• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIASI BAHASA BERDASARKAN JENIS KELAMIN DI DESA MATANGAJI KECAMATAN SUMBER KABUPATEN CIREBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VARIASI BAHASA BERDASARKAN JENIS KELAMIN DI DESA MATANGAJI KECAMATAN SUMBER KABUPATEN CIREBON"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI BAHASA BERDASARKAN JENIS KELAMIN DI DESA MATANGAJI KECAMATAN SUMBER KABUPATEN CIREBON

Arip Hidayat

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan

ABSTRAK

Penelitian ini berisi tentang perbedaan variasi bahasa antara laki-laki dan perempuan di Desa Matangaji Kec. Sumber Kabupaten Cirebon. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ; bagaimana variasi bahasa laki-laki di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Bagaimana variasi bahasa perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Bagaimana perbedaan variasi bahasa laki-laki dan perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Tujuan dari penelitian ini adalah : Ingin mengetahui variasi bahasa laki-laki di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, Ingin mengetahui variasi bahasa perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, Ingin mengetahui perbedaan variasi bahasa laki-laki dan perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, dengan mengunakan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian ini, data yang ada dikumpulkan dengan menggunakan teknik-teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Simpulan dari penelitian ini adalah ; Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden laki-laki masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan cenderung kasar. Hal itu disebabkan masyarakat Desa Matangaji merupakan masyarakat perbatasan, yang bahasanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Kalimat yang digunakan responden laki-laki cenderung pendek dan banyak menggunakan kata kerja. Kata sifat jarang muncul dalam wawancara. Penggunaan pola kalimat yang pendek serra jarang munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi laki-laki yang cenderung rasional dan realistis, sehingga perkataannya tidak bertele-tele, singkat, padat, dan jelas; penguasaan bahasa responden perempuan rata-rata tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Jawa. Dari tiga bahasa yang dikuasai, dua bahasa yang dipakai secara aktif untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Sunda dan Indonesia. Bahasa Sunda dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Indonesia dan Jawa dipakai untuk kegiatan formal di sekolah, perdagangan, dan melayani tamu dari luar. Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden perempuan masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan halus. Kalimat yang digunakan responden panjang dan bertele-tele. Dalam penggunaan kata, selain kata kerja banyak ditemukan kata sifat. Kehalusan bahasa, penggunaan pola kalimat yang panjang serta munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi perempuan yang cenderung perasa dan emosional, sehingga mempengaruhi tuturannya; perbedaan antara variasi bahasa laki-laki dan perempuan terletak pada kehalusan bahasa, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang dipergunakan. Jika laki-laki cenderung kasar, menggunakan pola kalimat pendek (singkat), serta lebih dominan kata kerja, maka perempuan cenderung lebih halus dan tertata, lebih panjang

(2)

kalimatnya, serta selalu ditemukan kata sifat dalam tuturannya. Kehalusan, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang digunakan dipengaruhi oleh perbedaan psikologi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung rasional sementara perempuan cenderung emosional. Wanita cenderung lebih ekspresif dalam kata-kata. Di samping itu perempuan lebih halus dalam bahasanya dikarenakan norma yang mengikat mereka untuk berbicara lebih halus dan sopan.

Kata kunci : variasi bahasa, laki-laki, perempuan, Desa Matangaji. PENDAHULUAN

Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (Chaer, 2010) menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini.

Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya

dengan masyarakat akan

mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu

kepada masyarakat yang

menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.

Fenomena sosiolinguistik yang beragam ini, ternyata melahirkan ragam bahasa. Ragam bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh penuturnya yang tidak homogen atau sama. Ragam bahasa sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu terjadi akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Variasi bahasa untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.

Dalam pemakaian bahasa dilingkungan masyarakat selalu didapat pemakaian bahasa berdasarkan kelas sosial. Di Indonesia sering disebut itu adalah kasta ragam bahasa oleh masyarakat bahasa itu sendiri. Seperti halnya pada masyarakat Jawa dikenal dengan vareasi yang digunakannya yaitu, kromo inggil, kromo dan ngoko. Di daerah tataran Sunda dikenal juga dengan undak usuk basa. Selain kelas, status dan posisi sosial pemakaian bahasa terdapat pula pada dialek sosial. Dialek sosial mengindikasikan adanya pemakaian ragam bahasa berdasarkan kelas sosialnya. Berdasarkan hal itu, penulis tertarik untuk mengetahui variasi atau ragam bahasa yang terdapat di desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

