• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pada era industri saat ini, banyak berbagai aktifitas usaha yang berkembang dan bermunculan. Para pelaku usaha menunjukkan persaingan mereka dengan berbagai kreatifitas untuk membuat suatu barang dan/atau jasa mempunyai nilai jual untuk menarik konsumen. Hal ini membuat suatu fakta bahwa pada kenyataannnya manusia adalah

konsumen sejati.1

Kegiatan bisnis mempunyai hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen. Sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas

yang diinginkan. 2

Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan). Penyelesaian, melalui lembaga litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga, sehingga penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan

1 Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia : hlm 1

2 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Devisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja

(2)

14 juga tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non-litigasi tidak menemui

kesepakatan. 3

Menurut UU No.8 Tahun 1999 Pasal 52 huruf a, BPSK selaku badan atau lembaga saat ini bertugas dan berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi mempunyai beberapa cara penyelesaian atau sering disebut dengan metode penyelesaian sengketa yang antara lain adalah mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Secara singkat/ garis

besarnya sebagai berikut: 4

1. melalui metode konsiliasi yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan melalui cara ini, bahwa majelis berupaya untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, jika melalui cara ini majelis hanya bertindak sebagai konsiliator (pasif). Hasil penyelesaian sengketa konsumen tetap berada ditangan para pihak. 2. melalui metode mediasi yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen diluar

pengadilan melalui cara ini pada dasarnya sama dengan cara konsiliasi, hanya yang membedakan dari kedua cara dimaksud bahwa majelis aktif dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya lain dalam penyelesaian sengketa, namun demikian hasil keputusan seluruhnya diserahkan kepada para pihak.

3. melalui metode arbitrase yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan melalui cara ini, pelaksanaannya berbeda dengan cara mediasi dan konsilias. Majelis bertindak aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Bilamana tidak tercapai kesepakatan, cara persuasif tetap dilakukan dengan memberi penjelasan kepada para pihak yang bersengketa perihal peraturan perundang-undangan

3Shanti Racmadsyah, S.H, Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, http://www.hukumonline.com,

diakses tanggal 4 juli 2018 jam 07 :00

(3)

15 dibidang perlindungan konsumen. Keputusan atau kesepakatan dalam penyelesaian sengketa sepenuhnya menjadi wewenang majelis.

a. Prosedur Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

1) Pendaftaran pengaduan

a) Mengisi formulir pengaduan b) Menyerahkan berkas - berkas 2) Penjadwalan sidang

a) Penunjukan majelis b) Penunjukan panitera

c) Surat pangilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa 3) Pelaksanaan sidang

a) Sidang pemilihan jalur penyelesaian sengketa

b) Ketika tidak adanya kesepakatan jalur penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maka diadakan sidang kedua sampai dengan ketiga.

c) Ketika sudah adanya kesepakatan maka sidanng dilanjutkan dengan penyerahan bukti-bukti dan keterangan dari kedua belah pihak.

4) Putusan

a) Eksekusi putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat, karena BPSK tidak mempunyai kewenangan dalam pengeksekusian.

Bagan 1

(4)

16 Sumber data diperoleh dari Dinas Perdagangan Kalimantan Selatan.

http://disdag.kalselprov.go.id/bpsk-kota-banjarmasin.

B. Perlindungan konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha.

Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disingkat UUPK, pengertian Konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang menggunakan barang, tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

PENDAFTARAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK PENJADWALAN SIDANG PELAKSANAAN SIDANG PELAKSANAAN SIDANG KE 2 KELUARNYA PUTUSAN DARI SIDANG DI BPSK PELAKSANAAN SIDANG KE 3

(5)

17 konsumen adalah Setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali (konsumen akhir) .

Sementara pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah “Segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan

sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. hukum perlindungan konsumen adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.Pengertian Pelaku Usaha menurut pasal 1 angka 3 undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “Setiap

orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”5.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas hukum adalah kecenderungan yang memberikan sesuatu penilaian susila atau memberikan suatu penilaian yang bersifat etis terhadap hukum. Menurut Satjipto Rahardjo asas hukum mengandung tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan

(6)

18 dan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat. Asas-asas hukum dapat dibedakan pada dua tingkatan, yaitu mengatur asas-asas atau prinsip-prinsip hukum umum (the

general principles of law) dan asas-asas hukum khusus.

Ada lima asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK6, yaitu:

1) Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2) Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3) Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan. 5) Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena dijunjung tinggi dalam penyelenggaran perlindungan konsumen. Perlindungan

6 Ibid

(7)

19 konsumen dalam Pasal 3 No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa.

