• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang terjadi. dikarenakan pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup atau ketika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang terjadi. dikarenakan pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup atau ketika"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang terjadi dikarenakan pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup atau ketika tingkat sensitivitas tubuh terhadap insulin menurun sehingga tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur gula darah dan berfungsi juga sebagai kunci untuk membuka sel-sel dalam tubuh agar mendapatkan energi dari asupan gula yang masuk. DM memiliki tiga tipe yaitu DM tipe 1 dimana pasien tergantung terhadap insulin, DM tipe 2 dimana pasien tidak tergantung pada insulin, dan DM gestasional yang terjadi pada saat hamil (Guyton & Hall, 2006).

DM tipe 2 merupakan jenis DM yang pada umumnya terjadi hampir 90% dari kasus DM yang ada dan terus terjadi peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan (Clark dan Asimakopaulou, 2005). Peningkatan jumlah penderita DM tipe 2 disebabkan oleh sejumlah faktor, terutama dipicu pergeseran gaya hidup masyarakat di era globalisasi (urbanisasi, transisi gizi, gaya hidup, faktor genetika, konsumsi rokok dan alkohol, asupan karbohidrat yang tinggi, dan tingginya konsumsi makanan cepat saji dan makanan instan yang mengandung kadar gula tinggi), khususnya yang bermukim di kawasan perkotaan di berbagai negara di Asia (Chan dkk., 2009;Jamaluddin, 2012;Kompas, 2005).

Penderita DM tipe 2 berisiko mengalami komplikasi yang mampu meningkatkan risiko kematian. Komplikasi yang sering terjadi berhubungan dengan penyakit kardiovaskular,misalnya penyakit jantung koroner, stroke, dan/atau penyakit penyumbatan pada aliran darah, kebutaan, kerusakan pada sistem syaraf, menimbulkan rasa sakit dan kehilangan sensasi indera yang pada beberapa kasus berujung pada amputasi organ tubuh (Biermen dalam Clark & Hampson, 2001).

(2)

Komplikasi-komplikasi tersebut bersifat degeneratif yang kemudian diperburuk dengan pola hidup yang tidak sehat serta kenyataan yang tidak dapat disembuhkan membuat hidupdengan diabetes cenderung menyulitkan. Selain banyak aturan yang harus dipatuhi dan ditambah dengan pengobatan yang teratur, sehingga terkadang menimbulkan kebingungan bahkan permasalahan psikologis pada pasien(Anderson, 1995; Polonsky dkk., 2005; Tjokroprawiro, 1989).

Permasalahan-permasalahan psikologis yang timbul pada pasien DM Tipe 2 memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kualitas hidup mereka (Fisher, 2006; Matthews & Lloyd, 2005; Polonsky, dkk., 2005; Rubin, 2005; Samuel-Hodgedkk.,2000;Skovlund & Peyrot,2005).Permasalahan-permasalahan psikologis ini salah satu faktor penyebabnya adalah faktor pengawasan diri/pengelolaan diri/ atau manajemen diri(Barnes dalam Paddison, Alpass, & Stephens, 2010; dalam Clark & Hampson, 2001; Bastiaens dkk., 2009; Minet, Moller, Vach, Wagner, & Henriksen, 2010).

Barlow dkk. (2002) mendefinisikan manajemen diri secara umum sebagai kemampuan yang dimiliki pasien untuk mengelola gejala, tritmen, konsekuensi fisik dan psikososial serta perubahan gaya hidup ketika mengalami penyakit kronis. Peranan faktor manajemen diri dalam memperoleh kestabilan gula darah pada pasien adalah hal yang cukup penting(Norris, Engelgau, Venkat, & Narayan, 2001; Gary dkk., 2003; Steed, Cooke, & Newman, 2003; Ellis dkk., 2004; Ishmail, Winkley, & Rabe- Jasketh, 2004; Shojania dkk., 2006; Clark, 2008).

Manajemen diri saat ini menjadi sebuah pendekatan yang sangat efektif dalam mengelola kondisi-kondisi kronik. Manajemen diri sendiri memiliki empat

(3)

domain utama meliputi manajemen nutrisi, olahraga dan aktivitas fisik, pengawasan glokusa darah serta pengobatan medis (Stetson dkk., 2011; Toobert, Hampson, & Glasglow, 2000; Weinger, Butler, Welch, & La Greca, 2005).Manajemen diri sangat dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan pasien.Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan ketidakpatuhan pasien diabetes dalam berobat mencapai 40-50%. Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% dan di negara berkembang jumlah tersebut bahkan lebih rendah.

Menurut data WHO (2003), rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik pengobatan dan kompleksitas terapi, durasi pengobatan, delivery of care, faktor intrapersonal (umur, gender, self esteem, efikasi diri, stres, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal (kualitas hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan sosial) dan faktor lingkungan (situasi berisiko tinggi dan sistem lingkungan).