Matangaji merupakan desa yang masuk di wilayah administratif Kabupaten Cirebon. Matangaji terletak di sebelah selatan ujung Kab.Cirebon dan berbatasan dengan kabupaten Kuningan. Di Desa Matangaji

(3)

ditemukan penggunaan bahasa yang berbeda dengan wilayah-wilayah Kab.Cirebon. Jika daerah-daerah di Kabupaten Cirebon berbahasa jawa, maka di Matangaji hampir secara keseluruhan masyarakat tuturnya menggunakan bahasa Sunda. Hal ini dikarenakan interaksi masyarakat Matangaji yang lebih banyak dilakukan dengan masyarakat Kuningan yang berbahasa Sunda. Kegiatan berdagang ke kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan, jadi salah satu faktor yang mengakibatkan Desa Matangaji ini berbahasa Sunda. Namun di sisi lain masyarakat Matangaji pun sering berinteraksi dengan masyarakat Cirebon yang berbahasa Jawa, misalnya dalam bidang pendidikan dan pemerintahan.

Interaksi masyarakat Matangaji mengakibatkan ragam bahasa masyarakat desa Matangaji menarik untuk diteliti. Hal itu dikarenakan masyarakat Desa Matangaji berinteraksi dengan tiga bahasa (Jawa, Sunda, dan Indonesia). Interaksi tersebut mengakibatan variasi bahasa yang menarik di masyarakat Desa Matangaji, baik dari pemakaian, penutur, sarana, maupun keformalan.

Atas dasar hal di atas, penulis tertarik untuk mengetahui salah satu variasi bahasa di masyarakat Desa Matangaji. Adapun yang akan menjadi focus penulis dalam penelitian ini adalah perbedaan variasi bahasa antara laki-laki dan perempuan (gender) di masyarakat desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas di rumuskan masalah : Bagaimana variasi bahasa laki-laki di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Bagaimana variasi bahasa perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Bagaimana perbedaan variasi bahasa laki-laki dan perempuan di Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon?

TELAAH PUSTAKA Masyarakat Bahasa

Setiap kelompok dalam masyarakat yang karena tempat atau daerahnya, umur atau jenis kelaminnya, lapangan kerjanya atau hobinya dan sebagainya yang menggunakan bahasa yang sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasanya, mungkin membentuk suatu masyarakat tutur. Masyarakat tutur adalah istilah netral, ia dapat dipergunakan untuk menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bentuk bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dalam bahasanya.

Ragam Bahasa

Ragam bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995, h. 809) adalah “variasi bahasa menurut pemakaiannya yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaran-pembicaraaan”. Dalam pembicaraan mengenai gaya bahasa wanita, dapat dikatakan bahwa mereka secara tidak langsung menggunakan ragam yang berbeda dengan pria, karena dalam norma budaya mereka dibedakan berdasarkan peranan dan status mereka dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan wanita memiliki ragamnya sendiri.

Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini. Tutur wanita bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”, ini merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari

(4)

pihak wanita diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar. Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan perbedaan yang ada.

Teori Gender Sebagai Sebuah Pendekatan

Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai pembedaan-pembedaan yang bersifat sosial, yang dikenakan atas perbedaan-perbedaan biologis atau perbedaan yang nampak antar jenis kelamin. Dalam konsep ini jelas dibedakan antara yang bersifat alami, yakni perbedaan biologis dan yang bersifat sosial.

Konsep mengenai gender berbeda dengan konsep seks. Menurut Sugihastuti pemahaman tentang gender, melihat perbedaan pria dan wanita dari segi karakteristik, sikap, dan perilaku masing-masing dalam konteks sosial budaya”. Seks hanya melihat pembedaan tersebut dari sudut jenis kelamin tersebut. Lingkup gender jauh lebih luas dari sekedar perbedaan psikologis tubuh manusia. Dalam konsep gender terdapat pengertian adanya perbedaan sikap, tingkah laku, peranan dan tugas antara pria dan wanita yang terpola secara dikotomis dalam masyarakat. Pola tersebut pada umumnya diterima, diterapkan, dan dianggap sebagai sesuatu yang “lumrah” dan “alamiah” dalam budaya masyarakat tersebut.