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6) Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi perdagangan pada zaman modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga telah

menjadi perhatian dunia. Dalam pertimbangan UUPK dikatakan,7

7 M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di

(8)

20 1) Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2) Bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.

3) Bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi

ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta8

3. Tinjauan Terhadap Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen

Jenis-jenis Perlindungan Hukum ditinjau Undang – undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah bahwa perlindungan konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadi transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase). Perlindungan Hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no

conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara :

1) Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberi perlindungan kepada konsumen,

melalui peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan konsumen

8 Ibid halaman 22

(9)

21 memperoleh hukum sebelum terjadi transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha. 2) Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yg

dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini konsumen diharapkan secara suka rela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih hati-hati dan waspada sebelum melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.

Menurut Shidarta sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak – hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu tidak digunakan istilah “sengketa transaksi konsumen” karena yang terakhir terkesan lebih sempit, yang hanya

mencakup aspek hukum keperdataan saja.9

Sedangkan Az. Nasution mengemukakan, sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dengan penyedia produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, menegnai produk konsumen tertentu.10

Sengketa ini dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 Jo 1234 KUH Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut. Objek sengketa konsumen dalam hal ini

9 Shidarta,2004,Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,Jakarta,PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,Hal.165 10 Az. Nasution,1995,Konsumen dan Hukum,Jakarta,Pustaka Sinar Harapan,Hal.178

(10)

22 dibatasi hanya menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.

Pasal 23 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut. Hal tersebut senada dengan Pasal 45 UUPK yang menyebutkan :

1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yangberada di lingkungannya.

2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersengketa.

3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada angka (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam undang – undang.

4) Apabila telah dipilih upaya sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

(11)

23 Jadi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK terdapat dua pilihan, yaitu :

1) Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (dalam hal ini BPSK)

2) Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 11

C. Pelembagaan Perlindungan Konsumen

1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional ( BPKN )

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan masyarakat, telah memungkinkan para pelaku usaha untuk memproduksi berbagai macam barang dan/atau jasa dan memperluas arus gerak transaksi yang ditawarkan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa berdasarkan kebutuhan.

Di sisi lain, pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan konsurnen untuk memilih dan menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa yang memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan masih perlu ditingkatkan. Dalam kondisi yang demikian konsumen kerap menjadi objek pelaku usaha, dan kelemahan konsumen tersebut dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha.

11 Bagus Hanindyo Mantri. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi e-commerce. Tesis

(12)

24 Untuk meningkatkan perlindungan konsumen dari kelemahan yang demikian, maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan terhadap konsumen melalui suatu lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang mempunyai fungsi

memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya

mengembangkan perlindungan konsumen.

Tugas atau fungsi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional ( BPSK ) dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2001

tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.12

2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“LPKSM”) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.

Tugasnya meliputi kegiatan Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen : a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan

kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen

12Peraturan Pemerintan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan

(13)

25 e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan

perlindungan konsumen.

Mengacu pada pasal di atas, adapun tugas LPKSM yang berkaitan dengan pertanyaan Anda adalah dalam hal membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ( PP LPKSM ) dikatakan bahwa dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.

Tidak dijelaskan dalam PP LPKSM ini bagaimana bentuk advokasi yang dimaksud, apakah dalam bentuk memberikan jasa hukum sebagaimana halnya advokat di persidangan atau tidak. Akan tetapi, berdasarkan penelusuran kami dan mengacu pada rumusan pasal-pasal dalam PP LPKSM, tugas LPKSM sebatas pada membantu

konsumen untuk menerima keluhan konsumen.13

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian

13 Tri Jata Ayu pramesti, S.H. Apakah Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat Dapat Beracara di

(14)

26 sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal 49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat,sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu

maksimal 21 hari kerja14, dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama

proses pelaksanaan keputusan.15 Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat

dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang

dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan.16

Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup

kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.17 Pada setiap

tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang

14 Undang – undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 55 15 Undang – undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 56 dan 58 16 Muskibah, S.H.,M.H. 2010. Analisis Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jurnal Ilmu Hukum.

Universitas Jambi. Hal.147

(15)

27 bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.

Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Kepmen Perindag 350/2001”). Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag 350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase

dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan.18 Jadi, yang

perlu persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK

dilakukan dengan cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.19

D. Sengketa Konsumen

Pentingnya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun. Sistem perlindungan konsumen tidak dapat hanya memanfaatkan perangkat hukum nasional dalam jaringan kerjasama antar negara. Hal ini sangat penting mengingat pihak yang

18 Keputusan Menteri Perdindustrian dan Perdagangan No.350 Tahun 2001. Pasal 4 ayat (1)

19 Shanti Racmadsyah, S.H, Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, https://www.hukumonline.com.

(16)

28 berkepentingan dalam era perdagangan bebas saat ini makin luas dan terbuka serta makin bervariasi, yaitu antar negara asosiasi produsen sejenis, antar kawasan ekonomi dan bahkan antar pihak-pihak yang mempunyai pengaruh untuk produk tertentu dalam rangka

memperebutkan pasar.20

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 1 butir 11 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Bab XI UUPK21.

b. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada Bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu: Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK Ada beberapa kata kunci untuk memahami pengertian sengketa konsumen dalam kerangka Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan menggunakan metode penafsiran. Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.

Berikut dikutipkan keduanya : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

20 Golden Oktavianus Sambel. 2014. Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Perspektif (suatu

Kajian UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Lex Crimen Vol. III No. 1. Universitas Sam

Ratulangi. Hal. 112

(17)

29

keluarga, arang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”22.

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Pasal 1 butir 2 UUPK). Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pasal 1 butir 11 UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Pelaku usaha disitu, yaitu: 1) Setiap orang atau individu.

2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi: “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Jadi sengketa sesama pelaku usaha bukanlah sengketa konsumen, karenanya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dapat digunakan pelaku usaha.

E. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK )

1. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK)

BPSK adalah merupakan suatu Badan/Lembaga independent, badan publik yang mempunyai tugas dan wewenang antara lain melaksanakan penanganan dan penyelesaianan sengketa konsumen secara Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase,

(18)

30 memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, melaporkan kepada penyidik umum, menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran, memanggil dan menghadirkan saksi serta menjatuhkan

sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar.23 “Setiap konsumen yang

dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum” Demikian bunyi pasal 45 ayat 1 UU No. 8

tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.24

Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan dimaksud adalahh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya disebut BPSK. Maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan BPSK adalah badan publik yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang ekslusif dibidang perlindungan konsumen. 2. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum.

BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan

23 Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 24 Ibid

(19)

31 pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat

dan penyelesaian akhir bagi para pihak.25

Terkait peranan sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melindungi konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam ketentuan Pasal 52

tugas dan wewenang BPSK adalah :26

a. penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, Melaksanakan dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

25 Ibid halaman 35

(20)

32 i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemerikasaan.

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen. l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen.

m. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

n. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

3. Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dasar hukum pembentukanBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 49 ayat (1) UUPK jo. Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur bahwa disetiap kota atau kabupaten harus dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dihadirkan sebagai lembaga yang melindungi kepentingankepentingan konsumen dalam bentuk-bentuk yang bersifat sengketa di luar pengadilan. Dalam rangka memenuhi maksud Pasal 49 ayat (1) UUPK, dibentuk beberapa BPSK di beberapa kota besar di Indonesia. Di samping itu, apabila dilihat dari hubungan antara pelaku

(21)

33

usaha/penjual dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya

perselisihan/sengketa konsumen. 27

Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di Pengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilanpun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan

yang berada di lingkungan peradilan umum.28

F. Persyaratan Pengaduan Sengketa pada BPSK

Seperti halnya jika mengajukan gugatan atau permohonan persidangan pada lembaga Pengadilan Negeri, pengajuan gugatan penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pun memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Adapun

persyaratannya antara lain:29

1) Mengajukan permohonan sengketa di kantor BPSK setempat. Permohonan ini bisa dituliskan atau disampaikan secara langsung. Jika kasus disampaikan langsung, petugas BPSK akan melakukan pencatatan pada formulir khusus yang telah dibubuhi dengan cap. Pun dalam penyampaian permohonan, konsumen bisa menyampaikannya sendiri, melalui wali atau ahli waris, atau memberikan tugas kepada pihak yang dipercaya dengan disertai surat kuasa.

27 Zainul Akhyar, Harpani Matnuh, Hardianto. 2015. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota

Banjarmasin. Vol. VI No.10. Universitas Lambung Mangkurat. Hal.773

28 Ibid halaman 38

29 Danur Osda.2019. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. https://www.goodnewsfromindonesia.id.

(22)

34 2) Melampirkan berkas-berkas berupa dokumen yang dibutuhkan sebagai persyaratan administrasi, berikut sejumlah uang untuk membayar biaya yang dibutuhkan. Siapkan kartu pengenal (KTP atau paspor), dan bukti-bukti yang bisa mendukung posisi Anda sebagai konsumen ketika proses persidangan sedang berlangsung.