Salah satu faktor intrapersonal yang memiliki peranan cukup penting dalam kelancaran proses manajemen diri adalah efikasi diri pasien. Efikasi diri yang dikonsep oleh Albert Bandura merupakan konstruk utama dalam teori kognitif sosial dan mengacu pada "keyakinan individu tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan level perfomansi akan sesuatu hal yang dilakukan berhubungan dengan peristiwa tertentu ataupun dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, jika seseorang percaya bahwa mereka dapat melakukan tindakan tertentu mereka lebih termotivasi untuk mengubah perilaku, sementara orang dengan efikasi diri rendah lebih mungkin untuk menghindari atau membatalkan upaya untuk

(4)

mengubah perilaku. Selain itu, efikasi bekerja sebagai penggerak bagi individu sendiri dan juga sebagai penggerak untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan kognitif sebagai informasi untuk rencana tindakan (dalam Glaister, 2010).

Diabetes merupakan penyakit yang berkepanjangan dan membutuhkan adanya perubahan perilaku, yang umumnya melalui edukasi, konseling, peningkatan ketrampilan, dukungan melalui intervensi perilaku. Perubahan perilaku adalah sebuah proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti pengetahuan, keyakinan, sikap, ketrampilan, motivasi, dan dukungan sosial. Salah satu faktor kunci untuk mencapai tujuan perubahan perilaku adalah efikasi diri (self-efficacy), keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kapabilitas untuk menampilkan perilaku spesifik yang berfungsi dalam meraih

tujuannya (Bandura, 2005).

Holman dan Lorig (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa efikasi diri adalah atribut utama yang berkorelasi dengan hasil perilaku. Selaras dengan beberapa penelitian lainnya yang menunjukkan perilaku manajemen diri berhubungan dengan diet, aktivitas fisik dan pemantauan glukosa darah menunjukkan peningkatan yang tinggi ketika berhubungan dengan efikasi diri (Aalto, Uutela & Aro, 2000; Aljasem, Peyrot, Wissow & Rubin, 2001; Bean, Cundy & Petrie, 2007; Griva, Myers & Newman, 2000; Johnston-Brooks, Lewis & Garg, 2002, Williams & Bond, 2002).

Selain efikasi diri, faktor psikososial lainnya yang berpengaruh terhadap manajemen diri pasien diabetes adalah pengetahuan, stres, dan persepsi sakit. Kurangnya pengetahuan pasien diabetes terhadap penyakitnya juga dihubungkan dengan ketaatan pelaksanaan perilaku manajemen diri diabetes

(5)

secara khusus dalam hal ketaatan dalam melakukan diet (Taylor, 2006). Pengetahuan dan keterampilan yang rendah pada penderita diabetes dihubungkan dengan ketidakefektifan komunikasi antara dokter dan pasien. Ketika pasien memahami instruksi yang diberikan oleh dokter, maka tingkat kepatuhan akan semakin baik. Meskipun pengetahuan sendiri tidak menjamin kepatuhan, pemahaman dasar dari cara hidup penderita diabetes diperlukan untuk terjadinya kepatuhan (Prokop dalam Ayusmi, 2008).

Faktor situasional seperti stres dan tekanan sosial, misalnya emosi yang tertekan akibat kondisi kesehatan yang menurun, serta kegagalan dalam menciptakan pola respon yang sesuai untuk menaati manajemen diri menimbulkan frutrasi sehingga menjadikan berkurangnya motivasi dan menurunnya keyakinan diri pasien untuk melaksanakan menajemen diri diabetes (Goodall & Halford dalam Taylor, 2006; Yuniarti in press, 2012). Stres juga dapat meningkatkan kadar gula darah dan secara tidak langsung mendorong ketidaktaatan dalam melakukan manajemen diri diabetes. Semiardji (dalam Soegondo dkk., 2011) menyebutkan bahwa perubahan pola hidup yang harus dijalani penderita diabetes dapat menimbulkan emosi negatif serta konflik yang terjadi dalam diri penderita. Munculnya emosi negatif berupa marah, rasa bersalah, cemas, dan sedih dapat menyebabkan penderita mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak atau justru mengkonsumsi jenis makanan yang tidak dianjurkan. Pada orang dewasa penderita diabetes presentase gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan berhubungan dengan manajemen diri yang rendah (Cox & Gonder-Frederick dalam Ayusmi, 2008).

Persepsi sakit atau illness perception merupakan faktor psikososial lain yang memiliki peran dalam perilaku manajemen diri pasien (Ningrum, 2011).