Perbedaan keadaan biologis disebabkan oleh sifat nukleus hormonal pada saat terjadinya pembuahan. Namun pada saat manusia lahir ke dunia, ia masuk kedalam lingkup budaya masyarakat tempat ia berada. Jika ia dibesarkan dalam budaya masyarakat bersistem pandang gender, maka sikap, pandangan hidup dan tingkah lakunya akan mengikuti pola yang ada dalam masyarakatnya. Dengan sendirinya penerapan konsep gender yang biasanya

berakar kuat dalam adat dan budaya masyarakat yang akan mengkotak-kotakkan pria dan wanita ke dalam harapan dan peranan yang berbeda, menurut generalisasi steoretip maskulin dan feminim.

Wanita dan Tuturannya

Tuhan menciptakan dua macam manusia, pria dan wanita. Namun perkembangan budaya suatu kelompok masyarakat menumbuhkan normanya sendiri-sendiri sesuai dengan faktor alam yang melingkunginya. Wanita memiliki nasib yang berbeda, yakni menduduki posisi sekunder bila dibandingkan dengan pria. Wanita selalu dibedakan dalam hal status dan peranan mereka dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010) disebutkan pengertian wanita adalah perempuan dewasa. “Menurut sejarah sosial, wanita termasuk dalam karakteristik feminim yang lemah dan memerlukan perlindungan pria. Ciri stereotif wanita misalnya adalah : tergantung, pasif, sulit mengambil keputusan, sulit menjadi pemimpin dan memerlukan pengamanan diri. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri stereotipe wanita yang bernilai positif pada umumnya berkaitan dengan sifat feminim yang cenderung ekspresif tentang keadaan yang menarik hatinya, kebutuhannya dan fungsinya. Wanita biasanya diidentifikasikan sebagai mahkluk yang berperasaan lembut/halus, berkepribadian rapi, tidak suka memakai kata-kata kasar, sabar dan teliti.

Seorang wanita berlaku lemah lembut dan bertutur kata manis, sebenarnya bukan karena secara biologis ia berkelamin wanita, melainkan karena norma-norma dalam masyarakat dan budayanya yang mengkondisikan untuk berperilaku demikian. Keterbatasan ruang gerak wanita acapkali tercermin dari tradisi dan bahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bahkan tercermin dalam sikap dan perilaku

(5)

berbahasanya. Mengenai hal ini, Sumarsono dan Paina (2002 : 106) mengungkapkan mengenai teori tabu. Menurut mereka tabu berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, dengan mengunakan pendekatan studi kasus. Menurut Dhofir (2000:41), Studi kasus adalah studi yang mendalam (eksploratif) dan menyeluruh (integral) mengenai suatu obyek tertentu yang menarik untuk diamati secara khusus dan tersendiri.

Lokasi penelitian yang diambil peneliti adalah Desa Matangaji Kecamatan Sumber Kab. Cirebon. Secara geografis, bahwa Desa Matangaji terletak disebelah selatan Kab. Cirebon berbatasan dengan Kuningan berjalur terusan menembus Mandirancan.

Menurut Lofland sebagaimana yang dikutip dalam Moleong (2006:157) menyatakan bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata ,dan tindakan, selebihnya adalah data sebagai tambahan atau sebagai pelengkap seperti dokumen dan sebagainya. Sedangkan dalam penelitian sosial, sumber data dibagi atas dua yaitu sumber data sekunder dan sumber data primer, demikian yang dikemukakan oleh Moleong (2005:132). Sumber data primernya berupa segala perkataan dan perbuatan dari masyarakat setempat sebagai responden.

Sedangkan sumber data sekundernya adalah segala data sebagai tambahan atau sebagai pelengkap seperti dokumen dan sebagainya dari anggota masyarakat yang biasanya melakukan tindakan bahasa.

Data sekunder ini peneliti gunakan untuk mengukur tingkat validitas data primer yang diperoleh dengan cara cross

check. Adapun jumlah responden peneliti disesuaikan dengan kebutuhan penelitian untuk mencapai kedalaman dan ketajaman persoalan yang sedang diteliti.

Dalam penelitian ini, data yang ada dikumpulkan dengan menggunakan teknik-teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu: a. Wawancara

b. Observasi c. Dokumentasi

Analisis data merupakan upaya pengolahan data atau penafsiran data. Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi dan verifikasi data agar data yang terkumpul bernilai ilmiah.

Data yang terkumpul dari hasil penelitian terdiri dari berbagai data hasil temuan di lapangan. Data yang banyak tersebut mungkin akan peneliti sesuaikan dengan arah penelitian yang sudah dijabarkan dalam fokus penelitian. Oleh karena itu diperlukan adanya analisis data. Proses analisis data dimulai dari seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu wawancara, observasi dan dokumenatasi (Moleong, 2006:190). Pengaturan tersebut dilakukan secara sistematik, rasional dan logis (Moleong, 2006:247). Sedangkan menurut Bagdan dan Biklen dalam Moleong (2006:248) mengatakan: "Analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola. Mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari.

