. Hakim. 2007. Micropropagation of Vanda teres (Roxb.) Lindle.

Methods in Molecular Biology 589:21-28

Desniar. 2004. Pemanfaatan tetes tebu (molase) dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen dalam produksi alginate yang dihasilkan oleh bakteri. Bulletin Teknologi Hasil Perikanan 7(1):26-36 Hastopo, K., L. Soesanto, dan E. Mugiastuti. 20008. Penyehatan tanah secara hayati di tanah tanaman

tomat terkontaminasi Fusarium oxysporum f.sp.lycopersici. Jurnal Akta Agrosia 11(2):180-187. Kloepper, J.W. and Schrot, M.N. 1978. Plant growth-promoting rhizobacteria on radish. Proc. 4th into

Conf. Plant Pathogenic Bact. Gibert Clarey, Tours, Franco.

Raaijmakers, J.M. and D.M. Weller. 1998. Natural plant protection by 2,4-diacetylphloroglucinol-producing Pseudomonas spp. In take-all decline soils. Molecular Plant-Microbe Interactions 11:144-152.

Ratih, S. dan R. Eviyati. 2007. Pestisida Organik Berbahan Aktif Bakteri Agensia Hayati Yang Efektif Mengendalikan Pustul Kedelai. Agrijati 6 (1).

(7)

Sinha, P., M.F. Alam, and M.L. Hakim. 2010. Micropropagation of Phalaenopsis blume. Methods in

Molecular Biology 589:77-85.

Soesanto, L. 2000. Ecological and Biological Control of Verticillium dahliae. Ph.D. Thesis. Wageningen University, Wageningen. 120 p.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 324 Hal.

Soesanto, L. and A.J. Termorshuizen. 2001. Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati jamur-jamur patogen tular tanah. Prosiding kongres XIV dan Seminar Nasional PFI. IPB, Bogor.

Soesanto, L., E. Mugiastuti, dan R.F. Rahayuniati. 2009. Perakitan Biopestisida Pseudomonas

fluorescens P60 sebagai Agensia Hayati Penyakit Tanaman untuk Meningkatkan Produksi

Tanaman. Laporan Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Widodo. 1993. Penggunaan Pseudomonas Kelompok fluorescens untuk mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis). Thesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 41 hal. (Tidak dipublikasikan).

Wiryanta, B.T.W. 2002. Bertanam Tomat. Agromedia Pustaka, Jakarta. 100 hal.

Wuryandari, Y., A. Purnawati, T. Arwiyanto, dan B. Hadisutrisno. 2008. Kemampuan Antagonistik Beberapa Isolat Pseudomonad Fluoresen terhadap bakteri Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu pada tanaman tomat. Jurnal Pengendalian Hayati 1(1): 1-5.

Referensi

Dokumen terkait

dialokasikan untuk pemasaran dan penjualan, (2) berbeda tergantung pada tingkat profitabilitas membuat estimasi probabilitas dan ROI yang mereka terhadap penawaran

Pengabdian masyarakat ini menghasilkan suatu percontohan menarik bahwa budidaya jahe merah sebenarnya memiliki prospek bisnis yang baik di masa depan, mudah untuk ditanam dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe STAD

Pengawasan yang di lakukan ini di harapakan mampu mencegah dan meminimalkan terjadi bentuk kesalahan yang terjadi , serta usaha segera dapat disungguhan berbagai

Urutan atribut mulai dari yang tertinggi dan menjadi priorotas perbaikan layanan kesehatan instalasi rawat inap RSD Mardi Waluyo Blitar dari hasil analisis PGCV

Untuk sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari keuntungan, surplus usaha (bunga neto, sewa tanah dan keuntungan) tidak diperhitungkan.

Bila ada dua pengarang atau lebih bekerja sama membuat suatu karya ilmiah (buku, jurnal, dan lain-lain) maka penulisan diawali dari nama belakang pengarang pertama,