3) Sesampainya di kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat, konsumen kemudian mengisi formulir pengaduan yang berisikan informasi seperti nama dan alamat penggugat juga pihak yang digugat, keterangan lengkap mengenai waktu atau tempat terjadinya sengketa atau permasalahan oleh kedua belah pihak, juga informasi lengkap mengenai kronologi kejadian.

4) Selanjutnya, menyerahkan kembali formulir pengaduan tersebut berikut bukti-bukti yang dibutuhkan. Pihak BPSK akan meneliti semua bukti dan menilai apakah sengketa yang diajukan masih menjadi wewenang lembaga tersebut. Jika tidak, maka pihak BPSK berhak untuk melakukan penolakan terhadap sengketa tadi. Penolakan ini juga

berlaku jika pengajuan permohonan ternyata kurang lengkap.30

Adapun keputusan yang diambil oleh majelis BPSK bersifat final dan mengikat, sesuai dengan metode penyelesaian yang dipilih oleh konsumen, apakah mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Artinya, setiap pihak yang terlibat dalam persidangan atau kasus sengketa yang diajukan berhak untuk melaksanakan putusan tanpa terkecuali.

Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan segala persoalan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha memang belum dikenal secara menyeluruh oleh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan adanya sosialiasi lanjutan

30 Ibid halaman 39

(23)

35 terkait peranan dan tugas BPSK dalam menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai

dengan peraturan perundangan Perlindungan Konsumen.31

Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui jalur Arbitrase harus adanya kesekepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa dan ketika salah satu dari pihak yang tidak sepakat dalam melalukan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) tidak dapat melakukan persidangan penyelesaian sengketa, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) juga tidak dapat melakukan persidangan penyelesaian sengketa konsumen ketika dalam perjanjian yang mengikat para pihak terdapat klausula baku terkait dengan cara penyelesaian sengketa yang diluar dari penyelesaian sengketa di BPSK baik itu secara konsiliasi, mediasi, ataupun Arbitrase. G. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

BPSK sendiri merupakan lembaga yang bersifat non-struktural yang berada di seluruh wilayah kota maupun kabupaten, dengan tujuan utama menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha tanpa melibatkan pengadilan.

Prinsip dasar penyelesaian yang dilakukan di BPSK sesuai dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga termasuk menyelesaikan sengketa melalui jalur mediasi, arbitrase, atau konsoliasi.

Selain itu, penyelesaian sengketa di BPSK adalah persidangan tanpa bantuan pengacara. Setiap sengketa yang masuk pada lembaga ini akan diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur musyawarah secara kekeluargaan. Adanya lembaga ini

31 Ibid.

(24)

36 diharapkan dapat membantu para konsumen mendapatkan keadilan dan hak mereka sepenuhnya dengan cara yang cepat, sederhana, dan biaya yang sangat murah.

Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) menyediakan tiga cara untuk penyelesaian sengketa, antara lain :

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Cara Konsiliasi

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis dalam menyerahkan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi mempunyai tugas :

a. Memangggil konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen

Tata cara penyelesaia sengketa konsumen dengan cara konsiliasi adalah:

a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi

b. Majelis bertindak sebagai konsiliator

c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan

mengeluarkan keputusan32

32 Arief Rahman. 2018. Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) Kota Serang. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.2 No.1.

(25)

37 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Cara Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Dalam persidangan dengan cara mediasi, majelis dalam menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi, mempunyai tugas :

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa

e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi adalah :

a. Majelis menyerhkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi b. Majelis bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk,

saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa

c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan

mengeluarkan kekuatan33

3. Penyelesaian Sengketa melalui cara Arbitrase

33 Mia Hadiati, Mariske Myeke Tampi. 2017. Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di DKI Jakarta. Jurnal Hukum Prioris. Universitas Trisakti.

(26)

38 Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Pengertian arbitrase menurut UU No. 30 tahun 199 adalah, “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perrjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh parap ihak yang bersengketa” jelas berarti dalam pengertian arbitrase memuat suatu perjanjian yang di buat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa dan yang disebut dengan klausul arbitrase.