Analisis data yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian tentang " judul "varasi pemakaian bahasa berdasarkan SEX (jenis kelamin)"" adalah menggunakan analisis kualitatif dengan menggunakan proses berfikir induktif yakni dimulai dari teori yang bersifat khusus berdasarkan hasil

(6)

pengamatan di lapangan atau pengalaman empiris dan data hasil observasi, yang kemudian disimpulkan menjadi sebuah teori pengetahuan yang bersifat umum.

Adapun langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjawab masalah nomor 1 penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Mewawancarai responden laki-laki berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat.

b. Menganalisis hasil wawancara dilihat dari variasi bahasa kebakuan, kesopanan dan kehalusan, panjang dan pendek kalimat, dan jenis kata yang dominan digunakan.

c. Memasukan hasil analisis ke dalam table.

d. Menyimpulkan hasil analisis.

2. Untuk menjawab masalah nomor dua penulis melakukan langkah –langkah sebagai berikut.

a. Mewawancarai responden perempuan berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat.

b. Menganalisis hasil wawancara dilihat dari variasi bahasa kebakuan, kesopanan dan kehalusan, panjang dan pendek kalimat, dan jenis kata yang dominan digunakan.

c. Memasukan hasil analisis ke dalam table.

d. Menyimpulkan hasil analisis.

3. Untuk menjawab masalah nomor tiga penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Membandingkan variasi bahasa antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari kesopanan dan kehalusan, panjang dan pendek kalimat, dan jenis kata yang dominan digunakan.

b. Menyimpulkan perbedaan variasi bahasa antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari kesopanan dan kehalusan, panjang dan pendek kalimat, dan jenis kata yang dominan digunakan.

PEMBAHASAN

Tuhan menciptakan dua macam manusia, laki-laki dan perempuan. Namun perkembangan budaya suatu kelompok masyarakat menumbuhkan normanya sendiri-sendiri sesuai dengan faktor alam yang melingkunginya. Perempuan memiliki nasib yang berbeda, yakni menduduki posisi sekunder bila dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan selalu dibedakan dalam hal status dan peranan mereka dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010, h. 1125) disebutkan pengertian wanita adalah perempuan dewasa. Menurut sejarah sosial, wanita termasuk dalam karakteristik feminim yang lemah dan memerlukan perlindungan pria. Ciri stereotif perempuan misalnya adalah : tergantung, pasif, sulit mengambil keputusan, sulit menjadi pemimpin dan memerlukan pengamanan diri (Samiati Tarjana, dalam Wanodya, 1992, h. 20). Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri stereotipe perempuan yang bernilai positif pada umumnya berkaitan dengan sifat feminim yang cenderung ekspresif tentang keadaan yang menarik hatinya, kebutuhannya dan fungsinya. Perempuan biasanya diidentifikasikan sebagai mahkluk yang berperasaan lembut/halus, berkepribadian rapi, tidak suka memakai kata-kata kasar, sabar dan teliti.

Seorang perempuan berlaku lemah lembut dan bertutur kata manis, sebenarnya bukan karena secara biologis ia berkelamin perempuan, melainkan karena norma-norma dalam masyarakat dan budayanya yang mengkondisikan untuk berperilaku demikian. Keterbatasan ruang gerak perempuan acapkali tercermin dari tradisi dan bahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bahkan tercermin dalam sikap dan perilaku berbahasanya. Mengenai hal ini, Sumarsono dan Paina

(7)

(2002, h. 106) mengungkapkan mengenai teori tabu. Menurut mereka tabu berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu. Dalam bermasyarakat perempuan lebih sering berkomunikasi, karena berkaitan dengan sifatnya yang cenderung ekspresif tentang keadaan yang menarik hatinya, kebutuhannya dan fungsinya, wanita lebih senang bicara dan saling mengutarakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Deborah Tanen (1998, h. 19) mengatakan bahwa “secara negatif kaum wanita dianggap mempunyai sifat yang stereotif, yaitu suka bercakap-cakap panjang lebar tanpa menyampaikan informasi yang berarti. Tetapi kemampuan mereka untuk terus bercakap-cakap satu sama lain

memungkinkan mereka

mempertahankan persahabatan”.