(6)

Persepsi sakit memiliki empat dimensi, antara lain: 1) identitas penyakit, 2) keyakinan terkait penyebab serta lamanya durasi penyakit, 3) keyakinan terkait dengan konsekuensi yang dialami sebagai akibat dari penyakit yang diderita dan 4) keyakinan terkait dengan kontrol diri terhadap penyakit (Hoving, Meer, Volkova, & Dresen, 2010). Persepsi sakit dalam berbagai penelitian digunakan sebagai dasar dalam menjelaskan Common-Sense Model, yang digunakan sebagai dasar penyusunan intervensi psikososial untuk manajemen diri diabetes (Peyrot & Rubin, 2007) untuk dapat memprediksikan status kesehatan seseorang (Paddison, Alpass, & Stephens, 2010).

PendekatanCommon Sense Model (CSM) kemudian digunakan dalam penelitian ini. Hal ini berdasarkan sejumlah penelitian mengenai manajemen diri pada penyakit kronis yakni salah satunya adalah diabetes yang menunjukkan bahwa common sense model akan penyakit misalnya persepsi sakit (Lavental dkk, 1980) dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien yang mana juga sangat terkait dengan efikasi diri pasien (Croyle & Barger, 1993; Lavental dkk., 1998). Laventhal dkk.(1984) mengemukakan bahwa individu yang sakit merupakan pemecah masalah yang aktif, mencoba berusaha memahami penyakitnya dengan sekumpulan perspektif yang dimilikinya. CSM menekankan bahwa individu yang mengalami suatu penyakit akan mengalami gejala fisik dan mendapatkan sejumlah informasi. Individu ini kemudian akan membuat sejumlah atribusi yang akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap penyakit.

Persepsi akan penyakit ini dipengaruhi oleh 5 dimensi utama yakni penyebab (cause); identitas (identity); dimensi pemahaman (perceived dimension); keparahan yang ditimbulkan sebagai konsekuensi penyakit (severity of illness consequences); dan jangka waktu (timeline) (Lavental, Mayer

(7)

&Narenz, 1980; Lavental, Narenz, & Steele, 1984). CSM memprediksikan bahwa persepsi akan penyakit (seperti kontrol yang disadari pada pasien diabetes, atau tingkat keparahan dan akibat yang ditimbulkan penyakit) akan mempengaruhi keluaran emosional pasien seperti stres yang berhubungan dengan penyakit (Hagger & Orbell, 2003).

Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk mengembangkan sebuah intervensi yang berpusat pada pasien dengan berbasis kelompok dukungan (Support Group Intervention).Intervensi berbasis kelompok pada umumnya mampu menunjukkan adanya peningkatan kontrol gula darah, pengetahuan akan diabetes, kontrol tekanan darah, pengendalian berat badan serta kepatuhan akan pengobatan (dalam Bastiaens dkk., 2009).Selain dirancang berdasarkan komponen sistem kontrol dari Common-Sense Model (CSM) untuk mengelola penyakit kronis, penelitian ini juga mengintegrasikan antara CSM, intervensi kognitif perilakuan dan pasien pakar(expert patient). Intervensi ini juga mengintegrasikan kerangka teori CSM dengan pengalaman yang dimiliki pasien pakar yang berfungsi dalam membuat instrumen penelitian. Tujuan melibatkan pasien pakar menjadi salah satu langkah yang diharapkan dapat memberikan pemecahan permasalahan emosional pada pasien penderita DM tipe 2 dalam hal pengelolaan diri mereka.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang menekankan pada perbedaan karakteristik pasien berdasarkan 3 lokasi penelitian yang berbeda yakni praktek pribadi, puskesmas dan rumah sakit. Peneliti dalam penelitian ini memilih lokasi penelitian pada tempat praktek dokter pribadi yakni praktek dokter keluarga yang saat ini tengahmenggiatkan program Prolanis (Program Penanggulangan Penyakit Kronis). Program Pengelolaan Penyakit

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif strategi utama yang dapat diterapkan dalam mengembangkan usaha penggemukan sapi potong yaitu mengoptimalkan dan mengembangkan

Meloxicam secara bermakna menunjukkan resiko yang lebih kecil terhadap insiden saluran cerna daripada natrium diklofenak setelah 2 minggu pengobatan dalam hal keluhan nyeri

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, a. Metode Strategi Kepemimpinan MTs. Muhammadiyah Tanetea adalah 1) memberi perintah kepada bawahan, 2) Memberi Teguran Kepada

Pola Asuh Orang Tua dalam Pembentukan Moral Anak (Studi Kasus di SDI Terpadu darl Falah dan MI Perguruan Mu’allimat Jombang). Penelitian ini bertujuan untuk

Altenatif pengunaan energi dari minyak bumi yang menipis itu adalah dengan menggunakan bentuk energi lain atau berupaya untuk hemat dalam penggunaan energi minyak bumi. Bentuk lain

Ο Γκιλ πάντα μας κρατούσε θέσεις σε γεύματα και πάρτι και, ενώ ο Πολ και ο Τσάρλι αποφάσισαν σχετικά γρήγορα ότι η άποψη του για την κοινωνική

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan judul “EVALUASI KINERJA HEAT

Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih kecil dari jumlah Pajak Penghasilan yang