Klausul arbitrase merupakan perjanjian yang dibuat sebelum atau sesudah sengketa terjadi pada kedua belah pihak. Perjanjian atau klausul arbitrase dapat berupa, Factum de compromittendo dan Akta Kompromis. Arbitrase dalam menyelesaiakan sengketa dagang dapat berbentuk dalam 2 jenis arbitrase yaitu arbitrase yang bersifat paten dan arbitrase yang bersifat sementara. Arbitrase yang bersifat paten, disebut dengan arbitrase Institusional dan arbitrase yang bersifat sementara, disebut dengan arbitase Ad-hoc. Sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan atau sengketa yang haya dapat di selesaikan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

(27)

39 Adapun sengketa yang hanya dapat di selesaikan melalui arbitrase adalah, kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain perniagaan, perbankan, keuangan,

penanaman modal, industri dan hak milik intelektual34

H. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait yaitu : karakteristik/dimensi dari

obyek sasaran yang dipergunakan.35

Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan

aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.36

Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, “Taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi

masyarakat dalam pergaulan hidup.”37

34 Moh Sandi. 2017. Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang. Jurnal

Legas Opinion. Universitas Tadulago. Hal.1

35 Barda Nawawi Arief. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya. Hal. 67 36 Salim. (et.al). 2013. Penerapan Teori Hukum. Jakarta. Rajawali Press. Hal. 375

37 Soerjano Soekanto. 1985. Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi. Bandung. Remaja Karya.

(28)

40 Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

Dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertantangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

2. Faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum). Untuk berfungsi suatu hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan terjadi masalah.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak meliputi pendidikan yang diterima oleh polisi, untuk perangkat keras dalam hal ini meliputi sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung, seperti halnya perlengkapan, kendaraan maupun alat-alat komunikasi yang proposional.

4. Faktor masyarakat (lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan). Penegakkan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang, adanya

(29)

41 derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

5. Faktor kebudayaan (sebagai hasil karya, cipta, rasa, karsa manusia di dalam pergaulan hidup).

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang peri kelakuan yang

menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.38

Menurut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sebuah sistem hukum,

pertama mempunyai struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan

perilaku nyata manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem itu pula. Aspek ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal culture) adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk

menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus digunakan.39

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor

yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu yang diterapkan dalam hukum ini.40

38 Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. PT. Raja Grafindo

Persada. Hal. 8

39 Lawrance M. Friedman. 2001. American Law An Introduction. Jakarta. Tatanusa. Hal. 8 40 Soerjono Soekanto. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Bandung. Rajawali Pers. Hal. 20

(30)

42 Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitas hukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenarnya bukan tentang hukum itu

sendiri.41 Selain itu Wiiliam Chamblish dan Robert B Seidman mengungkapkan bahwa

bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all other societal personal force (semua

ketakutan dari individu masyarakat) yang melingkupi seluruh proses.42

Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in

action) dengan hukum dalam teori (law in theory) atau dengan kata lain kegiatan ini akan

memperlihatkan kaitannya antara law in the book dan law in action.43

41 Hans Kelsen. 2012. General Teory of Law and State. Translate by Andres Wedberg. New York : Russel and Russel.

1991. Dikutip dari Jimly Ashidiqqie dan M ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta. Konstitusi Press. Hal.39

42 Robert B Seidman. 1972. Law order and Power. Massachusett. Adition Publishing Company Wesley Reading. Hal.

9

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan untuk penelitian ini maka dapat dinyatakan bahwa minat beli ulang dipengaruhi secara positif oleh persepsi kualitas dan kepuasan

2 Di Kabupaten Sijunjung, dari 12 puskesmas yang ada, belum satu pun puskesmas yang bisa mencapai target program penemuan TB Nasional (70%), namun untuk pencapaian target

Observasi pembelajaran di kelas dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pembimbing dari mahasiswa yang bersangkutan. Observasi

Dalam teknik ini dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (I) tahap pemberian contoh. Pada tahap ini guru mengenalkan kepada siswa nilai-nilai yang baik dan

Dalam pendefinisian laporan keuangan suatu perusahaan, maka perlu adanya ukuran tertentu.Ukuran yang sering digunakan dalam menganalisa laporan keuangan adalah rasio, rasio

Dengan demikian berdasarkan hasil uji seleksi item yang dilakukan terhadap setiap skala, maka skala kinerja pegawai, kepemimpinan transformasional dan motivasi

untuk berkembang tanpa rasa takut dijauhi masyarakat akibat penyakit yang dideritanya, khususnya pada penderita penyakit kronis. Penderita penyakit kronis tidak hanya

Selain pola asuh otoriter di keluarga militer ini juga menerapkan pola asuh demokratis yaitu orang tua selalu berembuk dan berdiskusi mengenai tindakan- tindakan