Bagi sebagian perempuan, bahasa percakapan terutama adalah bahasa untuk hubungan, yaitu suatu cara untuk membangun hubungan dan negoisasi. Penekananya diletakkan pada penampilan kesamaan dan pencocokan pengalaman (Deborah Tanen, 1998, h. 72). Lebih lanjut dikatakan bahwa wanita cenderung tidak terus terang, dan mencapai kesepakatan melalui negoisasi. Perempuan lebih suka memperlihatkan solidaritas dari pada kekuasaan meskipun tujuannya sama yaitu mendapatkan apa yang diinginkan. Di dalam proses berkomunikasi dan sebagai strategi bernegosiasi wanita cenderung menggunakan strategi-strategi tertentu, misalnya, karena sifatnya yang lembut dan tidak suka memakai kata-kata yang kasar, perempuan akan berusaha menggunakan bentuk-bentuk yang dianggap lebih sopan. “Dalam masyarakat Indonesia terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan perempuan lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang

berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria” (Sumarsono dan Paina, 2000, h. 107).

Berdasarkan data diketahui bahwa responden laki-laki rata-rata menguasai empat bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Jawa. Bahasa Inggris hanya dikuasai sedikit. Dari empat bahasa yang dikuasai, dua bahasa yang dipakai secara aktif untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Sunda dan Indonesia. Bahasa Sunda dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Indonesia dan Jawa dipakai untuk kegiatan formal di sekolah/ kampus, perdagangan, dan melayani tamu dari luar.

Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden laki-laki masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan cenderung kasar. Hal itu disebabkan masyarakat Desa Matangaji merupakan masyarakat perbatasan, yang bahasanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Kalimat yang digunakan responden laki-laki cenderung pendek dan banyak menggunakan kata kerja. Kata sifat jarang muncul dalam wawancara. Penggunaan pola kalimat yang pendek seera jarang munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi laki-laki yang cenderung rasional dan realistis, sehingga perkataannya tidak bertele-tele, singkat, padat, dan jelas.

Penguasaan bahasa responden perempuan rata-rata tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Jawa. Dari tiga bahasa yang dikuasai, dua bahasa yang dipakai secara aktif untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Sunda dan

(8)

Indonesia. Bahasa Sunda dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Indonesia dan Jawa dipakai untuk kegiatan formal di sekolah, perdagangan, dan melayani tamu dari luar.

Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden perempuan masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan halus. Kalimat yang digunakan responden panjang dan bertele-tele. Dalam penggunaan kata, selain kata kerja banyak ditemukan kata sifat. Kehalusan bahasa, penggunaan pola kalimat yang panjang serta munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi perempuan yang cenderung perasa dan emosional, sehingga mempengaruhi tuturannya.

Perbedaan antara variasi bahasa laki-laki dan perempuan terletak pada kehalusan bahasa, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang dipergunakan. Jika laki-laki cenderung kasar, menggunakan pola kalimat pendek (singkat), serta lebih dominan kata kerja, maka perempuan cenderung lebih halus dan tertata, lebih panjang kalimatnya, serta selalu ditemukan kata sifat dalam tuturannya. Kehalusan, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang digunakan dipengaruhi oleh perbedaan psikologi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung rasional sementara perempuan cenderung emosional. Wanita cenderung lebih ekspresif dalam kata-kata. Di samping itu perempuan lebih halus dalam bahasanya dikarenakan norma yang mengikat mereka untuk berbicara lebih halus dan sopan.

SIMPULAN

Berdasarkan kegiatan penelitian yang diadakan di Desa Matangaji sebelah selatan Kab.Cirebon dan berbatasan dengan kuningan akhirnya disimpulkan hal-hal berikut.

1. Berdasarkan data diketahui bahwa responden laki-laki rata-rata menguasai empat bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Jawa. Bahasa Inggris hanya dikuasai sedikit. Dari empat bahasa yang dikuasai, dua bahasa yang dipakai secara aktif untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Sunda dan Indonesia. Bahasa Sunda dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Indonesia dan Jawa dipakai untuk kegiatan formal di sekolah/ kampus, perdagangan, dan melayani tamu dari luar.

Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden laki-laki masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan cenderung kasar. Hal itu disebabkan masyarakat Desa Matangaji merupakan masyarakat perbatasan, yang bahasanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Kalimat yang digunakan responden laki-laki cenderung pendek dan banyak menggunakan kata kerja. Kata sifat jarang muncul dalam wawancara. Penggunaan pola kalimat yang pendek seera jarang munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi laki-laki yang cenderung rasional dan realistis, sehingga perkataannya tidak bertele-tele, singkat, padat, dan jelas. 2. Penguasaan bahasa responden perempuan rata-rata tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Jawa. Dari tiga bahasa yang dikuasai,

(9)

dua bahasa yang dipakai secara aktif untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Sunda dan Indonesia. Bahasa Sunda dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Indonesia dan Jawa dipakai untuk kegiatan formal di sekolah, perdagangan, dan melayani tamu dari luar.

Dari segi variasi bahasa dapat disimpulkan bahwa ternyata responden perempuan masyarakat Desa Matangaji dalam kehidupan sehari-hari menggunakan ragam tidak baku dengan ciri khas dialek kedaerahan (Sunda). Hal itu dikarenakan bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Dalam hal kesopanan dan kehalusan, bahasa yang dipergunakan relatif sopan dan halus. Kalimat yang digunakan responden panjang dan bertele-tele. Dalam penggunaan kata, selain kata kerja banyak ditemukan kata sifat. Kehalusan bahasa, penggunaan pola kalimat yang panjang serta munculnya kata sifat disebabkan oleh psikologi perempuan yang cenderung perasa dan emosional, sehingga mempengaruhi tuturannya.

3. Perbedaan antara variasi bahasa laki-laki dan perempuan terletak pada kehalusan bahasa, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang dipergunakan. Jika laki-laki cenderung kasar, menggunakan pola kalimat pendek (singkat), serta lebih dominan kata kerja, maka perempuan cenderung lebih halus dan tertata, lebih panjang kalimatnya, serta selalu ditemukan kata sifat dalam tuturannya. Kehalusan, panjang pendeknya kalimat, serta jenis kata yang digunakan dipengaruhi oleh perbedaan psikologi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung rasional sementara perempuan cenderung emosional. Wanita cenderung lebih ekspresif dalam kata-kata. Di samping itu perempuan

lebih halus dalam bahasanya dikarenakan norma yang mengikat mereka untuk berbicara lebih halus dan sopan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A.H. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwasilah, A. Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT. Bintang Pustaka.

…….. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bloomfield, L. 1933. Language. New York : Holt, Rinehart and Winston. Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dhofir, Syarqawi. 2000. Pengantar Metodologi Riset. Sumenep: Iman Bela.

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York : Basil Blackwell Inc.

Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Keraf, Gorys.1997. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. “Fungsi bahasa dan sikap bahasa”. Flores: Nusa Indah.

Moleong, Lexy, J., 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Onong Effendy, 1994, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.

(10)

Nababan. 2000. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa

Ramlan, M. (1967). Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi. Yogyakarta: UP Indonesia.

Ramlan, M. (1981). Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono.16

Rusyana, Yus. (1988). Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud Dirjendikti. Saleh, Muhammad & Mahmudah. 2006.

Sosiolinguistik. Makassar: Badan Penerbit UNM.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soekanto, Soejono. 1986. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi

Suatu pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

…………. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Soemardi, Soelaeman. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita. Bandung : Yayasan Nuansa Cendikia

Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suhendi, Didi. 2006. Srintil dalam

Belenggu Gender. Yogyakarta : Alief Press.

Sumarsono. 2000. Sosiolinguistik. Yogjakarta : Sabda

Suwito. (1993). Pengantar Awal Sosiolinguistik. Solo: Henary Offset.

Deborah Tannen (2003). "Gender and Family Interaction". In J. Holmes & M. Meyerhoff. The Handbook on Language and Gender. Oxford, UK & Cambridge, MA: Basil Blackwell.

Wardhaugh, Ronald. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Cambrigde: Blackwell Publishers

Referensi

Dokumen terkait

analyze and identify entrepreneur behaviour on business performance especially to Small Medium Enterprise (SMEs) banana processing in South Garut.. The study was

Jarak tanaman kopi dengan tumbuhan orok-orok berkolerasi negatif dengan populasi hama Ferrisia virgata, Aphis sp, Thrips sp, Hypothenemus sp dan jenis hama

[r]

Dalam penerapannya, teknik observasi ini digunakan untuk menggali dan mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan menggunakan model observasi tidak berperan serta

[r]

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan

Luaran dari penelitian yang dilakukan adalah artikel ilmiah dengan gambara nyata dampak / pengaruh kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikologi anak...

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini akan merumuskan masalah bagaimana nilai akurasi yang dihasilkan oleh algoritma fuzzy c- means dalam